Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
﴿٩٩﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ
الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu
telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan
izin Allâh. Dan Allâh menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya. [Yûnus/10:99-100]
TAFSIR RINGKAS
“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya,” maksudnya seandainya Allâh Azza wa Jalla
menghendaki orang-orang musyrik itu beriman, maka mereka semuanya akan beriman.
Ayat ini juga sebagai bentuk hiburan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk meringankan kepedihan dan kesedihan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam rasakan karena kaumnya tidak beriman, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu mendoakan mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat
siang dan malam. Allâh Azza wa Jalla
memberitahukan kepada Beliau, jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki maka
seluruh penduduk bumi menjadi orang yang beriman. Akan tetapi, permasalahan
keimanan adalah permasalahan yang berhubungan dengan pembebanan syariat
(taklîf), yang berkonsekuensi adanya balasan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya menawarkan kepada manusia untuk beriman, hanya sebagai sebuah
tawaran dan bukan paksaan. Barangsiapa beriman maka dia akan beruntung dan
barangsiapa tidak beriman maka dia akan binasa. Yang membuktikan hal ini adalah
firman Allâh Azza wa Jalla : “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” maksudnya, ini bukan
tanggung jawab yang dibebankan kepadamu.
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan
izin Allâh.” Ini adalah penegasan terhadap apa yang disebutkan sebelumnya bahwa
keimanan tidak akan sempurna pada seseorang kecuali hal tersebut berdasarkan
kehendak dan taqdîr Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
“Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menimpakan kemurkaan
kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,” maksudnya, Allâh
Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia untuk beriman dan juga menjelaskan kepada
mereka buah-buah keimanan yang baik dan Allâh memperingatkan kepada mereka dari
perbuatan mendustakan-Nya dengan menjelaskan dampak-dampak buruknya.
Barangsiapa beriman, maka dia akan terselamatkan dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala
akan menjadikannya bahagia. Barangsiapa tidak beriman, Allâh Subhanahu wa
Ta’ala akan timpakan kemurkaan kepadanya, yang berupa azab yang meliputinya
sebagai bentuk balasan atas perbuatan mereka yang tidak mempergunakan
akalnya.[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
كُلُّهُمْ جَمِيعًا
Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu
telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kalau Allâh Azza wa Jalla
menghendaki maka seluruh manusia menjadi orang yang beriman, tetapi pada
kenyataannya Allâh Azza wa Jalla menjadikan sebagian manusia beriman dan
sebagiannya lagi tidak beriman.
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan,
“Ayat ini sebagai bentuk hiburan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
karena Beliau sangat bersemangat untuk menjadikan manusia beriman seluruhnya.
Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan kepadanya bahwa tidaklah seseorang beriman
kecuali orang yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan baginya kebahagiaan dan
tidaklah seseorang sesat kecuali yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tetapkan
baginya kesengsaraan.”[2]
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah
berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengingatkan nabinya, ‘Dan
jikalau Rabb-mu menghendaki’ wahai Muhammad, ‘tentu telah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya’ kepadamu, dan mereka akan membenarkanmu sebagai
utusan-Ku. Dan mereka juga akan membenarkan apa-apa yang engkau bawa dan yang
engkau dakwahkan kepada mereka berupa tauhid kepada Allâh dan agar mereka
ikhlash beribadah untuk-Nya. Itu haq (benar), akan tetapi Allâh Subhanahu wa
Ta’ala tidak menginginkan hal tersebut, karena telah didahului oleh ketetapan (taqdîr)
Allâh sebelum Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutusmu sebagai seorang rasul,
bahwasanya orang tersebut tidak akan beriman kepadamu.
Tidak ada orang-orang yang mengikutimu
dan membenarkan petunjuk dan cahaya yang Allâh utus engkau untuk membawanya,
kecuali orang tersebut telah dicatat kebahagiaan untuknya di dalam kitab yang
pertama (al-Lauhul Mahfûzh) sebelum diciptakannya langit-langit dan bumi serta
apa yang ada di dalamnya.[3]
INGATLAH BAHWA HIDAYAH ITU DI TANGAN
ALLAH
Kita harus memahami bahwa seorang masuk
ke dalam agama Islam adalah berdasarkan hidayah dari Allâh. Apabila Allâh Azza
wa Jalla menginginkan maka orang tersebut akan masuk Islam dan jika Allâh Azza
wa Jalla tidak menginginkan maka tidak mungkin bisa dia masuk ke dalam agama
Islam.
Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Seperti itulah Allâh menyesatkan
orang-orang yang dikehendakinya dan memberi petunjuk siapa saja yang
dikehendakinya. [Al-Muddatstsir/74:31]
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan
hujjah dan keterangan yang jelas kepada seluruh manusia. Seandainya seluruh
manusia dijadikan beriman atau sebaliknya, maka Allâh Maha Mampu untuk
melakukannya. Akan tetapi, sudah menjadi ketetapan Allâh Azza wa Jalla bahwa di
antara manusia ada yang beriman dan ada yang kafir. Allâh Azza wa Jalla tidak
ditanya atas apa yang Allâh lakukan tetapi merekalah yang akan ditanya atas apa
yang mereka lakukan.
Adapun hidayah at-tablîgh (menyampaikan),
hidayah al-bayân (menjelaskan) atau hidayah ad-dakwah (berdakwah) maka ini
adalah tugas dari para rasul dan para da’i. Mereka dibebankan untuk selalu
berdakwah, tetapi hasilnya adalah terserah Allâh.
Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. [Al-Qashash/28:56]
Begitu pula dalam ayat lain, semisal
dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat ke-272.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا
مُؤْمِنِينَ
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bisa memaksakan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
inginkan, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala sudah menetapkan bahwa tetap akan
ada orang-orang yang tidak menerima dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Ayat-ayat yang semisal dengan ayat ini
Ada beberapa ayat yang semisal dengan
ayat ini, di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَوْ أَنَّ قُرْآنًا سُيِّرَتْ بِهِ الْجِبَالُ
أَوْ قُطِّعَتْ بِهِ الْأَرْضُ أَوْ كُلِّمَ بِهِ الْمَوْتَىٰ ۗ بَلْ لِلَّهِ
الْأَمْرُ جَمِيعًا ۗ أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ
اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا ۗ وَلَا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا
تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ
حَتَّىٰ يَأْتِيَ وَعْدُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
Maka tidakkah orang-orang yang beriman
itu mengetahui bahwa seandainya Allâh menghendaki (semua manusia beriman),
tentu Allâh memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang
kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau
bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji
Allâh. Sesungguhnya Allâh tidak menyalahi janji. [Ar-Ra’d/13:31]
Juga firman-Nya:
إِنْ تَحْرِصْ عَلَىٰ هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ ۖ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka
dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allâh tiada memberi petunjuk kepada orang
yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong.
[An-Nahl/16:37]
Ikhlas Dan Berhasil Dalam Berdakwah Bukan
Ditentukan Dengan Jumlah Pengikut
Banyak yang salah paham dalam menilai
keberhasilan dakwah seseorang. Banyak yang menilai hanya dengan banyaknya
pengikut yang memenuhi ajakan orang tersebut. Padahal seseorang dinilai
berhasil dalam berdakwah oleh Allâh, apabila dia berdakwah ikhlas hanya untuk
Allâh, bukan untuk meninggikan namanya, mendapatkan kedudukan, mencari dunia
atau berbangga dengan banyaknya jumlah pengikut, serta dia berdakwah dengan
menggunakan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berdakwah.
Ada Nabi yang sangat ikhlas dalam
berdakwah tetapi mereka hanya memiliki beberapa pengikut dan ada Nabi yang
tidak memiliki pengikut. Apakah kita katakan bahwa mereka tidak berhasil di
dalam berdakwah? Mereka telah berdakwah dengan cara terbaik, hanya saja Allâh
Azza wa Jalla tidak menginginkan mereka memiliki banyak pengikut. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَم فَجَعَلَ يَمُرُّ
النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيُّ
مَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Ditampakkan kepadaku umat-umat, kemudian lewatlah
seorang nabi yang bersamanya hanya satu orang, seorang nabi yang bersamanya dua
orang, seorang nabi yang bersamanya beberapa orang dan seorang nabi yang tidak
ada seorang pun bersamanya.[4]
Kita semua mengetahui bahwa seluruh nabi
adalah utusan Allâh dan mereka orang-orang terbaik pilihan Allâh Azza wa Jalla
. Tentu kita yakin mereka berdakwah ikhlash hanya untuk Allâh Azza wa Jalla .
Meskipun demikian, ternyata ada juga nabi yang hanya memiliki sedikit pengikut
bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut. Dan ini menjadi pelajaran untuk
para da’i atau orang-orang yang mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang
manusia dari perbuatan mungkar untuk bisa ikhlas dan tidak merasa sakit hatinya
jika dakwahnya tidak diterima oleh masyarakat, serta tidak berbangga dengan
banyaknya pengikutnya.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan
izin Allâh.”
Arti ‘illaa
biidznillaah‘ (dengan izin Allâh) menurut Ibnu Abbas z adalah dengan perintah
Allâh; Menurut ‘Atha’ rahimahullah adalah dengan kehendak Allâh; Dan disebutkan
pendapat lain yaitu dengan ilmu Allâh.[5] Sedangkan menurut Sufyan ats-Tsauri
rahimahullah artinya adalah dengan qadha’ Allâh (taqdîr Allâh).[6]
Kesemuanya bermakna satu, yaitu seseorang tidak mungkin
beriman kecuali Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak dan taqdirkan dia sebagai
seorang Muslim.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN HIDAYAH BISA BISA DITERIMA
OLEH SESEORANG
Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, “Jika
faktor-faktor penyebabnya belum dilakukan sebagaimana mestinya, tidak sempurna
juga syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya tidak dihilangkan, maka
hasil-hasil (yang diinginkan) tidak akan terwujud, suka atau tidak suka. Karena
hasil-hasil tersebut bisa terwujud atau tidak bisa terwujud bukan atas
pilihannya. Dan juga, asy-Syâri’ (Pembuat syariat) tidak menjadikan sebab-sebab
itu untuk mendapatkan hasil-hasil kecuali bersamaan dengan adanya syarat-syarat
dan hilangnya penghalang-penghalang. Apabila belum terpenuhi maka sebab tidak
akan sempurna untuk menjadi sebab syar’i, sama saja, apakah kita mengatakan
bahwa kelengkapan syarat dan hilangnya penghalang adalah bagian dari sebab
ataukan bukan, maka (yang terpenting) hasilnya adalah sama.”[7]
Maksud dari perkataan beliau adalah meskipun seseorang
sudah menjalankan atau mengerjakan seluruh sebab dalam berdakwah, tetapi
ternyata syarat-syarat bagi orang yang didakwahi belum terpenuhi dan terdapat
penghalang-panghalang untuk orang yang didakwahi tersebut untuk menerima Islam,
maka orang tersebut tidak akan memeluk agama Islam.
Tidakkah kita mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ
حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۖ فَلَا
تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
Maka apakah orang yang dijadikan (setan)
menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik,
(sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allâh
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.
Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. [Fâthir/35:8]
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TELAH
MENTAQDIRKAN PENGHUNI SURGA DAN PENGHUNI NERAKA
Allâh Azza wa Jalla sudah mentaqdirkan
siapa saja yang akan masuk ke dalam surga dan siapa saja yang akan masuk ke
dalam neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ عَلِيٍّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ :
كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَأَتَانَا النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ … قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَد مَا
مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ
وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً ، أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ
اللهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا
مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا
مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ
الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ
السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ
ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى} الآيَةَ.
Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu
bahwasanya dia berkata, “Dulu kami sedang mengurus jenazah di (kuburan) Baqi’
al-Gharqad, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Beliau duduk
dan kami pun duduk semuanya di sekitar Beliau … Beliau berkata, ‘Tidak ada di
antara kalian dari jiwa yang ditiupkan (ruh) kecuali dia telah dicatat
tempatnya, apakah nanti dia di surga ataukah di neraka dan telah dicatat juga
apakah dia sengsara ataukah bahagia.’ Kemudian berkatalah seorang laki-laki,
‘Apakah kami bergantung dengan catatan kami dan kami meninggalkan amalan? Barangsiapa di antara kami
termasuk golongan yang bahagia maka dia akan beramal dengan amalan golongan
yang bahagia. Dan barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang sengsara,
maka dia akan beramal dengan amalan golongan orag yang sengsara?’ Beliau
berkata, ‘Adapun orang yang berbahagia maka akan dimudahkan untuk beramal
dengan amalan golongan yang berbahagia dan orang yang sengsara maka akan
dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang sengsara.’ Kemudian beliau
membaca: ‘Adapun orang yang memberikan dan bertakwa …'(Ayat).”[8]
Di dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu ,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan hadits qudsi:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى يَا آَدَمُ فَيَقُولُ
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ أَخْرِجْ بَعْثَ
النَّارِ قَالَ وَمَا بَعْثُ النَّارِ قَالَ مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَمِئَةٍ
وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ
حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ
عَذَابَ اللهِ شَدِيدٌ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ
قَالَ أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلٌ وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفٌ
ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فَكَبَّرْنَا فَقَالَ أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فَكَبَّرْنَا فَقَالَ أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَكَبَّرْنَا فَقَالَ مَا أَنْتُمْ فِي النَّاسِ إِلاَّ كَالشَّعَرَةِ
السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَبْيَضَ ، أَوْ كَشَعَرَةٍ بَيْضَاءَ فِي جِلْدِ
ثَوْرٍ أَسْوَدَ
Allâh Azza wa Jallaberfirman, ‘Wahai
Adam!’ Kemudian Adam berkata, ‘Labbaika wa sa’daika! Kebaikan berada di
tangan-Mu.’ Allâh pun berkata, ‘Pisahkanlah penghuni-penghuni neraka!’ Adam
berkata, ‘Siapakah penghuni-penghuni neraka itu?’ Allâh berkata, ‘Di setiap
1000 orang ada 999 orang.’ Itu adalah ketika anak kecil akan beruban, setiap
wanita hamil akan keguguran dan kamu melihat menusia seolah-olah mabuk, padahal
mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allâhlah yang sangat pedih.”
Para Sahabat pun berkata, “Ya Rasûlullâh!
Siapakah di antara kami satu orang tersebut?” Kemudian Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Bergembiralah kalian. Sesungguhnya dari setiap
orang dari kalian, maka dari Ya’juuj dan Ma’juuj ada seribu orang.” Kemudian
Beliau berkata, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya saya
berharap kalian menjadi seperempat ahli surga.” Kemudian kami pun bertakbir
(Allaahu akbar). Kemudian beliau berkata, “Saya berharap agar kalian menjadi
sepertiga ahli surga.” Kemudian kami pun bertakbir. Kemudian beliau pun
berkata, “Saya berharap kalian menjadi setengah dari seluruh penghuni surga.”
Beliau berkata, “Tidaklah jumlah kalian, kecuali seperti satu rambut hitam di
kulit sapi jantan yang putih atau seperti rambut putih di kulit sapi jantan
yang hitam.”[9]
Firman Allâh Ta’ala:
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا
يَعْقِلُونَ
Dan Allâh menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan,
“Adapun perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “dan Allâh menimpakan kemurkaan
kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,’ sesungguhnya Allâh Azza
wa Jalla mengatakan bahwa sesungguhnya Allâh memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dikehendakinya untuk beriman kepadamu wahai Muhammad dan
memberi izin kepadamu untuk membenarkanmu, sehingga dia bisa membenarkan dan
mengikutimu serta mengakui apa-apa yang engkau bawa dari sisi Rabb-mu.
‘Dan Allâh menimpakan ar-rijs
(kemurkaan),’ maksudnya adalah azab dan kemarahan Allâh ‘kepada orang-orang
yang tidak mempergunakan akalnya,’ maksudnya adalah orang-orang yang tidak
memahami hujjah–hujjah (dalil-dalil) dari Allâh, begitu pula
pelajaran-pelajaran dan ayat-ayatnya yang Allâh tunjukkan kepada kenabian
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hakikat yang beliau serukan berupa
tauhid dan berlepas dari seluruh saingan-saingan dan berhala-berhala.”[10]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengartikan
ar-rijs dengan al-khabâl (kekurangan/kehancuran) dan adh-dhalâl
(kesesatan).[11] Allâhu a’lam bishshawâb.
BERSYUKURLAH ATAS KENIKMATAN HIDAYAH
ISLAM
Sudah sepantasnya kita bersyukur telah
memeluk agama Islam, dan sudah sepantasnya kita berharap agar hidayah ini bisa
terus diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla sampai kita menghembuskan nafas
terakhir. Dan sudah sepantasnya kita selalu berharap kepada Allâh Azza wa Jalla
untuk selalu bisa beristiqâmah menjalan perintah-perintah Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dan menjauhi larangan-larangannya. Mudah-mudahan Allâh mematikan kita
semua dalam keadaan mati yang baik (husnul-khaatimah). Dan mudahan bermanfaat.
Amin.
KESIMPULAN
Jika Allâh Azza wa Jalla berhehendak maka
seluruh manusia akan beriman, tetapi Allâh tidak menghendakinya.
Tidak ada kewajiban untuk para nabi dan
para da’i untuk mengislamkan seluruh manusia, tetapi mereka wajib berdakwah
dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hidayah berada di tangan Allâh dan Allâh
Azza wa Jalla sudah tetapkan siapa saja yang akan menjadi orang yang bahagia
dan memeluk Islam dan siapa saja orang yang sengsara dan tetap dalam
kekufurannya.
Allâh akan mengazab orang-orang yang
ingkar kepada-Nya.
Seorang Muslim wajib bersyukur atas
hidayah Islam dan harus selalu berharap untuk bisa beristiqamah di jalan Allâh
ta’ala.
DAFTAR PUSTAKA
Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr wa
bihaamisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa
Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad
Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.Al-Muwafaqaat. Ibrahim bin Musa
bin Muhammad bin Al-Lakhmi Asy-Syathibi. Kairo: Dar Ibni ‘Affan.
Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir
Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah Minal-Kitab
Was-Sunnah Wa Ijma’ ash-Shahâbah. Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur
Al-Laalakaa-i Abul-Qasim. Ar-Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhî Isma’iil bin ‘Umar bin
Katsiir. 1420
H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah
tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_______
Footnote
[1].
Lihat Aisar At-Tafâsîr, hlm. 624-625.
[2]. Tafsir al-Baghawi
IV/153.
[3]. Tafsir
Ath-Thabari XV/211.
[4]. HR.
Al-Bukhâri, no. 5752 dan Muslim, no. 220.
[5]. Tafsir Al-Baghawi, IV/153.
[6]. Tafsir At-Thabari, XV/214.
[7]. Al-Muwâfaqât Lisy-Syâthibi 1/345.
[8]. HR.
Al-Bukhâri, no. 1362 dan Muslim, no. 2647.
[9]. HR.
Al-Bukhâri, no. 3348 dan Muslim, no. 222.
[10]. Tafsir
ath-Thabari, XV/214.
[11]. Tafsir Ibni
Katsir, IV/298.