Sesungguhnya mempelajari sirah Nabi ﷺ merupakan bagian
dari agama ini. Karenanya salaf terdahulu, mereka memiliki ihtimām (perhatian
besar) di dalam mempelajari sirah Nabi ﷺ. Dan banyak
nukilan-nukilan dari mereka yang menunjukkan betapa besar perhatian mereka
terhadap sejarah Nabi ﷺ.
Seperti yang dinukilkan dari 'Ali bin
al-Husain (anak dari Al-Husain bin 'Ali bin Abi Thālib) yang dikenal dengan
sebutan Zaynal 'Abidīn. Beliau pernah berkata:
كُنَّا
نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَرَايَاهُ
كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
"Kami dahulu diajari tentang sejarah
peperangan Nabi ﷺ baik yang Nabi ikut serta
maupun tidak sebagaimana kami diajari tentang surat Al-Qurān." (Al-Jaami'
li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami' 2/195)
Ini menunjukkan bahwa para salaf
terdahulu benar-benar menaruh perhatian terhadap sejarah Nabi ﷺ, termasuk
peperangan-peperangan Nabi ﷺ, sebagaimana dahulu
mereka mengajarkan tentang surat-surat dalam Al-Qurān.
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
Al-Imām Az-Zuhriy rahimahullāh Ta'āla, beliau berkata :
فِي عِلْمِ الْمَغَازِي عِلْمُ الْآخِرَةِ
وَالدُّنْيَا
"Dalam ilmu sejarah Nabi ﷺ ada ilmu akhirat
dan ilmu dunia." (Al-Jaami' li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami'
2/195)
Demikian juga perkataan Ibnul Jauzi
rahimahullāh yang menunjukkan perhatian kepada Sirah Nabi ﷺ, beliau berkata:
رَأَيْتُ الاِشْتِغَالَ بِالْفِقْهِ وَسَمَاعِ
الْحَدِيْثِ لاَ يَكَادُ يَكْفِي فِي صَلاَحِ الْقَلْبِ، إِلاَّ أَنْ يُمْزَجَ
بِالرَّقَائِقِ وَالنَّظْرِ فِي سِيَرِ السَّلَفِ الصَّالِحِيْنَ.
"Aku memandang bahwa hanya sibuk
mempelajari fiqh dan hanya sibuk mempelajari hadits-hadits Nabi ﷺ (yaitu yang
berkaitan dengan fiqh) tidak cukup untuk memperbaiki hati kecuali apabila
digabungkan dengan mempelajari raqāiq (yang dapat melembutkan hati)
dan juga mempelajari sejarah para salafush shālih.” (Shaidul Khathir hal. 228)
Beliau juga berkata :
وَأَصْلُ الأُصُوْلِ الْعِلْمُ، وَأَنْفَعُ
الْعُلُوْمِ النَّظَرُ فِي سِيَرِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَصْحَابِهِ: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ}
“Pokok dari perkara-perkara yang pokok
adalah ilmu, dan ilmu yang paling bermanfaat adalah memperhatikan sejarah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya. “Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutilah petunjuk mereka”
(QS Al-An’aam : 90)” (Shaidul Khathir hal. 80)
Perhatikan perkataan yang indah dari
Ibnul Jauziy rahimahullāh Ta'āla ini. Beliau mengatakan bahwasanya meskipun
kita butuh mempelajari ilmu fiqh dan hadits-hadits Nabi ﷺ untuk mempelajari
bagian dari agama ini, tetapi hal ini tidak cukup untuk membersihkan dan
meluruskan hati. Seseorang butuh untuk mempelajari ar-raqāiq,
mengkhususkan waktu untuk mempelajari zuhuddan perkara yang berkaitan
dengan akhiratnya. Sehingga dia semakin yakin bahwa dunia ini akan sirna.
Dirinya akan disidang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dia akan dihadapkan
kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan maut pun akan menjemputnya.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang
mempelajari sirah (perjalanan hidup) orang-orang terdahulu. Sebab ketika ia
mempelajari sirah perjalanan orang-orang terdahulu termasuk bagaimana ibadah
mereka, maka hal ini akan meluruskan hatinya, apalagi jika yang dipelajari
adalah sirah Nabi ﷺ.
Selain itu, pada kenyataannya seseorang
tidak akan bisa menguasai ilmu fikih dengan baik dan sempurna jika ia kurang
menguasai sirah Nabi, karena banyaknya hukum-hukum yang berkaitan dengan sirah
dan peperangan-peperangan Nabi. Dengan mengetahui alur sejarah perjalanan Nabi,
hal tersebut akan lebih memudahkan untuk memahami fikih Nabi dan juga tentang
asbabun nuzul ayat dan asbabun wurud hadits yang lebih membantu memahami fikih
ayat dan hadits tersebut.
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah
berkata :
تَتَعَلَّقُ بِمَغَازِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْكَامٌ كَثِيرَةٌ فَيَجِبُ كَتْبُهَا وَالْحِفْظُ
لَهَا
"Banyak hukum yang berkaitan dengan
peperangan-peperangan Nabi ﷺ, wajib untuk mencatat
peperangan-peperangan tersebut dan menjaganya" (Al-Jaami' li Akhlaaq
Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami' 2/195)
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas
radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā, bahwa beliau memiliki waktu khusus untuk
mengajarkan sirah, padahal beliau adalah shāhabat yang merupakan ahli tafsir
(mufassir) dan orang yang 'alim di kalangan shāhabat. Akan tetapi, beliau
mengkhususkan waktu untuk mengajarkan sirah Nabi ﷺ, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh 'Ubaidillāh bin 'Utbah ketika menyifati majelis Ibnu 'Abbas
radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā, beliau mengatakan:
وَلَقَدْ كُنَّا نَحْضُرُ عِنْدَهُ
فَيُحَدِّثُنَا الْعَشِيَّةَ كُلَّهَا فِي الْمَغَازِي
"Kami menghadiri majelis Ibnu 'Abbas
pada suatu sore dan seluruh waktu beliau habiskan untuk mengajarkan tentang
sirah Nabi ﷺ (tentang peperangan Nabi ﷺ)." (Maghazi
Rasulillah ﷺ li Urwah bin Az-Zubair
hal. 23)
Dengan kata lain, Ibnu 'Abbas
radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā membuat pengajian khusus tentang sirah Nabi ﷺ.
Karena itulah, mempelajari sirah Nabi ﷺ adalah perkara yang
penting dan termasuk bagian dari agama.
Apabila kita perhatikan, sirah Nabi ﷺ adalah sirah yang
istimewa. Kita sedang mempelajari seorang tokoh yang tidak sama dengan tokoh
yang lain. Terdapat sebuah buku yang berjudul "100 Tokoh Paling
Berpengaruh Dalam Sejarah" [The 100, A Ranking to The Most Influential
People in History karya Michael H. Hart, ed]. Dalam buku ini disebutkan.
Ada 100 tokoh yang dianggap paling berpengaruh di dunia, termasuk yang
disebutkan adalah Hitler [Urutan No ke-39]. Penulis buku tersebut, menjadikan
Nabi ﷺ sebagai orang nomor satu
yang paling berpengaruh. Selain beliau ada Budha [Sidharta Gautama, urutan
ke-4], Kong Hu Cu [Urutan ke-5] dan yang lainnya.
Meskipun Michael H. Hart menjadikan Nabi ﷺ sebagai tokoh nomor
1 paling berpengaruh di dunia, akan tetapi membandingkan sejarah Nabi dengan
sejarah orang-orang ini adalah tidak pantas. Mengapa demikian? Karena Nabi ﷺ adalah manusia yang
berbeda dengan manusia lainnya. Beliau adalah manusia yang sangat mulia,
manusia yang paling dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Beliau telah
mencapai suatu kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh makhluk selain beliau.
Diantaranya ketika bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla (saat isrā mi'rāj),
lalu naik (mi’raj) ke tempat yang sangat tinggi (sidratul muntaha) untuk
bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla (dan beliau nyaris bertemu langsung
dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla).
Sampai-sampai sahabat Abu Ad-Darda'
radhiallahu 'anhu bertanya kepada beliau:
هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ؟
"Apakah engkau melihat Rabb-mu azza
wa jalla?"
Nabi ﷺ berkata:
نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
"Ada cahaya, bagaimana saya bisa
melihat Allāh Subhānahu wa Ta'āla." (HR Muslim no 178)
Artinya beliau berada di tempat yang
sangat dekat dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, yang mana tidak pernah ada yang
sampai ke tempat tersebut. Bahkan menurut para ulama, Jibrīl sekalipun belum
pernah sampai ke tempat tersebut, melainkan hanya Nabi ﷺ saja.
Selain itu, Nabi ﷺ adalah sosok
manusia yang pernah melihat langsung surga dan neraka. Dalam sejumlah hadits,
Rasūlullāh ﷺ diperlihatkan surga dan
neraka oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Nabi pernah melihat surga bukan dengan
pandangan hati akan tetapi dengan melihatnya secara langsung, dan Allāh
sendirilah yang memperlihatkannya. Tentu saja seseorang yang pernah melihat
surga dan neraka secara langsung akan tertanam pada dirinya keimanan yang
sangat tinggi. Oleh karena itu, sejarah Nabi bukanlah layaknya sejarah tokoh
biasa. Namun beliau hanya pantas disandingkan dengan para Nabi yang lain. Tidak
layak dibandingkan dengan Hitler, Buddha, Kong Hu Cu atau tokoh-tokoh lainnya.
Selain itu, tokoh-tokoh tersebut meskipun
memiliki pengaruh dan sejarah, akan tetapi sejarah mereka hanyalah dinilai
hebat dalam sebagian sisi kehidupan saja, dan itupun tidak sempurna. Berbeda
dengan sejarah Nabi ﷺ yang menurut para ulama,
sejarah beliaulah satu-satunya yang sempurna dari seluruh sisi dan aspek
kehidupan.
Demikian juga, sejarah Nabi ﷺ adalah sejarah
paling lengkap yang pernah ada dibandingkan tokoh-tokoh tersebut. Sejarah Nabi ﷺ dihimpun mulai dari
masa kecil, kemudian masa muda beliau sebelum diangkat menjadi Nabi, hingga
diutus menjadi Nabi, bahkan hingga beliau ﷺ meninggal dunia.
Sungguh, betapa langka sejarah yang ditulis secara lengkap seperti ini dengan
bukti dan kesaksian otentik yang dapat dibuktikan secara sanad.
Sejarah hidup beliau sarat dengan
pelajaran dari segala sisi. Mulai dari semenjak beliau masih anak-anak, sebelum
diangkat menjadi Nabi, lalu dari sisi figur sebagai seorang kepala keluarga,
seorang ayah, seorang teman, seorang pemimpin (kepala negara), dan lain-lain yang
kesemuanya mengandung pelajaran yang bisa dipetik. Bahkan di saat beliau
berperang dan bermuamalah baik dengan sesama muslim, non muslim, ataupun
terhadap musuh dalam perang, semuanya lengkap terdokumentasi dalam sejarah Nabi
ﷺ. Hal Ini tidak akan bisa
didapatkan dalam sejarah tokoh-tokoh lain. Bahkan sekalipun tentang para Nabi
(selain beliau), tidak akan dijumpai secara lengkap sejarah mereka.
Misalnya, tentang Nabi 'Isa 'alayhis
salām, apabila kita ingin mencari informasi bagaimana sosok beliau sebagai
seorang ayah, maka tidak akan kita dapati keterangan yang valid dalam sejarah
beliau. Bahkan di dalam kitab yang dianggap suci oleh orang nasrani sekalipun,
yaitu Kitab Injil, tidak akan kita dapati bagaimana sosok Nabi 'Isa sebagai
seorang ayah. Demikian pula jika kita ingin mencontoh Nabi 'Isa sebagai seorang
suami, tidak akan kita dapati informasinya di dalam buku-buku yang dianggap
suci oleh mereka.
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan
bahwa sejarah Nabi ﷺ adalah sejarah yang
sangat spesial dan istimewa, berbeda dengan sejarah tokoh-tokoh lain, karena
sejarah beliau begitu lengkap dan terperinci dari segala lini kehidupan. Dan di
setiap lini kehidupan Nabi ﷺ tersebut membuahkan
keteladanan yang sangat luar biasa, baik beliau sebagai seorang ayah, suami,
teman, kepala negara, da'i, ataupun mufti (pemberi fatwa), semuanya ada dan
dicontohkan oleh Rasūlullāh ﷺ dalam sejarah beliau.
Pantas kiranya Allāh Subhānahu wa Ta'āla
mengatakan:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Sesungguhnya engkau (wahai
Muhammad) benar-benar berada di atas perangai yang mulia." (QS Al-Qalam 4)
Perhatikanlah bahwa yang memuji Nabi ﷺ bukanlah manusia,
namun yang memuji beliau ﷺ langsung adalah Rabbul
'ālamīn, Pencipta alam semesta ini. Dan pujian Allah tersebut diabadikan dalam
Al-Qurān yang dihafalkan oleh jutaan kaum Muslimin.
Dalam ayat di atas, terdapat banyak
penekanan yang Allāh berikan dengan menggunakan huruf taukîd (huruf
yang didatangkan untuk penekanan makna) yang menunjukkan sungguh-sungguh, yaitu
:
⑴ wa innaka: sesungguhnya engkau
⑵ la'alā: sungguh-sungguh / benar-benar berada
di atas perangai yang mulia
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun
yang kehidupannya dijadikan sumpah oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla kecuali Nabi ﷺ. Sebagaimana sumpah
Allah dalam surat Al-Hijr, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي
سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Demi Umurmu (wahai Muhammad),
sesungguhnya mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. Al-Hijr : 72)
Dalam ayat di atas, Allāh Subhānahu wa
Ta'āla sebenarnya sedang menceritakan tentang kisah kaum Nabi Luth
'alayhissalām yang terjerumus dalam praktek homoseksual, kemudian Nabi Luth
menasehati mereka agar mereka meninggalkannya, namun mereka menolak nasehat
tersebut. Nabi Luth mengatakan: Kalau kalian ingin menikah, maka
هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ
"Inilah putri-putriku jika
kalian hendak berbuat (secara halal).” (QS al-Hijr : 71)
Luth mengatakan : “Janganlah kalian
mendatangi para lelaki, maka nikahilah putri-putriku.” Tetapi mereka
menolaknya. Kemudian di ayat setelahnya, Allah berfirman :
لَعَمْرُكَ ...
"Demi umurmu (atau demi kehidupanmu)
(wahai Muhammad)... "
Para ulama menerangkan boleh dibaca
"la'umruka" atau "la'amruka", keduanya sama maknanya. Akan
tetapi, dalam sumpah biasanya diucapkan dengan memfathahkan 'ain (la'amruka)
yang artinya “demi kehidupanmu”. Namun bisa pula diucapkan dengan mendhammahkan
‘ain (la’umruka) yang berarti “demi umurmu”.
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu ‘anhu
menafsirkan : "Demi kehidupanmu wahai Muhammad, sesungguhnya mereka (kaum
Nabi Lūth) benar-benar buta dalam kemaksiatan mereka". Setelah dinasihati
oleh Nabi Lūth sampai-sampai beliau menawarkan anak-anak wanitanya, namun
mereka menolaknya dan tidak berminat.
Menurut para ulama, dalam ayat di atas
Allāh Subhānahu wa Ta'āla tidak bersumpah dengan kehidupan atau umur Nabi Lūth,
padahal ayat ini mengisahkan tentang Nabi Lūth ‘alaihis salam dan kaumnya.
Namun Allāh bersumpah dengan kehidupan atau umur Nabi Muhammad ﷺ. Mengapa demikian?
Hal ini karena Allāh tidak pernah bersumpah dengan umur seseorang kecuali
dengan umur Nabi Muhammad ﷺ.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhumaa berkata
:
مَا خَلَقَ اللَّهُ وَمَا ذَرَأَ وَمَا بَرَأَ
نَفْسًا أَكْرَمَ عَلَيْهِ مِنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَمَا سَمِعْتُ اللَّهَ أَقْسَمَ بِحَيَاةِ أَحَدٍ غَيْرِهِ
"Allah tidak pernah menciptakan dan
tidak pernah menghidupkan satu jiwapun yang lebih mulia dari Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam. Dan aku tidak pernah mendengar Allah bersumpah
dengan kehidupan seorangpun selain kehidupan beliau ﷺ " (Tafsir Ibnu
Katsir 4/542)
Mengapa Allāh Subhānahu wa Ta'āla
bersumpah dengan umur Nabi Muhammad ﷺ? Karena seluruh
bagian dari umur Nabi ﷺ adalah kehidupan yang
penuh berkah. Hal ini menekankan kepada kita bahwa sejarah Nabi ﷺ itu sangat spesial,
tidak sama dengan sejarah-sejarah yang lainnya.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
أَقْسَمَ تَعَالَى بِحَيَاةِ نَبِيِّهِ،
صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ، وَفِي هَذَا تَشْرِيفٌ عَظِيمٌ،
وَمَقَامٌ رَفِيعٌ وَجَاهٌ عَرِيضٌ
"Allah Ta'āla bersumpah dengan
kehidupan Nabi-Nya ﷺ, dan ini menunjukkan akan
pemuliaan yang agung, kedudukan beliau yang tinggi, dan martabat beliau yang
besar kemuliaannya" (Tafsir Ibnu Katsir 4/542)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa
sallam-, 28-12-1438 H / 19-09-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
Imām Ibnu Hazm rahimahullāh dalam buku
beliau yang berjudul al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal ,
beliau berkata :
فَإِن سيرة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لمن
تدبرها تَقْتَضِي تَصْدِيقه ضَرُورَة وَتشهد لَهُ بِأَنَّهُ رَسُول الله صلى الله
عَلَيْهِ وَسلم حَقًا فَلَو لم تكن لَهُ معْجزَة غير سيرته صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم لكفى
"Sesungguhnya sirah (perjalanan
hidup) Muhammad ﷺ bagi siapa yang menelaah
dan menghayatinya, akan mengharuskannya untuk membenarkan Nabi dan bersaksi
bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah. Seandainya tidak ada mukjizat
Nabi selain sirah beliau maka itu sudah cukup" (al-Fishal fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa an-Nihal 2/73)
Beliau menjelaskan bahwa
"Barangsiapa yang membaca sirah Nabi ﷺ dari awal sampai
akhir (bagaimana akhlaq dan sikap Beliau) dengan penuh penghayatan, maka dia
akan masuk Islam."
Bahkan Imam Ibnu Hazm sampai-sampai
menegaskan : "Kalau seandainya mukjizat Nabi ﷺ tidak ada kecuali
hanya sirahnya saja, maka itu sudah cukup." Karenanya sirah Nabi Muhammad ﷺ sejatinya adalah
mukjizat tersendiri. Kita tahu Nabi ﷺ dianugerahi banyak
mukjizat; seperti Isrā Mi'rāj, air yang keluar dari tangan beliau, berkah
beliau meludahi orang yang sakit kemudian sembuh (sebagaimana 'Ali bin Abi
Thālib yang matanya sakit kemudian diludahi oleh Nabi ﷺ lalu sembuh) dan
mukjizat abadi dan terbesar, yaitu Al-Qurān. Namun di antara sekian banyak
mukjizat tersebut menurut Ibnu Hazm rahimahullāh, sirah Nabi itu adalah
mukjizat tersendiri. Barangsiapa yang mempelajari sirah Nabi maka dia akan
mendapatkan kejaiban, bagaimana perangai dan akhlak Nabi ﷺ yang
sangat luar biasa.
Apabila berbicara tentang tokoh-tokoh
yang lain, mungkin saja tokoh ini memiliki keunggulan dalam suatu bidang
tertentu, tetapi berbeda denga Nabi ﷺ yang hebat dalam
segala hal. Jika berbicara tentang kepememimpinan, maka Nabi ﷺ adalah sosok
pemimpin yang hebat. Berbicara tentang keberanian maka Nabi ﷺ adalah sosok yang
paling pemberani, sampai-sampai 'Ali bin Abi Thālib berkata:
كُنَّا إِذَا احْمَرَّ الْبَأْسُ، وَلَقِيَ
الْقَوْمُ الْقَوْمَ، اتَّقَيْنَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَمَا يَكُونُ مِنَّا أَحَدٌ أَدْنَى مِنَ القَوْمِ مِنْهُ
“Kami jika dalam kondisi serangan musuh
yang sangat kuat, kaum muslimin telah bertemu dengan musuh, maka kamipun
berlindung di belakang Nabi ﷺ, tidak seorangpun dari
kami yang lebih dekat kepada musuh dari pada Nabi ﷺ " (HR Ahmad no
1347 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi, dan juga dishahihkan oleh Ahmad Syakir)
Perhatikanlah, pengakuan ini bukanlah
diucapkan oleh sembarang orang, akan tetapi diucapkan oleh Ali bin Abi Thālib
yang dikenal sangat pemberani. Itupun beliau berlindung di belakang Nabi ﷺ.
Di dalam perang Hunain, suatu ketika saat
para shāhabat diserang musuh, tiba-tiba Nabi ﷺ langsung menyeruak
maju ke depan. Dalam hal keberanian, Nabi ﷺ tidak ada duanya.
Belum lagi akhlak dan perangai beliau. Apabila Anda ingin mencari siapa sosok
teladan ayah terbaik di muka bumi ini, maka Nabi ﷺ adalah ayah
terbaik. Apabila Anda ingin mencari siapa sosok suami terbaik, maka lihatlah
perikehidupan Nabi sebagai sosok suami terbaik. Keadaan beliau ﷺ sungguh sangat
menakjubkan. Dalam segala hal, baik sebagai seorang ayah, suami, kepala negara,
mufti, teman dan selainnya, maka Nabi ﷺ adalah pribadi yang
menakjubkan, kesemuanya adalah mukjizat.
Oleh karena itu, Nabi ﷺ ini bukanlah
sembarang tokoh. Beliau adalah tokoh dan figur yang sangat luar biasa istimewa
dan spesial. Pribadi yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Allāh Subhānahu
wa Ta'āla.
Nabi ﷺ pernah bersabda :
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا فَخْرَ
"Aku adalah pemimpin seluruh anak
Ādam pada hari kiamat dan aku tidak sombong." (HR At-Tirmidzi no 3148 dari
hadits Abu Sa'id Al-Khudri dan syahidnya HR Muslim no 2278 dari Abu Hurairah)
Inilah tokoh yang sangat mulia,
Rasūlullāh Muhammad bin Abdillah ﷺ.
Maka alangkah benarnya perkataan Ibnu
Hazm di atas, "Barangsiapa yang mempelajari sirah Nabi maka dia akan
memeluk Islam, karena jika ia mempelajari dengan sebaik-baiknya maka dia pasti
yakin bahwa Muhammad adalah Rasūlullāh (utusan Allāh Subhānahu wa
Ta'āla)."
Ada satu contoh yang mungkin menurut kita
suatu hal yang sepele dan remeh, yaitu tentang adab dan etika makan Nabi ﷺ sebagaimana
disebutkan oleh shāhabat:
إِن اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ
وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
"Jika beliau suka dengan suatu
makanan maka beliau makan, dan sebaliknya apabila beliau tidak suka dengan
suatu makanan, maka beliau biarkan (tidak dikomentari)"
Adab Nabi ﷺ terhadap makanan
ini memang tampak sepele dan remeh. Beliau ﷺ apabila di
hadapannya ada makanan, jika suka beliau makan dan jika tidak suka beliau
tinggalkan, tidak pernah beliau berkomentar atau mengeluhkannya. Al-Imām Nawawi
rahimahullāh Ta'āla mengatakan:
"Yaitu, Rasūlullāh ﷺ tidak pernah
mencela makanan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ، وَإِنْ
كَرِهَهُ تَرَكَهُ
"Rasūlullāh ﷺ tidak pernah
mencela makanan sedikitpun. Apabila beliau suka, beliau makan dan apabila
beliau tidak suka, beliau tinggalkan." (HR Muslim no 2064)
Nabi ﷺ tidak pernah
mencela makanan sama sekali. Imām Nawawi dalam Syarh Shahīh Muslim menerangkan
bahwa Nabi tidak pernah mengomentari makanan dengan mengatakan: "ini
terlalu manis" atau "ini terlalu asin" atau "ini kurang
enak" atau "ini terlalu panas" atau "ini terlalu
dingin".
Siapakah gerangan diantara kita yang bisa
seperti ini? Yaitu tidak pernah mengomentari makanan. Kita umumnya senang
mengomentari makanan. Bisakah kita diam dan tidak berkomentar tentang makanan
dalam waktu sebulan saja? Jangankan makanan yang kita beli, makanan yang gratis
pun terkadang kita komentari, terlebih lagi makanan yang kita beli dan dengan
harga mahal. Namun Nabi ﷺ tidak pernah mengomentari
makanan, bahkan walaupun beliau terjebak dalam kondisi yang seharusnya beliau
bisa berkomentar. Sebagaimana dalam hadits ketika Khālid bin al-Walid
radhiyallāhu 'anhu suatu ketika sedang bersama Nabi dan dihidangkan
seekor dhabb (kadal padang pasir) yang dimasak dengan kuahnya. Khālid
bin Walid makan dengan lahapnya, sampai-sampai disebutkan kuah dari
daging dhabb tersebut mengalir di jenggot beliau.
Hukum dhabb (kadal padang
pasir) ini halal. Namun Nabi ﷺ tidak menggerakkan
tangannya sama sekali karena beliau memang tidak suka, sehingga beliau
tinggalkan. Hal ini menyebabkan Khālid bin al-Walid heran, sementara
beliau begitu lahap memakannya. Lantas beliau bertanya:
أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
"Ya Rasūlullāh, apakah dhabb hukumnya
haram?",
yaitu seakan-akan beliau beliau bertanya
: "Kenapa Anda tidak memakannya?"
Apabila kita dalam posisi sebagai Nabi,
mungkin kita akan mengatakan: "Saya ini Nabi, tidak sepatutnya dihidangkan
kadal, seharusnya minimal sapi atau kambing atau unta."
Tetapi Nabi ﷺ tidak demikian.
Ketika beliau dihidangkan kadal dan beliau tidak menyukainya, maka beliau
menjawab dengan komentar yang indah dan sedikitpun tidak mencela makanan tersebut.
Beliau mengatakan:
لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ
قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ
"Tidak, hanya saja makanan ini tidak
ada di kampungku. Saya tidak biasa memakannya karena itu tidak saya
makan." (HR Al-Bukhari no 5391 dan Muslim no 1945)
Beliau tidak berkata macam-macam dan
mencela makanan tersebut. Jika kita perhatikan perangai beliau yang
tampak remeh ini, sebenarnya ini termasuk mukjizat. Apakah ada orang yang tidak
pernah mengomentari dan mencela makanan? Hampir mustahil ada orang seperti ini.
Siapa saja yang mau memperhatikan
hadits-hadits Nabi ﷺ, niscaya dia akan
mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Nabi dan utusan Allāh. Ini
hanya salah satu contoh kecil. Tidak pernah seumur hidupnya beliau mencela
makanan, mengomentari, "Ini terlalu manis", "Ini terlalu
asam", "Ini terlalu asin", atau "Ini terlalu kering".
Hal ini merupakan perkara yang luar biasa.
Ini menunjukkan bahwa orang yang
memperhatikan satu poin ini saja, yang tampaknya sederhana dan remeh, bisa
menjadikannya yakin bahwasanya Muhammad bin Abdillah itu memang utusan Allāh
Subhānahu wa Ta'āla. Dan alangkah benarnya perkataan Ibnu Hazm rahimahullāh di
atas : "Barangsiapa yang memperhatikan sirah Nabi ﷺ yang merupakan
mukjizat tersendiri maka pasti dia yakin bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allāh Subhānahu wa Ta'āla"
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa
sallam-, 02-01-1438 H / 22-09-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
Abu Abdil Muhsin Firanda