Alangkah indahnya bila penguasa yang
menaungi kehidupan umat Islam adalah imam yang adil. Rasulullah SAW bersabda,
“Makhluk yang paling dicintai Allah adalah imam yang adil, sedangkan yang
paling dimurkai adalah imam yang jahat.” Tidak ada umat yang benci bila hadis
seperti ini benar-benar ada dalam kehidupan nyata.
Penguasa yang adil adalah orang yang adil
di tengah rakyatnya adalah yang menegakkan syariat Islam secara menyeluruh.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin mengatakan, “Penguasa yang
adil adalah orang yang adil di tengah rakyatnya. Tidak ada keadilan yang lebih
lurus dan wajib daripada berhukum dengan syariat Allah di tengah-tengah mereka.
Inilah pokok keadilan. Karena Allah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.’ (An-Nahl: 90). Maka siapa yang
memerintah rakyatnya dengan selain syariat Allah, ia bukanlah penguasa yang
adil.”
Tetapi bila faktanya penguasa tidak adil
dan tidak menegakkan syariat Islam; penguasa justru mencampakkan Islam dan
menggantinya dengan undang-undang positif, siapa yang salah? Pemimpin buruk itu
salah rakyat atau rakyat buruk karena pemimpinnya buruk?
Ulama telah menjelaskan secara runtut
persoalan ini. Pemimpin dan rakyat adalah sama-sama manusia yang bisa salah.
Tidak ada yang menganggap maksum kecuali keyakinan Syiah terhadap para imam
mereka. Oleh karena itu, kedua pihak berada dalam lingkup saling menasihati,
seperti digambarkan dalam hadis Nabi saw, “Dien ini adalah nasihat.” Salah
satunya adalah nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin. Inilah hakikat
kehidupan dan hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam konsep Islam.
Rakyat Buruk, Pemimpin Buruk
Satu sisi yang harus berusaha menjadi
salah adalah rakyat. Bila keburukan telah menyebar luas dalam masyarakat, Allah
SWT bisa murka kapan saja dan —naudzubillah— memberikan musibah kepada mereka
dengan berkuasanya pemimpin yang zalim. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian
orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa
yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129)
Al-Alusi menjelaskan ayat ini dengan
ungkapan, “Bila rakyat zalim, Allah akan menguasakan orang zalim pula kepada
mereka.”
Hal yang sama juga disebutkan oleh
Al-Qurtubi, “Bila Allah ridha kepada suatu kaum, Dia menguasakan urusan kepada
orang yang terbaik di antara mereka. Bila Allah murka kepada suatu kaum, Dia
menguasakan urusan mereka kepada orang yang terburuk. Nabi saw bersabda, ‘Siapa
yang menolong orang zalim, Allah akan menguasakan kepadanya.”
Ibnul Qayyim juga melihat hal yang sama
dalam menafsirkan ayat tersebut. Beliau mengatakan, “Perhatikanlah hikmah-Nya
tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan
sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan,
amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.
Apabila rakyat di dalam negeri tersebut
komitmen dalam menjalankan syariat, maka tentu penguasanya pun demikian.
Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada
mereka. Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan
senantiasa berbuat maksiat. Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu
daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya. Apabila para rakyat
tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun
juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan
hak-hak para rakyatnya. Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah
dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para
rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada
mereka.
Setiap mereka (yakni rakyat) mengambil
hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para
penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.”
Artinya, sebagai otokritik pada sisi ini,
rakyat harus memperbaiki diri agar Allah SWT tidak menimpakan pemimpin yang
zalim kepada mereka. Adalah kezaliman bila menuntut orang lain adil, sedangkan
diri sendiri tidak adil. Maka wajar ketika Abdul Malik bin Marwan berkata
kepada rakyatnya, “Kalian tidak adil terhadap kami wahai seluruh rakyat! Kalian
menginginkan kami seperti Abu Bakar dan Umar, namun kalian tidak berlaku
seperti kami dan juga pada diri kalian.”
Demikian pula Ubaidah bin As-Salmani
ketika bertanya kepada Ali ra, “Wahai Amir Mukminin, mengapa manusia taat
kepada Abu Bakar dan Umar. Kekayaan dunia pada waktu itu lebih sempit daripada
sejengkal, lalu menjadi luas pada masa keduanya. Ketika engkau dan Utsman
menjadi khilafah, dunia terbuka luas pada awalnya namun kemudian menjadi lebih
sempit daripada sejengkal.”
Ali menjawab, “Karena rakyat Abu Bakar
dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang adalah kamu dan
orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94).
Kesalehan Penguasa Membangun Kesalehan
Rakyat
Sisi lain dan inilah yang utama adalah
kesalehan pemimpin. Rakyat akan menjadi saleh bila pemimpinnya saleh. Ibnu
Taimiyyah dalam kitab As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyyah,
I/37 mengatakan, “Ketika rakyat berubah (menjadi rusak), sedangkan penguasa
sebaliknya, semua urusan pun saling bertentangan. Apabila penguasa mengambil
langkah untuk memperbaiki agama dan urusan dunia mereka sesuai kemampuannya,
maka ia termasuk orang yang paling utama pada masanya. Ia adalah mujahid paling
afdhal di jalan Allah. Telah diriwayatkan bahwa ‘Satu hari dengan imam yang
adil itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun’.”
Di tempat lain, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan, “Ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan
umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani
Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa
berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah)
ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan
(Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (Majmu’
Al-Fatawa, 28/170)
Syaikh Utsaimin ketika menafsirkan hadis
ad-dien nasihah mengatakan, “Nabi mendahulukan nasihat untuk para pemimpin
sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik
pula rakyatnya.”
Sufyan Ats-Tsauri secara tegas menyatakan
hal ini di depan pemimpin; Abu Ja’far Al-Manshur, “Sungguh aku tahu tentang
seseorang yang bila ia baik maka umat pun menjadi baik. Bila ia buruk, umat pun
buruk.” Al-Manshur berkata, “Siapa?” Ats-Tsauri menjawab, “Engkau!” (Sirajul
Muluk, I/35).
Pemimpin yang baik juga menjadi harapan
dalam doa ulama agar rakyat menjadi baik karenanya. Hasan Bashri mengatakan,
“Bila saya memiliki doa yang dikabulkan, saya akan mendoakan untuk kebaikan
penguasa. Sebab dengan baiknya penguasa, rakyat pun menjadi baik. Bila penguasa
baik, rakyat dan negeri pun aman.” (Imamatul ‘Udhma Ad-Dumaiji, I/370)
Persepsi Keliru dari Hadits Dhaif
Penguasa Muslim dan rakyatnya adalah satu
tubuh dalam persaudaraan Islam. Sebagai haknya, ia tidak boleh dibiarkan ketika
melanggar aturan. Inilah yang ditunjukkan oleh sejarah para salaf. Ada hubungan
yang baik.
Dengan demikian, tidaklah benar
menyalahkan rakyat setiap hidup di bawah penguasa yang jahat. Persepsi keliru
ini secara umum dibangun dari hadis lemah riwayat Ad-Dailami dan Al-Baihaqi:
كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Seperti apa kalian, seperti itu pula
pemimpin kalian.”
Hadits ini telah dinyatakan dhaif oleh
ulama masa lalu seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga ulama masa akhir seperti
Syaikh Al-Albani.
Syaikh Al-Albani telah mengumpulkan
matannya di Silsilah Adh-Dhaifah (1/490). Setelah menjelaskan takhrij hadis
ini, beliau mengatakan, “Selain dhaif, hadis ini maknanya tidak shahih sama
sekali menurut saya. Sebab sejarah telah menunjukkan kepada kita, adanya
seorang yang saleh menjadi pemimpin setelah pemimpin sebelumnya yang tidak
saleh, sedangkan rakyatnya tetap saja (tidak saleh).”
Ungkapan Syaikh Al-Albani benar.
Kenyataannya bahwa di tengah-tengah masyarakat yang tidak saleh bisa muncul
pemimpin yang saleh. Demikian pula sebaliknya.
Jawaban Ali bin Abi Thalib yang telah
disebutkan sebelumnya membuktikan perkara Syaikh Al-Albani. Ali berkata,
“Karena rakyat Abu Bakar dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku
sekarang adalah kamu dan orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam
Ath-Thurthursyi, 94).
Rakyat itu Bagaimana Pemimpinnya
Sisi ini disebut lebih utama karena
kesalehan pemimpin lebih mudah membentuk kesalehan rakyat, bukan sebaliknya.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dan lainnya—yang telah kami sebutkan
sebelumnya— adalah penafsiran ayat yang menunjukkan ancaman Allah bagi
orang-orang zalim, bukan sebab langsung, yang kemudian menjadi anggapan bahwa
pemimpin zalim adalah kesalahan rakyat. Lalu penguasa zalim “dikultuskan”,
rakyat (baca: aktivis Islam) yang disalahkan.
Psikologi manusia cenderung mengikuti dan
meniru pemimpinnya. Ada ungkapan Arab, rakyat itu mengikuti pemimpin;
masyarakat umum itu tergantung agama rajanya. Sejarawan Islam telah mencatat contoh
nyata dalam hal ini. Masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa
yang di dalamnya rakyat sangat giat dalam ibadah dan ketaatan kepada Allah.
Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah riwayat
terlihat salat tahajud di mihrabnya dalam kondisi menangis. Ia biasa meneteskan
air mata dalam ibadahnya. Beliau dikenal sebagai ahli ibadah dan suka membaca
Al-Qur’an. Maka kebiasaan pemimpin ini pun ditiru oleh rakyatnya. Bahkan
perbincangan sehari-hari mereka adalah tentang ibadah. Ketika mereka saling bertemu,
pertanyaan yang dilontarkan tidak lepas dari berapakah Anda menghafal
Al-Qur’an, berapa rakaat engkau qiyamul lail tadi malam dan tentang kesalehan
lainnya.
Hal itu berbeda dengan masa dua khalifah
sebelumnya. Masa Al-Walid bin Abdul Malik dikenal sebagai masa harta berlimpah
dan makmur. Al-Walid dikenal pemimpin yang suka bangunan dan infrastruktur
mewah. Ia rela mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk proyek-proyek
bangunan. Ia membangun masjid Jami’, gedung, dan pabrik-pabrik. Kesukaannya ini
pun menular kepada rakyatnya, hingga perbincangan di antara mereka tidak lepas
dari bangunan dan gedung mewah.
Sulaiman bin Abdul Malik saudara Al-Walid
berbeda lagi gaya hidupnya. Ia adalah orang yang suka kuliner dan berlibur.
Maka obrolan rakyat di warung-warung tidak lepas dari pertanyaan tentang
makanan dan apa menu makanan hari ini. (Al-Kamil Fi At-Tarikh, Asy-Syaibani,
IV/292. Tarikh Ath-Thabari, IV/29).
Masjid Umayyah di Damaskus yang dibangun
oleh Al-Walid
Besarnya pengaruh pemimpin yang saleh
terhadap rakyat adalah salah satu hikmah dari syarat-syarat kepemimpinan Islam
yang ketat, di antaranya adil dan berilmu. Selain itu Islam juga tidak
memberikan jabatan kepemimpinan bagi orang yang memintanya. Bisa jadi orang
yang berambisi tidak akan amanah dalam memimpin. Apalagi sampai pada politik
uang demi jabatan, bisa saja selama menjabat ia akan menzalimi uang rakyat
untuk mengembalikan modalnya. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a, ia
berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah
seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu.’
Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah SAW
bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang
yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Komunikasi antara Rakyat dan Penguasa
Dengan dua sisi yang harus diperbaiki
tersebut, maka menyampaikan peringatan kepada pemimpin jelas harus dilakukan,
dengan kaidah amar makruf nahi mungkar yang benar. Membiarkan penguasa muslim
dalam kemaksiatan dan kezaliman adalah bentuk kezaliman dari saudaranya. Rasulullah
SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Wujud
menolong orang yang zalim adalah mencegah dari perbuatan zalimnya.
Nabi saw bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ المُسْلِمِينَ،
ثُمَّ لا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ، إِلا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الجَنَّةَ
“Tidak ada seorang pemimpin yang
menangani urusan kaum muslimin, kemudian tidak bersungguh-sungguh dan
melaksanakannya dengan baik, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.”
(HR Muslim)
“Tiada seorang pemimpin yang diamanahi
oleh Allah untuk rakyatnya, suatu saat mati dalam kondisi menzalimi (hak
mereka) kecuali Allah mengharamkan wangi surga baginya.” (Muslim).
Dua hadis tersebut bentuk ancaman bagi
penguasa zalim di akhirat, sedangkan di dunia, Allah bisa kapan saja sesuai
kehendaknya telah memiliki alasan untuk menimpakan musibah yang tidak hanya
menimpa orang jahat, tetapi orang saleh juga kena getahnya. Ancaman ini
berlaku—dan kita berlindung kepada Allah darinya—bila kemaksiatan telah
merajalela tanpa ada proses amar makruf nahi mungkar. Allah berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari
Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Ma’idah: 78-79).
Dalam kaitan yang sama, Rasulullah
bersabda, “Hendaklah kalian beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi
mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atas
kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang
yang baik-baik di antara kalian berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka).” (HR.
Al-Bazzar dari Abu Hurairah. Dinyatakan Hasan oleh As-Suyuthi dalam Jami’ush
Shaghir, namun Syaikh Al-Albani menyatakan dhaif).
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar makruf
dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya kepada
kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi
dikabulkan.” (HR. Tirmidzi no. 2169. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan).
Semoga salam dan salawat dilimpahkan
kepada nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau.
Penulis: Agus Abdullah
Allah ﷻ berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian
orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang
mereka lakukan” [QS. Al-An’aam: 129].
Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan tentang
sebab dan akibat. Yaitu bahwa diberikannya pemimpin yang dhalim kepada satu
kaum adalah disebabkan karena kedhaliman yang mereka lakukan.
Qataadah rahimahullah (w. 117 H) berkata
ketika menafsirkan ayat di atas:
وَإِنَّمَا يُوَلِّي اللَّهُ بَيْنَ النَّاسِ
بِأَعْمَالِهِمْ، فَالْمُؤْمِنُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِ، أَيْنَ كَانَ، وَحَيْثُ
كَانَ، وَالْكَافِرُ وَلِيُّ الْكَافِرِ، أَيْنَمَا كَانَ، وَحَيْثُمَا كَانَ،
لَيْسَ الإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلا بِالتَّحَلِّي
"Allah hanyalah menjadikan wali
diantara manusia berdasarkan amal perbuatan mereka. Maka, orang mukmin adalah wali
(pemimpin) bagi orang mukmin dimanapun juga. Begitu juga orang kafir adalah
wali bagi orang kafir dimanapun juga. Keimanan bukanlah dengan angan-angan dan
berhias (akan tetapi dengan keyakinan, ucapan, dan perbuatan anggota
badan)" [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 12/119 dan
Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1388-1389 no. 7899-7900; shahih].
Penafsiran Qataadah ini dikuatkan oleh
Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahumallah (w. 310 H) [Jaami’ul-Bayaan, 9/559].
Maalik bin Diinaar rahimahullah (w. 130
H) berkata:
قَرَأْتُ فِي الزَّبُورِ: إِنِّي أَنْتَقِمُ مِنَ
الْمُنَافِقِ بِالْمُنَافِقِ، ثُمَّ أَنْتَقِمُ مِنَ الْمُنَافِقِينَ جَمِيعًا،
وَذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَوْلُ اللَّهِ: وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ
الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
“Aku membaca di Zabuur : Sesungguhnya Aku
(Allah) memberikan hukuman orang munafik dengan orang munafik. Kemudian setelah
itu Aku berikan hukuman kepada orang-orang munafik semuanya. Dan hal tersebut
terdapat dalam Kitabullah, yaitu firman Allah : ‘Dan demikianlah Kami jadikan
sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan
amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1389 no. 7901; shahih].
Muhammad bin Al-Munkadir rahimahullah (w.
130 H) berkata:
كَانَ يُقَالُ: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ
شَرًّا أَمَّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارَهُمْ، وَجَعَلَ أَرْزَاقَهُمْ بِأَيْدِي بخلائهم
“Dulu dikatakan : Apabila Allah
menghendaki kejelekan pada satu kaum, akan dijadikan pemimpin atas mereka orang
yang paling jelek diantara mereka, dan Allah jadikan rizki-rizki mereka di
tangan orang-orang kikir di kalangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaaithiy
dalam Masaawiul-Akhlaaq hal. 165 no. 351; sanadnya hasan].
Senada dengan Ibnul-Munkadir, Manshuur
bin Abil-Aswad rahimahumullah berkata:
سَأَلْتُ الأَعْمَشَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ مَا
سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ فِيهِ؟ قَالَ: " سَمِعْتُهُمْ يَقُولُونَ إِذَا
فَسَدَ النَّاسُ أُمِّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارُهُمْ "
Aku pernah bertanya kepada Al-A’masy (w.
147/148 H) tentang firman-Nya ﷻ : ‘Dan demikianlah Kami
jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain
disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129). Apa yang engkau
dengar dari mereka tentang ayat ini ?. Ia menjawab : “Aku mendengar mereka
berkata : ‘Apabila manusia telah rusak, akan dijadikan pemimpin atas mereka
orang yang paling jelek diantara mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
Hilyatul-Auliyaa’, 5/50; sanadnya hasan].
‘Mereka’ yang dimaksudkan dalam perkataan
Al-A’masy (Sulaimaan bin Mihraan) adalah sebagian taabi’iin dan shahabat Nabi ﷺ yang ditemui
Al-A’masy rahimahumullah, karena dirinya seorang taabi’iy.
Ibnu Katsiir rahimahullah (w. 774 H)
berkata:
ومعنى الآية الكريمة: كما ولينا هؤلاء الخاسرين
من الإنس تلك الطائفة التي أغْوَتهم من الجن، كذلك نفعل بالظالمين، نسلط بعضهم على
بعض، ونهلك بعضهم ببعض، وننتقم من بعضهم ببعض، جزاء على ظلمهم وبغيهم.
“Makna ayat yang mulia ini adalah :
Sebagaimana Kami jadikan bagi orang-orang yang merugi dari kalangan manusia,
wali dari golongan jin yang menyesatkan mereka (manusia). Dan begitu juga yang
Kami lakukan terhadap orang-orang yang dhalim, (yaitu) Kami kuasakan sebagian mereka
terhadap sebagian yang lain, Kami binasakan sebagian mereka melalui sebagian
yang lain, Kami timpakan hukuman sebagian mereka dengan sebagian yang lain;
sebagai balasan atas kedhaliman dan kejahatan mereka” [Tafsiir
Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 6/175 – Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1421].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
{ وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } [قيل: أي] كما
خذلنا عصاة الجن والإنس حتى استمتع بعضهم ببعض نولي بعض الظالمين بعضا، أي: نسلط
بعضهم على بعض، فنأخذ من الظالم بالظالم، كما جاء: "من أعان ظالما سلطه الله
عليه" .
وقال قتادة: نجعل بعضهم أولياء بعض، فالمؤمن ولي
المؤمن [أين كان] والكافر ولي الكافر حيث كان. وروي عن معمر عن قتادة: نتبع بعضهم
بعضا في النار، من الموالاة، وقيل: معناه نولي ظلمة الإنس ظلمة الجن، ونولي ظلمة
الجن ظلمة الإنس، أي: نكل بعضهم إلى بعض، كقوله تعالى:(نوله ما تولى)(النساء،
115)، وروى الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس رضي الله عنهما في تفسيرها هو: أن الله
تعالى إذا أراد بقوم خيرا ولّى أمرهم خيارهم، وإذا أراد بقوم شرا ولى أمرهم شرارهم.
“Firman Allah ﷻ : ‘Dan demikianlah
Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin bagi sebagian
yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129), dikatakan
maknanya : Sebagaimana Kami biarkan golongan jin dan manusia yang durhaka
hingga sebagian mereka merasa senang dengan sebagian yang lain. ‘Kami jadikan
sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin sebagian yang lain’, yaitu :
Kami berikan kuasa sebagian mereka atas sebagian yang lain, lalu Kami ambil
(sesuatu) dari orang yang dhalim tersebut melalui orang dhalim yang lain,
sebagaimana riwayat : ‘Barangsiapa yang menolong orang dhalim, niscaya Allah
akan kuasakan orang dhalim tersebut atas dirinya’.
Qataadah berkata : Kami jadikan sebagian
mereka sebagai wali sebagian yang lain. Orang mukmin adalah wali/pemimpin bagi
orang mukmin lainnya dimanapun berada, dan orang kafir adalah wali/pemimpin
bagi orang kafir lainnya dimanapun berada. Diriwayatkan dari Ma’mar, dari
Qataadah : Kami jadikan sebagian mereka mengikuti sebagian lainnya di neraka.
Dikatakan, maknanya adalah : Kami jadikan manusia dhalim sebagai wali jin yang
dhalim, dan jin yang dhalim sebagai wali manusia yang dhalim; yaitu : Kami
kuasakan sebagian mereka kepada sebagian yang lain sebagaimana firman-Nya :
‘Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu’ (QS.
An-Nisaa’ : 115). Al-Kalbiy meriwayatkan dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa terkait tafsir ayat tersebut : ‘Apabila Allah ﷻ menghendaki
kebaikan pada satu kaum, maka Ia akan jadikan orang terbaik di kalangan mereka
yang mengurus urusan mereka. Sebaliknya, apabila Allah ﷻ menghendaki
kejelekan pada satu kaum, maka Ia akan jadikan orang terjelek di kalangan
mereka yang mengurus urusan mereka” [Ma’aalimut-Tanziil, 3/189 – Daar
Thayyibah, Cet. 1/1409].
Pemimpin adalah cerminan dari (mayoritas)
rakyatnya. Seekor monyet hanya menjadi pemimpin bagi kawanannya di pepohonan.
Ia tidak akan pernah menjadi pemimpin bagi kawanan singa di rimba belantara.
Masyhur dikatakan:
كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Sebagaimana keadaan kalian, maka seperti
itulah kalian akan mendapatkan pemimpin”.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد
وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن
استقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن
ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت
ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه ما
لا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك ما لا يستحقونه وضربت عليهم المكوس
والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في
صور اعمالهم
“Dan perhatikanlah hikmah Allah ﷻ menjadikan raja dan
pemimpin hamba-hamba-Nya berdasarkan jenis amal perbuatan mereka. Bahkan
seakan-akan amal perbuatan mereka nampak dalam bentuk pemimpin dan raja yang
memerintah mereka. Apabila mereka (rakyat) istiqamah, maka istiqamah pula raja-raja
mereka. Apabila mereka adil, maka akan adil pula raja yang memerintah mereka.
Apabila mereka dhalim, maka akan dhalim pula raja dan pemimpin mereka. Apabila
nampak/merebak perbuatan makar dan tipu daya pada mereka, maka pemimpin mereka
pun akan berbuat demikian. Apabila mereka menahan hak-hak Allah di tangan
mereka lagi kikir/bakhil, maka raja dan pemimpin mereka akan menahan apa yang
menjadi hak mereka (rakyat). Apabila mereka (rakyat) mengambil sesuatu yang
bukan haknya dari orang-orang yang lemah dalam muamalah, maka para raja akan
mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menetapkan pajak dan wadhifah atas
mereka. Dan, setiap kali mereka (rakyat) memeras orang yang lemah, maka para
raja akan mengambilnya lagi dari mereka secara paksa. Jadi, para penguasa
mereka muncul sesuai amal perbuatan mereka (rakyat)” [Miftaah Daaris-Sa’aadah,
hal. 253].
Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu terangkat
menjadi khalifah bagi rakyatnya, yaitu para manusia teladan dari kalangan
shahabat dan pembesar taabi’iin, yang mereka ini sebaik-baik umat[1]. Begitu
juga para khalifah setelahnya seperti ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu
‘anhum. Tauhid dan sunnah mengalami puncak kejayaan di tengah kaum muslimin.
Berbeda halnya ketika zaman Al-Ma’muun,
Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiiq; trio khalifah Dinasti ‘Abbaasiyyah. Di masa
mereka, bid’ah Mu’tazilah-Jahmiyyah mengalami era keemasan. Begitu juga
cabang-cabang bid’ah ushuliyyah lain seperti Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah,
Jabriyyah, dan Murji’ah. Hasilnya? Sunnah dimusuhi dan orang-orangnya
(Ahlus-Sunnah) diperangi. Muhammad bin Nuuh Al-‘Ijliy, Nu’aim bin Hammaad
Al-Khuzaa’iy, Abu Ya’quub Al-Buwaithiy, Ahmad bin Nashr Al-Khuzaa’iy
rahimahumullah adalah sedikit contoh ulama yang meninggal akibat fitnah di
zaman mereka.
Melompat beberapa abad berikutnya. Ketika
kesyirikan dan bid’ah (semakin) menyebar, pemimpin-pemimpin lemah bermunculan.
Mereka mengangkat para pejabat dari kalangan rusak. Hasilnya?. Baghdad jatuh
tahun 656 H.
Korea Utara yang mayoritas rakyatnya tak
beragama mendapatkan pimpinan gila Kim Jong-un. Jepang dan Korea Selatan yang
mayoritas rakyatnya penghamba dunia, mendapatkan pemimpin yang sesuai selera
rakyatnya. Masyarakat Mesir yang demen demonstrasi dan mengadopsi budaya asing
mendapatkan pemimpin As-Siisiy. Dan seterusnya.
Bukankah Allah ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu,
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ
مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ وَأَرْسَلْنَا
السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا وَجَعَلْنَا الأنْهَارَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمْ
فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ
“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa
banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal
(generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu
keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang
lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka,
kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah
mereka generasi yang lain” [QS. Al-An’aam : 6].
Bukankah Nabi ﷺ bersabda:
وَلمَ ْيَنْقُصُوْا اْلمِكْيَالَ وَاْلمِيْزَانَ
إِلَّا أَخَذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ اْلمَئُوْنَةِ وَجُوْرِ السُّلْطَانِ
عَلَيْهِمْ
"Dan tidaklah mereka mereka
mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan ditimpakan kepada mereka
paceklik dan, kesusahan hidup, dan kedhaliman para penguasa atas mereka"
[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4019; dihasankan oleh Al-Albaaniy
rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 4009].
مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ
أَوْ فِي الإِسْلامِ، فَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا إِلا بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ
أَحَدُهُمَا
“Tidaklah dua orang yang saling mengasihi
karena Allah ‘azza wa jalla atau karena Islam lalu keduanya berpisah, melainkan
disebabkan dosa yang dilakukan salah seorang dari keduanya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 401 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 637].
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ
بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Dan sesungguhnya seseorang diharamkan
mendapatkan rizki karena dosa yang ia lakukan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/277
& 5/280 & 5/282, Ibnu Maajah no. 90 & 4022, serta Ibnu Hibbaan no.
872 dan ia menshahihkannya].
Beberapa shahabat ‘Imraan bin Hushain
radliyallaahu ‘anhu (w. 52 H) pernah menengoknya yang sedang tertimpa musibah
di badannya. Sebagian mereka berkata : “Sesungguhnya kami bersedih hati
dikarenakan apa yang sedang menimpamu”. Ia (‘Imraan) berkata:
فَلا تَبْتَئِسْ لِمَا تَرَى، فَإِنَّمَا نَزَلَ
بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللَّهُ عَنْهُ أَكْثَرُ، قَالَ: ثُمَّ تَلا عِمْرَانُ
هَذِهِ الآيَةَ، وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ " إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Jangan kalian bersedih hati terhadap apa
yang kalian lihat, karena ini hanyalah menimpa dengan sebab dosa, sedangkan apa
yang dimaafkan Allah darinya lebih banyak”. Kemudian ‘Imraan membaca ayat :
‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa : 30) [Diriwayatjan oleh Haakim
2/445-446 dan ia berkata : “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya”].
Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah
(w. setelah tahun 100 H) berkata:
مَا تَعَلَّمَ رَجُلٌ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ
إِلَّا بِذَنْبٍ ثُمَّ قَرَأَ الضَّحَّاكُ وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur’an
kemudian dirinya melupakannya kecuali disebabkan oleh dosa (yang ia perbuat)”.
Kemudian Adl-Dlahhaak membaca ayat ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu,
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri‘ (QS. Asy-Syuuraa : 30)”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/162 no. 30496; sanadnya hasan].
Begitu juga Muhammad bin Idriis
Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) berkata dalam baitnya yang terkenal:
شكــوت إلى وكيـع سـوء حفظــي
فأرشــدني إلى تـــرك المعــــاصي
“Aku mengadu kepada Wakii’ (salah satu
guru beliau) tentang jeleknya hafalanku,
lalu ia menunjukkan kepadaku agar
meninggalkan kemaksiatan”.
Jika (sebagian) kita menganggap diantara
musibah yang menimpa bangsa kita saat ini adalah karena berkuasanya para
pemimpin yang jauh dari agama, lemah, dan tidak kompeten, seharusnya kita
mengaca diri bagaimana keadaan (mayoritas) bangsa kita. Apakah kondisi
(mayoritas) bangsa kita benar-benar mengenal dan mengamalkan ketauhidan dan
sunnah serta menjauhi bid’ah dan kesyirikan ? Apakah persatuan kaum muslimin
bangsa kita terikat kuat di atas landasan yang haq ?.[2] Apakah kita yang sering berbicara
profesionalisme, kompetensi, dan integritas untuk orang lain sudah merasa
memiliki ketiga hal itu ?.
Kita – mohon maaf bagi yang tidak merasa
– adalah orang yang sangat susah merasa (ikut) bersalah dan paling senang
menimpakan kekeliruan pada orang lain. “Itu bukan salahku, bukan dosaku !!”.
Kita mendambakan seorang pemimpin yang
sopan dan beretika. Ironis, di lapangan kita berperang julukan Cebong dan
Kampret.
Tahun 2019 kita bercita-cita terpilih
pemimpin yang melek agama dan beraqidah kuat. Naasnya, banyak diantara kita
malah ‘masuk angin’ dalam mendakwahkan sunnah dan ketauhidan karena segerbong
dengan para pelaku kesyirikan dan hobbyist bid’ah[3]. Bersatu badan karena
kesamaan kepentingan memperjuangkan tagar politik #2019GantiPresiden.
Kemarin sebagian diantara kita
mentertawakan pernyataan tokoh pro-Pemerintah yang menegasikan faktor
internal/salah kebijakan sebagai faktor pelemahan nilai rupiah dan (terkesan)
mengkambinghitamkan faktor eksternal seperti krisis Argentina, komentar pejabat
dunia, normalisasi kebijakan Bank Sentral AS, perang dagang AS-Tiongkok, dll.
Hingga besarnya jumlah jama’ah haji dan ‘umrah pun dijadikan alasan. Ya itulah
kita. Fenomena ini bukan baru muncul empat tahun belakangan, tapi sudah lama,
kronis. Penyakit umumnya bangsa Indonesia yang gengsi mengakui kekeliruan. Yang
berkomentar sama seperti yang dikomentari, hanya berbeda tema dan posisi.
Kita harus senantiasa beristighfar,
bertaubat, introspeksi, memperbaiki diri, dan ambil bagian dalam memperbaiki
umat. Bukan adu tagar di tengah pemimpin yang sah masih menjalankan
pemerintahannya.
Setelah menjelaskan kewajiban taat kepada
penguasa muslim yang dhalim, Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فَإِنَّ الله تعالى مَا سَلَّطَهُمْ عَلَيْنَا
إِلَّا لِفَسَادِ أَعْمَالِنَا ، وَالْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ،
فَعَلَيْنَا الِاجْتِهَادُ بالِاسْتِغْفَارِ وَالتَّوْبَة وَإِصْلَاحِ الْعَمَلِ .
قَالَ تعالى : { وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ } وَقَالَ تعالى : { أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ
قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِكُمْ } وَقَالَ تعالى : { مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ }. { وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ
الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } (4) . فَإِذَا أَرَادَ
الرَّعِيَّة أَنْ يَتَخَلَّصُوا مِنْ ظُلْمِ الْأَمِيرِ الظَّالِمِ .
فَلْيَتْرُكُوا الظُّلْمَ .
“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak menjadikan
mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) melainkan
karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari
jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah
bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ﷻ berfirman : ‘Dan
apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’ (QS.
Asy-Syuuraa : 30). ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan
apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri’ (QS.
An-Nisaa’ : 79). ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim
sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’
(QS. Al-An’aam : 129). Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri
dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman
juga” [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 543].
Ini semua adalah firman Allah ﷻ dan sabda Nabi ﷺ yang PASTI benar.
Kita mengimaninya tanpa ada keberatan dan keterpaksaan, karena Al-Qur'an bukan
seperti kata RG, fiksi. Allah ﷻ tidak pernah dan tidak
akan pernah dhalim kepada hamba-Nya sedikitpun[4].
So, jangan malu berefleksi diri. Stop
tebar opini:
'Rakyat jangan disalahkan terus, musibah
ini hanyalah kesalahan pemimpin. Saya tidak merasa turut andil dalam musibah
ini’.
Ingat firman Allah ﷻ :
وَاتّقُواْ فِتْنَةً لاّ تُصِيبَنّ الّذِينَ
ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصّةً
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan
(fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang dhalim saja di antara kamu” [QS.
Al-Anfaal : 25].
Terakhir, mari kita memohon ampun dan
bertaubat - termasuk bagi Anda yang tidak merasa punya dosa terhadap musibah
yang menimpa negeri Anda - dalam rangka melaksanakan perintah Allah ﷻ :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا
إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ
ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ
يَوْمٍ كَبِيرٍ
"Dan hendaklah kamu memohon ampunan
kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan
yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan
karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka
sungguh aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (Kiamat)"
[QS. Huud : 3].
Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
والتوبة إلى الله عز وجل كيما يعطف بهم على
رعيتهم
“Dan hendaknya bertaubat kepada Allah
'azza wa jalla agar supaya pemimpin berkasih-sayang kepada rakyatnya"
[Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 85, tahqiiq : Jamaal ‘Azzuun].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 2 Muharram 1440 H].
[1]
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik ummatku adalah yang
orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17,
Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
[2]
Silakan baca artikel di Blog ini berjudul Persatuan dan Persatuan
(Lagi).
[3]
Baik bid’ah i’tiqadiy (Jahmiyyah, Asy’ariyyah, Qadariyyah, Haruuriyyah,
dll.) maupun ‘amaliy.
[4]
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya
seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah,
niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang
besar” [QS. An-Nisaa’ : 40].