Kebencian Ust.Abdul Somad, Lc,MA
At-Tahriri Kepada Syaikh Al-Albani Sangat Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa
Artikel Dibawah Secara Tertulis dan Ilmiyah (No YouTube).(sangat lengkap)
Para musuh dakwah beliau tak lepas dari
salah satu dari sifat-sifat berikut ini,
1. Al-hadatsah (kemudaan), 2. Kedangkalan
ilmu, 3. Bid’ah, 4. Suka untuk tampil, 5. Merasa sebagai syaikh
Berbagai tuduhan tak berdasar dilontarkan
kepada beliau dari beraneka ragam musuh dakwahnya. Tetapi, itu adalah sebuah
risiko yang mesti terjadi di saat seseorang menjalankan sunnah Nabi n. Itulah
yang terjadi pada asy-Syaikh al-Albani. Kami akan buktikan, insya Allah, bahwa
berbagai tuduhan dan tudingan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Namun,
saya di sini akan memfokuskan pada beberapa hal saja dan terkhusus yang
tersebar di negeri kita, karena keterbatasan waktu dan ruang.
Di antara tuduhan tersebut adalah sebagai
berikut.
Tuduhan Berpemahaman Murji’ah
Tak diragukan bahwa tuduhan tentulah
berasal dari orang-orang yang berpemahaman takfir atau terpengaruh oleh
pemahaman mereka. Akan tetapi, yang lebih menyakitkan adalah ketika tuduhan itu
juga dilontarkan oleh orang yang dianggap sebagai salafi juga. Asal tuduhan
ini, karena asy-Syaikh al-Albani adalah tokoh yang sangat keras menentang
pemikiran takfir (mengafirkan kaum muslimin) dan gerakan kelompok takfir,
sehingga beliau tentu menjadi sasaran tudingan mereka. Safar al-Hawali, seorang
yang berpemahaman Ikhwanul Muslimin atau takfir, menjadi salah satu pelopor
tuduhan ini dalam bukunya, Zhahiratul Irja’. Tuduhan itu pun semakin tenar
sehingga tak sedkit yang membeo mengikuti jejak Safar al-Hawali.
Benarkah tuduhan itu?
Siapakah yang disebut Murji’ah? Mereka
adalah yang meyakini bahwa amal bukan termasuk iman, iman tidak bertambah serta
berkurang, serta perbuatan dosa tidak menurunkan iman.
Dari keterangan siapakah yang disebut
Murji’ah, sama sekali syaikh al-Albani tidak masuk dalam kategori mereka.
Lihatlah keyakinan beliau dalam hal iman. Amal adalah bagian penting dalam iman
dan dengan hanya pelanggaran anggota badan, seseorang bisa lepas sama sekali
dari iman. Dua hal ini termasuk yang sangat membedakan antara Ahlus Sunnah dengan
Murji’ah dalam hal iman. Sebagai bukti dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah pada poin
no. 58 dan 62.
Ketika ath-Thahawi mengatakan, “Dan kami
tidak mengatakan ‘Tidak bermudarat dengan adanya iman dosa apa pun bagi orang
yang melakukannya’.”
Beliau memberikan komentar, saya katakan,
“Hal itu karena ucapan tersebut merupakan pendapat orang-orang Murji’ah yang
mengarah kepada pendustaan terhadap ayat-ayat ancaman dan hadits-haditsnya yang
datang (menerangkan) tentang para ahli maksiat dari umat ini, dan bahwa kelompok-kelompok
dari mereka yang maksiat itu akan masuk ke neraka lalu keluar darinya dengan
syafaat atau yang lainnya.
Juga ketika ath-Thahawi t menjelaskan
tentang iman dan beliau keliru padanya yaitu, “Iman adalah ikrar dengan lisan
dan pembenaran dengan kalbu.”
Beliau memberikan komentar, “Ini adalah
mazhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah. Berbeda dengan mazhab salaf dan mayoritas
para imam seperti al-Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, dan yang lain,
karena mereka menambahkan pada ikrar dengan (lisan) dan pembenaran itu dengan
tambahan pengamalan dengan anggota badan.”
Kiranya dua kutipan ini saja sudah cukup
sebagai bukti lepasnya beliau dari tuduhan berdosa tersebut bagi orang yang
adil dan berakal.
Alhamdulillah para ulama telah bersaksi
atas lurusnya akidah dan keyakinan beliau, di antaranya asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin, beliau t berkata, “Barang siapa menuduh asy-Syaikh al-Albani sebagi
Mur’jiah maka dia telah salah, mungkin dia tidak tahu apa itu Murji’ah atau
siapa itu al-Albani.”
Tuduhan Penulis Blog Jamaah Tabligh
Dalam blog Jamaah Tabligh, dengan bahasa
yang sangat merendahkan, penulis meremehkan ilmu haditsnya, dengan mengatakan,
“Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak
mau dibilang “ngawur”).”
Rasanya tak perlu saya jawab panjang
lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum, omongan orang yang tidak tahu
ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits. Begitulah seseorang
apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham ilmu hadits tidak
akan meragukan keilmuannya. Bias jadi, penulis tersebut tidak pernah membaca
Silsilah ash-Shahihah dan kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak
bisa membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah,
kesibukan Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain.
Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam
Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang
reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).
Demikian tertulis dalam blog JT tersebut.
Aneh bila kerjaan yang halal itu dicela, padahal Nabi n telah menganjurkan
makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal walupun tampak
sepele,
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ حَطَبٍ
عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً فَيُعْطِيَهُ أَوْ
يَمْنَعَهُ.
“Seseorang mengikat seikat kayu bakar
lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta
kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak memberinya.” (Sahih, HR.
an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memperoleh suatu
penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya sendiri.” (Sahih. HR.
an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bagaimana dengan dua hadits di atas?
Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya sebutkan bahwa yang menyatakan
sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?
Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik
dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor pajak. ”Nabi Zakariya
dahulu adalah seorang tukang kayu,” (Sahih, HR. Muslim)
Tidak Berguru kepada Ahli Hadits
Tentu itu hanya sebatas tuduhan.
Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau tumbuh dalam
keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu
agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk
diajari khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka
bukan guru biasa, bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.
Beliau pun ikut serta dalam
seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad Bahjat al-Baithar. Dengan
demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu, beliau bukan
seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah
memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat
dan kunci-kunci ilmu telah beliau miliki.
Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan
ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu, asy-Syaikh Muhammad
Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits sehingga
memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah
fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah. Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam
mengarungi lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu
yang selama ini telah tertanam dalam diri beliau.
Menyerupakan Allah l dengan Makhluk
Penulis pada blog Jamaah Tabligh
menuliskan, “Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan
dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.”
Dengan merujuk kepada halaman yang
disebutkan, tampaknya si penuduh tidak paham sama sekali atau mungkin tidak
membaca dan hanya taklid kepada pencela al-Albani yang lain, atau mungkin tidak
bisa membaca Arab gundul.
Pada halaman tersebut sama sekali tidak
ada pernyataan beliau yang menyerupakan Allah Subhaanahu wat’aala, dengan
makhluk. Bisa jadi, yang dia maksud adalah ketika asy-Syaikh al-Albani
menceritakan mazhab ahlul hadits dan Hanabilah dalam hal mengimani kalamullah.
Mereka mengimani al-Qur’an itu kalamullah, dan kalam Allah Subhaanahu wat’aala,
itu terdengar karena itu suara dan huruf. Bisa jadi, dipahami bahwa ini berarti
beliau menyerupakan Allah Subhaanahu wat’aala, dengan makhluk. Dianggap olehnya
bahwa suara adalah seperti suara makhluk dan huruf seperti huruf makhluk.
Ya, maaf, itu salah paham yang cukup
berat. Pertama, justru pikiran Anda yang menyerupakan Allah Subhaanahu
wat’aala, dengan makhluk. Saat Anda membaca ungkapan itu, langsung Anda hukumi
menyerupakan Allah Subhaanahu wat’aala, dengan makhluk. Tidak ada dalam pikiran
Anda saat orang menyatakan ‘kalam Allah Subhaanahu wat’aala, dengan suara’
selain gambaran seperti suara manusia atau makhluk lain. Jadi pikiran Andalah
yang sudah terkotori oleh tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk).
Sungguh benar pernyataan ulama dahulu
“Setiap orang yang menolak sifat Allah Subhaanahu wat’aala, pastilah dia juga
musyabbih (menyerupakan Allah dengan mahluk).” karena sebelum dia tolak sifat
Allah Subhaanahu wat’aala, tersebut, penyerupaan tersebut telah tergambar
dahulu dalam pikirannya. Setelahnya, dia menolak hal itu. Apa yang kita bahas
menjadi bukti kebenaran pernyataan itu.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak
tergambar hal itu karena pikiran mereka tidak kotor dengan tasybih (penyerupaan
Allah l dengan makhluk). Oleh karena itu, ketika mereka menyatakan bahwa kalam
Allah Subhaanahu wat’aala, dengan suara dan huruf, artinya suara Allah
Subhaanahu wat’aala, yang sama sekali tidak serupa dengan suara makhluk dan
huruf makhluk. Begitu pula saat menetapkan sifat-sifat Allah yang lain yang ada
dalam al-Qur’an atau al-Hadits, seperti cinta, benci, melihat, tangan, dan
lain-lain.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Adapun landasan Ahlus Sunnah bahwa kalam
Allah Subhaanahu wat’aala, dengan suara dan huruf, sangat banyak. Saya akan
cukupkan dengan dua saja di sini.
Dari Jabir dari Abdullah bin Unais
radiallohu anhu, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, bersabda,
يَحْشُرُ اللهُ الْعِبَادَ فَيُنَادِيهِمْ
بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ،
أَنَا الدَّيَّانُ
“Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, lalu
Allah Subhaanahu wat’aala, memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang
jauh seperti yang didengar oleh yang dekat, ‘Akulah Sang Raja. Akulah Yang Maha
Membalasi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mu’allaq dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ
بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ
وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.
“Barang siapa yang membaca satu huruf
dari kitabullah maka dengannya dia akan mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan
dilipatkan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa alif lam
mim satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu
huruf.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi)
Itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah, dan
itulah ijma’ mereka.
Asy-Syaikh al-Albani termasuk ulama yang
sangat menentang tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini terbukti
ketika ath-Thahawi menyatakan dalam kitab Aqidah-nya pada poin no. 9, “Dan para
makhluk tidaklah menyerupai-Nya.” Asy-Syaikh al-Albani berkomentar, “Pada
ucapannya terdapat bantahan terhadap pendapat musyabbihah (orang-orang yang
menyerupakan al-Khaliq dengan makhluk). Mahasuci Allah dan Mahatinggi.
Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Beliau kemudian menukil ucapan Abu
Hanifah, “Allah tidak menyerupai sedikit pun dari makhluk-Nya, dan tidak pula
sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya.”
Abu Hanifah melanjutkan, “Dan semua
sifat-Nya berbeda dengqn sifat-sifat makhluk. Allah Maha berilmu, namun tidak
seperti ilmu kita. Allah Mahamampu, namun tidak seperti kemampuan kita. Allah
Maha Melihat, namun tidak seperti penglihatan kita.” (Syarh wa Ta’liq ‘ala
al-Aqidah ath-Thahawiyah)
Mengafirkan Orang-Orang yang Tawassul
Penulis blog mengatakan, “Mengafirkan
orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi n dan
orang-orang soleh seperti dalam kitabnya at-Tawassul.”
Demikian dengan ringkasnya tuduhan itu
dilontarkan untuk membuat momok pada asy-Syaikh al-Albani. Sebetulnya, tuduhan
itu adalah tanggung jawab penuduh, karena Allah Subhaanahu wat’aala, bakal
menanyainya. Apalagi tuduhan mengafirkan, jangan dianggap sepele! Maka dari
itu, semestinya dia tunjukkan dengan jelas pada halaman mana dari kitab
tersebut.
Saya dengan segala keterbatasan, mencoba
melihat-lihat kembali kitab tersebut (at-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu), namun
saya belum dapatkan apa yang mereka sebutkan. Yang saya dapatkan, beliau
menuliskan, “Muncullah dari qiyas yang rusak dan pendapat yang tak laku ini
kesesatan terbesar tersebut dan musibah terbesar, yang banyak kaum muslimin
yang awam, bahkan sebagian orang khususnya, terjatuh padanya. Ketahuilah, itu
adalah istighatsah, memohon pertolongan kepada para Nabi n dan orang-orang
saleh selain Allah Subhaanahu wat’aala, di saat kesulitan dan musibah….” (hlm.
137)
Lalu beliau menukilkan ucapan sebagian
ulama yang mencap bahwa ini perbuatan kekafiran dan kesyirikan.
Jadi, penjelasan beliau ini adalah dalam
masalah istighatsah, mohon pertolongan kepada selain Allah Subhaanahu wat’aala,
Kalau tawassul ini sampai pada tingkatan tersebut, yaitu meminta dan berdoa
kepada selain Allah Subhaanahu wat’aala, tentu kafir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian
sepakat dengan mereka dalam masalah ini?
Apabila kalian sepakat, mengapa kalian
mencela al-Albani?
Kalau menurut kalian boleh, berarti
kalian membolehkan berdoa kepada selain Allah Subhaanahu wat’aala, yang itu
adalah syirik. Sayangilah agama kalian!
Adapun tawassul dengan para nabi yang
tidak sampai kepada tingkatan ini, tetapi bertawassul dengan kedudukannya,
misalnya mengucapkan, “Aku mohon kepadamu, ya Allah, dengan kedudukan Nabi n
Muhammad,” saya tidak mendapati beliau mengafirkannya, tetapi kata beliau,
“Tidak boleh. Tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang pantas jadi
landasannya.” (hlm. 46)
Beliau juga menyebutkan bahwa ini adalah
bid’ah karena tidak ada satu pun dalam doa al-Qur’an dan hadits yang sahih!
Jadi, ini bukan ajaran Nabi n dan amalan para sahabat. Apabila kalian
menganggap sunnah sehingga senantiasa mendendangkannya, tunjukkan dalilnya yang
sahih! Kami tunggu.
Adapun tawassul dengan Nabi n dan orang
saleh saat masih hidup dengan doanya, asy-Syaikh al-Albani membolehkannya.
Beliau mengatakan, “Tawassul yang disyariatkan dan ditunjukkan oleh nash-nash
al-Kitab dan as-Sunnah, dan diamalkan oleh as-salafush shalih serta disepakati
oleh muslimin yaitu:
1. Tawassul dengan salah satu nama Allah
l atau salah satu sifat-Nya,
2. Tawasssul dengan amal saleh yang
dilakukan orang yang berdoa,
3. Tawassul doa orang saleh.” (hlm. 46)
Inilah ucapan beliau, lantas dari mana
celanya, wahai penuduh?
Tawassul itu sesuatu yang Allah
Subhaanahu wat’aala, syariatkan sebagaimana dalam salah satu ayat, bagaimana
kalian mengamalkan ayat itu? Dengan sesuatu yang Nabi n contohkan atau dengan
karangan kalian sendiri?
Melarang Ziarah Kubur
Kata penulis blog JT, “Mengharamkan umat
Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di
makamnya.”
Tuduhan ini pun tidak jauh dari yang
sebelumnya, murahan dan tidak ilmiah. Mestinya, dia menukilkan sumber sekaligus
kutipan yang lengkap. Ingat, kalian akan ditanya oleh Allah Subhaanahu
wat’aala, nanti.
Mari kita menyimak penjelasan asy-Syaikh
al-Muhaddits al-Albani tentang ziarah dalam kitabnya Ahkamul Janaiz,
“Disyariatkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan untuk mengingatkan
akhirat, dengan syarat dalam ziarahnya tidak mengucapkan kata-kata yang
dimurkai oleh Allah Subhaanahu wat’aala, seperti berdoa kepada orang yang
dikubur tersebut, atau memohon pertolongan kepadanya selain Allah Subhaanahu
wat’aala, atau mentazkiyah serta memastikannya masuk surga.” (hlm. 227)
Kontradiksi dalam Menghukumi Hadits
Sebagian orang mengungkapkannya dengan
bahasa rendahan, seperti ucapan Abu Salafy, “Syeikh agung mereka yang sering
linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadits!”
Bahkan, sebagian orang menganggap beliau
tidak berhak menghukumi suatu hadits dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas
ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang
‘ngawur’).”
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia
tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke
Rasulullah. Meskipun demikian, dia berani mentashih dan mentadh’ifkan hadits sesuai
dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits
yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah
tugas para hafizh (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus
ribu hadits).”
Inilah tuduhan penulis blog JT. Tuduhan
ini berasal dari orang yang tidak tahu kapasitas dirinya. Mestinya, apabila
menuduh hendaknya yang ilmiah sehingga tidak memalukan, tidak hanya asal
bicara. Semestinya, mereka mempelajari ribuan hadits yang beliau hukumi, baru
setelahnya mereka mengeluarkan kesimpulannya. Atau sebelum itu, mereka sudah
bisa membaca Arab gundul atau belum? Ataukah mereka hanya membeo kepada orang
Timur Tengah yang mengkritik beliau?
Alhamdulillah, tuduhan ini telah
disanggah oleh para ulama. Di antaranya asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmul dalam
kitabnya al-Intishar li Ahlil Hadits. Kesimpulan beliau, ini adalah tuduhan
kebodohan atau pura-pura bodoh. Ketahuilah, yang disepakati Ahlus
Sunnah—mungkin Abu Salafy tidak ikut kesepakatan ini, -red.—bahwa kemaksuman
tidak tetap bagi seorang pun dari umat ini, selain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, kekeliruan adalah
sesuatu yang mungkin terjadi pada siapa saja. Jangankan beliau, ulama dan para
hafizh pun tidak lepas darinya. Tetapi, apakah kekeliruan yang sifatnya
manusiawi dalam hal yang ijtihadi dan dalam jumlah yang lumrah, menjatuhkan
kapasitas ilmiahnya? Tidak seorang pun yang beranggapan demikian selain orang
yang bodoh.
Perbedaan penilaian atau hukum dalam
beberapa hadits yang terjadi pada beliau tidak keluar dari beberapa hal berikut
ini.
1. Perubahan hukum beliau terhadap
beberapa hadits disebabkan perkembangan ilmu beliau.
Misalnya, ditemukannya kitab yang baru
tercetak, atau sanad lain, mutaba’ah, dan syawahid, atau tersingkapnya
kelemahan hadits yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini cukup banyak, seperti
yang beliau ungkapkan sendiri dalam mukadimah kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir.
Alhamdulillah, sekarang telah terbit buku Taraju’at al-Albani, yang menerangkan
hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani mengubah penghukuman beliau terhadap
hadits tersebut dari sahih menjadi dhaif atau menjadi hukum yang lain.
2. Hadits yang dalam derajat hasan
lighairihi.
Pembahasan hadits hasan lighairihi
termasuk maslaah yang paling sulit dalam ilmu hadits. Oleh karena itu, kalau
ijtihad ulama suatu saat berubah, itu adalah hal yang sangat wajar, baik pada
al-Albani atau yang lain.
Simak penegasan adz-Dzahabi yang tak
diragukan keilmuannya dalam ilmu hadits dan para rawi, “Jangan engkau harap
bahwa hadits hasan memiliki kaidah yang semua hadits hasan dapat masuk ke
dalamnya. Saya putus asa untuk itu. Betapa banyak hadits yang para hafizh ragu
dalam hal ini, apakah itu hasan, dhaif, ataukah sahih. Bahkan, seorang hafizh
terkadang berubah ijtihadnya dalam menghukumi satu hadits. Suatu hari ia
menyatakan sahih, hari yang lain menyatakan hasan, atau justru menyatakannya
dhaif. Dan ini benar….” (al-Muqizhah, hlm. 28—29)
3. Hadits-hadits yang beliau dianggap
kontradiksi dalam menghukuminya, padahal justru si penuduhnya yang tidak bisa
menilai.
4. Hadits-hadits yang asy-Syaikh
al-Albani berbeda dalam menghukuminya karena keterbatasan yang sifatnya
manusiawi yang tidak ada seorang pun lepas darinya. Yang seperti itu jumlahnya
sedikit sekali apabila dibanding ribuan hadits yang beliau hukumi.
Kesimpulan akhir asy-Syaikh Muhammad
Bazmul, “Vonis bahwa asy-Syaikh al-Albani kontradiksi dalam menghukumi hadits,
dan upaya menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu dan buku-bukunya adalah omong
kosong belaka, dari orang yang dengki. Tidak ada bobotnya dalam timbangan
kebenaran sedikit pun. “ (lihat hlm. 211—216 dengan sedikit penambahan dan
ringkasan)
مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَى سَجَايَاهُ كُلُّهَا
كَفَى بِالْمَرْءِ نَبْلاً أَنْ تُعَدَّ
مَعَايِبُهُ
Siapakah yang seluruh tabiatnya diridhai
Cukuplah sebagai kemuliaan seseorang itu
dapat dihitung cacatnya.
Adapun ucapan penulis dalam blog JT di
atas, saya anggap itu ucapan anak ingusan yang tidak tahu ilmu musthalah sama
sekali. Siapa yang mensyaratkan orang harus hafal sepuluh hadits dengan
sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi sanad
dari zaman sekarang sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Siapa yang mensyaratkan untuk menghafal
ratusan ribu hadits, baru boleh menghukumi suatu sanad hadits sahih dan
dhaifnya?!
Datangkan satu saja pensyaratan dari
ulama mutaqaddimin (terdahulu)dalam hal ini, saya tunggu.
Tuduhan Abu Salafy
Ya, Abu Salafy sebutannya, tetapi jangan
Anda mengira dia salafi. Mungkin anaknya yang salafi, semoga saja….
Dia katakan, “Syeikh Albani menukil
pendapat sebagin kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
seraya membenarkan bahwa:
1. “Barang siapa berkata tentang Allah,
‘Dia dilihat tidak di sebuah jihah/sudut/sisi tertentu,’ hendaknya ia
mengoreksi akalnya. Albani berkata, “Jika yang dimaksud dengan jihah adalah
perkara ketiadaan dan dia adalah di atas alam semesta ini, di sana tidak ada
selain Allah sendirian.”
Abu Salafy berkata, “Demikianlah akidah
Salafi yang dibanggakan kaum Salafiyyun Wahhabiyyun yang diyakini Syeikh agung
mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!
Coba bandingkan dengan akidah ulama Islam
seperti yang dirangkum oleh al-Imam ath-Thahawi dalam Aqidah-nya, “Allah tidak
dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.”
Maksudnya, Mahasuci Allah dari berada di
sisi tertentu, sebab yang demikian itu meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh
batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak, diam dll dari sifat makhluk.
Dengan omongannya itu, Syeikh Albani
telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah
membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam
Ahlusunnah.
Bantahan
Saya merujuk pada tiga halaman yang dia
tunjuk sebagai sumber tuduhannya (Mukhtashar al-‘Uluw, hlm. 7, 156, 285) dalam
kitab Mukhtashar al-‘Uluw yang saya miliki. Kitab yang saya miliki adalah
cetakan kedua, terbitan al-Maktabul Islami. Akan tetapi, di semua halaman yang
disebutkan di atas, tidak ada kata-kata tersebut.
Anehnya, dalam blog JT pada bahasan yang
berbeda, yaitu asy-Syaikh al-Albani menyerupakan Allah Subhaanahu wat’aala,
dengan makhluk, juga persis menunjuk buku dan halaman itu. Ada kesepakatan apa
antara Abu Salafy dengan penulis di blog JT tersebut? Siapa mereka?
Juga pada referensi kedua, kitab
(al-Aqidah ath-Thahawiyah Syarah wa Ta’liq al-Albani, hlm. 25) juga tidak saya
dapati pada buku saya, cetakan kedua terbitan al-Maktabul Islami. Entah dia
merujuk ke cetakan mana? Atau ini kritik ‘ilmiah’ yang bagaimana?
Yang jelas—tanpa saya tunjukkan, biar
mereka cari sendiri dan itu mudah—, nukilan itu memang ada dalam buku
asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani—semoga Allah l senantiasa membelanya dari
rongrongan para musuh sunnah. Yang pertama adalah ucapan Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi yang dianggap musyabbih oleh Abu Salafy, bukan ucapan al-Albani.
Menjawab kritikan Abu Salafy, saya
katakan, maksud dari perkataan yang pertama adalah membantah mazhab Asy’ariyah.
Menurut Asy’ariyah, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu.
Memang membingungkan, dilihat tapi tidak pada arah tertentu.
Maka dari itu, beliau katakan, “Coba
koreksi akalnya.”
Mengapa mereka mengatakan demikian?
Mereka mengatakan ‘dapat dilihat’ karena haditsnya banyak, tidak dapat
dimungkiri. Di sisi lain, mereka mengatakan ‘tidak dari arah tertentu’ karena
mereka tidak meyakini ketinggian Allah Subhaanahu wat’aala, di atas
makhluk-Nya. Padahal, dalil bahwa Allah Subhaanahu wat’aala, di atas
makhluk-Nya jauh lebih banyak daripada dalil bahwa Allah Subhaanahu wat’aala,
dilihat dalam surga, tetapi mengapa yang ini justru diingkari? Alhasil, paduan
dari dua keyakinan tadi, “Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah
tertentu.”
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja)
meyakini bahwa Allah l di atas makhluk-Nya sehingga Allah Subhaanahu wat’aala,
akan dilihat oleh hamba-Nya di atas mereka seperti hamba melihat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang mutawatir.
Adapun ucapan kedua, tampaknya sengaja
dia potong untuk membuat bingung pembacanya. Padahal ucapan selengkapnya tidak
demikian. Sebelum saya nukil, sedikit akan saya terangkan duduk masalahnya.
Tentang masalah “jihah” yang artinya arah
atau sisi, apakah boleh dikatakan Allah pada jihah tertentu? Sebagian kelompok
menolak untuk mengatakan bahwa Allah l berada pada jihah tertentu. Tetapi, di
balik penolakan itu mereka ingin mengingkari ketinggian Allah l di atas
makhluk-Nya. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah pada jihah, apabila yang
mengatakan demikian adalah ulama salaf, yang mereka maksud adalah jihah
fauqiyah, yakni Allah l di atas makhluk-Nya.
Yang paling tepat adalah mazhab Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, “Allah di atas makhluk-Nya sebagaimana
tersebut dalam ayat dan hadits.” Adapun kata jihah, karena lafadz ini tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkait dengan sifat Allah Subhaanahu
wat’aala, kita menjauhinya.
Karena semua ini, asy-Syaikh al-Albani
mengatakan, “Ringkas kata dalam hal jihah, apabila yang dimaksud adalah sesuatu
yang ada selain Allah Subhaanahu wat’aala, maka itu makhluk, padahal Allah
Subhaanahu wat’aala, adalah di atas makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun dari
makhluk yang meliputi-Nya dan membatasi-Nya, karena Dia terpisah dari makhluk
sebagaimana akan disebutkan keterangannya dari sejumlah imam. Akan tetapi,
apabila yang dimaksud dengan jihah itu adalah sesuatu yang tidak ada dan itu di
atas alam ini, maka tidak ada di atas alam ini selain Allah Subhaanahu
wat’aala,
Dari kutipan di atas, jelas bahwa beliau
sedang mendudukkan sikap yang benar terhadap jihah.
Kembali menanggapi Abu Salafy, dari
keterangan di atas, rasanya tidak tepat apabila penjelasan al-Albani diadu
dengan ucapan ath-Thahawi karena beliau tidak sedang menetapkan jihah secara
mutlak. Bagaimana bisa kemudian diadukan dengan pernyataan ath-Thahawi yang
tidak menetapkan jihah? Paham, Abu Salafy?
Asy-Syaikh al-Albani meyakini ketinggian
Allah Subhaanahu wat’aala, Allah Subhaanahu wat’aala, di atas hamba-Nya. Ini
pun diyakini oleh ath-Thahawi, seperti dalam ucapannya, “Muhiithun bi kulli
syai’in wa fauqahu (Mencakup segala sesuatu dan berada di atasnya).”
Adapun ucapan beliau “tidak diliputi oleh
enam arah,” maksud beliau adalah Allah l tidak diliputi oleh
makhluk-makhluk-Nya. Beliau tidak meniadakan ketinggian Allah l di atas
makhluk-Nya. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara ucapan al-Albani
dengan ath-Thahawi. Hanya saja penggunaan ath-Thahawi terhadap kata-kata
tersebut yang tidak ada dalam ayat dan hadits lebih baik dihindari.
Hal ini karena bisa saja orang lain akan
mengklaim beliau sebagai orang yang kontradiktif: di satu sisi mengatakan Allah
Subhaanahu wat’aala, di atas segala sesuatu, di sisi lain mengatakan tidak
diliputi oleh enam arah. Padahal maksud beliau dari kata yang terakhir seperti
yang telah dijelaskan, bukan menafikan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya.
Maka dari itu, semestinya ath-Thahawi mencukupkan dengan lafadz-lafadz yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abu Salafy berkata, “Dengan omongannya
itu Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu
yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang
diyakini para imam Ahlusunnah.
Alhamdulillah, al-Albani tidak menuduh
para ulama tidak berakal. Beliau hanya meminta mereka yang mengingkari
ketinggian Allah l—bukan para ulama sunnah—untuk mengecek akal mereka. Beliau
tidak menyimpang dari akidah para imam Ahlus Sunnah, bahkan sejalan dengan
mereka. Justru Anda, wahai Abu Salafy, yang menyimpang dari para imam Ahlus
Sunnah.
Nah, sebagai bukti saya akan bertanya.
Apakah Abu Salafy mengimani akan ketinggian Allah Subhaanahu wat’aala, atau
tidak?
Abu Salafy mengatakan, “Maksudnya
Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu.”
Menurut Anda, apakah Allah Subhaanahu
wat’aala, tidak di atas makhluk-Nya?
Saya tunggu jawabannya.
(disusun dari berbagai sumber, di
antaranya Muhadditsul ‘Ashr al-Albani, kaset-kaset rekaman ceramah beliau,
Majalah al-Ashalah, dan buku-buku beliau yang lain)