Saudaraku, tahukan apa itu wara’? Kata
yang sederhana, namun jika sifat ini dimiliki, maka seseorang akan mendapatkan
banyak kebaikan. Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan
syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal
meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga
meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Mari kita lihat sejenak
mengenai sifat wara’ ini.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah
disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari
keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR.
Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan. Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 68 mengatakan bahwa hadits ini
shahih lighoirihi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ
أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ
مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ
تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ
الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang
wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang
qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi
orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana
engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang
mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi
muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan
hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Sangat sederhana sekali apa yang
disampaikan oleh Ibnul Qayyim mengenai pengertian wara’, beliau cukup
mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul
Qayyim menjelaskan,
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من
حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر
والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية
شافية في الورع
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara
tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”
Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu
mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan,
berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah
mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di
halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك هو ترك
الفضلات
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara
syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat
untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkatas, “Seseorang
tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia memiliki empat sifat: (1)
menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah, (2) makan makanan
halal dengan sifat wara’, (3) menjauhi larangan secara lahir dan batin, (4)
sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.”
Sahl juga berkata, “Siapa yang makan
makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak, baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah
anggota badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi adalah halal, maka
patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.” (Dinukil
dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah
keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan setiap saat selalu mengintrospeksi
diri.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’
dengan mengemukakan hadits,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada
yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi, shahih kata Syaikh Al
Albani)
Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in
berkata,
تركت الذنوب حياء أربعين سنة ، ثم أدركني الورع
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun
lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy
Syamilah, 1: 51).
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi
rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu
hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ
وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ
الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا
أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال
الْبَيِّن ، فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ
لِدِينِهِ وَعِرْضه )
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan
haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’
(konsensus ulama); lalu yang punya
kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil,
lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka
sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’
seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
“Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).
Demikian sedikit ulasan kami mengenai
sifat wara’. Moga Allah mudahkan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang
wara’.
Wallahu waliyyut taufiq.
Kosakata:
Wara’ : meninggalkan perkara haram dan
syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal
meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga
meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya
Syubhat: perkara yang masih samar
hukumnya, haram ataukah halal.
Muhammad Abduh Tuasikal, MS
@ Sakan 27-Jami’ah Malik Su’ud,
Riyadh-KSA, 21 Muharram 1434 H