Tanggapan dan Jawaban terhadap Saudara Ridho
Bagian 1 : Pengantar dan Beberapa Kaidah Ilmiah
Saudara Ridho yang cukup aktif memberikan komen di blog
ini, telah menuliskan beberapa perawi syiah yang diklaimnya diambil oleh Imam
Bukhari dan ahli hadits sunni. Beliau memberikan nama-nama perawi ini untuk
membuktikan kepada saya bahwa para ahli hadits sunni juga meriwayatkan hadits
dari kaum syiah. Diskusi ini bermula ketika saya menyebutkan bahwa kaum syiah
yang gemar mencela para sahabat –bahkan sampai mengkafirkan mereka ridhwanullah
‘alaihim ajma’in– adalah kafir menurut pendapat yang terpilih.
Seorang syi’i atau shufi yang bernama Rifa’i, yang cukup
aktif memberikan komen-komen ‘ngawur’ yang -jujur saja- malas saya komentari
karena tidak bernilai ilmiah, menyatakan bahwa takfir itu bukan ciri khas umat
Muhammad. Sekarang bukan waktunya lagi mempermasalahkan perbedaan sunni –
syi’i, karena ummat Islam sedang dibantai di Palestina. Tidaklah mengapa
perselisihan ini terjadi selama yang berselisih masih bersyahadat, sholat dan
menegakkan pilar Islam. Si Rifai ini juga menyatakan tidak mengapa –biarkan-
kaum syiah mencela sahabat, karena yang menanggung dosanya ‘kan mereka sendiri.
Kemudian saya jawab bahwa faham seperti ini seperti faham
Yahudi yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Saya juga menjelaskan bahwa
takfir itu ada di dalam syariat Islam, namun tentu saja takfir yang syar’i,
yaitu siapa saja yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka telah kafir, dan
siapa saja yang tidak dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka tidak kafir. Lalu
saya menyebutkan diantaranya bahwa orang yang sujud kepada kuburan, atau
mencela Alloh dan Rasul-Nya, atau menghina Al-Qur’an atau syariat Islam, atau
mengkafirkan para shahabat Nabi yang mulia bahkan sampai melecehkan Ummul
Mu’minin Aisyah, atau yang semisalnya –yang kesemuanya ini ada dalilnya yang
tegas-… maka semuanya ini kafir murtad dari Islam.
Lalu saudara Ridho memperingatkan saya supaya
berhati-hati di dalam masalah takfir/pengkafiran. Maka saya katakan, Jazzakallohu
khoyr atas nasehat antum, namun saya juga mengingatkan jangan sampai salah
faham… takfir itu ada di dalam syariat Islam dan takfir yang dilakukan oleh
ahlus sunnah adalah takfir yang syar’i dan selamat, karena ahlus sunnah
membedakan antara takfir muthlaq dengan takfir mu’ayan, pun masalah takfir ini
juga harus memenuhi syarat-syaratnya dan menghilangkan mawani’
(penghalang-penghalangnya), dan kesemua ini bukanlah hak setiap muslim namun
haknya para ulama yang mutamakkin.
Anehnya di sini, saudara Ridho beristidlal bahwa apabila
saya mengkafirkan kaum Syiah maka otomatis saya harus menolak hadits-hadits
Bukhari Muslim dan ahli hadits sunni lainnya, karena Imam Bukhari dan
muhadditsin sunni ini –rahimahumullahu– juga mengambil periwayatan dari kaum
Syi’ah. Lalu, sebagai amanat dan tanggung jawab ilmiah, saya minta kepada
saudara Ridho untuk menyebutkan para perawi tersebut, dan akhirnya beliau
menyebutkannya dan sekarang ini saya klarifikasi dan jawab, sekaligus sebagai
penghormatan atas jerih payah beliau di dalam mempertanggungjawabkan ucapannya.
Wabillahi taufiq wal hidaayah.
Sebenarnya, saya tidak pernah mengingkari adanya perawi
ahli bid’ah, bukan hanya syiah, namun juga perawi khowarij, qodariyah,
murji’ah, dan selainnya yang diterima periwayatannya oleh ulama hadits ahlus
sunnah dengan beberapa persyaratan yang ketat. Kesemuanya ini merupakan ciri
khas ahlus sunnah yang wasath dan adil. Saya sengaja menuntut Saudara Ridha
untuk membuktikan hal ini sebagai pertanggungjawaban ilmiah dan sekaligus
menjelaskan kepada umat tentang hakikat masalah ini, agar tidak tertipu dengan
slogan ahli bid’ah, terutama kaum syiah yang sedang gencar-gencarnya menyerang
ahlus sunnah dan menipu kaum awam muslimin dengan propaganda taqiyah dan taqrib
(persatuan) sunni syi’i. Diantara bentuknya ada dengan cara ini, yaitu
menyatakan bahwa kalangan ahli hadits sunni menerima periwayatan dari kalangan
syiah.
Oleh karena itulah, saya pandang masalah ini urgen untuk
dibahas dan dijelaskan hakikatnya kepada umat, agar umat ini faham dan tidak
mudah tertipu dengan manipulasi dan propaganda kaum syiah. Sebelum saya
menurunkan pembahasan –yang sedikit agak panjang-, saya akan menurunkan
beberapa kaidah ilmiah haditsiyah, agar semakin sempurna faidah dan agar frame
berfikir kita bisa terbentuk secara ilmiah.
Pertama : Yang Masyhur –khususnya di zaman belakangan
ini-, apabila dikatakan Syiah secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah Syiah
Rafidhah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariyah
Ini adalah masalah pertama yang perlu difahami. Adalah
suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa istilah Syiah pada generasi pertama
dengan generasi-generasi berikutnya memiliki makna yang jauh berbeda. Terutama
semenjak konflik yang terjadi antara Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Imam Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Dikatakan pada zaman itu ada dua Syi’ah,
yaitu Syi’ah ‘Ali dan Syi’ah Mu’awiyah. Jadi, Syi’ah pada generasi pertama itu
bermakna sebagai ‘pembela/pendukung’ dan kedua syi’ah (pendukung Ali dan
Mu’awiyah) ini adalah sama-sama ahlus sunnah karena ushul mereka adalah sama
dan perbedaan yang terjadi diantara mereka adalah hanya dalam ranah
ijtihadiyah. [Baca Minhajus Sunnah juz V hal. 142 dst].
Kemudian istilah Syi’ah ini mulai bergeser, terutama
ketika kaum zindiq dan munafiq masuk ke dalamnya dan mengembuskan
pemikiran-pemikiran sesat. Yang terkemuka diantara zindiq itu adalah Abdullah
bin Saba’ al-Aswad yang terkenal akan faham Saba’iyah-nya yang menuhankan Ali.
Kemudian Syi’ah ini mulai berkembang sampai dikatakan oleh al-Miqrizi mencapai
300 sekte yang kesesatan mereka bertingkat. Namun sekte terbesar dan terkenal
adalah sekte rafidhah atau itsna asyariyah (dua belas imam) yang meyakini hak
wilayah ’Ali, mengkafirkan para shahabat Nabi aih-alih hanya beberapa saja dan
berkeyakinan bahwa para a`immah mereka adalah ma’shum. Jadi, ketika disebutkan
oleh para ulama kata Syiah secara mutlak, maka seringkali yang dimaksudkan
adalah Rafidhah, dan apabila mereka tidak memaksudkan Rafidhah, maka mereka
biasa menyebutkan nama sekte tersebut, seperti Isma’iliyah, Zaidiyah atau
selainnya. [Lihat : ”Hakikat Syiah” Muhammad Dawam Anwar, hal. 4].
Dus, ketika saya menyebutkan Syiah, maka tentu saja yang
dimaksud adalah Syiah yang berfaham : para sahabat selain ’Ali dan beberapa
orang sahabat lainnya adalah kafir murtad, bahkan juga layak dilaknat
–sebagaimana dalam do’a Shonamayn Qurasy-nya Ayatu… Khomeini-, berkeyakinan
akan raj’ah, taqiyyah, imamah dan wilayah ’Ali serta terkenal akan mut’ah-nya.
Oleh karena itu tidak salah apabila saya menyebutkan bahwa Syi’ah menurut
pendapat terpilih adalah kaafir(!) secara umum, namun saya tidak mengkafirkan
orang perorang, semisal saya katakan Jalaludin Rahmat itu kafir(!), atau fulan
dan fulan kafir(!), namun saya katakan bahwa pada fulan terdapat ucapan-ucapan
kafir(!) yang dapat menyebabkannya menjadi kafir apabila ia terus dalam
kesesatannya ini. Masalah takfir ini telah banyak berlalu penjelasannya dalam
risalah-risalah saya sebelumnya di blog ini. Jadi, kami tidak merasa heran
apabila kaum syiah menuduh kami Jama’ah takfiriyah, karena tentu saja mereka
berupaya untuk membela diri mereka dari tuduhan kekafiran padahal kami tidak
pernah mengkafirkan mereka secara mu’ayan.
Kedua, Syiah (Rafidhah) adalah kaum yang
paling pendusta
Dalam risalah saya yang membantah seorang
Syi’i yang mendha’ifkan hadits ’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu tentang
berpegang dengan Sunnah Khulafaur Rasyidin, saya telah mengemukakan beberapa
nukilan bahwa kaum Syi’ah itu adalah kaum paling pendusta [ingat : tidak mutlak
semuanya demikian, namun aghlabahum (mayoritas mereka) adalah pendusta]. Oleh
karena itu para ulama ahlus sunnah salafan wa kholafan telah menyebut mereka
sebagai kaum paling pendusta. Untuk itu tidak ada salahnya apabila saya
menukilkannya kembali:
قال أبوحاتم الرازي: سمعت يونس بن عبدالأعلى
يقول: قال أشهب بن عبدالعزيز: سئل مالك عن الرافضة؟ فقال: لا تكلمهم ولا ترو عنهم،
فإنّهم يكذبون.
Abu Hatim ar-Razi berkata : Aku mendengar
Yunus bin ‘Abdil A’la berkata, Berkata Asyah bin ‘Abdil ‘Aziz, Malik ditanya
tentang kelompok Rafidhah, maka beliau menjawab : ”Jangan berbicara dengan
mereka dan jangan pula menerima pandangan mereka, karena mereka adalah para
pendusta.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi, hal. 21].
وقال أبوحاتم: حدثنا حرملة. قال: سمعت الشافعي
يقول: لم أر أحدًا أشهد بالزور من الرافضة.
Berkata Abu Hatim : mengabarkan kepada
kami Harmalah, beliau berkata : Aku mendengar asy-Syafi’i berkata : ”Aku belum
pernah melihat seorang yang bersaksi palsu lebih parah dari Rafidhah.” [Lihat :
al-Kifayah fi ’Ilmi ar-Riwayah karya Imam Khathib al-Baghdadi hal. 202].
وقال مؤمل بن إهاب: سمعت يزيد بن هارون يقول:
نكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية، إلا الرافضة فإنّهم يكذبون.
Berkata Mu`ammil bin Ihab : Aku mendengar
Yazid bin Harun berkata : ”Kami menulis setiap (khobar) yang datang dari ahli
bid’ah selama ia bukan seorang yang menyeru (kepada bid’ahnya), kecuali
Rafidhah karena mereka adalah para pendusta.” [Lihat : Minhajus Sunnah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz I, hal. 16]
وقال محمد بن سعيد الأصبهاني: سمعت شريكًا يقول:
أحمل العلم عن كل من لقيت إلا الرافضة فإنّهم يضعون الحديث ويتخذونه دينًا
Berkata Muhammad bin Sa’id al-Ashbahani :
Aku mendengar Syarik berkata : ”Ambillah ilmu dari siapa saja yang kamu temui
kecuali Rafidhah, karena mereka ini gemar memalsukan hadits dan menjadikan hal
ini sebagai bagian agama mereka.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi,
hal. 22]
Dan masih banyak lagi ucapan para Imam
Ahlis Sunnah tentang karakter pendusta dan pembohong kaum Syiah, bahkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu sendiri sampai berkata :
وقد اتفق أهل العلم بالنقل والرواية والإسناد على
أن الرافضة أكذب الطوائف، والكذب فيهم قديم، ولهذا كان أئمة الإسلام يعلمون
امتيازهم بكثرة الكذب
”Para ulama telah bersepakat dengan naql,
riwayat dan isnad bahwa Rafidhah itu adalah kelompok yang paling pendusta
diantara kelompok-kelompok lainnya dan kedustaan pada mereka mulai dari dulu,
oleh karena itulah para imam kaum muslimin mengetahui bahwa ciri khas utama
kelompok Syiah ini adalah banyaknya kedustaan.” [Lihat : Minhajus Sunnah, juz
I, hal. 59].
Kaidah Haditsiyah yang harus difahami
Sebelum menginjak ke ta’qib atas uraian
saudara Ridho, izinkan saya menguraikan dan menurunkan sebuah kaidah emas
haditsiyah yang hanya dimiliki oleh ahlus sunnah, tidak selainnya. Perlu
diketahui, ilmu dan metode hadits antara ahlus sunnah dengan syi’ah sangatlah
jauh berbeda, karena ushul (prinsip) dan keyakinan sunni dan syi’i jauh
berbeda. Misalnya, syi’i berkeyakinan bahwa para sahabat selain sejumlah orang
telah kafir, maka tentu saja periwayatan selain yang sedikit itu tertolak.
Syi’ah juga meyakini bahwa para a’immah mereka ma’shum sehingga statusnya sama
dengan hadits Nabi dengan demikian tidak perlu mengisnadkannya kepada
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Bahkan landasan ’adalah (keadilan)
seorang rawi menurut syi’ah jauh berbeda dengan sunni, selama perawi itu adalah
seorang syi’i maka ia pasti adalah seorang yang ’adil. [lihat al-Kafi lil
Kulaini, al-Fihris, al-Waafi, al-Bihaar dll dari kalangan syi’i; lihat Dawam
Anwar, op.cit].
Apabila kita membaca sejarah tadwin
al-Hadits, jarh wa ta’dil dan selainnya, maka kita akan mendapatkan keterangan
para ulama bahwa kaum yang paling banyak memalsu hadits adalah kaum Syi’ah.
Al-Mughirah bin Sa’id, seorang rawi hadits kalangan Syi’ah berkata : ”Aku
palsukan ke dalam hadits kalian sekitar seribu hadits… (Tanqiihul Maqool
I/174). Kesaksian ulama ahlis sunnah –sebagaimana telah berlalu di atas-
menunjukkan akan hal ini.
Baiklah, sekarang mari kita menginjak ke
kaidah haditsiyah sebagai pendahulu ilmiyah sebelum memasuki pembahasan
terhadap para rawi hadits yang dibawakan oleh saudara Ridha sebagai para perawi
Syi’ah.
Marhalah-Marhalah (Tahapan) Studi Sanad
Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im Salim
al-Mishri dalam buku beliau yang bermanfaat, Taysiiru Diroosatil Asaaniid lil
Mubtadi`iin (Cet. 1/1421/Daar adh-Dhiyaa’, Thantha, hal. 9-10) mengatakan bahwa
ada 5 tahapan di dalam studi sanad, yaitu:
Meneliti sanad hadits dan membedakan
antara yang marfu’ (terangkat sampai ke Nabi) dan yang mauquf (berhenti tidak
sampai kepada Nabi).
Meneliti thuruq (jalur-jalur periwayatan)
hadits dan menjama’ (menghimpun) riwayat-riwayatnya.
Mempelajari as-Sanad al-Ashli (sanad
pokoknya).
Mempelajari sanad-sanad lainnya yang
merupakan mutaba’ah (penyerta) atau syawahid (penguat).
Menghukumi secara keseluruhan yang
dibangun di atas studi menyeluruh dari jalur-jalur hadits tadi.
Dan studi marhalah sanad yang dibangun
untuk menghukumi status suatu hadits ini, sesungguhnya berangkat dari
pengembangn studi empat syarat shahihnya hadits, yaitu:
Bersambungnya suatu sanad
Keadilan Rawi dan kedhabitannya
Tidak adanya keganjilan (syudzudz) dan
kemungkaran (nakaroh)
Tidak adanya illat (penyakit yang samar
dapat melemahkan status hadits).
Perincian masalah ini bisa dirujuk di
dalam ilmu mushtholahul hadits dan ilmu dirosatul asaaniid, dan sekarang bukan
tempatnya memperinci masalah ini –insya Alloh- di lain waktu pada
pembahasannya.
Namun di sini saya hanya akan menekankan
pada syarat no.2 di atas, yaitu ”Keadilan Rawi dan kedhabitannya” (al-’Adalah
wadh Dhabt), dan yang akan saya uraikan secara khusus adalah masalah
al-’Adalah, karena ini berkaitan dengan pembahasan kita ini..
DR. Mahmud Thahhan rahimahullahu dalam
Ushul at-Takhriij wa Diroosah al-Asaaniid (Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, tanpa
tahun, hal. 140-142) berkata dalam bab Ma Yahtaaju min ’ilmil Jarhi wat
Ta’diili wa Taroojimir Ruwaat (Hal yang diperlukan di dalam ilmu jarh dan
ta’dil dan biografi para perawi) :
”Syarat-syarat diterimanya (riwayat)
seorang Rawi : Mayoritas imam ahli hadits dan fikih bersepakat bahwa
disyaratkan bagi orang yang dijadikan hujjah periwayatannya ada dua syarat
asasi (pokok), yaitu :
al-’Adalah (keadilan), dan yang dimaksud
dengannya adalah seorang perawi itu haruslah : Muslim, baligh, berakal, selamat
dari sebab-sebab kefasikan dan selamat dari muru`ah (perangai/kebiasaan) yang
buruk.,/span>
Adh-Dhobthu, dan yang dimaksud dengannya
adalah seorang perawi itu haruslah : tidak buruk hafalannya, tidak kacau
ingatannya, tidak menyelisihi yang lebih tsiqot, tidak banyak awhaam (salah)
dan tidak ghofil (lalai).
Dengan apa seorang rawi ditetapkan
ke’adalahan-nya? Ditetapkan sifat ’adalah-nya dengan salah satu dari dua hal
ini :
Dengan tanshish (penegasan) para mu’addil
(penta’dil) atasnya, yaitu apabila para ulama atau salah seorang ulama jarh wa
ta’dil menyebutkannya di dalam buku-buku Jarh wa Ta’dil.
Dengan Istifadhoh (tersiarnya) dan
syuhroh (masyhur/ketenaran), yaitu dengan tersiarnya/tersebarnya berita akan
ke’adalahan seorang perawi dan kemasyhurannya akan sifat shidiq (jujur)-nya,
seperti Imam Malik bin Anas, Dua Sufyan (yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Uyainah),
Auza’i, Laits bin Sa’d dan selain mereka. Orang-orang yang seperti mereka ini
tidak perlu lagi untuk menta’dil mereka atau bertanya kepada ulama Jarh wa
Ta’dil akan perihal mereka.
[Saya katakan] Termasuk yang dapat
mencacat ke-’adalah-an seorang perawi adalah : al-Bid’ah. Bid’ah ini
bermacam-macam, ada yang mukaffir (mengkafirkan pelakunya) dan ada yang
mufassiq (menfasikkan pelakunya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani
rahimahullahu di dalam Nuzhatu an-Nazhor fi Taudhiihi Nukhbatil Fikar,
menjelaskan bahwa termasuk celaan kesembilan bagi seorang perawi adalah :
”Bid’ah, baik yang mengkafirkan maupun yang menfasikkan. Bid’ah yang pertama
tadi (yaitu mukaffir) tidak diterima (riwayat) perawinya menurut jumhur. Adapun
bid’ah yang kedua (yaitu mufassiq), tidak diterima apabila ia bukan orang yang
menyeru (kepada bid’ahnya) dan ini pendapat terkuat, kecuali apabila ia
meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya)
menurut pendapat terpilih. Pendapat ini ditegaskan
secara terang oleh al-Juuzajaani gurunya an-Nasa`i.” [Ucapan Syaikh ini akan
diterangkan oleh Syaikh ’Ali Hasan dalam pembahasannya sebentar lagi]
Siapakah yang dimaksud dengan ahli bid’ah? Syaikh Abu
Lubabah Husain dalam kitab beliau yang berjudul al-Jarh wat Ta’dil yang
merupakan tesis magister yang dimunaqosyahkan di Fakultas Ushulud Dien,
Universitas al-Azhar tahun 1493 (cet. 1, 1399, Darul Liwa’ lin Nasyri wat Tauzi’,
Riyadh, hal. 111-112) berkata : ”Yang termasuk ke dalam bid’ah adalah para
penganut kelompok-kelompok yang keluar dari ijma’ salaf dari kaum zanadiqoh,
Saba’iyyah, Khowarij, Nawaashib, Qodariyah, Jahmiyah, Syiah, Hasyawiyah, mereka
yang mencela para sahabat, Murji’ah, Bathiniyah, Mujassamah, Waaqifu fil Qur’an
(orang yang tidak berpendapat tentang al-Qur’an, maksudnya tidak menetapkan dan
menolak bahwa al-Qur’an itu makhluq) dan orang-orang yang sibuk dengan
filsafat…”
[saya berkata] Para ulama telah memperingatkan dari
keburukan mereka dan berhati-hati dari periwayatan mereka serta kebid’ahan
mereka. Diantara mereka adalah :
Imam Hasan al-Bashri rahimahullahu
berkata :
لا تجالس أهل الأهواء ولا تجادلهم ولا تسمعوا
منهم
”Janganlah kamu bemajelis dengan ahli ahwa dan berdebat
dengan mereka dan jangan pula mendengarkan mereka.” [Jami’ Bayanil ’Ilmi wa
Fadhlihi II/118].
Imam Malik rahimahullahu berkata :
لا يؤخذ العلم من صاحب هوى يدعو الناس إلى هواه
”Ilmu tidaklah diambil dari pengekor hawa
nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya.” [Ma’rifatu ’Ulumil Hadits
135]
Dan masih banyak ucapan para imam ahlus
sunnah lainnya yang memperingatkan dari mengambil periwayatan ahli bid’ah.
Bagaimana hukum periwayatan ahli bid’ah
Syaikh Abu Lubabah berkata (op.cit, hal.
113-115) : ”Para ulama berupaya dengan sungguh-sungguh di dalam menjaga hadits
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam dan meyakini bahwa jiwa manusia
bagaimanapun terjatuh pada suatu penyimpangan terkadang masih menyimpan sifat
shidq (jujur), waro’ (berhati-hati) dan nazahah (kepolosan). Karena itulah para
ulama tidak tergesa-gesa menghukumi setiap ahli bid’ah dengan menolak dan tidak
menerima (periwayatannya) begitu saja dan mereka meletakkan suatu kaidah dan
dhowabith (kriteria) di dalamnya agar hadits tetap dapat murni dari kebid’ahan
dan kesesatan penganut bid’ah.
Bid’ah itu ada yang mukaffirah dan ada
yang mufassiqoh. Dan disyaratkan di dalam (status bid’ah) yang mukaffiroh itu
haruslah pengkafiran yang disepakati di atasnya kaidah-kaidah keseluruhan oleh
para imam, karena mengingkari ahli bid’ah itu merupakan perkara yang mutawatir
dari syara’ yang telah maklum (diketahui) dari agama secara dhoruri (pasti),
maka periwayatannya (mubtadi’ mukaffir) ditolak berdasarkan ijma’.
Adapun yang tidak diingkari secara
dhoruri syar’i dan ia memiliki sifat wara’ dan taqwa, maka riwayatnya diterima
menurut sebagian ulama. Mereka berdalil akan hal ini dengan ’atsar mengenai
ucapan ’Umar : ”Janganlah kamu berburuk sangka dengan ucapan yang dilontarkan
oleh seseorang sedangkan kamu dapat membawanya kepada pemahaman yang baik.”
adapun orang yang tidak waro’ dan ia menghalalkan kedustaan, maka ditolak
riwayatnya.
Adapun bid’ah mufassiqoh seperti
bid’ahnya khowarij atau rafidhah yang tidak ekstrim atau selain mereka dari
kelompok-kelompok yang menyelisihi pokok sunnah secara nyata akan tetapi
penyelisihan ini berangkat dari penakwilan, maka perlu diperinci :
Apabila salah seorangnya menghalalkan
dusta, maka ditolak riwayatnya. [menurut kesepakatan, pent.]
Apabila ia seorang yang waro’, shodiq
(jujur) dan muta’abbid (ahli ibadah), maka diterima riwayatnya oleh sebagian
kalangan ulama seperti Syafi’i yang tidak membedakan perawi tersebut sebagai
orang yang menyeru kepada bid’ahnya ataukah tidak, namun beliau membedakan perawi
berdasarkan (cela di dalam) agamanya, (seperti) beliau berkata : ”telah
menceritakan kepada kami seorang tsiqoh di dalam haditsnya orang yang tertuduh
agamanya”, dan adapula sebagian ulama yang menolak (perawi semisal ini) seperti
Malik.
Pendapat ketiga, yang membedakan antara
perawi yang menyeru kepada bid’ahnya dan yang tidak. Perawi yang tidak menyeru
kepada bid’ahnya maka diterima periwayatannya sedangkan yang menyeru ditolak.
Ini adalah pendapat yang lebih adil dan para imam banyak yang berpendapat
dengan pendapat ini.
[saya berkata*] Inilah pendapat yang
diperpegangi oleh mayoritas ahli hadits salafan wa kholafan.
* Catatan : Tolong dimaafkan apabila saya
terkadang menyebutkan tanda di dalam kurung [saya berkata]. Ini saya lakukan
hanya untuk memisahkan antara penukilan dan ucapan saya sendiri agar tidak
rancu dan mukhtalith (tercampur) antara ucapan saya dengan penukilan. Jadi
harap dimaklumi dan diperhatikan.
Diantaranya adalah apa yang dipaparkan
oleh Syaikhuna ’Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu dalam an-Nukat ’ala Nuzhatin
Nazhor (cet. 4, 1419, Daar Ibnul Jauzi) mensyarh ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu yang telah berlalu penyebutannya. Beliau hafizhahullahu berkata
(hal. 136-138) :
”Kemudian al-Bid’ah, ia merupakan sebab
kesembilan diantara sebab-sebab celaan kepada seorang perawi. Dan bid’ah ini
bisa berupa bid’ah mukaffirah seperti keyakinan yang dapat menyebabkannya
kafir, atau bisa juga mufassiq.
Bid’ah yang pertama (mukaffirah) tidak
diterima (periwayatannya) oleh jumhur ulama, ada pula yang berpendapat :
diterima secara mutlak, ada lagi yang berpendapat : Apabila perawi itu tidak
berkeyakinan halalnya kedustaan untuk menyokong pendapatnya, maka diterima
(periwayatannya).
Yang kuat : adalah tidak ditolak semua
(periwayatan) orang yang melakukan bid’ah mukaffirah. Karena setiap kelompok
mengklaim bahwa penyelisihnya adalah mubtadi’ dan terkadang sampai mengkafirkan
penyelisihnya itu. Apabila seandainya diterima pendapat ini secara mutlak, maka
mengharuskan pengkafiran terhadap semua kelompok.
Yang diperpegangi yaitu, kelompok yang
ditolak periwayatannya adalah mereka yang mengingkari perkara yang mutawatir
dari syara’ yang diketahui dari agama secara dhoruri, dan demikian pula bagi
yang berkeyakinan dengan kebalikannya.
Adapun mereka yang tidak memiliki sifat
semisal ini, dan terhimpun pada mereka sifat kedhabitan mereka terhadap yang
mereka riwayatkan, disertai dengan sifat wara’ dan taqwa, maka tidak ada
penghalang untuk menerimanya.
Kedua : Perawi yang kebid’ahannya tidak
sampai kepada kekafiran secara asal. Diperselisihkan juga dalam menerima atau
menolak periwayatannya.
Ada yang berpendapat : ditolak
–riwayatnya- secara mutlak –dan ini pendapat yang jauh (dari kebenaran).
Mayoritas mereka (yang berpendapat yang pendapat ini) meng’ilal (mencacat)
perawi ini dikarenakan periwayatan darinya akan mempromosikan kebid’ahannya dan
termasuk pujian kepadanya ketika menyebutkannya. Oleh karena itu, selayaknya
tidak meriwayatkan dari seorang mubtadi’ sesuatupun yang berserikat di dalamnya
orang-orang bukan ahli bid’ah.
Ada pula yang berpendapat : Diterima
(periwayatannya) secara mutlak kecuali apabila ia berkeyakinan kehalalan dusta,
sebagaimana telah berlalu –penyebutannya-.
Ada yang berpendapat : Diterima apabila
ia tidak menyeru kepada bid’ahnya, dikarenakan merupakan penghiasan terhadap
bid’ahnya yang bisa jadi membawanya kepada tahrif (menyelewengkan) riwayat atau
menyepadankannya dengan madzhabnya, dan pendapat ini yang paling benar. Dan
sungguh sulit dimengeri Ibnu Hibban ketika beliau mendakwakan diterimanya
(riwayat) orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya tanpa perincian.
Na’am, secara garis besar diterima
periwayatan orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya, kecuali apabila ia
meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya)
menurut madzhab yang terpilih, dan pendapat ini ditegaskan secara terang oleh
al-Hafizh Abu Ishaq Ibrohim bin Ya’qub al-Juuzajaani, gurunya Abu Dawud dan
an-Nasa`i di dalam buku beliau, Ma’rifatur Rijaal. Beliau berkata di dalam
mensifati seorang perawi : ”Diantaranya adalah seorang yang menyeleweng dari
al-Haq –yaitu dari Sunnah- orang yang shodiq (benar) lahjah (dialek)-nya dan
tidak ada didalamnya suatu tipu muslihat, maka diambil haditsnya yang tidak
mungkar, selama tidak menyokong kebid’ahannya.” [Selesai Ucapan Syaikh ’Ali.
Catatan : kata yang digarismiringkan (italic) adalah matan (ucapan al-Hafizh
Ibnu Hajar] sedangkan yang tidak italic adalah ucapan syarh/ penjelasan Syaikh
’Ali].
[Saya berkata] Hal ini juga disepakati
oleh al-’Allamah al-Muhaddits Madinah zaman ini, Syaikh ’Abdul Muhsin al-’Abbad
hafizhahullahu. Beliau menjelaskan masalah ini di dalam buku Ithaaful ’Aabid bi
Fawaa`idi Duruusi asy-Syaikh ’Abdil Muhsin bin Hamad al-’Abbad (cet. 1, 1425,
Daar al-Imam Ahmad) yang disusun oleh murid beliau ’Abdurrahman bin Muhammad
bin ’Abdullah al-’Umaisan hafizhahullahu. Beliau menjelaskan (hal. 128) bahwa
riwayat dari ahli bid’ah memiliki perincian, yaitu ada dua sisi :
Pertama : perawi yang menyeru kepada
bid’ahnya, maka tidak diriwayatkan darinya tanpa terkecuali.
Kedua : perawi yang mutalabbis
(tercampur/terancukan) dengan kebid’ahan namun ia tidak menyeru kepada
bid’ahnya. Maka hal ini dibolehkan oleh kaum salaf untuk meriwayatkannya.
[Saya berkata] Demikianlah apa yang
dijelaskan oleh para ulama, yang mana ini merupakan suatu kaidah kuat yang
dimiliki ahlus sunnah di dalam memelihara dan menjaga hadits Nabi yang mulia
’alaihi Sholatu wa Salam. Kaidah inilah yang membedakan ahlus sunnah dengan
firqoh-firqoh lainnya.
Ahlus sunnah menerima periwayatan dari
ahli bid’ah dengan syarat-syarat sebagaimana di atas. Maka tidak heran apabila
kita pernah membaca bahwa Abu Darda’ Radhiyallahu ’anhu pernah berkata :
ليس في أهل أهواء أصج حديثا من الخوارج
”Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu
yang paling shahih haditsnya selain daripada khowarij.” [Qowa’idu at-Tahdiits,
194-195].
Karena khowarij adalah kaum yang paling
takut kepada Alloh melakukan kemaksiatan, sehingga mereka mengkafirkan para
pelaku dosa besar. Mereka takut berdusta sehingga menjadikan mereka kafir.
Walau demikian, mereka tetap dikatakan sebagai kelompok sesat, yang bahkan
disebut oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai Kilaabun Naar
(anjing-anjing neraka). Akan tetapi, para ulama menerima kesaksian dan
periwayatan mereka dengan persyaratan sebagaimana di atas.
Mengapa kita menerima periwayatan sebagian ahli bid’ah?
Cukuplah jawaban Syaikh Abu Lubabah yang menukil ucapan
Imam Ibnu Hibban yang mengatakan : ”Mereka –ahli hadits- menerima periwayatan
dari ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya adalah sebagai bentuk
sifat waro’ (kehati-hatian) mereka di dalam memelihara sunnah Nabi, sekiranya
mereka tinggalkan semua periwayatan orang-orang yang memeluk madzhab (ahli
bid’ah), maka niscaya yang demikian ini (akan membuka) pintu kepada
ditinggalkannya sunnah-sunnah seluruhnya sampai tidak tersisa di tangan kita
kecuali sesuatu yang sedikit.” [Shahih Ibnu Hibban I/121, melalui al-Jarh wat
Ta’dil, Abu Lubabah, op.cit., hal. 114].
[saya berkata] Dari sini jelaslah bahwa, menerima
periwayatan seorang ahli bid’ah bukan berarti membenarkan atau merekomendasi
madzhab bid’ahnya. Berita mereka diterima setelah memenuhi persyaratannya,
yaitu mereka adalah orang yang tsiqqoh, dhabit, waro’, taqwa, tidak menyeru
kepada bid’ahnya, tidak menghalalkan kedustaan dan tidak menyokong madzhabnya.
Bagian 2 : Klarifikasi dan Tabayyun I
Setelah kita mengetahui prinsip dan
kaidah di risalah sebelumnya, maka mari kita sekarang menelaah
penukilan-penukilan saudara Ridha, tentang para perawi yang tertuduh syiah atau
diklaim sebagai penganut madzhab syiah. Sebagai amanat ilmiah, saya menyebut
jarh wa ta’dil dan tarajim para perawi ini menukil dari Maktabah Syaamilah
(versi 2), setelah minggu kemarin berhasil menginstall-nya yang sekian lama selalu
gagal. Alhamdulillah wa kullun min fadhlillah.
1. Thawus bin Kiisan al-Yamani
Saudara Ridha berkata :
afwan……
seperti janji saya untuk memberikan
perawi2 syiah yg diambil oleh para ahli hadits sunni, diantaranya..:
1.Thawus ibn Kisah al-Yamani = Dalam
at-Tahdzib, Ibn Hajar menyatakan bahwa Thawus sempat bertemu lima puluh orang
sahabat. Ulama hadits juga sepakat bahwa Thawus adalah seorang yang jujur,
adil, tsiqat, dzabit, taqwa, zuhud, dan banyak ibadahnya. Mereka menerima
hadits Thawus yang bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali. Karena itulah,
ulama hadits, Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya.
Tanggapan :
Biografi Perawi Secara Global :
Nama : Thawus bin Kiisan al-Yamani, Abu ’Abdirrahman
al-Humairi maula mereka, al-Farisi. Ada yang mengatakan nama beliau adalah
Dzakwan sedangkan Thawus adalah laqob (julukan).
Thobaqoh : Ke-3 dari pertengahan tabi’in.
Wafat : Tahun 106 H dan ada yang berpendapat setelahnya
Ulama yang meriwatkan darinya : Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah.
Derajatnya menurut Ibnu Hajar : tsiqoh (kredibel) faqiih
(orang yang fakih) faadhil (orang yang memiliki keutamaan)
Derajatnya menurut Dzahabi : Berkata ‘Amru bin Dinar :
”Tidak pernah kulihat ada seorang yang seperti beliau sedikitpun.”
Biografi secara rinci :
Berkata al-Imam al-Mizzi rahimahullahu di
dalam Tahdzibul Kamal :
( خ م د
ت س ق ) : طاووس بن كيسان اليمانى ، أبو عبد الرحمن الحميرى ، مولى بحير بن ريسان
الحميرى ، من أبناء الفرس ، كان ينزل الجند ، كذا قال الواقدى فى ولائه . و قال
أبو نعيم و غيره : هو مولى لهمدان . و قال عبد المنعم بن إدريس : هو مولى لابن
هوذة الهمدانى ، و كان أبوه كيسان طرأ من أهل فارس ، و ليس من الأبناء ، فوالى أهل
هذا البيت . و قال أبو حاتم بن حبان ، و أبو بكر بن منجويه : كانت أمه من أبناء
فارس ، و أبوه من النمر بن قاسط . و قال غيرهما : اسمه ذكوان ، و طاووس لقب . و
روى عن يحيى بن معين قال : سمى طاووسا ، لأنه كان طاووس القراء.
[Catatan : Di dalam kitab Tahdzibul
Kamal, apabila disebut huruf خ maka maksudnya
adalah Bukhari, م Muslim, د Abu Dawud, ت Tirmidzi, س Nasa`i, ق Ibnu Majah; lihat
Taysiir Dirosatul Asaaniid karya Syaikh ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim, cet. 1, Dar
adh-Dhiya’, hal. 136-137]
Thowus bin Kisan al-Yamani, Abu
‘Abdirrahman al-Humairi, maula (mantan budak) Buhair (ada yang membaca Bahir)
bin Risan al-Humairi yang termasuk anak-anak keturunan al-Fars. Beliau dulu
tinggal di Najd, demikianlah yang dikatakan oleh al-Waaqidi dalam Wala`-nya.
Abu Nu’aim dan selain beliau berkata : “Beliau (Thowus) adalah maula-nya
Hamdan.” Abdul Mun’im bin Idris berkata : “Beliau adalah maula Ibnu Haudzah
al-Hamdani dan dahulunya ayahanda beliau adalah Kisan yang merupakan pendatang
dari keluarga Faris, bukan termasuk anak-anaknya, lalu keluarga ini memberikan
perlindungan padanya.” Abu Hatim bin Hibban dan Abu Bakr bin Manjawaih berkata
: “Ibundanya termasuk keturunan Faris dan bapaknya keturunan dari Nimr bin
Qosith.” Berkata ulama selain mereka : “namanya (asli) adalah Dzakwan dan
Thowus adalah laqob (gelar)”. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in beliau berkata
: “Dinamakan Thowus dikarenakan beliau adalah Thowus al-Quro’ (penghafal Qur’an
yang tampan).”
Pandangan Para Ulama terhadap beliau
قال الأعمش ، عن عبد الملك بن ميسرة ، عن طاووس :
أدركت خمسين من أصحاب رسول الله لى الله عليه وسلم
Masih ucapan al-Mizzi : Berkata al-A’masy
dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thowus (berkata) : “Aku bertemu dengan 50
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
. و قال
ابن جريج ، عن عطاء ، عن ابن عباس : إنى لأظن طاووسا من أهل الجنة
Ibnu Juraij berkata dari Atho’ dari Ibnu
‘Abbas : “Sungguh aku menduga bahwa Thowus termasuk dari ahli surga.”
. و قال
جعفر بن برقان ، عن عمرو بن دينار : حدثنا طاووس ، و لا تحسبن فينا أحدا أصدق لهجة
من طاووس .
Berkata Ja’far bin Burqon dari ‘Amru bin
Dinar (berkata) : “Thowus menceritakan kepada kami, dan janganlah kamu sekali-kali
menyangka bahwa menurut kami ada seseorang yang lebih benar aksen/dialeknya
(lahjah) melebihi Thawus.”
و قال حبيب بن الشهيد : كنت عند عمرو بن دينار ،
فذكر طاووس فقال : ما رأيت أحدا قط مثل طاووس .
Berkata Habib (ada yang membaca Hubaib)
bin asy-Syahid : Aku berada di sisi ‘Amru bin Dinar lalu beliau menyebut
tentang Thawus dan berkata : “Aku belum pernah melihat ada seseorang yang
seperti Thawus.”
و قال الزهرى : لو رأيت طاووسا علمت أنه لا يكذب
Berkata az-Zuhri : “Sekiranya aku melihat
Thowus aku tahu bahwa ia tidak berdusta.”
و قال عمرو بن دينار : ما رأيت أحدا أعف عما فى
أيدى الناس من طاووس .
‘Amru bin Dinar berkata : “Aku tidak
pernah melihat orang yang paling menjauhkan diri dari apa yang ada pada manusia
melebihi daripada Thawus.”
و قال ابن عيينة : متجنبو السلطان ثلاثة : أبو ذر
فى زمانه ، و طاووس فى زمانه ، و الثورى فى زمانه . اهـ
Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang-orang yang
menjauhi penguasa ada tiga, yaitu Abu Dzar pada zaman beliau, Thowus pada zaman
beliau dan Tsauri pada zaman beliau.”
[Saya berkata] Dan masih banyak pujian
ulama yang apabila disebutkan semua niscaya akan benar-benar panjang dan
memerlukan halaman tersendiri. Saya rasa sekelumit penukilan di atas bisa
mewakili. Di sini saya hanya sedikit menambahkah masalah bertemu dan sima’-nya Thawus
dengan beberapa shahabat untuk meluruskan perkataan Saudara Ridho yang
membawakan penukilan yang sayangnya tanpa menyebutkan referensinya. Saudara
Ridho berkata :
Mereka menerima hadits Thawus yang
bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali.
[Saya katakan] Ucapan saudara Ridho ini
perlu dicrosscheck kembali dan diteliti.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu
berkata di dalam Tahdzibut Tahdzib (V/10):
قال ابن أبى حاتم فى ” المراسيل ” : كتب إلى عبد
الله بن أحمد قال : قلت لابن معين : سمع طاووس من عائشة ؟ قال : لا أراه
“Ibnu Abu Hatim di dalam al-Marasil
menuliskan kepada ‘Abdullah bin Ahmad yang berkata : Aku berkata kepada Ibnu
Ma’in : “Apakah Thowus mendengar dari ‘A`isyah?” beliau (Ibnu Ma’in) menjawab :
“Aku tidak berpendapat dia (mendengar dari ‘A`isyah).”
و قال الآجرى ، عن أبى داود : ما أعلمه سمع منها
Al-Ajurri berkata dari Abi Dawud : “Aku tidak mengetahui
dia mendengar dari ‘A`isyah.”
و قال أبو زرعة ، و يعقوب ابن شيبة : حديثه عن
عمر و عن على مرسل
Abu Zur’ah dan Ya’qub bin Syaibah berkata
: “haditsnya dari ‘Umar dan ‘Ali statusnya mursal.”
و قال أبو حاتم : حديثه عن عثمان مرسل
Berkata Abu Hatim : “Haditsnya dari
‘Utsman mursal”.
Faidah : Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu menyebutkan di dalam Ithaaful ‘ibaad
(op.cit, hal. 80) bahwa Thowus tidak bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu dan riwayatnya dari ‘Umar adalah mursal. Syaikh al-Umaisan,
penyusun buku Ithaaful ‘Ibaad ini memberikan catatan kaki untuk merujuk kepada
al-Maraasiil karya Abi Hatim (hal. 100) dan Tahdzibut Tahdzib.
Catatan dan Tambahan Faidah :
Saya akan sedikit menurunkan penjelasan
tentang apa itu hadits mursal, macam-macamnya dan bagaimana statusnya agar para
pembaca yang masih asing dengan istilah mursal dapat sedikit mudeng (faham).
Banyak sekali kitab Mushtholahul Hadits yang dapat dipetik faidahnya tentang
hal ini. Namun saya rasa buku Taysiir Mushtholahil Hadits karya DR. Mahmud
Thahhan rahimahullahu (cet. Darul Fikr) telah mencukupi. Beliau menjelaskan
(hal. 59-60) sebagai berikut :
Mursal secara etimologi/bahasa merupakan
ism maf’ul (obyek penderita) dari predikat arsala yang bermakna athlaqo
(melepaskan/ membebaskan/ memutlakkan), seakan-akan al-Mursil (pelaku/orang
yang melakukan mursal) melepaskan/ memutlakkan isnad dan tidak
mengikat/mentaqyidnya dengan seorang perawi yang ma’ruf/dikenal.
Secara terminologi/istilah, mursal itu
bermakna menggugurkan sanad terakhir hadits setelah tabi’iy [Nuzhatun Nazhor
hal. 43 dan tabi’iy adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan
muslimd dan mati juga dalam kedaan Islam].
Gambarannya : misalnya seorang tabi’iy
baik tabi’iy kecil atau besar mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi
wa Salam berkata demikian, atau melakukan demikian atau ada yang melakukan
perbuatan di hadapan beliau demikian. Ini merupakan gambaran mursal menurut
ulama hadits.
Misalnya : hadits yang dikeluarkan oleh
Muslim di dalam Shahih-nya dalam Kitabul Buyu’ berkata : ”Menceritakan padaku
Muhammad bin Rafi’, menceritakan kami Hujain, menceritakan kami al-Laits dari
’Uqoil dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyib bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Salam melarang dari jual beli muzanabah.”
Di sini, Sa’id bin Musayyib adalah
seorang tabi’in besar, beliau meriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam tanpa menyebut perantara antara beliau dengan Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam. Maka telah gugur/ hilang sanad hadits ini pada posisi
akhirnya yaitu perawi setelah tabi’iy, perawi yang gugur ini setidak-tidaknya
bisa jadi seorang sahabat, dan bisa jadi pula mengandung kemungkinan selain
sahabat seperti tabi’iy lainnya misalnya.
Apa yang disebutkan di atas adalah gambaran mursal
menurut ulama hadits. Adapun mursal menurut fuqoha’ dan ushuliyyun maka lebih
umum dari gambaran ini. Menurut mereka bahwa setiap hadits yang munqothi’
(terputus sanadnya) itu mursal ditinjau dari aspek manapun akan
keterputusannya. Ini juga merupakan madzhabnya al-Khathib (al-Baghdadi).
Hukumnya : Status hadits mursal secara asal adalah dhaif
mardud (tertolak), disebabkan oleh hilangnya syarat dari persyaratan
diterimanya suatu hadits yaitu ittisholu as-Sanad (tersambungnya sanad, masalah
ini telah disebut di awal, pent.) dan dikarenakan ketidaktahuan akan perihal
perawi yang dihilangkan tersebut, yang mengandung kemungkinan bahwa perawi yang
dihilangkan itu bisa jadi selain sahabat, dan dalam keadaan seperti ini maka
bisa jadi hadits itu mengandung kemungkinan dha’if.
Akan tetapi, para ulama dari kalangan ahli hadits dan
selainnya berselisih pendapat tentang hukum mursal dan kekuatan hujjahnya.
Dikarenakan macam hadits ini merupakan bagian dari inqitha’ (keterputusan
sanad) yang diperselisihkan tentang keterputusan di akhir sanad, oleh sebab
perawi yang gugur di akhir sanad itu sangat besar kemungkinannya adalah seorang
sahabat. Dan seluruh sahabat itu adalah adil serta tidaklah berpengaruh
ketidaktahuan akan mereka.
Secara global pendapat ulama di dalam masalah ini ada
tiga, yaitu :
Dha’if Mardud menurut mayoritas ahli hadis dan kebanyakan
ahli ushul dan fikih. Hujjah mereka dalam hal ini adalah perawi yang
dihilangkan pada akhir sanad tadi adalah orang yang tidak diketahui perihalnya,
yang mengandung kemungkinan bahwa perawi tersebut bukanlah sahabat.
Shahih Yuhtajja bihi (dapat berdalil dengannya) menurut
imam yang tiga, yaitu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dari pendapat yang masyhur
darinya serta sekelompok ulama, dengan syarat bahwa hadits yang mursal dari
perawi tsiqoh, tidaklah perawi itu memursalkan melainkan dari yang tsiqoh pula.
Hujjah mereka adalah : bahwasanya seorang tabi’i yang tsiqoh tidak mungkin akan
mengatakan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda” melainkan apabila
ia mendengarnya dari orang yang tsiqoh pula.
Menerima dengan persyaratan, yaitu shahih dengan
pesyaratan dan pendapat ini diperpegangi oleh Syafi’i dan sebagian ulama.
Persyaratan ini ada 4, yang tiga berkisar tentang perawi
mursal dan yang satu tentang hadits mursal. Berikut ini adalah persyaratan
tersebut :
Al-Mursil (Perawi yang memursalkan) haruslah termasuk
tabi’in senior.
Apabila ia menyebutkan perawi yang dimursalkan maka ia
menyebutkan perawi tsiqoh.
Apabila besertanya adalah para huffazh al-Ma’munun (yang
mantap) yang tidak menyelisihi (riwayat)-nya
Apabila memiliki satu dari tiga syarat di bawah ini :
Haditsnya diriwayatkan dari sisi lain secara musnad
Atau diriwayatkan dari sisi lain secara mursal dengan
memursalkan perawi yang mengambil ilmu dari selain perawi-perawi mursal pertama
atau selaras dengan ucapan salah seorang sahabat
Atau difatwakan oleh mayoritas ulama. [Lihat ar-Risalah karya Syafi’i, hal. 461].
Syaikh ath-Thohhan melanjutkan dengan
menjelaskan Mursal Shohabiy (hal. 61) : ”Mursal Shohabiy adalah apa yang
diberitakan oleh seorang sahabat dari sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salam atau perbuatannya, yang sahabat ini tidak mendengarnya atau
menyaksikannya, bisa jadi karena umurnya yang masih muda atau masuk islamya
belakangan atau karena ketidakhadirannya. Banyak sekali hadits macam ini oleh
para sahabat kecil, seperti Ibnu ’Abbas, Ibnu Zubair dan selainnya.
Hukumnya : yang shahih dan masyhur
adalah, jumhur ulama memastikannya bahwa hadits ini shahih dan dapat berhujjah
dengannya, dikarenakan riwayat seorang sahabat dari tabi’in suatu yang sangat
jarang, dan apabila mereka meriwayatkan dari tabi’in niscaya mereka akan
menjelaskannya. Apabila mereka tidak menjelaskannya dan mengatakan, ”Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda” maka pada asalnya mereka mendengarkannya
dari sahabat yang lain, maka penghilangan jati diri sahabat lainnya tidaklah
berpengaruh, sebagaimana telah berlalu [yaitu seluruh sahabat seluruhnya adil,
tidak sebagaimana tuduhan syiah yang mengkafirkan dan menfasikkan sebagian
besar sahabat, pent.].
Faidah : Al-’Allamah al-’Abbad dalam
Ithaaful ’Ibaad (hal. 121) menjelaskan Ahkaamul Maraasiil (hukum hadits
mursal). Beliau berkata :
”Marasil (plural/jamak dari mursal)-nya
tabi’in bukanlah hujjah, dikarenakan perawi yang gugur mengandung kemungkinan
seorang sahabat atau seorang tabi’iy, perawi tabi’iy mengandung kemungkinan kedua
yaitu bisa jadi seorang yang tsiqot dan bisa jadi seorang yang dho’if. Dengan
demikian menjadi jelaslah atas kesalahan penulis Baiquniyah yang mengatakan :
ومرسل منه الصحابي سقط
”Dan mursal adalah (hadits yang) dari
(sanad)-nya gugur seorang sahabat.”
Dikarenakan ketidaktahuan akan seorang
sahabat tidaklah berpengaruh, namun akanlah berpengaruh apabila selain sahabat
yang tidak diketahui (majhul).”
[Saya berkata] Sungguh benar al-’Allamah
al-’Abbad, karena definisi yang disebutkan oleh al-Imam Baiquni dalam Manzhumah
al-Baiquniyah-nya keliru. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikh ’Abdus Satar
yang membuat manzhumah meluruskan manzhumah al-Baiquniyah. Beliau berkata :
ومرسل من فوق تابع سقط
”Dan mursal adalah (hadits yang) perawi
di atas tabi’in gugur.”
Kesimpulan : Apa yang disebutkan oleh
Saudara Ridha di atas secara garis besar adalah benar. Namun saya memiliki
beberapa catatan :
Saudara Ridha tidak menyebut referensi
penukilannya. Saya berbaik sangka mungkin beliau belum memiliki kelapangan
untuk menyebutkannya
Ucapannya bahwa Thowus rahimahullahu
menerima hadits dari ’A`isyah, ’Umar dan ’Ali perlu diteliti kembali.
Penjelasan al-Hafizh dan beberapa ulama -sebagaimana telah berlalu- menunjukkan
bahwa haditsnya dari ketiga sahabat di atas berstatus mursal.
Hadits mursal dari tabi’iy menurut
pendapat yang paling rajih adalah dha’if statusnya, tanpa menafikan naiknya
derajat hadits tersebut dengan jam’u thuruq (menghimpun jalur periwayatan
lainnya) baik mutaba’ah atau syawahid-nya
Yang terpenting lagi, saya belum
menemukan ucapan ulama yang menyebut bahwa Thawus rahimahullahu adalah seorang
syi’ah atau tasyayu’. Padahal pembahasan kita ini adalah tentang perawi
tasyayu’ yang diterima periwayatannya oleh ahli hadits sunni. Maka untuk itu,
saudara Ridha harus menunjukkan pendapat ulama hadits sunni yang menyebut bahwa
Thawus adalah syi’ah. Jika saudara Ridha menukil dari kaum syi’ah, maka
–maaf-maaf saja-, saya tidak bisa menerimanya, karena mereka kaum pendusta yang
suka menyandarkan para ulama kepada madzhabnya padahal ini tidak benar.
2. ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi
2.Abdurahm’an ibn Shaleh al-Azdi al-Ataki
= Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu
kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai
keluarga Nabi. Ia adil.”
Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat,
jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit
lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata. Abu Hatim menilai
Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang
bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para
sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang
paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn
Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”
Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat
untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam
sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat.
Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada
orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam
berpaham Syi’ahnya.
Tanggapan :
Baiklah mari kita cek penukilan saudara
Ridho… untuk mempersingkat halaman dan waktu agar pembaca tidak bosan, maka
saya ambil poin-poin penting saja dan menyebutkan hal-hal yang terkait saja
dengan ulasan saudara Ridho di atas. Saya hanya akan
menyebutkan biografi global dan penilaian ulama, lalu kesimpulan serta beberapa
hal yang saya rasa penting dan perlu.
Biografi Global :
Nama : ’Abdurrahman bin Sholih al-Azdi al-’Ataki, Abu
Sholih. Ada yang berpendapat kunyahnya adalah Abu Muhammad al-Kufi. Tinggal di
Baghdad bertetangga dengan ’Ali bin Ja’d.
Thobaqoh : Ke-10 dari tabi’u tabi’ at-Tabi’in senior.
Wafat : 235 H.
Ulama Yang Meriwayatkan Darinya : Imam an-Nasa`i.
Tingkatannya Menurut Ibnu Hajar : Shoduq (jujur)
yatasyayu’ (condong ke Syi’ah).
Pandangan Ulama Terhadapnya
Saudara Ridha berkata :
Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn
Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah!
ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”
Setelah saya periksa, demikian naskah aslinya sebagaimana
disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :
قال يعقوب بن يوسف المطوعى : كان عبد الرحمن بن
صالح الأزدى رافضيا و كان يغشى أحمد بن حنبل ، فيقربه و يدنيه ، فقيل له : يا أبا
عبد الله ، عبد الرحمن بن صالح رافضى . فقال : سبحان الله ، رجل أحب قوما من أهل
بيت النبى صلى الله عليه وسلم نقول له ( لا ) تحبهم ! هو ثقة .
Berkata Ya’qub bin Yusuf al-Muthu’i :
”Adalah ’Abdurrahman bin Sholih al-’Azdi seorang Rafidhi dan ia hendak mendatangi
Ahmad bin Hanbal maka ia mendekati Imam Ahmad. Seseorang berkata kepada Imam
Ahmad : ”Wahai Aba Abdillah, ’Abdurrahman bin Shalih itu seorang Rafidhi.”
Lantas Imam Ahmad menukas : ”Subhanalloh, (dia itu) seseorang yang mencintai
kaum dari ahli bait (keluarga) Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan (mana
mungkin) kami katakan padanya : janganlah kamu mencintai mereka (ahlu bait)!
Dia itu tsiqoh.”
Saudara Ridha menukil :
Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat,
jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit
lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata.
Masih dalam Tahdzibul Kamal, al-Mizzi
membawakan pendapat Ibnu Ma’in yang cukup banyak. Diantaranya yang maknanya
sama dengan yang disampaikan oleh saudara Ridha. Berikut ini teksnya :
و قال سهل بن على الدورى : سمعت يحيى بن معين
يقول : يقدم عليكم رجل من أهل الكوفة ، يقال له : عبد الرحمن بن صالح ، ثقة ، صدوق
، شيعى ، لأن يخر من السماء أحب إليه من أن يكذب فى نصف حرف .
Berkata Sahl bin ’Ali ad-Duri : Aku
mendengar Yahya bin Ma’in berkata : Ada orang terdepan di antara kalian dari
penduduk Kufah, dikatakan tentangnya : ’Abdurrahman bin Sholih, seorang tsiqoh,
shoduq, syi’i. Dikarenakan ia dijatuhkan dari langit lebih ia cintai daripada
harus berdusta walau sepenggal huruf.
Saudara Ridha berkata :
Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai
orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang
kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim
berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi
Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang
Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”
Setelah dicek dikatakan :
و قال أبو حاتم : صدوق
Abu Hatim berkata : ”shoduq”.
و قال موسى بن هارون : شاعى محترق ، خرقت عامة ما
سمعت منه ، يروى أحاديث سوء فى مثالب أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم .
Musa bin Harun berkata : ”Penyebar
kebingungan yang membingungkan orang banyak yang mendengarkan ucapannya. Ia
meriwayatkan hadits buruk seputar kejelekan para sahabat Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa salam.”
و قال فى موضع آخر : كان ثقة ، و كان يحدث بمثالب
أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه .
Beliau (Musa bin Harun) berkata pada
tempat yang lain : ”Dia orang yang tsiqoh dan menceritakan kejelekan
isteri-isteri Rasullullah Shallallahu ’alaihi wa salam dan para sahabat.”
و قال على بن محمد بن حبيب المروزى ، عن صالح بن
محمد الحافظ : صدوق .
Berkata ’Ali bin Muhammad bin Habib
al-Maruzi (ada yang membaca al-Marwazi) dari Sholih bin Muhammad al-Hafizh
(tentang Ibnu Sholih) : ”Shoduq”.
و قال عبد المؤمن بن خلف النسفى ، عن صالح بن
محمد : كوفى صالح ، إلا أنه كان يقرض عثمان ! و
Berkata ’Abdul Mu`min bin Kholaf
an-Nasafi dari Sholih bin Muhammad : ”Seorang penduduk Kufah yang shalih, hanya
saja ia mencela ’Utsman!”
قال أبو القاسم البغوى : سمعت عبد الرحمن بن صالح
الأزدى يقول : أفضل ، أو خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر و عمر .
Berkata Abul Qosim al-Baghowi : Aku
mendengar ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi berkata : ”Seutama-utama atau sebaik
orang umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakr dan ’Umar.”
Saudara Ridha berkata :
Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat
untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam
sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat.
Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada
orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam
berpaham Syi’ahnya.
Setelah dicek demikian disebutkan :
و قال أبو عبيد الآجرى : سألت أبا داود عن عبد
الرحمن بن صالح . فقال : لم أر أن أكتب عنه ، وضع كتاب مثالب فى أصحاب رسول الله
صلى الله عليه وسلم . قال : و ذكره مرة أخرى فقال : كان رجل سوء
Berkata Abu ’Ubaid al-Ajurri : Aku
bertanya kepada Abu Dawud tentang ’Abdurrahman bin Shalih, lantas beliau
menjawab : ”Aku tidak berminat menulis (riwayat) darinya. Dia meletakkan kitab
celaan-celaan terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam.” Abu
’Ubaid berkata : Beliau menyebutkannya sekali lagi lalu berkata : ”Dia adalah
orang yang jelek.”
و ذكره ابن حبان فى كتاب ” الثقات ” . و قال أبو
أحمد بن عدى : معروف مشهور فى الكوفيين ، لم يذكر بالضعف فى الحديث و لا اتهم فيه
، إلا أنه محترق فيما كان فيه من التشيع
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam buku
ats-Tsiqoot. Abu Ahmad bin ’Adi berkata : ”Terkenal dan Masyhur di kalangan
penduduk Kufah. Belum ada yang menyebutkan kedhaifannya di dalam hadits dan
tuduhan atasnya, hanya saja ia orang yang begitu bersemangat dengan apa yang
ada dalam dirinya berupa faham syiah.”
[Saya berkata] Terjadi silang pendapat di
antara para ulama tentang Jarh dan Ta’dil pada dirinya. Kebanyakan jarh yang
sampai padanya kembali ke masalah tasyayu’ yang ada pada dirinya dan haditsnya
yang menceritakan cerita fitnah seputar isteri dan sahabat Rasulullah. Hanya
saja ia seorang yang jujur tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah
pada umumnya yang sangat gemar berdusta. Ia pun memuji sahabat Abu Bakr dan
’Umar sedangkan Rafidhah umumnya mengkafirkan kedua sahabat yang mulia ini.
Namun ia mencela beberapa sahabat terutama sahabat ’Utsman Radhiyallahu ’anhu.
Perawi ahlus sunnah yang meriwayatkan darinya tercatat hanya Imam an-Nasa`i,
itupun beliau hanya meriwayatkan satu buah hadits saja. Sebagaimana dikatakan
oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :
روى له النسائى فى كتاب ” الخصائص ” حديثا واحدا
، من رواية محمد بن كعب عن علقمة ، عن على
”Nasai meriwayatkan darinya di dalam
kitab al-Khasha`ish satu buah hadits saja, dari riwayat Muhammad bin Ka’ab
’Alqomah, dari ’Ali.”
Dalam pembahasan ini adalah beberapa
komentar yang ingin saya berikan kepada Saudara Ridha :
Anda benar bahwa Ibnu Shalih al-Azdi ini
seorang yang terpengaruh dengan pemahaman Syi’ah. Namun ia dikatakan para ulama
shoduq dan diriwayatkan tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah pada
umumnya.
Saya ’kan meminta anda untuk membawakan
Rijal (perawi) Bukhari yang tasyayu’, sebagaimana anda sebutkan. Namun anda
membawakan salah seorang rijal Nasa`i; dan itupun Nasa`i hanya meriwayatkan
satu hadits saja darinya. Bahkan Abu Dawud tidak mau menuliskan haditsnya dan
menyebut dirinya ”Rajulun Suu`”.
Sebagaimana pendahuluan yang saya
kemukakan dengan cukup panjang di atas, bahwa penerimaan riwayat dari ahli
bid’ah itu tidak serta merta otomatis menunjukkan akan rekomandasi atas
madzhabnya. Bahkan para ulama, walaupun menyebutkan sifatnya yang tsiqoh,
shoduq dst… namun mereka juga menyebutkan jarh terhadapnya tentang
kecenderungannya kepada madzhab bid’ah, yaitu madzhab syi’ah.
Bagian 3 : Klarifikasi dan Tabayyun II (Selesai)
Kita lanjutkan ke pembahasan berikutnya…
3. ’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ ash-Shan’ani
Biografi Global :
Nama : ’Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Humairi
–maula mereka- al-Yamani, Abu Bakr ash-Shon’ani
Lahir : 126 H.
Thobaqoh : ke-9 dari Atba’ut Tabi’in kecil
Wafat : 211 H.
Yang Meriwayatkan Darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah
Tingkatannya Menurut Ibnu Hajar : Tsiqqoh Haafizh
(pemilik) Mushonnaf (Abdurrazaq), buta pada akhir umurnya dan taghoyar
(berubah). Ia yatasyayu’ (memiliki kecenderungan syiah).
Tingkatannya Menurut Adz-Dzahabi : salah seorang a’lam ,
penulis tashonif.
Di dalam Taqribut Tahdzib, al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu berkata :
[ 4064 ] عبد
الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي
في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .
[Rawi no. 4064] ’Abdurrazaq bin Hammam
bin Nafi’ al-Humairi –maula mereka- Abu Bakr ash-Shon’ani seorang yang tsiqqoh
haafizh (pemilik buku) Mushonaf yang terkenal, buta pada akhir usianya dan
taghoyar (berubah). Beliau orang yang memiliki kecenderungan kepada syiah. [Dinukil
dari Taqribut Tahdzib, download softcopy dari www.sahab.org].
Faidah : Mengenal Sekelumit Tentang Kitab
Taqriibut Tahdziib
Bagi para penuntut ilmu yang pernah
merasakan aroma harumnya ilmu hadits dan rijalul hadits, pasti tidak akan asing
dengan karya al-Hafizh yang satu ini. Sebenarnya, kitab tarajum yang paling
masyhur dan mu’tamad adalah Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh al-Mizzi yang
menghimpun rijal Kutubus Sittah. Kitab karya al-Mizzi ini merupakan tahdzib
dari kitab al-Kamal karya ’Abdul Ghoni al-Maqdisi. Kemudian al-Mizzi
mengurutkan, meringkas, membenahi kesalahan-kesalahan dan jadilah kitab Tarajum
ar-Ruwat (biografi para perawi) yang terkenal ini. Kemudian datanglah al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullahu dan menyusun kembali, meringkas dan membenahi kitab
Tahdzibul Kamal ini dalam buku beliau Tahdzibut Tahdzib dan menambahkan
beberapa pendapat ahli hadits serta mentarjih pendapat yang paling kuat.
Setelah al-Hafizh menulis Tahdzibut
Tahdzib, beliau menyempurnakan karyanya ini dengan menulis sebuah kitab tarajum
yang lebih ringkas dan memilih pendapat-pendapat para nuqad (pengkritik hadits)
yang paling ashah (benar/kuat), yaitu kitab Taqribut Tahdzib. Sistematika buku
ini adalah, al-Hafizh menyebutkan nama rawi, thobaqoh-nya,
martabat/tingkatan-nya dari Jarh wa Ta’dil, dan menyebutkan sebagian besar
wafatnya perawi hadits. Buku ini adalah buku yang sangat besar sekali faidahnya
dan lebih ringkas serta lebih mudah.
Al-Hafizh berkata di dalam muqoddimah
kitabnya : ”Sesungguhnya aku menghukumi setiap orang dari para perawi, dengan
suatu hukum yang cakupannya paling shahih dari pendapat (para nuqad) kepadanya,
paling adil di dalam pensifatannya, paling ringkas ungkapannya dan paling jelas
penunjukannya. Dimana setiap tarjamah (biografi)-nya, hampir semuanya tidak
lebih dari satu paragraf saja yang menghimpun nama perawi, bapak dan kakeknya,
kemudian akhir nisbat dan nasabnya yang paling masyhur serta kunyah dan laqob-nya,
beserta menjelaskan syakal huruf padanya lalu sifatnya yang khusus dengan jarh
atau ta’dil…”
Para pembaca mungkin akan mendapatkan
istilah-istilah jarh dan ta’dil dalam risalah ini, semisal tsiqoh haafizh,
shoduq qod yukhthi’, dll. Istilah-istilah ini, antara satu ulama hadits dengan
lainnya seringkali berbeda dan tingkatannya juga berbeda. Oleh karena itu kita
perlu memahami tingkatan martabat perawi menurut al-Hafizh agar tidak rancu
dengan martabat yang dibuat oleh ulama hadits lainnya. Al-Hafizh membagi
martabah/tingkatan perawi di dalam buku beliau ini menjadi 12 tingkatan, yaitu
:
Tingkatan I : Sahabat [dan semua sahabat
itu adil, pent.]
Tingkatan II : Perawi yang pujiannya
dita’kid (dikuatkan) seperti : tsiqotu tsiqoh atau tsiqotu haafizh.
Tingkatan III : Yang disifatkan dengan
sifat tunggal seperti : tsiqoh, mutqin, tsabt atau adil.
Tingkatan IV : Shoduq Laa Ba’sa Bihi atau
Laysa Bihi Ba’s (jujur, tidak ada masalah dengan periwayatannya).
Tingkatan V : Shoduq Sayyi`ul Hifzh
(jujur namun hapalannya buruk) atau shoduq yahimu atau lahu auhaam (sering salah
meriwayatkan).
Tingkatan VI : Maqbul yaitu apabila
sebagai mutaba’ah, dan apabila tidak maka haditsnya layyin (lemah).
Tingkatan VII : Mastur atau Majhul
al-Haal (perihal perawi tidak diketahui).
Tingkatan VIII : Dha’if.
Tingkatan IX : Majhul, yang membawa
kepada majhul al-’Ain (identitas perawi tidak diketahui sama sekali).
Tingkatan X : Matruk, Matrukul Hadits,
Waahiyul Hadits atau Saaqith.
Tingkatan XI : Perawi yang tertuduh kidzb
(dusta).
Tingkatan XII : Perawi yang disifatkan
berdusta atau memalsu hadits.
Demikian ini adalah sekelumit tentang
kitab beliau yang agung, Taqribut Tahdzib. Mudah-mudahan bermanfaat. [Lihat
lebih rinci dalam Taysiir Diroosatul Asaaniid karya Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im
Salim, Cet. 1, 1421, Daar adh-Dhiyaa’, hal. 147-156].
Sekarang kita kembali kepada penilaian
para nuqad (kritikus hadits) lainnya. Al-Hafizh al-Mizzi membawakan periwayatan
yang banyak tentang penilaian kepada ’Abdurrazaq. Sebagaiannya telah disebutkan
oleh Saudara Ridha, dan saya akan turunkan sebagiannya lagi.
و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ،
عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق
؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه
Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata : dari
Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri (berkata) : Aku berkata
kepada Ahmad bin Hanbal : ”Adakah kau pandang ada orang yang lebih baik
haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab : ”tidak”. Abu Zur’ah berkata
: ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang tsabat (mantap/kuat) haditsnya.”
و قال الأثرم : سمعت أبا عبد الله يسأل عن حديث
النار جبار ؟ فقال : هذا باطل ليس من هذا شىء . ثم قال : و من يحدث به عن عبد
الرزاق ؟ قلت : حدثنى أحمد ابن شبويه . قال : هؤلاء سمعوا بعدما عمى ، كان يلقن
فلقنه ، و ليس هو فى كتبه و قد أسندوا عنه أحاديث ليس فى كتبه كان يلقنها بعدما
عمى . و قال حنبل بن إسحاق ، عن أحمد بن حنبل نحو ذلك ، و زاد : من سمع من الكتب
فهو أصح .
Abu Bakr al-Atsram berkata : Aku
mendengar Abu ’Abdillah (Imam Ahmad) bertanya tentang hadits neraka Jabbar. Lantas beliau (Imam Ahmad)
berkata : ”Ini batil tidak ada sesuatupun dari hal ini”. Kemudian beliau
berkata : ”Siapa yang menceritakan hal ini dari ’Abdurrazaq?” Aku berkata :
menceritakan padaku Ahmad bin Syibawaih. Beliau berkata : ”Mereka ini mendengar
setelah dia (’Abdurrazaq) buta. Dia (’Abdurrazaq) mendiktekannya lalu mereka
mendengarkannya padahal tidak ada hal ini di dalam buku-bukunya. Mereka telah
meyandarkan padanya hadits-hadits yang tidak ada di dalam bukunya, ia
mendiktekannya setelah ia mengalami kebutaan.” Berkata Hanbal bin Ishaq dari
Ahmad bin Hanbal yang serupa dengan di atas, dan ditambakan (oleh Imam Ahmad) :
”Barangsiapa yang mendengarnya dari buku-bukunya maka ini lebih shahih.”
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل :
كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد
الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق .
Berkata Abu Zur’ah ad-Dimasyqi : Aku
berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal haditsnya
Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada beliau : ”Mana yang
lebih tsabat (mantap periwayatannya) dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq-kah ataukah
Muhammad bin Bakr al-Barsaani?” beliau menjawab : ”’Abdurrazaq”.
قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد
الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف
السماع .
Abu Zur’ah berkata : Ahmad bin Hanbal
memberitakan kepadaku : ”Kami mendatangi ’Abdurrazaq sebelum 200 H dan beliau
dalam keadaan sehat matanya. Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah
hilang pengelihatannya (buta) maka sima’ (pendengaran)-nya berstatus lemah.
و قال عباس الدورى ، عن يحيى بن معين : كان عبد
الرزاق فى حديث معمر أثبت من هشام بن يوسف ، و كان هشام بن يوسف فى حديث ابن جريج
أثبت من عبد الرزاق ، و كان أقرأ للكتب ، و كان أعلم بحديث سفيان الثورى من عبد الرزاق .
’Abbas ad-Dauri berkata dari Yahya bin
Ma’in, (beliau berkata) : ”’Abdurrazaq di dalam periwayatan hadits Ma’mar itu
lebih mantap daripada Hisyam bin Yusuf, namun Hisyam bin Yusuf itu di dalam
periwayatan hadits Ibnu Juraij lebih mantap daripada ’Abdurrazaq. Aku pernah
membaca buku-bukunya dan aku mengetahui hadits Sufyan ats-Tsauri itu dari
’Abdurrazaq.”
و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال
: لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة
ثبت .
Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali
ibnul Madini (beliau berkata) : Berkata Hisyam bin Yusuf kepadaku :
”’Abdurrazaq itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub
berkata : keduanya (yaitu Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq) adalah sama-sama
tsiqoh tsabt.
و قال الحسن بن جرير الصورى ، عن على بن هاشم :
قال عبد الرزاق : كتب عنى ثلاثة لا أبالى أن لا يكتب عنى غيرهم ; كتب عنى ابن
الشاذكونى ، و هو من أحفظ الناس ، و كتب عنى يحيى بن معين و هو من أعرف الناس
بالرجال ، و كتب عنى أحمد بن حنبل و هو من أزهد الناس .
Al-Hasan bin Jarir ash-Shuri berkata,
dari ’Ali bin Hisyam bahwa ’Abduurrazaq berkata : ”Menulis dariku tiga orang
yang aku tidak peduli apabila tidak ada orang yang menulis dariku selain mereka
ini, yaitu : telah menulis dariku Ibnu Syadzikun dan dia adalah orang yang
paling hafizh, telah menulis dariku Yahya bin Ma’in dan dia adalah orang yang
paling mengetahui tentang para perawi hadits dan telah menulis dariku Ahmad bin
Hanbal dan ia adalah manusia yang paling zuhud.”
[Saya berkata] Dan masih banyak lagi
penilaian para a`immah kepada beliau, namun saya rasa yang di atas ini sudah
cukup. Saya ingin melanjutkan sedikit dengan masalah tasyayu’ (kecenderungan
pada faham Syi’ah)-nya ’Abdurrazaq dan menukil ucapan sebagian imam dalam
masalah ini.
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين
و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال :
كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من
عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .
Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata : Aku
mendengar Yahya bin Main dan ada yang berkata padanya : ”Sesungguhnya Ahmad bin
Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah bin Musa membantah hadits
’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas Ibnu Ma’in menukas : ”Demi Alloh
yang tidak ada sesembahan yang haq untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq
itu jauh lebih bernilai (periwayatannya) darinya berkali-kali lipat. Dan
sungguh aku telah mendengar dari ’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku
mendengar dari ’Ubaidillah.”
و قال عبد الله بن أحمد بن حنبل : سألت أبى ، قلت
: عبد الرزاق كان يتشيع و يفرط فى التشيع ؟ فقال : أما أنا فلم أسمع منه فى هذا
شيئا ، و لكن كان رجلا تعجبه أخبار الناس ، أو الأخبار .
’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata :
Aku bertanya pada ayahku, ”’Abdurrazaq itu tasyayu’ dan melampaui batas di
dalam tasyayu’.” lalu beliau menjawab : ”Adapun aku belum pernah mendengar hal
ini sedikitpun, namun dia adalah orang yang beritanya mengagumkan manusia.”
و قال عبد الله أيضا : سمعت سلمة بن شبيب يقول :
سمعت عبد الرزاق يقول : والله ما انشرح صدرى قط أن أفضل عليا على أبى بكر و عمر ،
رحم الله أبا بكر و رحم الله عمر و رحم الله عثمان و رحم الله عليا ، من لم يحبهم
فما هو مؤمن ، و قال : أوثق عملى حبى إياهم .
’Abdullah juga berkata : Aku mendengar
Salamah bin Syabib (ada yang membaca Syubaib) berkata : Aku mendengar
’Abdurrazaq berkata : ”Demi Alloh, tidak akan lapang dadaku sedikitpun apabila
’Ali itu dikatakan lebih utama daripada Abu Bakr dan ’Umar. Semoga Alloh
merahmati Abu Bakr, Umar, ’Utsman dan ’Ali. Barangsiapa yang tidak mencintai
mereka maka bukanlah seorang mukmin.” beliau berkata lagi : ”Amalku yang
terkuat adalah cintaku pada mereka.”
[Saya berkata] Subhanalloh wallohu Akbar,
semoga Alloh merahmati ’Abdurrazaq ash-Shon’ani yang telah mencintai para sahabat
agung, empat khulafa’ur rasyidin yang sebagaiannya telah dikafirkan oleh kaum
syiah yang laknat, semoga Alloh membinasakan kaum yang melaknat dan mencela
sahabat Nabi yang mulia.
و قال أبو الأزهر أحمد بن الأزهر النيسابورى :
سمعت عبد الرزاق يقول : أفضل الشيخين بتفضيل على إياهما على نفسه ، و لو لم
يفضلهما لم أفضلهما ، كفى بى آزرا أن أحب عليا ثم أخالف قوله .
Abul Azhar Ahmad bin al-Azhar
an-Naisaburi berkata : Aku mendengar ’Abdurrazaq berkata : ”Aku lebih
mengutamakan syaikhain (Abu Bakar dan ’Umar) dengan pengutamaan ’Ali keduanya
daripada dirinya sendiri, seandainya ’Ali tidak mengutamakan mereka berdua maka
aku pun tidak pula mengutamakan mereka. Cukuplah bagiku dosa dikarenakan aku
mencintai ’Ali namun aku menyelisihi perkataannya.”
و قال أبو أحمد بن عدى : و لعبد الرزاق أصناف و
حديث كثير ، و قد رحل إليه ثقات المسلمين و أئمتهم و كتبوا عنه . و لم يروا بحديثه
بأسا إلا إنهم نسبوه إلى التشيع . و قد روى أحاديث فى الفضائل مما لا يوافقه عليه
أحد من الثقات ، فهذا أعظم ما ذموه من روايته لهذه الأحاديث ، و لما رواه فى مثالب
غيرهم ، و أما فى باب الصدق فإنى أرجو أنه لا بأس به إلا أنه قد سبق منه أحاديث فى
فضائل أهل البيت و مثالب آخرين مناكير .
Abu Ahmad bin ’Adi berkata : ”’Abdurrazaq
memiliki Ashnaaf dan hadits yang banyak. Banyak para tsiqot dan imam muslim
mendatanginya dan menulis darinya dan mereka tidak berpandangan ada masalah
dengan haditsnya hanya saja mereka menisbatkannya kepada tasyayu’. Dia
meriwayatkan hadis tentang keutamaan-keutamaan (Alul Bait) yang tidak
disepakati oleh para tsiqot. Dan inilah celaan mereka yang paling besar
kepadanya oleh sebab riwayatnya tentang hadits-hadits ini dimana ia
meriwayatkan celaan-celaan kepada selain Alul Bait. Adapun dalam masalah shidq
(kejujuran) maka aku harap mudah-mudahan tidak ada masalah dengannya, hanya
saja ia bermasalah dalam hadits-hadits tentang keutamaan ahlul bait dan celaan
terhadap selainnya yang statusnya munkar.”
Kesimpulan :
’Abdurrazaq ash-Shon’ani adalah perawi
yang tsiqoh namun memiliki kecenderungan kepada syiah. Sebagaimana dikatakan
oleh Al-Ijli : ثقة يتشيع ”seorang yang
tsiqoh dan memiliki kecenderungan syiah”.
Hadits riwayatnya tidak langsung diterima
namun diteliti dahulu, sebagaimana kata Imam an-Nasa’i : فيه
نظر ، لمن كتب عنه بآخره كتب عنه أحاديث مناكير ”Perlu penelitian lagi
tentang (riwayat)-nya, bagi orang yang menulis darinya pada usia senjanya maka
ia menulis hadits-hadits yang mungkar.”
Ditolak periwayatannya yang apabila
menyokong atas ketasyayu’annya, sebagaimana ucapan Imam Ibnu Hibban : كان
ممن يخطىء إذا حدث من حفظه على تشيع فيه ”Dia termasuk orang yang
salah apabila menyampaikan (riwayat) dari hafalannya tentang tasyayu’-nya.”
Beliau memiliki keyakinan yang jauh
berbeda dengan syiah rafidhah ekstrim, dimana beliau memuji dan mengutamakan
Abu Bakr dan ’Umar daripada ’Ali ridhwanulloh ’alaihim ajma’in.
Oleh karena itu terhadap ucapan Saudara
Ridha yang mengatakan
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa ‘Abdurrazaq bukanlah Syi’ah Rafidhah. Jika demikian,
bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdurrazaq penganut
paham Rafidhah, dan ia dipandang salah seorang perawi yang tsiqat dan adil? Ini
jelas merupakan kepalsuan yang besar yang mengandung motif menghancurkan
sendi-sendi sunnah Nabi, dan menceburkan keragu-raguan kepada mereka yang
memelihara sunnah, supaya mereka dengan mudah bisa menghancurkan Islam.
Orang-orang Sunni hendaknya awas dan peka terhadap hal ini!
Adalah ucapan yang benar dan jujur… Barokallohu fiikum…
4. ’Adi bin Tsabit al-Anshori al-Kufi
Biografi Global :
Nama : ’Adi bin Tsabit al-Anshori al-Kufi (putera dari
saudari (kemenakan/ keponakan) ’Abdullah bin Yazid al-Khatmi seorang sahabat
radhiyallahu ’anhu).
Thobaqot : ke-4, pertengahan tabi’in
Wafat : 116 H
Yang Meriwayatkan Darinya : Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : tsiqoh
dituduh tasyayu’
Tingkatannya menurut Dzahabi : tsiqoh,
orator Syiah dan imam masjid mereka di Kufah.
Penilaian Ulama terhadapnya :
Masih dalam penukilan al-Mizzi
rahimahullahu dalam kitabnya yang agung, Tahdzibul Kamal (melalui perantaraan
Maktabah Syamilah v.2) :
قال عبد الله بن أحمد بن حنبل ، عن أبيه : ثقة .
و كذلك أحمد بن عبد الله العجلى و النسائى .
Berkata ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
dari ayahandanya (berkata) : ”tsiqoh”. Demikian pula dengan Ahmad
bin ’Abdullah al-’Ijli dan an-Nasa`i (juga mentsiqohkannya).
و قال أبو حاتم : صدوق ، و كان إمام مسجد الشيعة
و قاصهم .
Berkata Abu Hatim : ”Shoduq, dan ia
adalah imamnya Masjid Syiah serta orator mereka.”
Al-Hafizh berkata di dalam at-Tahdzib VII/165
:
قال البرقانى : قلت للدارقطنى : فعدى بن ثابت عن
أبيه عن جده ؟ ، قال : لا يثبت و لا يعرف أبوه و لا جده ، و عدى ثقة .
Berkata al-Burqoni : Aku bertanya kepada
ad-Daruquthni : ”Apakah ’Adi bin Tsabit (mengambil riwayat) dari ayahandanya
dari kakeknya?” beliau (ad-Daruquthni) menjawab : ”Tidak tsabat (tetap
periwayatannya) dan tidaklah diketahui ayahnya dan kakeknya, sedangkan ’Adi
seorang yang tsiqoh.”
و قال الطبرى : عدى بن ثابت ممن يجب التثبت فى
نقله .
Ath-Thobari berkata : ”’Adi bin Tsabit
termasuk orang yang wajib ditabayuni (dinverifikasi) penukilannya.”
و قال ابن معين : شيعى مفرط .
Ibnu Ma’in berkata : ”seorang syi’ah yang
melampaui batas.”
و قال السلمى : قلت للدارقطنى : فعدى بن ثابت ،
قال : ثقة إلا أنه كان غاليا ـ يعنى فى التشيع .
Berkata as-Silmi (ada yang membaca
as-Sulami) : Aku bertanya kepada ad-Daruquthni : “bagaimana dengan ‘Adi bin
Tsabit?”, beliau menjawab : ”seorang yang tsiqoh hanya saja ia orang yang
berlebih-lebihan di dalam kesyiahannya.”
و قال ابن شاهين فى ” الثقات ” : قال أحمد : ثقة إلا
أنه كان يتشيع . اهـ .
Ibnu Syahin mengatakan di dalam
ats-Tsiqoot : Berkata Ahmad : ”tsiqot hanya saja ia cenderung kepada syiah.”
و قال ابن شاهين فى ” الثقات ” : قال أحمد : ثقة
إلا أنه كان يتشيع . اهـ .
Saudara Ridha berkata :
Pendeknya para Ulama sepakat mengenai
sifat adil ‘Adi ibn Tsabit dan tsiqatnya. Mereka hanya mengkritik ‘Adi dalam
posisinya sebagai orang Syi’ah. Maksudnya orang yang sangat condong membela dan
berpihak kepada ‘Ali, baik dalam soal Khalifah maupun dalam pertempurannya melawan
Mu’awiyah. Namun hal itu tidak mengurangi nilai keadilan ‘Adi dan nilai
kehujjahan haditsnya. Karena itu Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya dan
menjadikannya sebagai hujjah. Apalagi dia bukan orang yang mempromosikan ajaran
bid’ahnya. Namun Imam Bukhari dan Muslim masih melakukan bertindak hati-hati
dan waspada, dengan tidak meriwayatkan dari ‘Adi hadits-hadits yang tampaknya
memperkuat ajaran bid’ahnya.
[Saya katakan] Saudara Ridha telah
bersikap jujur dan benar di dalam mengomentari ’Adi bin Tsabit al-Khatmi.
Beliau (’Adi bin Tsabit) tetap dijadikan hujjah di dalam haditsnya dikarenakan
ketsiqohan dan keadilan beliau, hanya saja beliau cenderung kepada Syiah namun
tidak menyeru kepada bid’ahnya walaupun beliau seorang imam masjid Syiah dan
orator mereka. Sebagaimana telah berlalu, periwayatan ahli bid’ah yang tidak
menyeru kepada bid’ahnya, tidak mempromosikan bid’ahnya dan tidak membelanya,
sedangkan ia seorang yang tsiqoh, adil, waro’ dan takwa serta tidak
menghalalkan dusta, maka haditsnya diterima.
5. Yahya bin Sa’id al-Qoththon
Biografi Global :
Nama : Yahya bin Sa’id bin Furuj al-Qoththon at-Tamimi,
Abu Sa’di al-Bashri al-Ahwal al-Hafizh, dikatakan beliau adalah maula bani
Tamim (dan ada yang berpendapat : tidak ada seorang pun yang pernah memberikan
perwalian atasnya.)
Lahir : 120 H.
Thobaqot : ke-9, dari atba’ut tabi’in kecil.
Wafat : 198 H.
Yang meriwayatkan darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi,
Nasa`i dan Ibnu Majah.
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : Tsiqoh mutqin
(mantap/kokoh) haafizh imaam qudwah (tauladan)
Tingkatannya menurut Adz-Dzahabi : al-Hafizh al-Kabir,
seorang penghulu di dalam ilmu dan amal. Berkata Ahmad : ”tidak ada kulihat ada
seorang yang semisalnya”.
Penilai Ulama atasnya :
Masih dalam Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi. Beliau
menyebutkan ta’dil (pujian) yang sangat panjang terhadap Yahya al-Qoththon. Berikut ini diantaranya :
و قال عمرو بن على ، عن يحيى بن سعيد : ما اجتمعت
أنا و معاذ فى شىء إلا قدمانى و قال أبو الخصيب المصيصى ، عن القواريرى : سمعت عبد
الرحمن بن مهدى يقول : ما رأيت أحدا أحسن أخذا للحديث و لا أحسن طلبا له من يحيى
بن سعيد القطان ، و سفيان بن حبيب .
Berkata Abul Khashib al-Mashishi dari
al-Qowariri : Aku mendengar ’Abdurrahman bin Mahdi berkata : ”Belum pernah aku
melihat seorangpun yang lebih baik di dalam mengambil hadits dan menuntutnya
selain daripada Yahya bin Sa’id al-Qoththon dan Sufyan bin Habib.”
و قال زكريا بن يحيى الساجى : حدثت عن على ابن
المدينى ، قال : ما رأيت أعلم بالرجال من يحيى بن سعيد القطان ، و لا رأيت أعلم
بصواب الحديث و الخطأ من عبد الرحمن بن مهدى ، فإذا اجتمع يحيى و عبد الرحمن على
ترك حديث رجل تركت حديثه ، و إذا حدث عنه أحدهما حدثت عنه
Berkata Zakaria bin Yahya as-Saaji : Aku
menceritakan dari ’Ali bin al-Madini beliau berkata : ”Belum pernah kulihat ada
orang yang lebih mengetahui tentang rijal (perawi hadits) selain Yahya bin
Sa’id al-Qoththon dan belum pernah aku melihat orang yang paling tahu tentang
benar dan salahnya suatu hadits daripada ’Abdurrahman bin Mahdi. Apabila Yahya
dan ’Abdurrahman bersepakat untuk meninggalkan hadits seseorang maka aku
tinggalkan haditsnya, dan apabila menceritakan salah seorang dari mereka sebuah
hadits maka aku juga turut menceritakannya.”
و قال عبد الله بن أحمد بن حنبل : سمعت أبى يقول
: حدثنى يحيى القطان و ما رأت عيناى مثله .
Berkata ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal :
Aku mendengar ayahandaku berkata : ”Menceritakan kepada Yahya al-Qoththon dan
belum pernah kedua mataku melihat orang yang seperti dia.”
و قال عبد الله بن بشر الطالقانى : سمعت أحمد بن
حنبل يقول : يحيى بن سعيد أثبت الناس . قال أحمد : و ما كتبت عن مثل يحيى بن سعيد .
Abdullah bin Bisyr al-Qohthoni berkata :
Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : ”Yahya bin Said adalah manusia yang
paling tsabat”. Ahmad berkata : ”Aku tidak pernah menulis dari orang yang
semisal Yahya bin Sa’id.”
و قال عباس الدورى ، عن يحيى بن معين : قال لى
عبد الرحمن بن مهدى : لا ترى بعينيك مثل يحيى بن سعيد القطان أبدا ! .
’Abbas ad-Dauri berkata dari Yahya bin
Ma’in : Berkata kepada ’Abdurrahman bin Mahdi : ”Kamu tidak bakal melihat
dengan kedua matamu ada orang yang semisal Yahya bin Sa’id al-Qoththon
selamanya!”
و قال أيضا ، عن يحيى بن معين : يحيى بن سعيد
أثبت من عبد الرحمن بن مهدى فى سفيان .
Beliau (’Abbas ad-Dauri) berkata juga :
Dari Yahya bin Ma’in : ”Yahya bin Sa’id lebih tsabat daripada ’Abdurrahman bin
Mahdi di dalam (riwayat) Sufyan.”
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت ليحيى بن معين :
يحيى بن سعيد فوق ابن مهدى ؟ قال : نعم .
Berkata Abu Zur’ah ad-Dimasyqi : Aku
berkata kepada Yahya bin Ma’in : ”Yahya bin Sa’id di atas Ibnu Mahdi?” Beliau
menjawab : ”iya”.
و قال أبو بكر بن خزيمة ، عن بندار : حدثنا يحيى
بن سعيد إمام أهل زمانه .
Berkata Abu Bakr bin Khuzaimah dari
Bandar : ”Menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id seorang imam pada zamannya.”
و قال الحسين بن إدريس : كان يحيى بن سعيد يشبه
التجار إذا نظرت إليه ، حتى يأخذ فى الحديث ، فإذا أخذ فى الحديث علمت أنه صاحب
حديث .
Berkata al-Husain bin Idris : ”Yahya bin
Sa’id itu apabila aku melihat dirinya mirip seperti pedagang, sampai ia
mengambil (riwayat) hadits, ketika ia mengambil suatu hadits maka aku tahu
bahwa ia adalah seorang ahli hadits.”
و قال محمد بن سعد : كان ثقة مأمونا رفيعا حجة .
و قال النسائى : ثقة ثبت مرضى .
Berkata Muhammad bin Sa’id : ”Dia adalah
orang yang tsiqoh ma`mun (mantap) rofi’an (tinggi derajatnya) dan hujjah.
Berkata an-Nasa`i : ”Tsiqoh Tsabat yang diridhai.”
و قال أبو زرعة : يحيى القطان من الثقات الحفاظ .
و قال أبو حاتم : ثقة حافظ .
Berkata Abu Zur’ah : ”Yahya al-Qoththon
adalah termasuk ats-Tsiqoot al-Huffaazh. Berkata Abu Hatim : ”Tsiqoh Haafizh.”
[Saya berkata] Dan sungguh, masih banyak
lagi untaian kata berderai bagi al-Imam as-Sunnah di zamannya, Yahya bin Sa’id
al-Qoththon, namun saya tutup pujian kepada beliau dengan apa yang dibawakan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu di dalam Tahdzibut Tahdzib (XI:220)
dari al-Kholili…
و قال الخليلى : هو أمام بلا مدافعة ، و هو أجل
أصحاب مالك بالبصرة ، و كان الثورى يتعجب من حفظه ، واحتج به الأئمة كلهم ، و
قالوا : من تركه يحيى تركناه . اهـ .
Al-Kholili berkata : ”Beliau adalah
seorang imam tanpa diragukan lagi, dan beliau termasuk sahabat utama Malik di
Bashrah. Ats-Tsauri terkagum-kagum dengan hafalannya dan para imam berhujjah
dengannya seluruhnya dan berkata, barangsiapa meninggalkan Yahya maka ia kami
tinggalkan.”
[Saya berkata] Perhatikan ucapan Imam
al-Kholili, yang mana beliau menyebutkan bahwa seluruh imam berhujjah dengan
Imam Yahya bin Sa’id al-Qoththon, seakan-akan beliau ingin menyatakan ijma’nya
penerimaan riwayat dari Yahya al-Qoththon. Bahkan ta’dil yang disebutkan oleh
para mu’addilin kepada beliau adalah ta’dil tingkatan pertama, yang tidak
ditemukan adanya jarh (celaan) atau cacat pada diri beliau.
Maka sekali lagi saya katakan bahwa apa
yang disebutkan Saudara Ridha di bawah ini…
Dari berbagai pendapat di atas nyatalah
bahwa para ulama sepakat mengenai keadilan, ketsiqatan dan kehujjahan hadits
Yahya al-Qaththan tanpa ada perselisihan. Mereka tidak ada yang melontarkan
kecaman kepadanya yang dapat merusak sifat adil dan kehujjahan haditsnya. Karena
itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya.
Adalah suatu ucapan yang benar, bilaa
mudafa’ah (tanpa diragukan lagi). Karena seluruh imam ahlus sunnah sepakat
menerima riwayatnya dan beliau adalah hujjah.
Namun, dimana letak klaim atau dakwaan
bahwa Imam Yahya bin Sa’id adalah tasyayu’ atau memiliki kecenderungan kepada
Syi’ah?! Saya tidak menemukan hal ini di dalam penelaahan baik terhadap
Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Mizan dan Taqribut
Tahdzib karya al-Hafizh, demikian pula dengan Syiaru ’A’lamin Nubalaa`dan
al-Miizan karya adz-Dzahabi, dll yang kesemuanya ada di Maktabah Syamilah v.2.
Bahkan penukilan saudara Ridha pun tidak menunjukkan adanya pendapat ulama yang
menuduh Imam Yahya bin Sa’id sebagai Syiah atau cenderung kepada Syiah. Lantas,
bagaimana bisa disebutkan sebagai perawi Syiah yang diambil periwayatannya oleh
ulama hadits ahlus sunnah?! Mungkin saudara Ridha lupa
kali… Allohu a’lam…
6. Yahya bin al-Jazar al-’Uroni al-Kufi
Biografi Global
Nama : Yahya bin al-Hajar al-’Uroni (atau al-’Aroni)
al-Kufi, laqob beliau Zabaan dan ada yang berpendapat Yahya bin Zabaan
[maksudnya yang Zabaan adalah ayahandanya, pent.], maula Bajilah.
Thobaqot : ke-3 dalam jajaran tabi’in pertengahan.
Yang meriwayatkan darinya : Muslim, Abu Dawud, Turmudzi,
Nasa`i dan Ibnu Majah.
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : Shoduq dituduh ghuluw
(ekstrem) di dalam kecenderungan kepada Syiah.
Tingkatannya menurut Dzahabi : Tsiqoh.
Penilaian ulama terhadapnya
Masih di dalam Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh al-Mizzi :
قال إبراهيم بن يعقوب الجوزجانى : كان غاليا
مفرطا .
Berkata Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajaani
: ”Dia orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas (di dalam tasyayu’)”
و قال أبو زرعة ، و أبو حاتم ، والنسائى : ثقة .
و ذكره ابن حبان فى كتاب ” الثقات ” .
Berkata Abu Zur’ah, Abu Hatim dan
an-Nasa`i : tsiqoh. Ibnu Hibban menyebutkan dirinya di dalam kitab ats-Tsiqoot.
Para jama’ah ahli hadits meriwayatkan
darinya kecuali Bukhari.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzibut
Tahdzib XI/192 membawakan penilaian ulama terhadapnya, diantaranya :
و قال ابن سعد : كان يغلو فى التشيع ، و كان ثقة
، و له أحاديث .
Berkata Ibnu Sa’d : ”Dia orang yang
ghuluw di dalam kesyi’ahannya, namun ia seorang yang tsiqoh dan memiliki
sejumlah hadits.”
و قال العجلى : كوفى ثقة ، و كان يتشيع .
Berkata al-’Ijli : ”Seorang penduduk
Kufah yang tsiqoh namun cenderung kepada Syiah.”
و روى العقيلى عن الحكم بن عتيبة أنه قال : كان
يحيى بن الجزار يغلو فى التشيع .
Al-’Uqoili meriwayatkan dari al-Hukm bin
’Utaibah yang berkata : ”Yahya bin al-Jazaar itu ghuluw di dalam
kesyia’ahannya.”
و قال حرب : قلت لأحمد : هل سمع من على ؟ قال :
لا .
Berkata Harb : Aku bertanya kepada Ahmad : ”Apakah ia
mendengar dari ’Ali?” Imam Ahmad menjawab : ”tidak”.
[Saya berkata] Yahya bin al-Jazar terhimpun padanya jarh
dan ta’dil. Ia dita’dil akan ketsiqohannya dan dijarh atas tasyayu’nya yang
cenderung berlebih-lebihan. Para imam menerima riwayat dari ahli bid’ah dengan
persyaratan sebagaimana telah dikemukakan di awal pembahasan, yaitu hendaklah
perawi ahli bid’ah itu tidak menyeru kepada bid’ahnya dan membawakan
periwayatan yang menyokong bid’ahnya, selain itu ia haruslah orang yang tsiqoh,
adil, taqwa dan waro’ serta tidak menghalalkan kedustaan. Riwayat yang seperti
ini diterima dan apabila tidak terpenuhi maka tertolak.
Saudara Ridha berkata :
Adanya kesepakatan ulama mengenai tsiqatnya Yahya ibn
Jazar –walaupun ada sebagian orang yang memandang tasyayyu’nya
berlebih-lebihan– menunjukkan bahwa kecenderungan Syi’ah Yahya belum sampai ke
tingkat yang dapat merusak ketsiqatan dan kehujjahan haditsnya. Dengan kata
lain, kesepakatan Ulama mengenai tsiqatnya Yahya menunjukkan bahwa ia bukan
pelaku bid’ah yang mengkafirkan, juga bukan orang yang mempromosikan
menghalalkan dusta untuk bid’ahnya. Ia juga bukan orang yang menguatkan
mazhabnya. Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, maka dapat diterima
riwayatnya, dan tidak ada halangan untuk berhujjah dengan haditsnya. Karena
itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya ibn Jazar. udah
dulu ya nunggu komentar anda dulu…. jazakallah atas komentar2 nya…..
Saya katakan : Apa yang dilontarkan oleh Saudara Ridha di
atas benar tidak salah. Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa ekstremnya
Yahya bin al-Jazar itu sampai kepada derajat mukaffirah (mengkafirkan
pelakunya). Para ulama hadits zaman dahulu, sering kali menyebut seseorang itu
ghuluw atau mufrith di dalam kecenderungan kepada Syiah, apabila ia membawakan
riwayat-riwayat yang berisi celaan kepada para sahabat dan pengagungan kepada
’Ali radhiyallahu ’anhu yang riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat munkar.
Sekiranya perawi itu sifatnya sebagaimana kaum Syiah pada umumnya, yang sampai
menghalalkan dusta maka derajat periwayatannya otomatis tertolak dan perawinya
dikatakan matruk…
Mulhaq (Tambahan) : Sejumlah Perawi Syi’ah Dalam
Timbangan
Sebenarnya banyak sekali para perawi syiah yang ditolak
periwayatannya dikarenakan karakternya yang gemar berbohong dan membual.
Mayoritas mereka disebutkan oleh para ulama sebagai matrukin (orang yang
ditinggalkan haditsnya karena tertuduh berdusta, walau derajatnya di bawah
al-Kadzdzab), adh-Dhu’afa’ bahkan ada yang kadzdzab. Berikut ini adalah
diantara mereka :
1. Muhammad bin Bisyr al-Kalbi al-Kufi as-Syi’i, salah
seorang matrukin sebagaimana bapaknya yang juga matruk.
Imam adz-Dzahabi berkata tentangnya dalam Siyaru A’laamin
Nubalaa` juz X hal. 101 :
روى عن أبيه كثيرا، وعن مجالد، وأبي مخنف لوط،
وطائفة.
Dia meriwayatkan banyak hadits dari
bapaknya, Mujalid (bin Sa’id), Abu Mikhnaf Luth dan sejumlah kelompok (syiah).
قال أحمد بن حنبل: إنما كان صاحب سمر ونسب، ما
ظننت أن أحدا يحدث عنه
Ahmad bin Hanbal berkata : ”Sesungguhnya
ia orang yang gemar bergadang dan seorang pendongeng. Aku tidak mengira ada
orang yang mau menyampaikan (riwayat) darinya.”
وقال الدارقطني وغيره: متروك الحديث
Ad-Daruquthni dan selain beliau berkata :
”orang yang matruk haditsnya.”
Di dalam Lisanul Mizan VI/19 disebutkan
bahwa Yahya bin Ma’in mengatakan :
غير ثقة، وليس عن مثله يروى الحديث.
”Tidak tsiqoh, tidak ada dari selainnya
yang meriwayatkan hadits.”
Ibnu Asakir berkata : ”Seorang Rafidhah
dan tidak tsiqoh.”
Al-’Uqoili memasukkannya ke dalam
adh-Dhu’afa’ al-Kabir juz IV, hal, 339, dan mengatakan tentangnya : ”Padanya
banyak kelemahan.”
Ibnul Jarud, Ibnu Sakan dan selainnya
juga menyebutkannya sebagai adh-Dhu’afaa’.
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam
al-Majruhin juz VIII, hal. 91 : ”Ia meriwayatkan dari bapaknya, Ma’ruf maula
Sulaiman dan dari orang-orang Iraq yang kontroversial dan berita-berita aneh
tak berdasar. Ia seorang penganut Syiah yang ekstrem dan berita-beritanya yang
kacau balau sudah cukup bagi orang yang mencari kejelasan dan keterangan
tentangnya.”
Ibnu ’Adi dalam al-Kamil fid Dhu’afaa
ar-Rijaal (VII:2568) mengatakan : ”Hisyam al-Kalbi adalah orang yang suka
membual di waktu malam, saya tidak melihat adanya suatu musnad yang
meriwayatkan daripadanya. Bapaknya juga seorang pendusta.”
2. Luth bin Yahya Abu Mikhnaf, seorang
perawi matrukin yang banyak diriwayatkan oleh perawi yang matruk pula.
Abu Hatim mengatakan tentangnya :
”matruk”.
Ad-Daruquthni dalam adh-Dhuafaa’
menyebutnya ”dha’if.”
Ibnu Ma’in menyebutnya : ”tidak tsiqoh”
dan ”laysa bi syai’ (tidak ada apa-apanya).”
Ibnu ’Adi dalam al-Kamil fidh Dhu’afaa’
(VI:2110) berkata tentangnya : ”Seorang syiah tulen dan nara sumber sejarah
mereka.”
Adz-Dzahabi dalam al-Mizan (III/419)
sendiri mengatakan : ”Perawi yang rusak tidak dapat dipercaya.”
3. Jabir bin Yazid al-Ju’fi, seorang
Syiah ekstrim yang pendusta dan meyakini aqidah sesat raj’ah (Reinkarnasi
’Ali).
Ibnu Ma’in mengomentarinya : ”Jabir
adalah kadzdzab (pendusta besar).” beliau juga berkata : ”Jabir tidak ditulis
haditsnya dan tidak ada martabatnya.”
Berkata Za`idah : ”Demi Alloh! Al-Ju’fi
itu pendusta yang meyakini aqidah raj’ah kaum syiah.”
Al-Jauzajaani mengatakan : ”Jabir al-Ju’fi adalah
pendusta.”
Abu Hanifah pun angkat suara : ”Saya belum pernah
menemukan orang yang kedustaannya melebihi Jabir al-Ju’fi.” sebagaimana dinukil
oleh adz-Dzahabi dalam al-Mizan.
An-Nasa`i dalam adh-Dhu’afaa’ wal Matrukin hal. 71 mengatakan
: ”Dia termasuk perawi yang matruk.”
Al-Ajurri dalam as-Su`alaat hal. 180 menukil ucapan Abu
Dawud : “Menurutku tidak ada kekuatan dalam (riwayat) haditsnya”
Bahkan lebih terang lagi adalah apa yang diucapkan Ibnu
Hibban dalam al-Majruhin (I/208) : ”Al-Ju’fi adalah pengikut aliran Saba’iyah
yaitu pengikut ’Abdullah bin Saba’ yang memiliki doktrin bahwa ’Ali akan
kembali ke dunia (raj’ah/reinkarnasi).”
Dan masih banyak lagi perawi-perawi Syi’ah yang matruk
ditinggalkan haditsnya dikarenakan sifatnya yang gemar berdusta, menghalalkan
dusta dan tidak kredibel alias tsiqoh.
Alhamdulillah, Syaikh ’Abdurrahman bin ’Abdullah az-Zar’i
memiliki kitab yang bermanfaat dalam masalah ini, judulnya Rijaal asy-Syi’ah
fil Miizan, diterbitkan oleh Darul Arqom, Kuwait. Bagi yang ingin memperluas wawasannya tentang
hal ini silakan merujuk ke sana…
Sebuah Peringatan Penting!!!
Wahai saudaraku kaum muslimin… ketahuilah
bahwa Syi’ah adalah suatu sekte atau aliran yang menyimpang dari Islam, mereka
tidak hanya gemar memalsu dan memanipulasi hadits dari Rasulullah, dan mereka
bukan saja kaum yang paling pendusta, namun mereka juga meyakini akan adanya
tahrif dan adanya perubahan pada Al-Qur’an, kecuali sebagian kecil mereka yang
masih dirahmati Alloh…
Lihatlah apa yang diucapkan oleh
as-Sayyid Hasyim al-Bahrooni seorang mufassir Syi’ah yang terkenal di dalam
muqoddimah tafsirnya ”al-Burhaan”, dia berkata :
وعندي يقين من وضوح صحة هذا القول (أي القول
بتحريف القرآن وتغييره) بعد تتبع الأخبار، وتفحص الآثار، بحيث يمكن الحكم بكونه من
ضروريات مذهب التشيع [البرهان في تفسير القرآن، مقدمة الفصل الرابع ص49 ط إيران].
”Dan aku sangat yakin akan terangnya
keshahihan pendapat ini (yaitu yang menyatakan) adanya tahrif (penyelewengan)
dan taghyir (perubahan) al-Qur’an) setelah meneliti berita-berita dan
menyelidiki atsar-atsar yang sangat memungkinkan menghukumi adanya hal ini
sebagai suatu hal yang dhoruri (pasti) dari madzhab Syi’ah, dan sesungguhnya
inilah tujuan-tujuan terbesar dirampoknya kekhilafahan, oleh karena itu
renungkanlah!” [Al-Burhan fi Tafsiiril Qur`an, pengantar pasal ke-4 hal. 49,
cetakan Iran; melalui perantaraan Baina Syi’ah wa Ahlus Sunnah karya
al-’Allamah Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullahu; Pimpinan Redaksi Majalah
”Turjumanul Hadits” Ahwar Pakistan dan Pimpinan Umum Jum’iyah Ahlil Hadits
Pakistan; download dari www.albrhan.com.]
Yang semisal dengan ini adalah apa yang
dilontarkan oleh Syaikh ’Ali Ashghor al-Barwujardi salah seorang tokoh Syi’ah
abad XIII dalam kitab Aqo`id-nya, dia berkata :
“وواجب
علينا أن نعتقد أن القرآن الأصلي لم يغير ولم يبدل وهو موجود عند إمام العصر
(الغائب) عجل الله فرجه، لا عند غيره، وإن المنافقين قد غيروا وبدلوا القرآن
الموجود عندهم” [كتاب عقائد الشيعة فارسي ص27-ط إيران].
”Dan wajib atas kita untuk meyakini bahwa
al-Qur’an yang asli itu tidak dirubah dan tidak diganti, dan kitab ini berada
di tangan Imam Akhir Zaman yang Ghaib -semoga Alloh menyegerakan keluarnya-
tidak pada selainnya. Sesungguhnya kaum munafikinlah yang telah merubah dan
mengganti al-Qur’an yang saat ini ada pada mereka.” [Kitab Aqo`idu asy-Syi’ah
Faarisi, hal. 27, cet. Iran; melalui perantaraan Baina Syi’ah wa Ahlus Sunnah,
ibid.].
[Saya berkata] Lantas, adakah kesesatan
yang lebih besar daripada ini? Apabila al-Qur’an yang ada di tangan kaum
muslimin saat ini adalah al-Qur’an yang telah diubah-ubah, lantas bukankah
berarti sekarang kaum muslimin tidak ubahnya layaknya ahli kitab yang kitab
mereka telah ditahrif dan ditabdil oleh tangan-tangan mereka sendiri?!! Lantas
dimanakah kebenaran Islam apabila Kitab Suci umat Islam sendiri diyakini telah
dirubah dan diganti?!! Allohul Musta’an wa Ilayhil Musytaka…
Adakah kekufuran yang lebih dahsyat
daripada ini? Yang membatalkan keabsahan al-Qur’an?!!
Suatu Kaidah Penting
Di dalam Tarikh ar-Rusul karya ath-Thobari
(IV/279), ada sebuah ucapan indah yang diucapkan oleh seorang sahabat yang
mulia lagi agung, Dzun Nur’ain yang menikahi dua puteri Rasulullah, seorang
Alul Bait setia yang wajib dicintai, ’Utsman bin ’Affan radhiyallahu ’anhu yang
mengatakan : ”Lihatlah kedudukan setiap orang, dan berikanlah apa yang menjadi
haknya secara proporsional.”
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh
sahabat yang agung ini, bahwa hendaknya kita berikan setiap orang itu apa yang
menjadi haknya secara proporsional. Jika ia adalah seorang yang jujur, adil,
terpercaya, takwa, waro’ (berhati-hati dari sesuatu yang haram), namun ia jatuh
kepada pemahaman yang menyimpang, namun ia tidak menyeru umat kepada
pemahamannya, tidak menyelisihi ushul Islam yang prinsip dan dhoruri, tidak
memiliki keyakinan yang mengkafirkan, maka kita berikan haknya sebagai muslim. Diterima periwayatannya
dan berita darinya, setelah melakukan verifikasi dan cek dan ricek tentunya.
Adapun mereka yang gemar berdusta dan membual, membangun
agamanya dari taqiyah, menghalalkan kedustaan bahkan menjadikannya sebagai
bagian dari agama, fanatik dan menyeru umat kepada kebid’ahannya, mencela para
sahabat Nabi yang mulia dan mengagungkan sebagiannya dengan pengagungan yang
berlebih-lebihan; maka orang yang seperti ini sangat layak dicap sebagai
pembual, pendusta, penipu, manipulator, pembohong dan wajib menolak riwayat dan
berita-berita darinya. Walaupun mereka membungkusnya dengan perkataan yang
indah-indah dan menghiasinya dengan penipuan-penipuan.
Di dalam menerima berita dari ahli bid’ah, ada suatu
kaidah yang mu’tabar yang perlu diperpegangi, yaitu :
الرجوع إلى الأمر المعلوم المحقق للخروج من
الشبوهات والتوهمات
”Kembali kepada perkara yang telah maklum
(diketahui) dan terpilih untuk keluar dari syubuhat dan kesamar-samaran.” atau
الموهم لا يدفع المعلوم والمجهول لا يعارض المحقق
”Sesuatu yang samar tidak dapat
mengalahkan yang maklum dan suatu yang majhul (tidak dikenal) tidak dapat
mengalahkan yang muhaqqoq (terpilih dan terang).” [Lihat Al-Qowa’iu Hisaan fi
Tafsiiril Qur’an karya al-’Allamah Nashir as-Sa’di, hal. 195].
Oleh karena itu, menerima pemberitaan
atau riwayat dari ahli bid’ah haruslah melakuan tabayun (verifikasi) dan
tatsabut (cek-ricek) dari referensi-referensi yang terpercaya agar kita
mengetahui hakikat sebenarnya. Dan betapa banyak shahibul hawa wal bid’ah
menggambarkan sesuatu yang tidak sebenarnya kepada umat Islam oleh sebab
dorongan hawa nafsu dan pembelaan terhadap madzhab batilnya, kemudian mereka
melakukan kedustaan dan talbis serta tadlis kepada umat, hanya untuk membohongi
umat bahwa mereka sebenarnya sama dengan ahlus sunnah, namun kenyataannya ahlus
sunnah berlepas diri dari mereka…
Alloh Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat
: 6)
وأرجو الله العلي القدير أن يخلص نياتنا لوجهه
الكريم، ويجعلنا مدافعين عن حوزة العقيدة الصحيحة والصراط المستقيم. إنه سميع مجيب.
Aku mohon kepada Alloh Yang Maha Tinggi
Lagi Berkuasa agar mengikhlaskan niat-niat kami hanya mengharam wajah-Nya Yang
Mulia, dan menjadikan kami sebagai orang-orang yang membela aqidah shahihah dan
ash-shirathal mustaqim. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Yang Maha
Menjawab/Mengabulkan.
Malang, 10 Rabi’ ats-Tsani 1428
28 April 2007-04-28
Akhukum, al-Faqir ila Maghfirati Rabbihi
Abu Salma at-Tirnatiy
Abu Hurairah Vs Jabir Al Ju'fi
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih?
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih? [2]
Benarkah Ajaran Syi'ah Putus Sanad ?
Masihkah Mahluk Syiah Khumainiyyah Berani Mengaku-Ngaku Sebagai Pewaris Ajaran
Ahlul bait?
Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat
Dari Kaum Syiah?
Bukti nyata kepalsuan Madzhab Syi’ah
Bantahan Ustadz Firanda : Habib Husain Al-Atas (Pengasuh
Radio RASIL), antara Syi'ah, Sunnah, atau Liberal ?!
Dialog Sunnah Syiah Syarafuddin As-Musawi
Diantara Dusta Syi’ah Atas Nama Al-Imam Al-Bukhariy
Imam Ja'far Ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik
Syi'ah. Al Bukhari Tidak Meriwayatkan Satu Hadits Pun Dari Imam
Ahlul Bait?
Imam Syafi’i : Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi dan
Biografi Singkat Imam Ahmad bin Hanbal
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya
akan banyak sekali hadis Shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak adalah
perkataan yang batil
Kaum Syiah, Golongan
Pemalsu Hadits Terdepan
Kepalsuan Madzhab Ja’fari
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih
Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali
Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Keujudan Abdullah Ibn Saba’ Dari Sumber Syiah
Kitab Shahih Mazhab Syi'ah
Konsep Batil Hadits Syiah, dari Cacat
Ruwat hingga Cacat Sanad
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih
Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali
Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [bagian I]
Lima strategi asas Syi‘ah dalam berhujah
dan Jawapan Ahl al-Sunnah ke atasnya : Keempat (Malaysia)
Mana Riwayat Jabir Al Ju'fi?
Membongkar Argumentasi Syi'ah
Menyoal Validitas Hadits Syi’ah
Metodologi Kritik Hadits Dalam Pandangan Syiah Imamiyah
(Pelengkap)
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya? Mengenal Sisi Lain Shahih
Al-Bukhari
Riwayat Hadits Nabi Saw Dari Kitab Sunni
Dan Syi'ah
Riwayat
Syi’ah dlm Shahihain (Bagian Pertama)
(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Riwayat
Syi’ah dlm Shahihain (updated !!) (Bagian Kedua)
(tanggapan
atas Habib Rizieq Shihab)
Sanad Hadits, Pentingkah?
Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah :
Jaabir Al-Ju’fiy, Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim
Sesatkah Syi’ah Ja’fariyah dan Pantaskah
Syi'ah Disebut Mazhab ?
Sumber ajaran syiah seri (satu)
Sumber ajaran syiah
seri (dua)
Syi’ah dan Riwayat Hadits dalam Kitab
Mereka [bagian 2]
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam
islam? Yang bener saja, ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah
membacanya..
Syiah Mencela Aisyah, Abu Hurairah,
Wahabi, Salafi
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/03/syiah-mencela-aisyah-abu-hurairah.html