Tuesday, November 21, 2017

Orang-Orang Yang Menggenggam Sesuatu Di Atas Bara Api

Hasil gambar untuk Orang-Orang Yang Menggenggam Sesuatu Di Atas Bara Api

Dari Abu Umayyah Asy Sya’ baniy berkata: Aku bertanya kepada Abu Tsa’labah: “Ya Aba Tsa’labah apa yang engkau katakan tentang ayat Allah yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian); tidak akan bisa orang-orang yang sesat itu memberikan mudharat kepada kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk.” (QS. Al Maidah: 105)
Berkata Abu Tsa’labah:
“Demi Allah, aku telah bertanya kepada Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam tentang ayat itu, maka beliau ‘alaihisshalaatu wasallam bersabda yang artinya:
“Beramar ma’ruf dan nahi mungkarlah kalian sehingga (sampai) kalian melihat kebakhilan sebagai perkara yang dita’ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan dunia (kemewahan) sebagai perkara yang diagungkan (setiap orang mengatakan dirinya di atas agama Islam dengan dasar hawa nafsunya masing-masing.
Dan Islam bertentangan dengan apa yang mereka sandarkan padanya), setiap orang merasa ta’jub dengan akal pemikirannya masing-masing, maka peliharalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian) dan tinggalkanlah orang-orang awam karena sesungguhnya pada hari itu adalah hari yang penuh dengan kesabaran (hari dimana seseorang yang sabar menjalankan al haq dia akan mendapatkan pahala yang besar dan berlipat).
Seseorang yang bersabar pada hari itu seperti seseorang yang memegang sesuatu di atas bara api, seseorang yang beramal pada hari itu sama pahalanya dengan 50 orang yang beramal sepertinya.”
Seseorang bertanya kepada Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Ya Rasulullah, pahala 50 orang dari mereka?” Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam berkata: “Pahala 50 orang dari kalian (para Sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam)”
{HR.Abu Daud: 4341, At Tirmizi: 3058, dan dihasankan olehnya; Ibnu Majah: 4014, An Nasai dalam kitab Al Kubro: 9/137-Tuhfatul Asyrof, Ibnu Hibban: 1850-Mawarid, Abu Nuaim dalam Hilyatul Aulia: 2/30, Al Hakim: 4/322-dishohihkan dan disetujui oleh Adz Dzahabi, Ath Thahawi dalam Misykalul Atsar: 2/64-65, Al Baghowi dalam Syarhu Sunnah: 14/347-348 dan dalam Ma’alimul Tanzil: 2/72-73, Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jamiul Bayan: 7/63, Ibnu Wadloh Al Qurtubi dalam Al bida’u wa nahyuanha: 71, 76-77; Ibnu Abi Dunya dalam Ash Shobr: 42/1} Hadits Tsabit dari Rasulullah dengan syawahidnya (jalan lainnya).
Dalam hadits Rasullallah shallallahu’alaihi wasallam di atas menunjukkan:
– Kewajiban untuk terus beramal ma’ruf nahi munkar sampai datang masa yang disifatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
– Masa yang disifatkan oleh Rasullalllah shallallahu’alaihi wasallam tersebut menunjukkan bahwa tidak bermanfaat lagi amal ma’ruf nahi munkar karena disebabkan kerusakan manusia pada waktu itu.
Terkadang ada pertanyaan yang mengatakan: bagaimana derajat pahala yang diberikan orang-orang yang bersabar dalam beramal di atas al haq pada waktu itu berlipat ganda dibandingkan dengan amalan para sahabat radhiallahu’anhum? Dimana, mereka adalah generasi pertama yang membangun Islam, menegakkan cahaya Islam, membuka negeri-negeri, meninggikan kekuasaan dan menancapkan Agama Allah.
Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda yang artinya : “Sekiranya kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud setiap hari, tidak akan bisa menyamai mereka (para sahabat Rasullallah ‘alaihisshalaatu wasallam) meskipun setengahnya.” {Hadits shahih, lihat takhrijnya dalam (Juz’u Muhammab bin Ashim An Syuyukhihi: 12)}
Maka jawabannya adalah sesungguhnya para sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam adalah generasi yang telah masyhur amalannya, tiada satupun manusia setelah generasinya yang sebanding amalannya dengan mereka. Mereka telah menjalankan amal ma’ruf nahi munkar sebagai perkara yang besar untuk membuka dan menancapkan agama Allah yaitu Al-Islam.
Keberadaan mereka diawal Islam sangat sedikit disebabkan karena berkuasanya orang-orang kafir di atas al haq. Demikian juga di akhir zaman akan kembali keadaannya seperti di awal penegakkan Islam. Dimana janji tersebut dipersaksikan di atas lisan yang selalu benar perkataannya yaitu Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang telah mengkhabarkan akan terjadinya kerusakan zaman, dhohirnya fitnah, berkuasanya kebatilan, berkuasanya dan tingginya manusia dalam mengganti dan merubah al haq, terjatuhnya kaum muslimin kepada jalan yang ditempuh oleh golongan ahli kitab sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam bersabda yang artinya: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana datangnya.” (Hadits Mutawatir, lihat kitabku: Tuba lil Ghuroba, Al Ghurbatu wal Ghuroba, Penerbit Darul Hijroh, Damam)
Maka pasti terjadi -Wallahu a’lam- keadaan yang telah dijanjikan oleh Ash Shoodiq (yang benar perkataannya) shallallahu’alaihi wasallam yaitu Islam akan kembali seperti awalnya dimana lemahnya amar ma’ruf nahi munkar sehingga seseorang yang berdiri menjalankan al haq dalam keadaan dilingkupi ketakutan dan dia telah menjual dirinya kepada Allah dalam doanya, sehingga Allah lipat gandakan pahalanya lebih besar dari pada keadaan para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum yang mereka adalah orang orang yang mutamakin (tetap dan kuat) dalam beramar maruf nahi mungkar, dan pada waktu itu banyak sekali orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar serta banyak sekali orang yang menyeru kepada Allah Ta’ala (yakni pada zaman shahabat ).
Dan ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alihi wasallam yaitu ketika beliau mengkhabarkan bahwa pahala mereka akan dilipatgandakan sama dengan 50 orang amalan yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahuanhum, yang kemudian Nabi ‘alaihisshalatu wasallam mengatakan (artinya): “Karena sesungguhnya kalian (para sahabat) Di atas kebaikan dan dalam keadaaan kalian mendapatkan banyak
pertolongan sedang mereka dan orang-orang yang beramal di atas al haq (di akhir zaman) tidak mendapat pertolongan.”
Sehingga akhirnya sampailah pada zaman terputusnya amal kebaikan (tidak ada lagi orang-orang yang menjalankan amal kebaikan) karena lemahnya keyakinan & agama. Sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Tidak akan tegak hari kiamat sampai tidak disebut (dikatakan) di bumi lafadz: ‘Allah Allah”. {HR.Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu}.
Hadits ini mempunyai makna tidak ada seorang muwahid (orang yang mentauhidkan Allah) pun yang tinggal di bumi, yang berdzikir mengucapkan lafadz ‘laa ilaaha illallah’ dan tidak seorang pun yang beramar ma’ruf nahi mungkar mengucapkan: “Aku takut kepada Allah”.
Apabila demikian keadaannya, seseorang yang berakal pada waktu itu menginginkan (berangan-angan) untuk mati sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam (artinya): “Tidak akan tegak hari kiamat sehinggga seseorang berjalan dikubur saudaranya (seseorang) kemudian berkata: ‘Sekiranya aku menempati tempatnya.’ (Muttafaqun’alaih, dari hadist AbuHurairoh radliyallahu’anhu)
Siapakahالقابضون على الجمر ?
Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan tarbiyah dan bukan hizbi (golongan yang berbangga dengan kelompoknya).
Mereka adalah orang-orang yang teguh di atas asas Al-Qur’an dan As Sunnah, berdiri menghiasi dirinya dengan dakwah kepada keduanya dengan berlandaskan manhaj (jalan) kenabian, tidak tergoyahkan dengan nama, alamat, dan bentuk. Karena sesungguhnya kedudukan ini adalah bagian dari syi’ar-syi’ar ubudiyah (peribadatan) yang digariskan di atas petunjuk Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam
dan para sahabatnya.
Berkata Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah ketika menyebutkan tanda orang-orang yang selalu menjalankan peribadatan (di atas dalil) dalam kitabnya Madarijus Salikin juz III/174):
“Mereka tidak menyandarkan dirinya pada suatu nama yang dengan nama tersebut mereka masyhur dikalangan manusia; tidak membatasi dengan satu amal dari sekian banyak amal yang dengannya dikenal manusia (hanya sebatas satu amalan) karena hal ini menyebabkan madharat dalam peribadatan; tidak dibatasi dengan nama tertentu yang menyebabkan perbedaan dan perpecahan; tidak terkait dengan formalitas, isyarat, kesempurnaan dan peraturan yang ditetapkan. Bahkan sebaliknya, apabila ditanya:
Siapa syaikhnya?
Dia akan menjawab: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam”
Apa jalan yang ditempuh ?
Dia akan menjawab: “Al-ittiba’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam)
Apa pakaiannya?
Dia kan menjawab: “Pakaiannya adalah taqwa.”
Apa madzhabnya?
Dia akan menjawab: “Berhukum di atas Assunnah”
Apa yang dituju dan dicari?
Dia akan menjawab: (يريدون وجهه)
“Mereka menghendaki wajah Allah”.
(Q.S. Al An’aam : 52).
Dimana tempat jaganya?
Dia akan menjawab: Firman Allah yang artinya :
“(Bertasbih) di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang. (yaitu) laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
(Q.S. An Nuur : 36-37)
Pada siapa nasabnya disandarkan?
Dia akan menjawab: “Bapaknya adalah Islam, tidak ada bapak selainnya.”
Apa makanan dan minumannya?
Dia akan menjawab: “Hidup di bawah pohon sampai bertemu Robb-nya”
Dan sungguh dia telah ditanya oleh sebagian imam mengenai “sunnah”.
Maka beliau (Ibnu Qayyim) menjawab: “sesungguhnya ahlussunnah tidak menyandarkan kepada nama, kecuali nama sunnah.”
Sebaliknya, golongan hizbi adalah golongan yang menetapkan dan terikat dengan peraturan resmi dari amalan “kebajikan resmi” dan istilah-istilah yang dihiasi (distempel), sehingga terlihat “kebajikan resmi” itu adalah satu-satunya amal yang sesuai dengan sunnah. Tetapi pada hakekatnya mereka adalah golongan yang jauh dari bimbingan sunnah Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam. Apabila disebutkan kepada mereka perkara yang berkaitan dengan al wala’ fillah (pemberian loyalitas karena Allah), permusuhan yang disebabkan atas pemberian al wala’ fillah, amar ma’ruf nahi mungkar, mereka akan mengatakan dan menuduh bahwa yang demikian adalah perkara yang berlebihan dan akan mengakibatkan kerusakan dan madhorot.
Apabila mereka melihat diantara sesamanya (anggotanya) terdapat orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) hal-hal tersebut, mereka akan mengeluarkannya dan
mencari pengganti yang sesuai dengan peraturan mereka.

Saya tidak mengetahui kapan mereka memahami bahwa sesungguhnya lingkaran Islam itu paling luas, persaudaraan di atas dasar keimanan itu yang paling penting, dan jalan yang ditempuh oleh generasi salaf itu yang paling alim, paling hakim, dan paling selamat. Sesungguhnya seluruh golongan hizbi dalam keadaan berbangga dengan kelompok dan golongannya masing-masing. Sungguh mereka telah menyandarkan qudwah-nya (suri tauladan) kepada selain Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, menyeru ke jalan selain jalan beliau , memberikan al wala’ wal bara’ karena sebab selain beliau shallallahu’alaihi wasallam . Mereka telah menulis perkataan yang tidak bersumber dari alqur’an dan assunnah dan menyandarkan diri kepadanya.
Apabila dibuka hijab yang menutupi mereka (golongan orang-orang hizbi) akan ditemukan bahwa mereka adalah golongan yang mentaati kebakhilan, mengikuti hawa nafsu, dan mengagungkan dunia atau kemewahan (mereka menyatakan dirinya di atas agama Islam dengan dasar hawa nafsunya masing-masing. Dan Islam bertentangan dengan apa yang mereka sandarkan padanya), mereka merasa takjub dengan akal pemikirannya masing-masing.
Oleh sebab itulah Islam yang hakiki sangat asing dan orang-orang yang mengamalkannya sangat asing sekali keadaannya diantara manusia.
Bagaimana tidak mungkin mereka sebagai orang-orang yang sangat asing keberadaannya diantara manusia ?! Mereka adalah satu kelompok yang sangat sedikit pengikutnya diantara 72 golongan (sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam) yang masing-masing mempunyai pengikut, pemimpin, bendera, dan wilayah yang mereka tidak berdiri dan berjalan kecuali menyimpang dari jalan yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ?!
Apabila satu kelompok tersebut mengamalkan salah satu hukum Islam yang hakiki, yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang paling bertentangan dengan hawa nafsu, kenikmatan, syubhat, dan syahwat dari 72 golongan tersebut. Karena syubhat dan syahwat merupakan cita-cita akhir dari kehendak dan maksud mereka (72 golongan).
Satu kelompok tersebut adalah sebagai orang-orang yang paling asing diantara orang-orang yang menjadikan kebakhilan sebagai perkara yang dita’ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan dunia (kemewahan) sebagai perkara yang diagungkan.
Pahala yang sangat besar ini [sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas (lihat edisi 11) diberikan kepada mereka karena keberadaannya yang sangat asing diantara manusia, dan berpegang teguhnya kepada sunnah Rasulullah shallallahu’alihi wasallam diantara kegelapan hawa nafsu dan pemikiran manusia.
Apabila seorang mukmin yang telah diberikan rizki pemahaman dalam agamanya, kefakihan dalam sunnah Rasul-Nya, pemahaman dalam kitab-Nya, hendak berjalan dan mengamalkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan dia melihat manusia dihiasi dengan hawa jalan nafsu, bid’ah, kesesatan, dan penyimpangan dari shirothol mustaqim yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka orang mukmin tersebut telah mempersiapkan dirinya menjadi tempat celaan, fitnah, caci makian, dan hinaan dari orang-orang yang jahil dan ahlul bida’. Demikan juga penggembosan dan peringatan kepada manusia untuk menjauhinya. Sebagaimana keadaan salaf (pendahulu) mereka, yaitu Rasulullah shallallahu’alihi wasallam sebagai imamnya orang-orang yang beriman dan pengikut-pengikutnya dari perlakukan orang-orang kafir pada waktu itu.
Apabila orang-orang yang jahil dan ahlul bida’ diseru untuk kembali ke shirothol mustaqim, dengan segala penghinaan yang ada pada mereka, mereka tetap berbangga di atas kesesatannya.
Maka seseorang yang tetap di atas Islam yang hakiki (satu kelompok yang telah di khabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam), dia berada dalam keadaan:
-Asing dalam agamanya, karena kerusakan agama kaum muslimin.
-Asing di dalam berpegang teguh di atas sunnah, karena berpegang teguhnya kaum muslimin dengan bid’ah-bid’ah.
-Asing dalam akidahnya (keyakinannya), karena rusaknya akidah kaum muslimin.
-Asing dalam sholatnya, karena buruk dan rusaknya sholat kaum muslimin.
-Asing dalam manhajnya (jalannya), karena kesesatan dan kerusakan jalan yang ditempuh oleh kaum muslimin.
-Asing dalam penyandarannya, karena bertentangan dengan penyandaran kaum muslimin.
-Asing dalam muamalahnya (hubungannya) dengan kaum muslimin, karena kaum muslimin bermuamalah di atas hawa nafsu mereka.
Kesimpulannya : Dia sebagai seorang yang asing dalam seluruh perkara dunia dan akhiratnya, dia tidak menemukan keumuman kaum muslimin yang membantu dan memberikan pertolongan kepadanya. Dia menjadi orang yang:
– ‘Alim diantara orang-orang yang jahil,
– Pembawa sunnah diantara orang-orang ahlul bida’,
– Da’i yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya diantara da’i-da’i yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah,
– Memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (baik) dan melarang dari perbuatan mungkar diantara kaum muslimin yang menganggap perkara yang ma’ruf adalah mungkar dan perkara yang mungkar adalah ma’ruf.
(Madarijus Salikin: Ibnu Qoyyim Al Jauziyah; Juz III/198-200)
Mereka adalah kelompok pembeda antara al haq dan al bathil yang berada di atas dasar alqur’an dan assunnah baik dari sisi akidah, manhaj, maupun amal.
Kejelasan seorang mu’min, baik da’i maupun mad’u (kaum muslimin yang diseru) berada di atas dasar al haq merupakan perkara yang dhoruri (mendasar), karena kebathilan banyak dihiasi dan ditampilkan dalam bentuk atau pakaian iman. Khususnya golongan orang-orang hizbi dan pribadi-pribadi yang dahulunya mengetahui dan memahami tentang iman kemudian menyimpang dan menyelisihinya. Karena mereka berkeyakinan bahwa setelah penyimpangannya tersebut, pemikirannya tetap di atas petunjuk (kebenaran). Apabila seorang da’i demikian keadaannya, maka dia akan menimbulkan kerusakan terhadap Islam yang hakiki.
Seorang muslim yang tetap dan kokoh dalam menjalani agamanya akan senantiasa adil dalam muamalahnya. Tidak bersifat lemah lembut kepada pendusta-pendusta dari golongan Yahudi, Nashara, dan yang lainnya, menempatkan lemah lembut dan kebalikannya sesuai dengan bimbingan Allah dan Rasul-Nya; paling baik muamalahnya kepada keluarga, isteri dan anak-anaknya; paling tinggi pemeliharaannya kepada sesuatu yang mudah, sulit, dan perkara yang berkaitan dengan kabar gembira. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):
“Maka janganlah kalian mentaati orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kalian bersikap lunak (lemah lembut) lalu mereka bersikap lunak (pula kepada kalian)”. (Q.S. Al Qolam : 8-9)
“Dan orang-orang yang mengikuti syahawatnya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”.(Q.S. An Nisaa’ : 27)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridho kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. (Q.S. Al Baqoroh : 120)
Perhatikanlah sikap yang haq dalam melepaskan diri dari kesyirikan, dan orang-orang yang menjalankannya di dalam alqur’an (yang artinya):
”Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa yang kalian ibadahi, dan kalian bukan penyembah Robb yang aku ibadahi, dan aku tidak pernah beribadah kepada apa yang kalian ibadahi, dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Robb yang aku ibadahi. Untuk kalianlah agama kalian dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al Kaafirun : 1-6)
Dan perhatikanlah permisalan yang dicontohkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada para sahabatnya radhiallahu ta’ala anhum: {“Kami duduk disisi Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam, maka beliau membuat satu garis lurus di depannya demikian, dan berkata: ‘Ini adalan jalan Allah Azza wa Jalla’. Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus tersebut, dan berkata: ‘Ini adalah jalan-jalan syaithon’. Kemudian beliau meletakkan tangannya pada garis lurus yang ada di tengah-tengah dan beliau membaca ayat yang mulia ini (yang artinya):
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertaqwa”.(QS. Al An’am: 153)}.
{Hadits Shahih dari jalan sahabat Jabir bin abdillah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu Ta’ala anhum.Lihat takhrijnya dalam Kitab Kami : Al Junnah fi Takhrijis Sunnah , Hal 5-8).
(Diterjemahkan Oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid Dari Kitab Al Qabidhuna ‘ala Al Jamri)
Referensi : Buletin Dakwah Al Atsary, Semarang Edisi 11 dan 12/ Th.I
Dikirim via Email Oleh Al Akh Dadik