Peringatan Asyuro kaum Syiah dengan
melukai badan sendiri
Oleh: Hasan Al Faruqi
SEPERTI biasa, di setiap tahunnya pada
tanggal 10 Muharram para penganut (ajaran) Syi’ah merayakan hari duka cita.
Konon perayaan tersebut ditujukan sebagai bukti kecintaannya kepada Husain bin
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma yang menjadi cucu Nabi Shallahu ‘alaihi
Wassallam.
Padahal kalau benar-benar mereka mau
mencari, mengkaji lalu berpikir, sebenarnya kematian Husain justru atas
penghianatan orang-orang Syi’ah yang berada di Kuffah pada waktu itu.
Pernyataan tersebut tentu bukan tuduhan tanpa bukti dan argumen yang kuat. Tapi
hal ini dilontarkan sendiri oleh Ali Zainal Abidin yang menjadi anak Husain
sendiri, selain itu ia turut serta di dalam peristiwa pembunuhan Husain
ayahnya.
Ia berkata kepada orang-orang Kufah
lelaki dan perempuan yang meratap dengan mengoyak-ngoyak baju mereka sambil
menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada
mereka, “Mereka ini menangisi kami. Bukankah tidak ada orang lain yang membunuh
kami selain mereka?” (Al-Ihtijaj karya At Thabarsi, halaman 156).
Sikap seperti ini pun diamini oleh para
ulama Syi’ah sendiri. Seperti petikan berikut, Mullah Baqir al-Majlisi, seorang
ulama rujukan Syiah menulis;
“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut
oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita
lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu
Pemuda Ahli Surga” (Husain) karena Ibnu Ziyad anak haram itu. Di sini mereka
mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu
Ziyad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Dalam Jilaau al-‘Uyun, halaman 430).
Sejarah tidak lupa dan tidak akan
melupakan peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Husain radhiyallahu anhu
di Karbala.
Siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah
seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta Ali radhiyallahu anhu di dalam
peperangan Shiffin, dan senantiasa bersama Husain radhiyallahu ‘anhu. Dialah
juga yang menjemput Husain radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mencetuskan
pemberontakan terhadap pemerintahan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah
dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa dialah yang
mengepalai 4.000 orang bala tentara untuk menentang Husain radhiyallahu anhu,
dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala
Husain radhiyallahu anhu. (Jilaau al-Uyun dan Khulashatu al-Mashaaib, hal. 37).
Pelajaran dari Tragedi Karbala
Dengan penjelasan di atas, bahwa yang
membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad yang
berkolaborasi dengan Syi’ah Husain di Kuffah. Mereka adalah para pengkhianat,
musuh-musuh semua kaum Muslimin, bukan hanya bagi Ahlus Sunnah saja.
Dr. Imad Ali Abdus Sami’ dengan judul
‘Penghianatan-Penghianatan Syi’ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat
Islam’ yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar mengungkapkan, jika benar
mereka cinta kepada Ahlul Bait tentulah mereka tidak akan memusuhi para Sahabat
Nabi juga Ahlus Sunnah. Karena kecintaan seseorang terhadap Ahlul Bait tidak
lantas atau harus memusuhi para sahabat dan Ahlu Sunnah.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam
An-Nawawi memuat satu bab yang berjudul ‘Ikramu Ahli Baiti Rasulillah wa Bayani
Fadhlihim’ (Memuliakan Ahlul Bait dan Penjelasan Keutamaan Mereka). Keyakinan
seperti inilah (mencintai Ahlul Bait dan Sahabat Nabi) yang akhirnya membuat
salah seorang mantan tokoh Syi’ah yang bernama Abu Khalifah Ali bin Muhammad
al-Qudhaibi kembali kepada Islam dengan menulis salah satu kitab ‘Rabihat
Ash-Shahabah wa Lam Akhsar Ala Bait’ (Beruntunglah Para Sahabat dan Tidak Rugi
Ahlul Bait).
Banyak sekali bukti bahwa Ahlul Bait itu
memiliki hubungan yang baik dengan para sahabat Nabi, tidak seperti yang
digambarkan oleh orang-orang Syi’ah yang memberikan gambaran kehinaan. Maka
tidak heran jika akhirnya banyak mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat
karena memang kacamata sejarah mereka sudah kotor terlebih dahulu.
Perayaan Asyura Syi’ah pada tanggal 10
Muharam pada setiap tahun, sejatinya adalah upaya menebarkan kedustaan di
kalangan kaum Muslimin untuk memelihara dan mendukung aqidah dan ajaran-ajaran
serta pemahaman-pemahaman mereka yang menyimpang dan rapuh.
Bahkan lewat perayaan tersebut mereka
hendak mengundang simpati kaum Muslimin, seolah-olah para penganut Syi’ah
adalah kaum yang terdzalimi dengan terbunuhnya cucu Nabi Husain dan berhak
untuk mendapatkan bantuan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menjelaskan, “Karena peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu anhu itu, syetan
membisikan kepada manusia agar membuat dua bid’ah, yaitu bid’ah bersedih dan
berkabung pada hari Asyura, dengan memukul wajah dan berteriak, menangis,
menyiksa diri, dan sebagainya. Hal itu menyebabkan mereka menghina para salaf,
melaknat mereka, dan memasukan orang yang tidak berdosa ke dalam golongan yang
berdosa hingga mereka mencela orang-orang As-Sabiquna Al-Awwalun (pertama kali
masuk Islam). Dalam upacara itu dibacakan sejarah peperangan yang kebanyakan
dusta. Tujuan dari pengadaan upacara itu adalah untuk membuka pintu fitnah dan
perpecahan di antara umat. Sungguh menurut kesepakatan kaum Muslimin, ini
bukanlah perkara wajib atau sunah. Bahkan, meratapi dan bersedih terhadap
musibah [ada masa lalu merupakan tindakan yang sangat diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, II: 322-333)
Hendaknya kaum Muslimin menjelaskan
hakikat pembunuhan Husain radhiyallahu anhu; siapa yang membunuhnya, siapa yang
menghianatinya, siapa yang beruntung atas kematiannya. Selanjutnya, mencegah
umat Islam untuk bisa ikut atau mendukung perayaan Asyura bahkan berupaya agar
kegiatan tersebut tidak bisa terwujud, sebab ini sebagai bentuk amar ma’ruf
nahyi munkar yang menjadi kewajiban setiap Muslim dan wujud nyata kecintaan
kita kepada Islam dan Ahlul Bait Nabi. Karena membiarkan perayaan tersebut
berlangsung berarti membiarkan kedustaan sejarah Islam yang dijadikan Syi’ah
sebagai batu loncatan untuk membeci, mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat
Nabi.
Adalah benar, bahwa Husain (dan demikian
pula kakaknya Hasan) radhiyallahu anhuma memiliki keutamaan seperti yang Nabi
sabdakan, tapi tentu tidak lantas Nabi memerintahkan untuk senantiasa berkabung
atas kematiaannya di setiap tahun. Apalagi jika ritual seperti ini harus
meratap dengan memukul-mukul pipi atau dada atau merobek-robek pakaian atau
bentuk ratapan yang sepertinya justru menyelisihi apa yang diperintahkan oleh
Nabi sendiri. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan
kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek pakaian dan berdo’a
dengan do’a jahiliyyah.” (HR. Bukhari no.1294)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin
Husain atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far
radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan Ahlul Bait maupun selain mereka
pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau
berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau
engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia
itu adalah kemuliaan. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Sekretaris Dewan Dakwah
(DDII) Kabupaten Bandung,Pembina Majelis Taklim Korni (Keluarga Qurani), Ketua
Tim Investigasi Ilmiah Pembela Ahlus Sunnah Jawa Barat ( PAS JABAR)
Dikutip dari : Muslim Djamil