[1]. Termasuk penyimpangan dalam manhaj: bergagung dengan kelompok-kelompok atau partai-partai
Celaan Terhadap Hizbiyyah dan Fanatik Golongan
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَإِنَّ هٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ * فَتَقَطَّعُوْا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُــرًا كُلُّ حِزْبٍ بِـمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
"Sesungguhnya (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Rabb-mu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka terpecah-belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap “Hizb” (golongan) merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mu’minuun: 52-53).
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
...وَلَا تَكُونُوْا مِنَ الْمُشْرِكِينَ * مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَـعًا كُلُّ حِزْبٍ بِـمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap “Hizb” (golongan) merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum: 31-32).
“Al-Hizb” secara bahasa adalah: golongan (kumpulan) dari manusia, berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemaslahatan yang menyeluruh…
Bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi orang yang berakal bahwa: setiap “Hizb” mempunyai: prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern, dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi kelompok “Hizb”, meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang…
Maka undang-undang itu adalah asas wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan), (asas) persatuan dan perpecahan, (asas) kepedulian dan ketidakpedulian.
Atas pertimbangan yang demikian; maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua “Hizb”, yaitu: Hizb Allah dan Hizb setan, yang menang dan yang kalah, yang muslim dan yang kafir.
Orang yang memasukkan hizb-hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain ke dalam hizb Allah, maka dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah belah kalimat Allah -Ta’aalaa-.
Seorang muslim wajib untuk meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit dan terkutuk yang telah melemahkan hizb Allah dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok/golongan/jama’ah. Supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah.
[Lihat: “Ad-Da’wah Ilallaah Baina At-Tajammu’ Hizbiyy Wa At-Ta’aawun Asy-Syar’iyy” (hlm. 53-55), oleh Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsari -hafizhahullaah-]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata: “Barangsiapa mengangkat pemimpin -siapa pun orangnya- lalu wala’ dan bara’-nya menurut persetujuan perkataan/perbuatannya, maka ia termasuk:
مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِـمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
"orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan…” (QS. Ar-Ruum: 32).
[“Majmuu’ Fataawaa” (XX/8)]
Beliau juga berkata: “Barangsiapa bergabung (berjanji setia) bersama orang tertentu untuk memberikan loyalitas kepada orang yang loyal kepadanya dan memusuhi orang yang memusuhinya, maka ia serupa dengan bangsa Tatar yang berperang di jalan setan. Dan yang seperti ini bukanlah termasuk orang yang berjuang di jalan Allah, tidak pula termasuk tentara kaum Muslimin, bahkan mereka lebih pantas menjadi bala tentara setan.”
[“Majmuu’ Fataawaa” (XXVIII/20-21)]
-dinukil secara ringkas dari: “Mulia Dengan Manhaj Salaf” (361-364- cet. ke-12), karya Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-
[2]. Tidak boleh berkumpul dengan ahlul bid’ah, karena akan hilang amar ma’ruf nahi munkar.
Penjelasan Tentang Keharusan Menjauhi Ahli Bid’ah
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَـخُوْضُوْنَ فِـيْ آيَـاتِــنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَـخُوْضُوْا فِـيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“
Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika syaitan menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-An’aam: 68).
Imam Asy-Syaukani -rahimahullaah- (wafat th. 1250 H) berkata: “Dalam ayat ini terdapat nasihat yang agung bagi orang yang masih memperbolehkan untuk duduk bersama ahli bid’ah; yang mereka itu mengubah Kalam Allah, dan mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak.
Maka sesungguhnya jika seseorang tidak dapat mengingkari mereka dan tidak dapat mengubah keadaan mereka, maka minimalnya (paling tidak) ia harus meninggalkan duduk dengan mereka, dan yang demikian itu mudah baginya dan tidak sulit.
Bisa jadi para ahli bid’ah memanfaatkan hadirnya seseorang di majlis mereka, meskipun ia terhindar dari syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengaburkan dengan syubhat tersebut kepada orang-orang awam, maka hadirnya seseorang dalam majlis ahli bid’ah merupakan kerusakan yang lebih besar daripada sekedar kerusakan berupa mendengarkan kemungkaran. Dan kami telah melihat di majelis-majelis yang terlaknat ini yang jumlahnya banyak sekali, dan kami bangkit untuk membela kebenaran, melawan kebathilan semampu kami, dan mencapai kepada puncak kemampuan kami.
Barang siapa mengetahui syari’at yang suci ini dengan yang sebenar-benarnya, maka dia akan mengetahui bahwa bermajelis dengan ahlul bid’ah kerusakannya lebih besar (berlipat ganda) dibandingkan bermajlis dengan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang diharamkan, lebih-lebih lagi bagi orang yang belum mapan ilmunya tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia mungkin sekali terpengaruh dengan kedustaan mereka berupa kebathilan yang jelas sekali, lalu kebathilan tersebut akan tergores di dalam hatinya sehingga sangat sulit sekali mencari penyembuh dan pengobatannya, maka dia pun mengamalkannya sepanjang umurnya. Dan ia akan menemui Allah dengan kebathilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu merupakan sebesar-besar kebathilan dan sebesar-besar kemunkaran.”
[“Faidhul Qadiir” (II/128-129, cet. Daarul Fikr, th. 1393 H)]
-dinukil dari: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” (hlm. 521-523- cet. ke-15), karya Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-
Ahmad Hendrix
Persatuan
lintas manhaj & aqidah
Hari demi hari semakin banyak ujian bagi
dakwah salafiyah dan salafiyyin, baik dari dalam maupun dari luar. Semoga Allah
senantiasa menetapkan hati kita diatas manhaj salafi sejati hingga akhir hayat
nanti. Dan semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah kelompok-kelompok sesat
kapan dan dimanapun kita berada. Aamin.
Diantara ujian tersebut adalah merasuknya
virus kelompok Ikhwanul Muslimin (kelompok harakah/pergerakan) ke dalam relung
manhaj sebagian yang mengaku sebagai dai salafi. Mulai dari meninggalkan atau
tidak mengutamakan dakwah kepada tauhid uluhiyah (atau aqidah salaf), lebih
mementingkan kuantitas (menarik massa sebanyak-banyaknya) daripada kualitas,
menyeru kepada fiqih waqi’/realita (fiqih koran), ingin masuk ke ranah
politik/parlemen, mengkritik pemimpin kaum muslimin di hadapan umum (di
internet atau pun medsos).
Dan diantara virus mereka yang juga lagi
semarak di akhir-akhir ini adalah bersatunya sebagian orang yang menisbatkan
diri sebagai dai salafi (baik dalam menyusun organisasi/perkumpulan dakwah)
dengan ahli bid’ah atau yang bukan di atas dakwah salafiyah atau yang punya
pemikiran harakah (seperti fiqih koran, punya web yang suka mencela presiden RI
dan suka menjadikan web kelompok Khawarij sebagai sumber informasi,
menterjemahkan buku-buku dai harakah seperti ‘Aidh Al-Qarni dll) meski dilebeli
dai salafi. Allahu al-musta’aan (kepada Allah lah kita memohon pertolongan).
Bahkan bukan hanya bersatu namun mentokohkan mereka. Tanpa sadar mereka sudah
terjangkiti virus kaidah ikhwaniyah “Kita tolong menolong dalam hal yang kita
sepakati dan kita saling memberi udzur dalam hal yang kita perselisihkan”? [1]
. Hal ini semakin memperparah keadaan sebagian jamaah salafiyyin yang tidak
bisa lagi membedakan mana da’i salafi sejati yang bisa diambil ilmunya dan mana
da’i haraki yang berlebel salafi (alias salafi KW) yang tidak boleh diambil
ilmunya. Maka benar apa yang dikatakan oleh salah seorang ikhwah ketika penulis
bertanya kepadanya : Bagaimana pendapat antum tentang dakwah salafiyah di
negeri kita sekarang ini? Beliau menjawab : Faudha/kacau. Wa ilallah
al-musytaka (kepada Allah lah aku mengeluhkan keadaan ini).
Maka dalam rangka melaksanakan sabda
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam “Agama adalah nasehat” kita akan nukilkan beberapa ucapan ulama
dakwah salafiyah tentang hal ini. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi
para pengibar bendera dakwah salafiyah dan bisa meluruskan yang bengkok serta
mengembalikan mereka [2] ke jalan yang lurus dan membentengi yang lain dari
virus-virus diatas dengan seijin dari Allah ta’ala :
1. Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Syaikh Abdul
Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah
bin Abdurrahman Al-Ghudayyan, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid, Syaikh Shaleh
bin Fauzan Al-Fauzan –semoga Allah merahmati mereka yang telah meninggal dunia
dan menjaga yang masih hidup dari mereka-)
Pertanyaan : Sesuai dengan firman Allah :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ
وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِۚ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah : 2)
Ada yang mengatakan : Bahwa wajib untuk
kita bersatu/bergotong-royong dengan semua kelompok-kelompok Islam meskipun berbeda
dalam manhaj dakwah mereka. Karena manhaj kelompok jama’ah tabligh berbeda
dengan manhaj kelompok ikhwanul muslimin atau hizbut tahrir, jama’ah jihad,
atau salafiyin. Bagaimanakah aturan dalam kita bergotong-royong tersebut?
Apakah hanya pada saat muktamar atau seminar bersama? Dan bagaimana cara
menyeru selain kaum muslimin –dalam hal ini terdapat kerancuan dalam benak
orang yang baru masuk Islam-? Karena setiap kelompok akan mengarahkan yang lain
kepada markaz mereka dan kepada ulama mereka. Hal ini akan menyebabkan
kebingungan dalam diri kaum muslimin? Bagaimana cara mengatasi hal ini?
Jawaban : Yang wajib adalah
bersatu/bergotong-royong dengan kelompok yang berjalan di atas Al-Qur’an dan
As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf dalam berdakwah kepada tauhid,
mengikhlaskan ibadah kepada Allah, serta memperingatkan umat dari kesyirikan,
bid’ah dan maksiat, serta menasehati kelompok yang menyimpang. Jika mereka mau
kembali kepada kebenaran maka kita bersatu/bergotong-royong dengan mereka.
Namun jika mereka tetap dalam penyimpangan, maka wajib untuk menjauh darinya
serta tetap berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bergotong-royong dengan kelompok yang
berpegang teguh dengan manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dalam berbagai bidang
yang disitu ada kebaikan dan ketakwaan, baik dalam seminar, muktamar, kajian,
dan setiap hal yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. [3]
2. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu
pernah ditanya : Apakah mungkin (kelompok-kelompok kaum muslimin) bersatu
dengan adanya perbedaan manhaj dan aqidah?
Beliau menjawab : Tidak mungkin bersatu
dengan adanya perbedaan manhaj dan aqidah. Sebaik-baik bukti dalam hal ini
adalah keadaan bangsa arab sebelum diutusnya Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dahulu mereka berpecah-belah dan saling bermusuhan. Ketika mereka masuk
Islam dan dibawah bendera tauhid, aqidah mereka satu dan manhaj mereka satu
maka bersatulah mereka dan berdiri negara mereka. Dan Allah mengingatkan mereka
tentang hal ini lewat firman-Nya :
وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ
كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ
إِخۡوَٲنً۬ا
"Dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara." (QS. Ali Imran : 103)
Dan Allah berfirman :
وَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِہِمۡۚ لَوۡ أَنفَقۡتَ
مَا فِى ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعً۬ا مَّآ أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَـٰڪِنَّ
ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَہُمۡۚ إِنَّهُ ۥ عَزِيزٌ حَكِيمٌ۬
"Walaupun kamu membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
Maha gagah lagi Maha Bijaksana." (QS. Al- Anfal : 63)
Allah ta'ala tidak akan menyatukan hati
orang-orang kafir dan yang murtad serta kelompok-kelompok sesat. Namun Allah
hanya menyatukan hati orang-orang yang beriman yang bertauhid. Allah berfirman
tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj Islam dan aqidah
Islam :
تَحۡسَبُهُمۡ جَمِيعً۬ا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰۚ
ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٌ۬ لَّا يَعۡقِلُونَ
"Kamu kira mereka itu bersatu,
sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka
adalah kaum yang tidak mengerti." (QS. Al-Hasyr : 14)
وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَن
رَّحِمَ رَبُّكَۚ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." (QS.Huud :
118-119)
(Yang diberi rahmat) adalah mereka yang
berpegang teguh dengan aqidah serta manhaj yang benar. Dan mereka lah yang
selamat dari perselisihan tersebut.
Orang-orang yang berusaha untuk
menyatukan manusia diatas kerusakan aqidah dan manhaj yang berbeda, mereka itu
melakukan hal yang mustahil. Karena menggabungkan antara dua hal yang
bertentangan termasuk suatu yang mustahil. Tidaklah yang menyatukan hati serta
barisan (kaum muslimin) melainkan kalimat tauhid لا إله
إلا الله . Jika memang dipahami maknanya serta
diamalkan konsekuensinya. Bukan sekedar dilafadzkan saja tapi diselisihi
kandungan isinya. Maka tidak lah bermanfaat kalimat tauhid tersebut.[4]
Beliau juga mengatakan : Tidak ada
kelompok yang selamat kecuali hanya satu saja yaitu yang berjalan diatas metode
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau[5]. Inilah manhaj
yang wajib bersatu diatasnya. Dan manhaj-manhaj yang menyelisihinya itu memecah
belah dan tidak menyatukan....kita tidak boleh bersatu kecuali diatas manhaj
salafush shalih.[6]
3. Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad
hafidzahullahu ketika mengomentari kaidah ikhawaniyah diatas berkata : “Yang
layak bahkan yang wajib bagi para pengikut da’i (yang menyeru kepada kaidah
diatas) daripada mengamalkan kaidah tersebut untuk mengumpulkan semua kelompok-kelompok
sesat bahkan yang paling sesat pula yaitu Rafidhah. Lebih baik dia mengamalkan
kaidah cinta dan benci karena Allah. Yang dengan kaidah tersebut maka tidak ada
ruang untuk dia memberi udzur (bersatu) dengan kelompok sesat dan yang
menyelisihi ahlussunnah wal jama’ah.[7]
4. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
rahimahullahu ketika berkata tentang jihad pertama di Afghanistan : Ketika
masalah itu semakin rumit dan ini yang kita khawatirkan yaitu hizbiyah yang
menyatukan sufi, syi’i, fasik dan shalih kemudian setelah itu (kalahnya uni
soviet), mereka berperang sendiri untuk mendapatkan kedudukan. Karena pondasi
persatuan mereka tersebut bukan pondasi keimanan yaitu tunduk kepada Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau kepada hukum Allah.[8]
5. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi
rahimahullahu berkata : Tidak boleh bagi pengikut kebenaran untuk bersatu
dengan pengikut kebatilan. Tidaklah hal ini (persatuan antara semua kelompok)
kecuali penipuan. Karena kemenangan tidak akan terwujud kecuali dengan
kebenaran saja. Adapun kebatilan maka kita tidak boleh bersatu dengannya namun
kita harus menjauhinya.....Adapun para pengekor hawa nafsu (kelompok sesat)
mereka menginginkan untuk kita bersatu dengan mereka. Akan tetapi seorang
penuntut ilmu salafi yang berjalan diatas agama Allah, diatas Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush
shaleh tidak boleh bersatu dengan mereka.[9]
Wallahu ta’ala a’lam
[1] Ini adalah kaidah yang batil dan
sesat yang meruntuhkan aqidah wala’ dan bara’ ahlussunnah wal jamaah. Untuk
mengetahui bantahan kaidah tersebut lihat kitab “Zajru Al-Mutahawin bi Dharari
qaidah Al-Ma’dzirah wa At-ta’awun” oleh Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman
dengan diberi muqaddimah oleh Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-‘Abbad
Al-Badr.
[2] Terutama bagi yang hobi berorganisasi
sangat diwajibkan memahami kaidah ini. Jangan hanya bermodalkan semangat
mendirikan organisasi, yayasan, perhimpunan, perkumpulan atau apapun namanya
sebelum memahami aturan mainnya yang sesuai dengan manhaj salafi.
[3] Dinukil dan diterjemahkan dari kitab
Zajru Al-Mutahawin hal.131-132.
[4] Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an as-ilah al
manahij al-jadidah no. 77 hal. 142-144.
[5] Namun jangan kita tertipu dengan
slogan kelompok-kelompok yang beraneka ragam aqidah serta manhaj mereka yang
mendengungkan slogan persatuan diatas Al-Qur’an dan al- sunnah dengan pemahaman
para sahabat, tabi’in tapi tanpa bukti yang nyata dilapangan. Apakah termasuk
manhaj salafush shalih seorang salafi bersatu dengan haraki hizbi, sufi dan
masih banyak lagi?
[6] Idem no.78 hal.145-146.
[7] Zajrul Mutahawin hal.7-8.
[8] Maqtal Asy-Syaikh Jamil Rahman hal.19
[9] Ru’yah syar’iyyah lil fitan wa an
nawaazil fi as-sahah al-iraqiyah hal.29-30 oleh Hasan Al-‘Iraqi.