Inilah akibat orang yang belajar agama
hanya untuk mencari dunia, tujuannya belajar bertahun-tahun adalah hanya untuk
meraih gelar. Niat yang ikhlas karena Allah, itu yang mesti diperhatikan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ
وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا
مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu
(belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia
mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan
mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no.
252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ
فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى
اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ.
فَقَدْ قِيلَ.ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى
النَّارِ
“Orang yang pertama kali diputuskan pada
hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid di jalan Allah. Lalu dia
didatangkan, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya, maka dia pun
mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?”
Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati
syahid.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya
disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian
diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya
(terjerembab di tanah), sampai dia pun dilemparkan di neraka.”
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ
وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا
عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ
الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ.
وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ
فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Kemudian ada orang yang belajar agama
dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan, lalu
Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata,
“Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku
telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al Qur’an.” Allah
berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang
alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah
dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun
diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah) sampai dia pun dilemparkan di
neraka.”
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ
مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا
قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ
يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ
فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Kemudian ada seorang laki-laki yang
diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu
dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun
mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?”
Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang
untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah
berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut
dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk
dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), kemudian
dia dilemparkan di neraka.” (HR. Muslim no. 1905)
Hadits pertama menerangkan bahaya jika
orang belajar agama hanya untuk meraih dunia. Sedangkan hadits kedua
menerangkan bahaya belajar agama hanya untuk cari pujian orang lain dengan
supaya disebut orang alim atau belajar agama agar supaya digelari Ustadz atau
Kyai.
Moga kita dimudahkan untuk meluruskan
niat kita untuk ikhlas karena Allah dalam belajar agama.
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
“Orang-orang berkata : ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika
saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan
meriwayatkan hadits”. Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah : ‘Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. kecuali mereka yang telah taubat dan
mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku
menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima ' (QS. Al-Baqarah : 159-160)”
(HR. Bukhari)(tambahan, admin)
Muhammad Abduh Tuasikal
Antara
Kata dan Perbuatan
Tidak disangsikan lagi bahwa adanya
perbedaan antara kata dan realita adalah salah satu hal yang sangat berbahaya.
Itulah sebab datangnya murka Allah sebagaimana firman-Nya surat Shaff ayat 2
dan 3.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا
تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff:
2-3)
Allah juga mencela perilaku Bani Israil
dengan firman-Nya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS.
Al-Baqarah: 44)
Demikian pula terdapat dalam hadits. Dari
Usamah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam
neraka orang tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi
mesin penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut
lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh dulu aku
sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya. Sebaliknya aku
juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.'” (HR Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan para penceramah, dai dan
mubaligh bahkan terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulullah
bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya
digunting dengan gunting dari api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku kepada
Jibril. Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi
penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan
kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca
firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu
Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu Ya’la para
perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih)
Dalil-dalil di atas menunjukkan
pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan
ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap sebagai
orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu namun tidak
beramal.
Oleh karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan,
“Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia
nasihatkan kepada banyak orang.” (Al-Mughni, 3/180)
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Duhai
orang-orang yang memiliki ilmu amalkanlah ilmu kalian. Orang yang berilmu
secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga
amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang
memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya
sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru
yang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 2/53)
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak
bicara dalam hal yang tidak manfaat, ketiga melarang sesuatu namun
melanggarnya. (Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143)
Jundub bin Abdillah Al-Bajali mengatakan,
“gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan
dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk
menerangi sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih, 1/195)
Bahkan sebagian ulama memvonis gila orang
yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya karena Allah berfirman,
“Tidakkah mereka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Sungguh tepat syair yang disampaikan oleh
manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami untuk melakukan sesuatu
yang tidak mereka lakukan, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka
tidaklah berterus terang.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Berikut ini, beberapa perkataan salafus
shalih berkaitan dengan masalah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil
Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :
Siapa saja yang Allah halangi untuk
mendapatkan ilmu maka Allah akan menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang
lebih keras siksaannya adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia
berpaling meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya
ilmu tapi tidak diamalkan.
Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah
ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak
kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa
tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki
sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “semua
orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan
ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain
perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.
Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah
orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua
ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut
atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan
tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika
ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
Imam Malik menyebutkan bahwa beliau
mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai
sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut
dengan amal perbuatan.”
Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan
bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan
untuk orang yang tahu namun tidak beramal.”
Tidak diragukan lagi bahwa permisalan
orang yang beramar makruf nahi mungkar adalah seperti dokter yang mengobati
orang lain. Satu hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat
yang tepat untuk pasiennya demikian pula tindakan preventif untuk mencegah
penyakit pasiennya kemudian ternyata dia sendiri tidak menjalankannya.
Berdasarkan keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya
menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk memperhatikannya. Karena jika
obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan mengejek sang pendakwah. Belum
lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar dosa yang akan dipikul nanti.
Sebagian orang tidak mau melaksanakan
amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum melakukan yang makruf dan
masih melanggar yang mungkar. Orang tersebut khawatir termasuk orang yang
mengatakan apa yang tidak dia lakukan.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak
boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya
tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini
dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi,
1/410)
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada
Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.” Mutharrif
mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.” Mendengar hal
tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di
antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa
menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar
makruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah
mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada
kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di
antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol
dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin
tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu
mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah
orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Untuk mengompromikan dua hal ini, Imam
Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang tidak tercela itu berlaku untuk orang
yang ketaatannya lebih dominan sedangkan kemaksiatannya jarang-jarang. Di
samping itu, maksiat tersebut pun sudah ditutup dengan taubat. Sedangkan orang
yang dicela adalah orang yang maksiatnya lebih dominan dan ketaatannya jarang-jarang.”
(Al-Jami’ Li Syuabil Iman, 13/256)
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Para
ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah
disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia
perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang. Bahkan kewajiban amar makruf
itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan.
Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih
mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki
dua kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri sendiri, kedua memerintah
dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah
mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)
Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian
ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak
khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar
makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap
mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata
orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi
Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang
beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat
maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik.
Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika
tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” (Fathul Baari, 14/554)
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Jangan
Sampai Susah Payah Beramal Tetapi Sia-Sia
Ada tiga syarat penting lagi agung yang
perlu diketahui oleh setiap hamba yang beramal, jika tidak demikian, maka amal
terebut tidak akan diterima
By Anita Rahmawati June 17, 2011
Wahai saudariku janganlah melelahkan
dirimu dahulu dengan banyak melakukan amal perbuatan, karena banyak sekali
orang yang melakukan perbuatan, sedangkan amal tersebut sama sekali tidak
memberikan apa-apa kecuali kelelahan di dunia dan dan siksa di akhirat. Oleh
karena itu sebelum melangkah untuk melakukan amal perbuatan, kita harus
mengetahui syarat diterimanya amal tersebut, dengan harapan amal kita bisa
diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam masalah ini ada tiga
syarat penting lagi agung yang perlu diketahui oleh setiap hamba yang beramal,
jika tidak demikian, maka amal terebut tidak akan diterima.
Pertama, Iman Kepada Allah dengan
Men-tauhid-Nya
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ
الصَّـلِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّـتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal sholeh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat
tinggal.”(QS. Al- Kahfi:107)
Tempat masuknya orang-orang kafir adalah
neraka jahannam, sedangkan surga firdaus bagi mereka orang-orang yang mukmin,
namun ada 2 syarat seseorang bisa memasuki surga firdaus tersebut yaitu:
1. Iman
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada
Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada
para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan
yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah
rasul-Nya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan malaikat Jibril
ketika bertanya tentang iman:
“Iman adalah engkau mengimani Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani
takdir yang baik dan yang buruk.” (HR Muslim)
2. Amal Shalih
Yaitu mencakup ikhlas karena Allah dan
sesuai dengan yang diperintahkan dalam syariat Allah.
…إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ
الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu
Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agamya yang
bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا
تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ
فُطُورٍ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (All-Mulk
: 2)
Al-Fudhail berkata: “Maksud yang lebih
baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.”
(Tafsir al-Baghawi, 8:176)
Kedua, Ikhlas karena Allah
Mungkin kita sudah bosan mendengar kata
ini, seringkali kita dengar di ceramah-ceramah, namun kita tidak mengetahui
makna dari ikhlas tersebut. Ikhlas adalah membersihkan segala kotoran dan
sesembahan-sesembahan selain Allah dalam beribadah kepada-Nya. Yaitu beramal
karena Allah tanpa berbuat riya’ dan juga tidak sum’ah.
Orang-orang bertanya: “Wahai Abu Ali,
apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”.
Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu
ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun
tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar.
Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang
dikerjakan menurut As-Sunnah.” Kemudian ia membaca ayat:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi :110)
Allah juga berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
“Artinya : Dan sipakah yang lebih baik
agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’ :125)
Menyerahkan diri kepada Allah artinya
memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah beliau.
Allah juga berfirman.
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
” Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”.
(Al-Furqan : 23)
Amal yang seperti debu itu adalah
amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau amal yang dimaksudkan
untuk selain Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada
Sa’ad bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan,
hingga engkau mengerjakan suatau amal untuk mencari wajah Allah, melainkan
engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”
Ketiga, Sesuai dengan Ajaran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dasar dari setiap amal adalah ikhlas
dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga tidak terbesit di dalam
pikirannya hal-hal yang merusak amal tersebut, karena segala saesuatu hal yang
kita kerjakan harus dilandasi perkara ikhlas ini. Namun, apakah hanya dengan
ikhlas saja, amal kita sudah diterima oleh Allah?
Adapun pilar yang ketiga ini yaitu harus
sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salla. Mayoritas di kalangan masyarakat kita, sanak saudara kita, bahkan orang
tua kita melakukan amalan-amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasululullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan parahnya lagi bisa terjerumus dalam
keyirikan. Adapun hadits yang termahsyur yang menjelaskan hal ini:
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah,
Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama)
kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan
Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan suatu perbuatan
(ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”
Setiap perbuatan ibadah yang tidak
bersandar pada dalil yang syar’i yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As
Sunnah maka tertolaklah amalannya. Oleh karena itu amalan yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam merupakan amalan yang
sangat buruk dan merupakan salah satu dosa besar.
Wahai saudariku, agama Islam adalah agama
yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’
(mengada-ada suatu amal tanpa dalil) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan
mengada-ada. Dan Agama islam merupakan agama yang sempurna tidak ada kurangnya.
Oleh karena itu, jangan ditambah-ditambahi ataupun dikurang-kurangi.
Itulah sekelumit tentang 3 syarat
diterimanya suatu amalan. Apabila salah satunya tidak dilaksanakan, maka
amalannya tertolak. Walaupun hati kita sudah ikhlas dalam mengerjakan suatu
amalan, namun tidak ada dalil yang menjelaskan amalan tersebut atau tidak
dicontohkan oleh Rasulullah maka amalannya menjadi tertolak. Begitupula
sebaliknya, apabila kita sudah bersesuaian dengan tuntunan Rasulullah
shallallaahu ‘alahi wa sallam, namun hati kita tidak ikhlas karena Allah ta’ala
malah ditujukan kepada selain-Nya maka amalannya pun juga tertolak.
Wallahu a’lam
Penulis: Ummu Farroos Anita Rahma Wati
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah,Husain
bin ‘Audah al-‘Awayisyah,Pustaka Ibnu Katsir.
Khudz ‘Aqiidataka Minal Kitab wa Sunnah
As-Shohiihah, Syaikh Muhammad Jamil Zainu
Syarh Hadits Arba’in An-Nawawi, Imam
An-Nawawi dalam program salafidb.com, download program di
Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim: Surat Al-
Kahfi, Shaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, Dar ‘Umar bin Khattab
Haruskah Menjadi Sempurna Untuk Bisa
Menasehati?
Sebagian orang enggan melakukan amar
ma’ruf dan nahi mungkar, karena merasa belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang
hendak ia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang hendak ia larang. Dia
khawatir termasuk ke dalam golongan orang yang mengatakan apa yang tidak dia
lakukan. Sebagaimana yang disinggung dalam firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا
تَفْعَلُونَ(3)
“Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kemurkaan Allah bila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shof:
2-3).
Pertanyaan yang harus kita temukan
jawabannya adalah: apakah seorang harus sempurna dulu amalannya, untuk bisa menasehati orang lain? Kemudian
apakah setiap orang yang tidak melakukannya apa yang ia perintahkan, dan
melanggar sendiri apa yang dia larang, masuk dalam ancaman ayat di atas?
Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy, saat
kajian membahas kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem , di masjid Nabawi malam
Senin (20 Rabi’us Tsani 1436 H) menerangkan, bahwa ada dua hal yang perlu
dibedakan dalam masalah ini. Beliau mengatakan,
فيه فرق بين أن تنصح غيرك وأنت عاجز عن العفل،
وبين أن تنصح غيرك و أنت قادر على الفعل
“Bedakan, antara Anda menasehati seorang,
sementara Anda belum ada daya untuk melakukan apa yang Anda nasehatkan. Dengan
Anda menasihati seorang, sementara Anda
mampu melakukan apa yang Anda nasehatkan.”
Jadi, ada dua jenis orang dalam masalah
ini:
Petama, adalah orang yang menasehati
orang lain, namun dia belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang ia sampaikan,
atau meninggalkan kemungkaran yang ia larang.
Yang kedua, adalah orang yang menasehati
orang lain sementara sejatinya dia mampu untuk melakukan pesan nasehat yang ia
sampaikan. Akan tetapi justru mengabaikan kemampuannya dan ia terjang sendiri
nasehatnya, tanpa ada rasa bersalah dan menyesal.
Ia merasa nyaman dan biasa-biasa saja dengan tindakan kurang terpuji tersebut.
Orang jenis pertama, dia belum bisa
melakukan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, karena dia belum memiliki daya
untuk melakukannya. Bisa jadi karena hawa nafsunya yang mendominasi, setelah
pertarungan batin dalam jiwanya.
Sehingga, saat ia melanggar sendiri apa yang dia nasehatkan, dia merasa
bersalah dan menyesal atas kekurangannya ini. Serta senantiasa memperbaharui
taubatnya.
Saat ia tergelincir pada larangan yang ia
larang, ia katakan pada dirinya, “Sampai kapan… sampai kapan kamu seperti ini?!
Kamu menasehati orang-orang untuk menjauhi perbuatan ini.. sementara kamu
sendiri yang melakukannya?! Tidakkah kamu takut kepada Allah.”
Untuk orang yang seperti ini, hendaknya
ia jangan merasa enggan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar. Karena tidak
menutup kemungkinan, nasehat yang ia sampaikan, akan membuatnya terpacu untuk
melaksanakan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran
yang dia larang. Hal ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam pengalaman
seorang.
Adapun orang jenis kedua, dia menerjang
sendiri pesan nasehatnya, setelah adanya daya dan kemampuan untuk melakukan
nasehat tersebut. Namun justru dia abaikan. Saat menerjangnya pun, dia tidak
merasa menyesal dan bersalah atas tindakannya tersebut. Orang seperti inilah
yang termasuk dalam ancaman ayat di atas.
Seperti seorang ayah merokok di samping
anaknya yang dia juga merokok. Lalu Sang Ayah menasehatikan anaknya,
“Nak…jangan ngrokok. Ndak baik ngrokok itu..” .Sementara dia sendiri
klepas-klepus ngrokok di samping anaknya, tanpa merasa menyesal dan bersalah.
Barangkali makna inilah yang disinggung
dalam perkataan para salafus sholih dahulu.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak
boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar,
kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh
melakukannya”. Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai
ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada
Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu”. Mutharrif
mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan”. Mendengar hal
tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di
antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa
menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar
ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan,
“Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian
padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara
kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan
mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak
boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol
dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang
mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Referensi :
Faidah kajian pembahasan kitab Iqtidho’
as-Shirot al-Mustaqiem li mukholafati ash-Haabi al-Jahiim, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, bersama Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy. Setiap malam senin di
Masjid Nabawi.
Tulisan di Muslim.Or.Id, yang bertema
“Antara Kata dan Perbuatan.” https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/antara-kata-dan-perbuatan.html
Penulis: Ahmad Anshori
Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut
Ilmu ?
Tanya : Ada sebagian orang yang yang
mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut
ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan
bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa
kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana
sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?
Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah
adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat.
Allah ta’ala telah berfirman :
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى
وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [QS. Al-Baqarah : 201].
Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110
H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”.
Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’
Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah
Al-Misykah].
Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang
sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang
ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah
memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika
Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ
مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba
di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS.
Al-Kahfi : 65-66]
Di sini Allah telah memerintahkan Nabi
Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah.
[1]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف
الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله
ووصفه
”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh
orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan
penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan
pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang
yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’
li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].
Oleh karena itu, para ulama telah
memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan
kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau
shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن
تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia
adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya.
Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil
dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah
oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa
Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].
’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu
ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :
انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين
”Lihatlah dari siapa kalian mengambil
ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].
Muhammad bin Sirin (seorang pembesar
ulama tabi’in) berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka
lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim
dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].
Dari perkataan di atas kita dapatkan
petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan
tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang
yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang
mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas
menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :
من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ
من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول
الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل
وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث
”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan
kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia
berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas
nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang
menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai
keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu
tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].
Tuntutan untuk memilih orang yang akan
diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan
kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima
perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq,
sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan
tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk
menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di
atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang
sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak
seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia
sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang
bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah
lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para
komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i.
Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan
bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu
berkata :
لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم
فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan
selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama)
mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan
pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan
binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy
hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Bila kita baca di kitab-kitab para ulama
terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam
mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka
ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik
dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya.
Namun jika jelek, ia tinggalkan.
Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek
keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang
dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat
berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid
sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya
hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya,
maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah
semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab
syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah
lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab
terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah.
Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar
macam ini, entah apa yang akan mereka katakan.................
Kita tidak mengatakan bahwa seorang
ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam
kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan
manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita
juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan
sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan
sehari-harinya.[5]
Fenomena kebalikan dari hal di atas
adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau
pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan
semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan
masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut
anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan
kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi
yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap
ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia
mengambil al-walaa' wal-baraa' tidak berdasar atas nama Islam.
Kesimpulan : Memilih guru atau ustadz
dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh
alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang
dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya
karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah
seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka
perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap
pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa' 1429H
Catatan kaki :
[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi
Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan
Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama.
Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.
[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) :
”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud
memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan
memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku
perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki
(yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka” [HR. Bukhari
dan Muslim].
[3] Padahal, keharaman mencukur habis
jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm
bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal.
157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق
جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat
(ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya
orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka !
Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123;
hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
[4] Allah ta’ala berfirman : {يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} "Hai Nabi
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
[QS. Al-Ahzaab : 59].
[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal
yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu
yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.
COMMENTS
Adni Abu Faris an-Nuri mengatakan...
Biasanya terjadi kerancuan antara:
"menimba ilmu" dan "menerima kebenaran". Mungkin penting
untuk ditegaskan, keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Adapun "menerima kebenaran",
maka kebenaran itu harus diterima dari mana pun, selama itu memang benar,
meskipun dari musuh atau setan sekalipun. Nabi `alaihi'sh shalatu wa's salam
sendiri membenarkan kebenaran yang disampaikan oleh setan serta kritik yang
benar dari Yahudi. Atsar-atsar dari Salaf pun menguatkan hal dimaksud.
Lebih jelasnya, ada dalam tulisan saya: http://adniku.wordpress.com/2007/10/08/menerima-kebenaran-dari-manapun-dan-siapapun/
wa'Llahu a`lam
30 Mei 2008 14.35
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Benar ustadz,... apa yang saya tulis di
atas ruhnya adalah menuntut ilmu. Bukan menerima kebenaran. Adapun menerima
kebenaran - seperti keterangan antum - maka ia harus diterima dari manapun.
Bahkan termasuk orang kafir sekalipun.
30 Mei 2008 15.52
Anonim mengatakan...
'afwan...
hadits yang antum bawakan diatas:
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن
تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia
adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya.
Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil
dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)”
[Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh
Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa
Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab]
DI DHAIFKAN OLEH AL-IMAM AL-ALBANIY di
as-Silsilah adh-Dhaifah (III/257)
mungkin antum memiliki jalur-jalur lain,
sehingga antum menghasankan atau menshahiihkan hadits ini?
baarakallahu fiik
31 Oktober 2010 11.59
aris munandar mengatakan...
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف
الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله
ووصفه
”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh
orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan
penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan
pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang
yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’
li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].
Ustadz, tentang hadits di atas yang tepat
derajatnya hasan li ghairihi ataukah shahih li dzatihi ataukah shahih li
ghairihi?
أفيدونا جزاكم الله خيرا
31 Oktober 2010 15.36
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dalam Al-Kifaayah tertulis sanad dan
matan atsar tersebut sebagai berikut :
أخبرنا أبو سعد الماليني قال أنا عبد الله بن عدى
الحافظ قال ثنا على بن الحسين بن عبد الرحيم قال ثنا أحمد بن نصر المقري العابد
قال أنا المبارك مولى إبراهيم بن هشام المرابطي [ح وأخبرني] عبيد الله بن أبي
الفتح قال ثنا على بن عمر الحربي قال ثنا حاتم بن الحسن الشاشي قال حدثني حبيب بن
المغيرة الشاشي قال ثنا المبارك قال ثنا العطاف بن خالد عن نافع عن ابن عمر عن
النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: "يا ابن عمر دينك دينك إنما هو لحمك
ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا".
Asy-Syaikh Al-Albaaniy melemahkan riwayat
tersebut dengan sebab 'Athaaf bin Khaalid dan Mubaarak maulaa Ibraahiim bin
Hisyaam. Beliau menghukumi 'Athaaf sebagai seorang yang 'diperselisihkan',
tanpa menyebutkan finalisasi penghukumannya. Namun sepertinya beliau (dalam
Silsilah Adl-Dla'iifah) cenderung melemahkannya. Ibnu Hajar menghukumi shaduuq
yahimu. Adapun saya, cenderung pada penghukuman bahwa 'Athaaf ini shaduuq. Ia
tlah ditsiqahkan oleh jumhur, namun dilemahkan Maalik bin Anas, An-Nasaa'iy,
dan Abu Haatim dengan jarh yang ringan.
Adapun Mubaarak, maka Syaikh tidak
menemukan biografinya. Begitu pula dengan saya.
Result : Atsar tersebut lemah.
Apa yang antum tulis sekaligus tambahan
informasi dari artikel di atas. Jazaakallaahu khairan.
31 Oktober 2010 16.10
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Ustadz Aris,.... yang jelas bukan shahih
li-dzaatihi, sebab dalam beberapa jalan ada kelemahan.
Untuk sementara saya belum pernah melihat
(meneliti) secara khusus. Namun saya pernah membaca berbagai ragam pembahasan
hadits tersebut, baik yang pro (menshahihkan atau menghasankan) maupun yang
kontra (yang melemahkannya). Dan untuk sementara, saya membiarkan diri saya
bertaqlid kepada penghukuman Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy (dalam kitab
Al-Mausu'ah)dan gurunya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy (dalam kitab Al-Misykah) atas
keshahihan hadits itu (yaitu shahih li-ghairihi).
[catatan : Syaikh Muqbil mendla'ifkan
hadits tersebut].
Wallaahu ta'ala a'lam.
31 Oktober 2010 16.21
aris munandar mengatakan...
Orang sekelas Ust Abul Jauzaa dalam
bidang pengkajian hadits nampaknya sudah seharusnya dalam level HARAM utk
TAQLID dalam menilai derajat hadits.
31 Oktober 2010 19.55
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bisa saja ni antum,.... orang yang jauh
lebih 'alim dari saya saja boleh menyandarkan penghukuman pada Syaikh
Al-Albaaniy. Dan bagi saya, saat saya belum bisa mengadakan penelitian karena
adanya keterbatasan (ilmu, waktu, dan yang lainnya), pandangan saya akan selalu
menoleh kepada kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy. Karena ilmu hadits dan takhrij
hadits dapat bersinar di jaman ini, salah satunya karena keberadaan beliau.....
31 Oktober 2010 20.47
wawan mengatakan...
apakah termasuk belajar membaca al
quran?,
di daerah kami tidak ada yang mengajar
membaca al quran kecuali orang IM,
bagaimana? Apakah kami keluar dari
lembaga pendidikan mereka?
15 Desember 2010 05.34
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Memilih guru yang baik berlaku pada
bidang apa saja. Namun jika tidak ada yang terbaik, maka di bawahnya, kemudian
di bawahnya, begitu seterusnya.
Kita tidak perlu keluar atau malah
stagnan di rumah dengan alasan tidak ada guru yang benar-benar 'salafiy', sehingga
membiarkan diri kita terus menerus tidak bisa membaca Al-Qur'an. Ilmu membaca
Al-Qur'an itu wajib. Oleh karenanya, tidak mengapa kita, mengambil dari guru
dari IM, Muhammadiyyah, Persis, atau yang semisalnya dalam perkara-perkara
daruriy (yang tidak ada yang mengajar melainkan dirinya).
wallaahu a'lam.
15 Desember 2010 16.46
hadiman abu yahya mengatakan...
Subhanallah nikmat membacanya asatidzah
dalam menelaah
1 Juli 2017 11.25
[IT] Azab Para Da’i yang Tidak
Menjalankan Nasihatnya Sendiri,
4 Tipe Ustadz Dalam Berdakwah. 4 Tipe
Manusia Dalam Beramal
Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah
Khatib Jum’at
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru
Dakwah