Monday, March 13, 2017

Syiah Bersatu Sunni Terpecah Belah?


Syiah suka mengaku mereka bersatu di jalan yang benar, mereka mengikuti imam maksum, mereka bersatu dibawah naungan Ahlulbait, sedangkan Ahlussunnah terpecah belah menjadi berbagai sekte Hanafi, Maliki, Syafi’i & Hambali. Apakah benar demikian keadaan Syiah?

Sayang sekali banyak Muslim yang tertipu dengan pernyataan itu, karena kurangnya pengetahuan yang cukup tentang Ahlussunnah ataupun tentang Syiah. Muslim dengan pengetahuan dasarpun semestinya tahu bahwa Hanafi, Maliki dll bukanlah sekte, tapi mazhab yang berbeda tapi semuanya adalah Ahlussunnah.

Sebaliknya Syiahlah yang sejak awal sejarahnya sudah dipenuhi perbedaan dan terpecah-belah menjadi berbagai macam sekte yang berbeda yang memiliki imam & jumlah imam yang berbeda seperti Kaysaniyah, Waqifiyah, Nawusiyah, Zaydiyah dll. Kita hanya perlu membuka kitab “Firaq al-Shia” yang ditulis oleh ulama Syiah abad ke-3H, al-Nawbakhti untuk membaca dahsyatnya perpecahan & persaingan antara kelompok Syiah itu.

Tanpa membahas sekte Syiah lainnya, kita akan membahas perbedaan di Syiah Imam 12 yang mengaku ber-“mazhab” Ja`fari ini. Dan ternyata mereka tidak luput dari banyak perbedaan.

Alim Syiah terbesar sepanjang masa, al-Tusi dalam kitabnya “al-`Iddah fi Usul al-Fiqh” 1/138 menulis:

“Saya (al-Tusi) sudah mengutip berbagai riwayat (Imam AS) di berbagai hadis Fikih dalam kitab saya al-Istibsar dan Tahdhib al-Ahkam dan itu berjumlah sekitar 5000 (riwayat). Saya sudah menyatakan bahwa golongan (Imam 12) berikhtilaf dalam mengamalkannya. Dan ini adalah masyhur dan tidak bisa disembunyikan. Faktanya, jika engkau mengamati ikhtilaf (perbedaan) dalam ahkam (hukum-hukum), engkau akan mendapati bahwa itu melebihi perbedaan antara Abu Hanifa, Malik and al-Shafi`i“
al-Tusi mengakui bahwa dari 5000 hadis yang dimuat di kitab fikihnya, Syiah berikhtilaf atau berbeda pendapat dalam banyak masalah lebih dari perbedaan antara mazhab Sunni.

Bagi kita tidaklah mengherankan jika mereka mengikuti riwayat & pengertian yang berbeda, karena banyaknya hadis Syiah yang dipalsukan para pendusta atau karena Syiah sendiri percaya Imam sering bertaqiyah (red: berdusta) sehingga bukannya memberi petunjuk, malah akhirnya membuat bingung para ulama Syiah.

Jadi alim Syiah terbesar sepanjang masa, al-Tusi mengakui bahwa perbedaan diantara Syiah Imam 12 melebihi perbedaan yang terdapat diantara Mazhab Hanafi, Maliki & Syafi’i.
Pada kenyataannya, “mazhab” Ja’fari ini tidaklah berdasarkan perkataan imamnya, tapi tergantung apa kata ulama mereka, ijtihad & pendapat ulama Syiah. Setiap Ayatullah yang disebut “Marji” sama seperti memiliki mazhab pribadi, seperti Ruhani, Sistani, Shirazi dll. Mereka memiliki pendapat berbeda, bahkan pengikut mereka dilarang untuk mengikuti fatwa/hukum Marji lainnya.

Seperti halnya Ahlussunnah memiliki 4 mazhab yang terkenal, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, setiap Ayatullah berpangkat Marji adalah mazhab. Sistani adalah mazhab, Khu’i adalah mazhab, Fadlullah adalah Mazhab, Ruhani adalah mazhab dll.

Mengapa mesti ada banyak Ayatullah Marji yang berbeda-beda? Kenapa tidak ikuti saja 1 Ayatullah? Kan kata Syiah mereka tidak memiliki pendapat berbeda-beda seperti Sunni. Karena pada kenyataannya ketika Sunni memiliki mazhab terkenal 4, Syiah memiliki mazhab berjumlah berpuluh kali lipat.

Ayatullah al-Uzma (gelar ayatullah tertinggi Syiah) Fadlullah membenarkan hal ini di kitabnya “al-Ma`alim al-Jadidah lil Marji`iyah al-Syi`iyah” hal 117

“Masalah yang kita hadapi dengan memiliki banyak Marja’iya  adalah sama seperti memiliki banyak Mazhab Fikih, karena Marja’iya adalah Mazhab Fikih yang berbeda dengan berbagai fatwa dan pendapat“
al-Tusi menambahkan di “al-`Iddah” 1/137:

“Engkau akan melihat yang satu (Alim Syiah) berfatwa dimana alim lain berikhtilaf, ini terjadi dalam semua masalah Fikih dari soal toharoh (penyucian) sampai ke diyat (uang darah). Dari soal ibadah ke hukum-hukum muamalah dari soal faraid dan lainnya… misalnya ikhtilaf soal hitungan dan melihat rukyat puasa, dan misalnya ikhtilaf soal berkata cerai tiga kali dihitung satu atau lebih dan ikhtilaf berapa banyak air diperlukan untuk bersuci…dan banyak ikhtilaf di masalah Fikih lainnya. Tidak ada satupun bab Fikih yang terbebas namun engkau dapati ulama berbeda dalam masalah itu.“
Bahkan alim kontemporer Syiah pun mengeluarkan fatwa yang tidak dianut para ulama Syiah masa lalu, contohnya Ja`far al-Shakhuri menulis di “Marji`iyat al-Marhalah wa Ghubar al-Taghyir” hal 135:

“Kalau kita mengikuti Fatwa dari para ulama kontemporer, akan kita dapati bahwa mereka sudah meninggalkan mazhab Syiah” (red: maksudnya berlawanan dengan kepercayaan Syiah)
Kita akan berikan contoh ikhtilaf Fikih soal menikah dengan wanita Ahlul-Kitab (Yahudi atau Kristen), Alim Syiah Muhammad Jawad Mughniyah menulis di “Tafsir al-Kashif” 1/334:

“Empat mazahib Ahlussunnah bersepakat tentang pernikahan dengan Kitabi, sementara fuqaha Syiah berbeda pendapat soal ini diantara mereka“
Alim Syiah Dr. Ahmad al-Wa’ili menulis di “Fiqh al-Jins” hal 245:

“Mengenai Yahudi dan Kristen, ada 6 pendapat berbeda mengenai pernikahan dengan mereka:

Diharamkan.
Dibolehkan dengan Mut`ah.
Boleh sebagai budak.
Boleh jika darurat seperti tidak ada wanita Muslim.
Boleh tapi makruh.
Boleh.
Ini menurut Imamiyah (Syiah). Dalam mazahib Muslim lain (Sunni), mereka sepakat boleh menikahi Kristen dan Yahudi tapi tidak Majusi.”

Contoh lain soal sholat Jumat. Muslim sepakat itu wajib setiap minggu, tapi Syiah berbeda pendapat. Alim Syiah Muhammad al-`Amili al-Kadhimi membahas ikhtilaf itu dalam “Haqo’iq al-Ahkam fi Risalat al-Islam” hal 33:

“Dari pendapat mahsyur:

Diharamkan.
Wajib Takhyiri (Ada pilihan antara Dzuhur atau Jumat).
Wajib `Ayni (diwajibkan untuk semua).
Wajib hanya jika imamnya faqih.
Berdiam diri, dan tidak menyatakan itu dibolehkan atau diharamkan.”
Kemudian dia meneruskan:

“Dan ikhtilaf muncul berkaitan dengan sholat ini (Jumat), apakah Imam (maksum) dan wakilnya diperlukan? Berikut adalah pendapatnya:

Imam dan wakilnya tidak diwajibkan menurut Muhadisin al-Kulayni dan al-Saduq.
Jika Wajib `Ayni, maka keberadaan mereka diperlukan, jika tidak ada maka itu menjadi Wajib Takhyiri. Ini pendapat al-Tusi di kitab al-Nihayah.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan, tanpa gaibnya Imam, menurut al-Shahid al-Tsani di kitabnya dan al-`Allamah di al-Nihayah.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan jika dimungkinkan, dan jika keduanya tidak ada karena suatu hal, maka cukup untuk seorang yang memiliki kualitas yang diperlukan untuk mengimami sholat. Ini pendapat abu al-Salah al-Halabi.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan, apakah dia ada maupun gaib, dan jika dia tidak datang maka sholat Jumat diganti dengan Dzuhur. Ini pendapat al-Daylami dan Ibn Idris dan al-Murtada dalam beberapa jawabannya, dan al-`Allamah di al-Muntaha dan al-Syahid di al-Dzikra.”
Kemudian penulis menerangkan beberapa ikhtilaf Syiah lainnya, tapi cukup sampai disini saja contoh-contoh kita.

Kita temukan di “Fiqh al-Imam Ja`far al-Sadiq” oleh Mughniyah 1/239:

“Penulis Miftah al-Karamah berkata: Fuqaha (Syiah) beriktilaf di masalah membaca di belakang Imam pada rakaat ke-3 di Magrib dan 2 rakaat terakhir Isya dan 2 Dzuhur (red: Dzuhur & Asar), ikhtilafnya sangat hebat sampai para fuqaha mengkontradiksi diri sendiri.“
Mereka bahkan mengkontradiksi diri sendiri dalam soal Halal dan Haram, Alim Syiah `Abbas al-Radhwi menulis di “Ara’ fil-Marji`iyah al-Syi`iyah” hal 299:

“Khomeini dulu berfatwa memakan ikan yang diproduksi untuk Caviar adalah Haram karena di badannya tidak ada sisik, tapi kemudian dia mengubah fatwanya menjadi Halal. Khomeini juga pernah berfatwa bermain catur Haram, tapi kemudian berfatwa itu Halal.”
Itulah sebabnya Alim Syiah terkenal al-Faydh al-Kashani menggambarkan keadaan ulama “mazhab” Ja`fari di mukadimah kitabnya  “al-Wafi” 1/9:

“Engkau akan dapatkan mereka (ulama Syiah) berikhtilaf dalam 1 masalah dengan 20 atau 30 pendapat berbeda, atau bahkan lebih. Faktanya saya bahkan bisa menyatakan: Bahwa tidak ada satupun masalah kecil yang mereka tidak berbeda pendapat.”
al-`Allamah al-Hilli salah satu Alim terbesar Syiah mengumpulkan masalah ikhtilaf Syiah sampai ke zamannya, yaitu abad ke-8H, dan hasilnya adalah buku tebal 10 jilid berjudul “Mukhtalaf al-Syi`ah”, dan jika anda membaca isinya, anda baru sadar memang benar perkataan al-Tusi ketika mengakui para ulama Syiah berbeda pendapat dalam hampir semua masalah Fikih.

Perbedaan itu bahkan pernah berakibat dibunuhnya ulama Syiah oleh ulam Syiah lainnya!!

Alim Syiah Yusuf al-Bahrani menulis “Lu’lu’at ul-Bahrayn” hal 81:

Ulama mutaakhirin menulis banyak karya, dan dalam karya itu banyak kesalahan semoga Allah mengampuni kita. Dan ini membuat beberapa dari mereka dibunuh.
Jadi inikah persatuan Syiah yang kalian gembar-gemborkan? Inikah hasil dari mengikuti “petunjuk imam maksum” yang kalian sering sesumbarkan?