Monday, February 13, 2017

Penguasa Zalim, Salah Rakyat Atau Sebaliknya?

Alangkah indahnya bila penguasa yang menaungi kehidupan umat Islam adalah imam yang adil. Rasulullah SAW bersabda, “Makhluk yang paling dicintai Allah adalah imam yang adil, sedangkan yang paling dimurkai adalah imam yang jahat.” Tidak ada umat yang benci bila hadis seperti ini benar-benar ada dalam kehidupan nyata.

Penguasa yang adil adalah orang yang adil di tengah rakyatnya adalah yang menegakkan syariat Islam secara menyeluruh. Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin mengatakan, “Penguasa yang adil adalah orang yang adil di tengah rakyatnya. Tidak ada keadilan yang lebih lurus dan wajib daripada berhukum dengan syariat Allah di tengah-tengah mereka. Inilah pokok keadilan. Karena Allah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.’ (An-Nahl: 90). Maka siapa yang memerintah rakyatnya dengan selain syariat Allah, ia bukanlah penguasa yang adil.”

Tetapi bila faktanya penguasa tidak adil dan tidak menegakkan syariat Islam; penguasa justru mencampakkan Islam dan menggantinya dengan undang-undang positif, siapa yang salah? Pemimpin buruk itu salah rakyat atau rakyat buruk karena pemimpinnya buruk?

Ulama telah menjelaskan secara runtut persoalan ini. Pemimpin dan rakyat adalah sama-sama manusia yang bisa salah. Tidak ada yang menganggap maksum kecuali keyakinan Syiah terhadap para imam mereka. Oleh karena itu, kedua pihak berada dalam lingkup saling menasihati, seperti digambarkan dalam hadis Nabi saw, “Dien ini adalah nasihat.” Salah satunya adalah nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin. Inilah hakikat kehidupan dan hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam konsep Islam.

Rakyat Buruk, Pemimpin Buruk
Satu sisi yang harus berusaha menjadi salah adalah rakyat. Bila keburukan telah menyebar luas dalam masyarakat, Allah SWT bisa murka kapan saja dan —naudzubillah— memberikan musibah kepada mereka dengan berkuasanya pemimpin yang zalim. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129)

Al-Alusi menjelaskan ayat ini dengan ungkapan, “Bila rakyat zalim, Allah akan menguasakan orang zalim pula kepada mereka.”

Hal yang sama juga disebutkan oleh Al-Qurtubi, “Bila Allah ridha kepada suatu kaum, Dia menguasakan urusan kepada orang yang terbaik di antara mereka. Bila Allah murka kepada suatu kaum, Dia menguasakan urusan mereka kepada orang yang terburuk. Nabi saw bersabda, ‘Siapa yang menolong orang zalim, Allah akan menguasakan kepadanya.”

Ibnul Qayyim juga melihat hal yang sama dalam menafsirkan ayat tersebut. Beliau mengatakan, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.

Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syariat, maka tentu penguasanya pun demikian. Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka. Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat. Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya. Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya. Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka.

Setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.”

Artinya, sebagai otokritik pada sisi ini, rakyat harus memperbaiki diri agar Allah SWT tidak menimpakan pemimpin yang zalim kepada mereka. Adalah kezaliman bila menuntut orang lain adil, sedangkan diri sendiri tidak adil. Maka wajar ketika Abdul Malik bin Marwan berkata kepada rakyatnya, “Kalian tidak adil terhadap kami wahai seluruh rakyat! Kalian menginginkan kami seperti Abu Bakar dan Umar, namun kalian tidak berlaku seperti kami dan juga pada diri kalian.”

Demikian pula Ubaidah bin As-Salmani ketika bertanya kepada Ali ra, “Wahai Amir Mukminin, mengapa manusia taat kepada Abu Bakar dan Umar. Kekayaan dunia pada waktu itu lebih sempit daripada sejengkal, lalu menjadi luas pada masa keduanya. Ketika engkau dan Utsman menjadi khilafah, dunia terbuka luas pada awalnya namun kemudian menjadi lebih sempit daripada sejengkal.”

Ali menjawab, “Karena rakyat Abu Bakar dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94).

Kesalehan Penguasa Membangun Kesalehan Rakyat
Sisi lain dan inilah yang utama adalah kesalehan pemimpin. Rakyat akan menjadi saleh bila pemimpinnya saleh. Ibnu Taimiyyah dalam kitab As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyyah, I/37 mengatakan, “Ketika rakyat berubah (menjadi rusak), sedangkan penguasa sebaliknya, semua urusan pun saling bertentangan. Apabila penguasa mengambil langkah untuk memperbaiki agama dan urusan dunia mereka sesuai kemampuannya, maka ia termasuk orang yang paling utama pada masanya. Ia adalah mujahid paling afdhal di jalan Allah. Telah diriwayatkan bahwa ‘Satu hari dengan imam yang adil itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun’.”

Di tempat lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (Majmu’ Al-Fatawa, 28/170)

Syaikh Utsaimin ketika menafsirkan hadis ad-dien nasihah mengatakan, “Nabi mendahulukan nasihat untuk para pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik pula rakyatnya.”

Sufyan Ats-Tsauri secara tegas menyatakan hal ini di depan pemimpin; Abu Ja’far Al-Manshur, “Sungguh aku tahu tentang seseorang yang bila ia baik maka umat pun menjadi baik. Bila ia buruk, umat pun buruk.” Al-Manshur berkata, “Siapa?” Ats-Tsauri menjawab, “Engkau!” (Sirajul Muluk, I/35).

Pemimpin yang baik juga menjadi harapan dalam doa ulama agar rakyat menjadi baik karenanya. Hasan Bashri mengatakan, “Bila saya memiliki doa yang dikabulkan, saya akan mendoakan untuk kebaikan penguasa. Sebab dengan baiknya penguasa, rakyat pun menjadi baik. Bila penguasa baik, rakyat dan negeri pun aman.” (Imamatul ‘Udhma Ad-Dumaiji, I/370)

Persepsi Keliru dari Hadits Dhaif
Penguasa Muslim dan rakyatnya adalah satu tubuh dalam persaudaraan Islam. Sebagai haknya, ia tidak boleh dibiarkan ketika melanggar aturan. Inilah yang ditunjukkan oleh sejarah para salaf. Ada hubungan yang baik.

Dengan demikian, tidaklah benar menyalahkan rakyat setiap hidup di bawah penguasa yang jahat. Persepsi keliru ini secara umum dibangun dari hadis lemah riwayat Ad-Dailami dan Al-Baihaqi:

كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ

“Seperti apa kalian, seperti itu pula pemimpin kalian.”

Hadits ini telah dinyatakan dhaif oleh ulama masa lalu seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga ulama masa akhir seperti Syaikh Al-Albani.

Syaikh Al-Albani telah mengumpulkan matannya di Silsilah Adh-Dhaifah (1/490). Setelah menjelaskan takhrij hadis ini, beliau mengatakan, “Selain dhaif, hadis ini maknanya tidak shahih sama sekali menurut saya. Sebab sejarah telah menunjukkan kepada kita, adanya seorang yang saleh menjadi pemimpin setelah pemimpin sebelumnya yang tidak saleh, sedangkan rakyatnya tetap saja (tidak saleh).”

Ungkapan Syaikh Al-Albani benar. Kenyataannya bahwa di tengah-tengah masyarakat yang tidak saleh bisa muncul pemimpin yang saleh. Demikian pula sebaliknya.

Jawaban Ali bin Abi Thalib yang telah disebutkan sebelumnya membuktikan perkara Syaikh Al-Albani. Ali berkata, “Karena rakyat Abu Bakar dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94).

Rakyat itu Bagaimana Pemimpinnya
Sisi ini disebut lebih utama karena kesalehan pemimpin lebih mudah membentuk kesalehan rakyat, bukan sebaliknya. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dan lainnya—yang telah kami sebutkan sebelumnya— adalah penafsiran ayat yang menunjukkan ancaman Allah bagi orang-orang zalim, bukan sebab langsung, yang kemudian menjadi anggapan bahwa pemimpin zalim adalah kesalahan rakyat. Lalu penguasa zalim “dikultuskan”, rakyat (baca: aktivis Islam) yang disalahkan.

Psikologi manusia cenderung mengikuti dan meniru pemimpinnya. Ada ungkapan Arab, rakyat itu mengikuti pemimpin; masyarakat umum itu tergantung agama rajanya. Sejarawan Islam telah mencatat contoh nyata dalam hal ini. Masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa yang di dalamnya rakyat sangat giat dalam ibadah dan ketaatan kepada Allah.

Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah riwayat terlihat salat tahajud di mihrabnya dalam kondisi menangis. Ia biasa meneteskan air mata dalam ibadahnya. Beliau dikenal sebagai ahli ibadah dan suka membaca Al-Qur’an. Maka kebiasaan pemimpin ini pun ditiru oleh rakyatnya. Bahkan perbincangan sehari-hari mereka adalah tentang ibadah. Ketika mereka saling bertemu, pertanyaan yang dilontarkan tidak lepas dari berapakah Anda menghafal Al-Qur’an, berapa rakaat engkau qiyamul lail tadi malam dan tentang kesalehan lainnya.

Hal itu berbeda dengan masa dua khalifah sebelumnya. Masa Al-Walid bin Abdul Malik dikenal sebagai masa harta berlimpah dan makmur. Al-Walid dikenal pemimpin yang suka bangunan dan infrastruktur mewah. Ia rela mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk proyek-proyek bangunan. Ia membangun masjid Jami’, gedung, dan pabrik-pabrik. Kesukaannya ini pun menular kepada rakyatnya, hingga perbincangan di antara mereka tidak lepas dari bangunan dan gedung mewah.

Sulaiman bin Abdul Malik saudara Al-Walid berbeda lagi gaya hidupnya. Ia adalah orang yang suka kuliner dan berlibur. Maka obrolan rakyat di warung-warung tidak lepas dari pertanyaan tentang makanan dan apa menu makanan hari ini. (Al-Kamil Fi At-Tarikh, Asy-Syaibani, IV/292. Tarikh Ath-Thabari, IV/29).

Masjid Umayyah di Damaskus yang dibangun oleh Al-Walid
Masjid Umayyah di Damaskus yang dibangun oleh Al-Walid

Besarnya pengaruh pemimpin yang saleh terhadap rakyat adalah salah satu hikmah dari syarat-syarat kepemimpinan Islam yang ketat, di antaranya adil dan berilmu. Selain itu Islam juga tidak memberikan jabatan kepemimpinan bagi orang yang memintanya. Bisa jadi orang yang berambisi tidak akan amanah dalam memimpin. Apalagi sampai pada politik uang demi jabatan, bisa saja selama menjabat ia akan menzalimi uang rakyat untuk mengembalikan modalnya. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Komunikasi antara Rakyat dan Penguasa
Dengan dua sisi yang harus diperbaiki tersebut, maka menyampaikan peringatan kepada pemimpin jelas harus dilakukan, dengan kaidah amar makruf nahi mungkar yang benar. Membiarkan penguasa muslim dalam kemaksiatan dan kezaliman adalah bentuk kezaliman dari saudaranya. Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Wujud menolong orang yang zalim adalah mencegah dari perbuatan zalimnya.
Nabi saw bersabda:

مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ المُسْلِمِينَ، ثُمَّ لا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ، إِلا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الجَنَّةَ

“Tidak ada seorang pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, kemudian tidak bersungguh-sungguh dan melaksanakannya dengan baik, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)

“Tiada seorang pemimpin yang diamanahi oleh Allah untuk rakyatnya, suatu saat mati dalam kondisi menzalimi (hak mereka) kecuali Allah mengharamkan wangi surga baginya.” (Muslim).

Dua hadis tersebut bentuk ancaman bagi penguasa zalim di akhirat, sedangkan di dunia, Allah bisa kapan saja sesuai kehendaknya telah memiliki alasan untuk menimpakan musibah yang tidak hanya menimpa orang jahat, tetapi orang saleh juga kena getahnya. Ancaman ini berlaku—dan kita berlindung kepada Allah darinya—bila kemaksiatan telah merajalela tanpa ada proses amar makruf nahi mungkar. Allah berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Ma’idah: 78-79).

Dalam kaitan yang sama, Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kalian berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka).” (HR. Al-Bazzar dari Abu Hurairah. Dinyatakan Hasan oleh As-Suyuthi dalam Jami’ush Shaghir, namun Syaikh Al-Albani menyatakan dhaif).

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar makruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. Tirmidzi no. 2169. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Semoga salam dan salawat dilimpahkan kepada nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau.
Penulis: Agus Abdullah



Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan” [QS. Al-An’aam: 129].
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang sebab dan akibat. Yaitu bahwa diberikannya pemimpin yang dhalim kepada satu kaum adalah disebabkan karena kedhaliman yang mereka lakukan.

Qataadah rahimahullah (w. 117 H) berkata ketika menafsirkan ayat di atas:
وَإِنَّمَا يُوَلِّي اللَّهُ بَيْنَ النَّاسِ بِأَعْمَالِهِمْ، فَالْمُؤْمِنُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِ، أَيْنَ كَانَ، وَحَيْثُ كَانَ، وَالْكَافِرُ وَلِيُّ الْكَافِرِ، أَيْنَمَا كَانَ، وَحَيْثُمَا كَانَ، لَيْسَ الإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلا بِالتَّحَلِّي
"Allah hanyalah menjadikan wali diantara manusia berdasarkan amal perbuatan mereka. Maka, orang mukmin adalah wali (pemimpin) bagi orang mukmin dimanapun juga. Begitu juga orang kafir adalah wali bagi orang kafir dimanapun juga. Keimanan bukanlah dengan angan-angan dan berhias (akan tetapi dengan keyakinan, ucapan, dan perbuatan anggota badan)" [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 12/119 dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1388-1389 no. 7899-7900; shahih].
Penafsiran Qataadah ini dikuatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahumallah (w. 310 H) [Jaami’ul-Bayaan, 9/559].
Maalik bin Diinaar rahimahullah (w. 130 H) berkata:
قَرَأْتُ فِي الزَّبُورِ: إِنِّي أَنْتَقِمُ مِنَ الْمُنَافِقِ بِالْمُنَافِقِ، ثُمَّ أَنْتَقِمُ مِنَ الْمُنَافِقِينَ جَمِيعًا، وَذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَوْلُ اللَّهِ: وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
“Aku membaca di Zabuur : Sesungguhnya Aku (Allah) memberikan hukuman orang munafik dengan orang munafik. Kemudian setelah itu Aku berikan hukuman kepada orang-orang munafik semuanya. Dan hal tersebut terdapat dalam Kitabullah, yaitu firman Allah : ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1389 no. 7901; shahih].
Muhammad bin Al-Munkadir rahimahullah (w. 130 H) berkata:
كَانَ يُقَالُ: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ شَرًّا أَمَّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارَهُمْ، وَجَعَلَ أَرْزَاقَهُمْ بِأَيْدِي بخلائهم
“Dulu dikatakan : Apabila Allah menghendaki kejelekan pada satu kaum, akan dijadikan pemimpin atas mereka orang yang paling jelek diantara mereka, dan Allah jadikan rizki-rizki mereka di tangan orang-orang kikir di kalangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq hal. 165 no. 351; sanadnya hasan].
Senada dengan Ibnul-Munkadir, Manshuur bin Abil-Aswad rahimahumullah berkata:
سَأَلْتُ الأَعْمَشَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ مَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ فِيهِ؟ قَالَ: " سَمِعْتُهُمْ يَقُولُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ أُمِّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارُهُمْ "
Aku pernah bertanya kepada Al-A’masy (w. 147/148 H) tentang firman-Nya : ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129). Apa yang engkau dengar dari mereka tentang ayat ini ?. Ia menjawab : “Aku mendengar mereka berkata : ‘Apabila manusia telah rusak, akan dijadikan pemimpin atas mereka orang yang paling jelek diantara mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 5/50; sanadnya hasan].
‘Mereka’ yang dimaksudkan dalam perkataan Al-A’masy (Sulaimaan bin Mihraan) adalah sebagian taabi’iin dan shahabat Nabi yang ditemui Al-A’masy rahimahumullah, karena dirinya seorang taabi’iy.
Ibnu Katsiir rahimahullah (w. 774 H) berkata:
ومعنى الآية الكريمة: كما ولينا هؤلاء الخاسرين من الإنس تلك الطائفة التي أغْوَتهم من الجن، كذلك نفعل بالظالمين، نسلط بعضهم على بعض، ونهلك بعضهم ببعض، وننتقم من بعضهم ببعض، جزاء على ظلمهم وبغيهم.
“Makna ayat yang mulia ini adalah : Sebagaimana Kami jadikan bagi orang-orang yang merugi dari kalangan manusia, wali dari golongan jin yang menyesatkan mereka (manusia). Dan begitu juga yang Kami lakukan terhadap orang-orang yang dhalim, (yaitu) Kami kuasakan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, Kami binasakan sebagian mereka melalui sebagian yang lain, Kami timpakan hukuman sebagian mereka dengan sebagian yang lain; sebagai balasan atas kedhaliman dan kejahatan mereka” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 6/175 – Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1421].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
{ وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } [قيل: أي] كما خذلنا عصاة الجن والإنس حتى استمتع بعضهم ببعض نولي بعض الظالمين بعضا، أي: نسلط بعضهم على بعض، فنأخذ من الظالم بالظالم، كما جاء: "من أعان ظالما سلطه الله عليه" .
وقال قتادة: نجعل بعضهم أولياء بعض، فالمؤمن ولي المؤمن [أين كان] والكافر ولي الكافر حيث كان. وروي عن معمر عن قتادة: نتبع بعضهم بعضا في النار، من الموالاة، وقيل: معناه نولي ظلمة الإنس ظلمة الجن، ونولي ظلمة الجن ظلمة الإنس، أي: نكل بعضهم إلى بعض، كقوله تعالى:(نوله ما تولى)(النساء، 115)، وروى الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس رضي الله عنهما في تفسيرها هو: أن الله تعالى إذا أراد بقوم خيرا ولّى أمرهم خيارهم، وإذا أراد بقوم شرا ولى أمرهم شرارهم.
“Firman Allah : ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129), dikatakan maknanya : Sebagaimana Kami biarkan golongan jin dan manusia yang durhaka hingga sebagian mereka merasa senang dengan sebagian yang lain. ‘Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin sebagian yang lain’, yaitu : Kami berikan kuasa sebagian mereka atas sebagian yang lain, lalu Kami ambil (sesuatu) dari orang yang dhalim tersebut melalui orang dhalim yang lain, sebagaimana riwayat : ‘Barangsiapa yang menolong orang dhalim, niscaya Allah akan kuasakan orang dhalim tersebut atas dirinya’.
Qataadah berkata : Kami jadikan sebagian mereka sebagai wali sebagian yang lain. Orang mukmin adalah wali/pemimpin bagi orang mukmin lainnya dimanapun berada, dan orang kafir adalah wali/pemimpin bagi orang kafir lainnya dimanapun berada. Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Qataadah : Kami jadikan sebagian mereka mengikuti sebagian lainnya di neraka. Dikatakan, maknanya adalah : Kami jadikan manusia dhalim sebagai wali jin yang dhalim, dan jin yang dhalim sebagai wali manusia yang dhalim; yaitu : Kami kuasakan sebagian mereka kepada sebagian yang lain sebagaimana firman-Nya : ‘Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu’ (QS. An-Nisaa’ : 115). Al-Kalbiy meriwayatkan dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa terkait tafsir ayat tersebut : ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan pada satu kaum, maka Ia akan jadikan orang terbaik di kalangan mereka yang mengurus urusan mereka. Sebaliknya, apabila Allah menghendaki kejelekan pada satu kaum, maka Ia akan jadikan orang terjelek di kalangan mereka yang mengurus urusan mereka” [Ma’aalimut-Tanziil, 3/189 – Daar Thayyibah, Cet. 1/1409].
Pemimpin adalah cerminan dari (mayoritas) rakyatnya. Seekor monyet hanya menjadi pemimpin bagi kawanannya di pepohonan. Ia tidak akan pernah menjadi pemimpin bagi kawanan singa di rimba belantara. Masyhur dikatakan:
كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Sebagaimana keadaan kalian, maka seperti itulah kalian akan mendapatkan pemimpin”.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن استقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه ما لا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك ما لا يستحقونه وضربت عليهم المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم
“Dan perhatikanlah hikmah Allah menjadikan raja dan pemimpin hamba-hamba-Nya berdasarkan jenis amal perbuatan mereka. Bahkan seakan-akan amal perbuatan mereka nampak dalam bentuk pemimpin dan raja yang memerintah mereka. Apabila mereka (rakyat) istiqamah, maka istiqamah pula raja-raja mereka. Apabila mereka adil, maka akan adil pula raja yang memerintah mereka. Apabila mereka dhalim, maka akan dhalim pula raja dan pemimpin mereka. Apabila nampak/merebak perbuatan makar dan tipu daya pada mereka, maka pemimpin mereka pun akan berbuat demikian. Apabila mereka menahan hak-hak Allah di tangan mereka lagi kikir/bakhil, maka raja dan pemimpin mereka akan menahan apa yang menjadi hak mereka (rakyat). Apabila mereka (rakyat) mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang yang lemah dalam muamalah, maka para raja akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menetapkan pajak dan wadhifah atas mereka. Dan, setiap kali mereka (rakyat) memeras orang yang lemah, maka para raja akan mengambilnya lagi dari mereka secara paksa. Jadi, para penguasa mereka muncul sesuai amal perbuatan mereka (rakyat)” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, hal. 253].
Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu terangkat menjadi khalifah bagi rakyatnya, yaitu para manusia teladan dari kalangan shahabat dan pembesar taabi’iin, yang mereka ini sebaik-baik umat[1]. Begitu juga para khalifah setelahnya seperti ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Tauhid dan sunnah mengalami puncak kejayaan di tengah kaum muslimin.
Berbeda halnya ketika zaman Al-Ma’muun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiiq; trio khalifah Dinasti ‘Abbaasiyyah. Di masa mereka, bid’ah Mu’tazilah-Jahmiyyah mengalami era keemasan. Begitu juga cabang-cabang bid’ah ushuliyyah lain seperti Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, Jabriyyah, dan Murji’ah. Hasilnya? Sunnah dimusuhi dan orang-orangnya (Ahlus-Sunnah) diperangi. Muhammad bin Nuuh Al-‘Ijliy, Nu’aim bin Hammaad Al-Khuzaa’iy, Abu Ya’quub Al-Buwaithiy, Ahmad bin Nashr Al-Khuzaa’iy rahimahumullah adalah sedikit contoh ulama yang meninggal akibat fitnah di zaman mereka.
Melompat beberapa abad berikutnya. Ketika kesyirikan dan bid’ah (semakin) menyebar, pemimpin-pemimpin lemah bermunculan. Mereka mengangkat para pejabat dari kalangan rusak. Hasilnya?. Baghdad jatuh tahun 656 H.
Korea Utara yang mayoritas rakyatnya tak beragama mendapatkan pimpinan gila Kim Jong-un. Jepang dan Korea Selatan yang mayoritas rakyatnya penghamba dunia, mendapatkan pemimpin yang sesuai selera rakyatnya. Masyarakat Mesir yang demen demonstrasi dan mengadopsi budaya asing mendapatkan pemimpin As-Siisiy. Dan seterusnya.
Bukankah Allah ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ وَأَرْسَلْنَا السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا وَجَعَلْنَا الأنْهَارَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ
“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain” [QS. Al-An’aam : 6].
Bukankah Nabi bersabda:
وَلمَ ْيَنْقُصُوْا اْلمِكْيَالَ وَاْلمِيْزَانَ إِلَّا أَخَذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ اْلمَئُوْنَةِ وَجُوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
"Dan tidaklah mereka mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan ditimpakan kepada mereka paceklik dan, kesusahan hidup, dan kedhaliman para penguasa atas mereka" [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4019; dihasankan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 4009].
مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ أَوْ فِي الإِسْلامِ، فَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا إِلا بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا
“Tidaklah dua orang yang saling mengasihi karena Allah ‘azza wa jalla atau karena Islam lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dilakukan salah seorang dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 401 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 637].
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Dan sesungguhnya seseorang diharamkan mendapatkan rizki karena dosa yang ia lakukan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/277 & 5/280 & 5/282, Ibnu Maajah no. 90 & 4022, serta Ibnu Hibbaan no. 872 dan ia menshahihkannya].
Beberapa shahabat ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu (w. 52 H) pernah menengoknya yang sedang tertimpa musibah di badannya. Sebagian mereka berkata : “Sesungguhnya kami bersedih hati dikarenakan apa yang sedang menimpamu”. Ia (‘Imraan) berkata:
فَلا تَبْتَئِسْ لِمَا تَرَى، فَإِنَّمَا نَزَلَ بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللَّهُ عَنْهُ أَكْثَرُ، قَالَ: ثُمَّ تَلا عِمْرَانُ هَذِهِ الآيَةَ، وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ " إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Jangan kalian bersedih hati terhadap apa yang kalian lihat, karena ini hanyalah menimpa dengan sebab dosa, sedangkan apa yang dimaafkan Allah darinya lebih banyak”. Kemudian ‘Imraan membaca ayat : ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa : 30) [Diriwayatjan oleh Haakim 2/445-446 dan ia berkata : “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya”].
Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah (w. setelah tahun 100 H) berkata:
مَا تَعَلَّمَ رَجُلٌ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ إِلَّا بِذَنْبٍ ثُمَّ قَرَأَ الضَّحَّاكُ وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur’an kemudian dirinya melupakannya kecuali disebabkan oleh dosa (yang ia perbuat)”. Kemudian Adl-Dlahhaak membaca ayat ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri‘ (QS. Asy-Syuuraa : 30)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/162 no. 30496; sanadnya hasan].
Begitu juga Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) berkata dalam baitnya yang terkenal:
شكــوت إلى وكيـع سـوء حفظــي
فأرشــدني إلى تـــرك المعــــاصي
“Aku mengadu kepada Wakii’ (salah satu guru beliau) tentang jeleknya hafalanku,
lalu ia menunjukkan kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan”.
Jika (sebagian) kita menganggap diantara musibah yang menimpa bangsa kita saat ini adalah karena berkuasanya para pemimpin yang jauh dari agama, lemah, dan tidak kompeten, seharusnya kita mengaca diri bagaimana keadaan (mayoritas) bangsa kita. Apakah kondisi (mayoritas) bangsa kita benar-benar mengenal dan mengamalkan ketauhidan dan sunnah serta menjauhi bid’ah dan kesyirikan ? Apakah persatuan kaum muslimin bangsa kita terikat kuat di atas landasan yang haq ?.[2]  Apakah kita yang sering berbicara profesionalisme, kompetensi, dan integritas untuk orang lain sudah merasa memiliki ketiga hal itu ?.
Kita – mohon maaf bagi yang tidak merasa – adalah orang yang sangat susah merasa (ikut) bersalah dan paling senang menimpakan kekeliruan pada orang lain. “Itu bukan salahku, bukan dosaku !!”.
Kita mendambakan seorang pemimpin yang sopan dan beretika. Ironis, di lapangan kita berperang julukan Cebong dan Kampret.
Tahun 2019 kita bercita-cita terpilih pemimpin yang melek agama dan beraqidah kuat. Naasnya, banyak diantara kita malah ‘masuk angin’ dalam mendakwahkan sunnah dan ketauhidan karena segerbong dengan para pelaku kesyirikan dan hobbyist bid’ah[3]. Bersatu badan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan tagar politik #2019GantiPresiden.
Kemarin sebagian diantara kita mentertawakan pernyataan tokoh pro-Pemerintah yang menegasikan faktor internal/salah kebijakan sebagai faktor pelemahan nilai rupiah dan (terkesan) mengkambinghitamkan faktor eksternal seperti krisis Argentina, komentar pejabat dunia, normalisasi kebijakan Bank Sentral AS, perang dagang AS-Tiongkok, dll. Hingga besarnya jumlah jama’ah haji dan ‘umrah pun dijadikan alasan. Ya itulah kita. Fenomena ini bukan baru muncul empat tahun belakangan, tapi sudah lama, kronis. Penyakit umumnya bangsa Indonesia yang gengsi mengakui kekeliruan. Yang berkomentar sama seperti yang dikomentari, hanya berbeda tema dan posisi.
Kita harus senantiasa beristighfar, bertaubat, introspeksi, memperbaiki diri, dan ambil bagian dalam memperbaiki umat. Bukan adu tagar di tengah pemimpin yang sah masih menjalankan pemerintahannya.
Setelah menjelaskan kewajiban taat kepada penguasa muslim yang dhalim, Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فَإِنَّ الله تعالى مَا سَلَّطَهُمْ عَلَيْنَا إِلَّا لِفَسَادِ أَعْمَالِنَا ، وَالْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ، فَعَلَيْنَا الِاجْتِهَادُ بالِاسْتِغْفَارِ وَالتَّوْبَة وَإِصْلَاحِ الْعَمَلِ . قَالَ تعالى : { وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ } وَقَالَ تعالى : { أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ } وَقَالَ تعالى : { مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ }. { وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } (4) . فَإِذَا أَرَادَ الرَّعِيَّة أَنْ يَتَخَلَّصُوا مِنْ ظُلْمِ الْأَمِيرِ الظَّالِمِ . فَلْيَتْرُكُوا الظُّلْمَ .
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) melainkan karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah berfirman : ‘Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’ (QS. Asy-Syuuraa : 30). ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri’ (QS. An-Nisaa’ : 79). ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam : 129). Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga” [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 543].
Ini semua adalah firman Allah dan sabda Nabi yang PASTI benar. Kita mengimaninya tanpa ada keberatan dan keterpaksaan, karena Al-Qur'an bukan seperti kata RG, fiksi. Allah tidak pernah dan tidak akan pernah dhalim kepada hamba-Nya sedikitpun[4].
So, jangan malu berefleksi diri. Stop tebar opini:
'Rakyat jangan disalahkan terus, musibah ini hanyalah kesalahan pemimpin. Saya tidak merasa turut andil dalam musibah ini’.
Ingat firman Allah :
وَاتّقُواْ فِتْنَةً لاّ تُصِيبَنّ الّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصّةً
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang dhalim saja di antara kamu” [QS. Al-Anfaal : 25].
Terakhir, mari kita memohon ampun dan bertaubat - termasuk bagi Anda yang tidak merasa punya dosa terhadap musibah yang menimpa negeri Anda - dalam rangka melaksanakan perintah Allah :

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
"Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (Kiamat)" [QS. Huud : 3].
Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
والتوبة إلى الله عز وجل كيما يعطف بهم على رعيتهم
“Dan hendaknya bertaubat kepada Allah 'azza wa jalla agar supaya pemimpin berkasih-sayang kepada rakyatnya" [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 85, tahqiiq : Jamaal ‘Azzuun].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 2 Muharram 1440 H].
[1]    Rasulullah bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
[2]    Silakan baca artikel di Blog ini berjudul Persatuan dan Persatuan (Lagi).
[3]    Baik bid’ah i’tiqadiy (Jahmiyyah, Asy’ariyyah, Qadariyyah, Haruuriyyah, dll.) maupun ‘amaliy.
[4]    Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” [QS. An-Nisaa’ : 40].