Salah satu ulama umat Islam di Madinah
dimana saya bertempat tinggal berkata: “Bahwa Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi adalah
pelaku bid’ah, ia menyebutkan beberapa dalil dari “Fathul Baari” untuk
menguatkan pendapatnya tersebut. Ia juga memberikan contoh dari pendapatnya
tersebut dari syarahnya Imam Ibnu Hajar, bahwa maksud dari “Wajhullah” adalah
rahmat-Nya. Bagaimanakah pendapat anda ?
Alhamdulillah
Ahlus sunnah pendapatnya objektif dalam
menghukumi seseorang. Tidak mengangkat seseorang di atas kapasitasnya dan tidak
pula mengurangi apa yang menjadi miliknya. Dan di antara bentuk berimbang dalam
menjelaskan tentang seseorang adalah menjelaskan pula beberapa kesalahan para
ulama, dan orang yang menta’wil ilmunya, dan tetap mendoakan agar mereka
mendapatkan rahmat Allah. Termasuk juga di antara bentuk informasi berimbang
adalah mengajak untuk berhati-hati akan kesalahannya, sehingga seseorang tidak
terkesima dengan kedudukannya, dan mungkin mengikuti kesalahannya. Ahlus sunnah
tidak terburu-buru menghukumi seseorang yang menyelisihi sunnah dengan sengaja,
yaitu; sebagai pelaku bid’ah dan sesat.
Ada beberapa orang di masa kita ini yang
menuduh kedua Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, dan mengatakan bahwa mereka
adalah ahli bid’ah dan sesat. Dan bahkan sebagian mereka sampai pada derajat
bodoh dengan mengatakan wajib hukumnya untuk membakar kedua kitab “Fathul
Baari” dan “Syarah Muslim”.
Namun juga bukan berarti mereka berdua
tidak memiliki kesalahan dalam masalah agama, khususnya dalam masalah asma’ wa
sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah). Ulama kita sudah memberikan catatan,
menjelaskannya, pada saat yang sama mereka juga mengharapkan mereka berdua
mendapatkan rahmat dari Allah, memuji keduanya sesuai dengan derajatnya,
mendo’akan baik bagi mereka berdua, dan berpesan untuk mengambil manfaat dari
kitab-kitab mereka berdua. Inilah bentuk berimbang yang yang dikenal dalam
ahlus sunnah wal jama’ah, sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang
membid’ahkan keduanya, menyesatkannya, bahkan berkata agar kitab-kitab mereka
berdua dibakar. Juga sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang mengambil
pendapat keduanya seperti halnya wahyu (yang tidak pernah salah), dan
menjadikan apa yang menjadi keyakinan keduanya adalah kebenaran yang tidak
diragukan lagi. Kami akan menyebutkan beberapa pendapat ulama kita, agar
seorang muslim bersikap berimbang dalam menilai, mengetahui, menghukumi dengan
adil kepada kedua imam tersebut:
1.Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa
ulama yang mentakwil sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul
Jauzi, dan lain sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para
Imam ahlus sunnah wal jama’ah atau bagaimana?, apakah kita berkata: Mereka
melakukan kesalahan dengan takwil mereka, atau mereka sesat ?
Mereka menjawab:
“Sikap kita terhadap Abu Bakar al
Baqillani, al Baihaqi, Abu al Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya an Nawawi, Ibnu
Hajar dan yang serupa dengan mereka dari beberapa ulama yang mentakwil sebagian
sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang hakekat
makna sifat-sifat tersebut. Menurut hemat kami mereka semua termasuk para ulama
kaum muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga Allah merahmati mereka
semua dengan rahmat yang luas dan jazahumullah khoiral jazaa’. Mereka masih
tergolong ahlus sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para sahabat
–radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang
mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Namun
mereka bersalah kerena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat
Allah, hal itu bertengan dengan ulama salaf dan para imam sunnah
–rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat
perbuatan atau sebagiannya.
Petunjuk yang benar hanya milik Allah.
Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam-
(Syekh Abdul Aziz bin Baaz, Syekh Abdur
Razzaq al ‘Afifi, Syekh Abdullah bin Qu’ud)
(Fatawa Lajnah Daimah: 3/241)
2.Syekh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimin
–rahimahullah-:
Berkaitan dengan ulama yang memiliki
beberapa kesalahan dalam aqidah, seperti: masalah nama-nama dan sifat-sifat
Allah dan lain-lain. Nama-nama mereka tidak asing lagi bagi kami, apalagi
ketika kami kuliah dahulu. Pertanyaannya adalah apa hukumnya mendoakan mereka
dengan ucapan: “semoga Allah merahmati mereka semua”?
Syekh bertanya balik: “Seperti siapa ?“
Penanya
: “Seperti Zamakhsyari, Zarkasyi dan lain-lain..”
Syekh
: “Zarkasyi dalam masalah apa ? “
Penanya
: “Dalam masalah Nama-nama dan sifat-sifat Allah”.
Beliau menjawab:
“Yang jelas di sana ada beberapa orang
yang menisbahkan dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera
bid’ah, seperti Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari ia
seorang mu’tazilah, ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat kepada
Allah sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk),
dan menyesatkan mereka. Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya “al
Kasysyaf” dalam mentafsiri al Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam
masalah sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah
adalah baik, banyak memberikan manfaat, tentu saja bahaya bagi siapa saja yang
belum mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Akan tetapi di sana ada beberapa ulama
yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul bid’ah, namun dalam
pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah, seperti Ibnu Hajar al
Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah-. Sebagian orang-orang yang tidak
mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada saya:
“Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul Baari”
; karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah, hal ini tidak benar; karena
kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa sekarang ada
seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya kepada Islam dalam
masalah hadits seperti karya mereka berdua. Hal itu menunjukkan kepada anda
bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya -saya tidak
mendahului kehenak Allah- bahwa Dia telah menerimanya. Hampir semua hasil karya
mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan
sampai masyarakat umum. Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada
setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak
kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya
seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di
rumahnya, di masjidnya.
Maka bagaimana mungkin kedua ulama tersebut
dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, tidak boleh berdoa agar mereka
mendapatkan rahmat Allah, dan tidak boleh membaca buku-bukunya, dan wajib
membakar Fathul Baari dan Syarah Muslim ?!!. Subhanallah, maka saya katakan
kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:
أَقِلُّوا عليهمُ لا أبا لأبيكمُ مِن اللومِ أو
سدوا المكان الذي سدوا
“Persedikit dalam menilai mereka –demi
Allah- dari celaan, atau tutuplah tempat itu”.
Siapa yang mampu mempersembahkan karya
terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka persembahkan ?!... kecuali jika
Allah berkehendak. Maka saya berkata: Semoga Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu
Hajar al Asqalani, dan siapa saja yang mirip dengan mereka berdua, yang Allah
jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semuanya hendaknya mengamininya.
(Liqaat Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9)
3.Syekh Shaleh bin Fauzan al Fauzan
–hafidzahullah-
Ada muncul perbedaan di antara penuntut
ilmu syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:
Sebagian mereka berkata: ia adalah orang
yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum di cek kebenarannya. Sebagian
yang lain berkata: harus di cek kebenarannya. Sebagian yang lain membedakan
antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang mencetuskan
dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj ahlusunnah jama’ah. Bahkan sebagian
mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh (mendo’akan)
mereka agar mendapatkan rahmat Allah?
Beliau menjawab:
Pertama:
“Tidak selayaknya bagi para santri pemula
atau yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau
menganggapnya fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif,
sedang mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut.
Yang demikian itu juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban
mereka yang sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari
hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kedua:
Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal
yang baru dalam agama yang bukan termasuk darinya sebelumnya, berdasarkan
hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam- :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه
البخاري)
“Barang siapa yang mendatangkan sesuatu
yang baru dalam urusan kami, yang sebelumnya bukan termasuk darinya, maka akan
tertolak”. (HR. Bukhori)
Apabila seseorang melakukan kesalahan
atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan karena
ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah, namun apa yang
dilakukannya termasuk bid’ah.
Ketiga:
Barang siapa yang memiliki kesalahan
dalam masalah ijtihadiyah, yang lain telah mentakwilnya, seperti Ibnu Hajar,
Nawawi dan beberapa sifat Allah yang telah mereka takwil, maka ia tidak
dihukumi sebagai seorang pelaku bid’ah. Namun dijelaskan bahwa inilah
kesalahan mereka, dan diharapkan mereka mendapat ampunan dengan besarnya
perhatian mereka terhadap sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
kedua mereka tersebut adalah imam yang mulia, dapat dipercaya oleh para ulama.
(al Mauntaqa min Fatawa Fauzan: 2/211-212).
4.Syekh Muhammad Nashiruddin al Al Baani
–rahimahullah-:
Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan
lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka
di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari
‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan
Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah
itulah yang diwarisakn.
Mereka mengira dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga
berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya
kembali (ke jalan yang benar).
Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat
itulah yang benar, padahal tidak.
(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man
Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)
semoga Allah senantiasa memberikan
rahmat-Nya kepada kedua imam tersebut. Semoga Allah mengampuni kesalahan mereka
berdua.
Wallahu a’lam.
Contoh Pendapat Al-Imam An-Nawawy Yang
Berbeda Dengan Al-Imam Asy-Syafi’i
Pendahuluan
Tulisan berikut ini menunjukkan beberapa
contoh pendapat al-Imam an Nawawy yang berbeda dengan pendapat Al-Imam
asy-Syafi’i. Semoga Allah merahmati mereka berdua. Padahal, telah dimaklumi
bahwa Al-Imam An-Nawawy adalah salah seorang Ulama Syafi’iyyah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa metode
bermadzhab yang diterapkan oleh para Ulama’ bukanlah fanatik buta dan taklid
sepenuhnya terhadap madzhab yang diikutinya. Tidak sedikit di antara mereka
mengikuti pendapat yang menurutnya lebih dekat pada kebenaran, lebih sesuai
dengan dalil yang shahih, meski bertentangan dengan pendapat Imam Madzhab yang
diikutinya.
Beberapa pendapat Al-Imam An-Nawawy yang
berbeda dengan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah Fiqh, bahkan beliau menyatakan
bahwa pendapat al-Imam asySyafi’i lemah dalam masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1.Takbir dalam sholat Ied
ولو نسي التكبيرات حتى افتتح القراءة ، لم يرجع
إلى التكبيرات على القول الصحيح ، وللشافعي قول ضعيف : أنه يرجع إليها ( الأذكار
:1-173)
Kalau seandainya lupa takbir (tambahan
dalam Sholat Ied) sehingga memulai bacaan (Al-Fatihah), tidak perlu kembali
takbir berdasarkan pendapat yang shahih. Asy-Syafi’i memiliki pendapat yang
lemah yaitu kembali pada takbir (al-Adzkaar :1/173)
2.Makruhnya jual beli di dalam masjid
تكره الخصومة في المسجد ورفع الصوت فيه ونشد
الضالة وكذا البيع والشراء والاجارة ونحوها من العقود هذا هو الصحيح المشهور
وللشافعي قول ضعيف أنه لا يكره البيع والشراء
(المجموع شرح المهذب 2-175)
Dibenci (makruh) bermusuhan/ berdebat di
masjid, mengeraskan suara, mencari barang hilang, demikian juga jual beli,
sewa-menyewa dan akad-akad semisalnya. Ini adalah pendapat yang benar dan
masyhur. Sedangkan Asy-Syafi’i dalam masalah ini memiliki pendapat yang lemah
yaitu tidak makruh jual beli (di masjid)(al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/175)).
3.Al-Halq termasuk Bagian Manasik
أن أفعال يوم النحر أربعة رمى جمرة العقبة ثم
الذبح ثم الحلق ثم طواف الافاضة وأن السنة ترتيبها هكذا فلو خالف وقدم بعضها على
بعض جاز ولا فدية عليه لهذه الأحاديث وبهذا قال جماعة من السلف وهو مذهبنا
وللشافعي قول ضعيف أنه اذا قدم الحلق على الرمى والطواف لزمه الدم بناء على قوله
الضعيف أن الحلق ليس بنسك ( شرح النووي
على مسلم 9-55)
Sesungguhnya amalan-amalan pada hari
anNahr (penyembelihan)(bagi Jamaah Haji) ada 4 yaitu melempar Jumratul Aqobah
kemudian menyembelih kemudian bercukur kemudian Thawaf Ifadhah, dan bahwasannya
Sunnahnya adalah dilakukan berurutan demikian. Kalau seandainya tidak berurutan
sehingga sebagian didahulukan dari yang semestinya, boleh dan tidak ada fidyah
baginya berdasarkan hadits-hadits ini. Ini adalah pendapat sekelompok Ulama’
Salaf dan ini adalah madzhab kami. Sedangkan Asy-Syafi’i memiliki pendapat yang
lemah yaitu jika mendahulukan bercukur dari melempar jumrah dan thawaf, maka
harus membayar dam. Hal ini didasarkan pendapatnya yang lemah, yaitu bahwa
bercukur bukanlah bagian dari manasik (Syarh anNawawy terhadap Shahih Muslim
(9/55))
4.Masuk Makkah Tidak Perlu Ihram bagi
yang Tidak Berniat Haji atau Umrah
وأما من لا يريد حجا ولاعمرة فلا يلزمه الاحرام
لدخول مكة على الصحيح من مذهبنا سواء دخل لحاجة تتكرر كحطاب وحشاش وصياد ونحوهم
أولا تتكرر كتجارة وزيارة ونحوهما وللشافعي قول ضعيف أنه يجب الاحرام بحج أو عمرة
ان دخل مكة أو غيرها من الحرم لما يتكرر بشرط سبق بيانه في أول كتاب الحج
( شرح
النووي على صحيح مسلم 8-82)
Sedangkan orang yang tidak berniat haji
atau umrah maka tidak harus ihram ketika masuk Makkah berdasarkan pendapat yang
Shahih dari Madzhab kami. Sama saja apakah masuk untuk keperluan yang berulang
seperti mengambil kayu bakar, penjual rumput, pemburu, dan semisalnya, atau
tidak untuk keperluan yang berulang seperti berdagang, ziyarah, dan semisalnya.
Asy-Syafi’i memiliki pendapat yang lemah yaitu bahwasanya wajib ihram untuk
berhaji atau umrah jika masuk ke Makkah atau wilayah Haram lain untuk keperluan
yang berulang dengan syarat yang telah disebutkan di awal kitab alHajj (Syarh
Shahih Muslim lin Nawawy (8/82))
5.Sebab Jamak waktu Haji dan Jarak Safar
…فيه
فوائد منها أن السنة للدافع من عرفات أن يؤخر المغرب إلى وقت العشاء ويكون هذا
التأخير بنية الجمع ثم يجمع بينهما في المزدلفة في وقت العشاء وهذا مجمع عليه لكن
مذهب أبي حنيفة وطائفة أنه يجمع بسبب النسك ويجوز لأهل مكة والمزدلفة ومنى وغيرهم
والصحيح عند أصحابنا أنه جمع بسبب السفر فلا يجوز إلا لمسافر سفرا يبلغ به مسافة
القصر وهو مرحلتان قاصدتان وللشافعي قول ضعيف أنه يجوز الجمع في كل سفر وان كان
قصيرا (شرح النووي على مسلم 8-187)
… di dalamnya terdapat faidah-faidah, di
antaranya : Bahwasanya disunnahkan bagi orang-orang yang bertolak menuju Arafah
mengakhirkan (sholat maghrib) ke waktu Isya’ dan pengakhiran ini diniatkan
jamak. Kemudian menjamak kedua sholat di Muzdalifah. Ini telah (hampir)
disepakati (oleh para Ulama’), akan tetapi Madzhab Abu Hanifah dan sebagian
kelompok menyatakan: bahwa mereka (jamaah haji) menjamak karena sebab Manasik,
dan boleh bagi penduduk Makkah, Muzdalifah, dan Mina, maupun selainnya (untuk
menjamak sholat demikian). Pendapat yang benar menurut Sahabat-sahabat kami
adalah bahwa jamak tersebut dilakukan karena safar, maka tidak boleh dilakukan
kecuali oleh musafir yang telah melakukan safar menempuh jarak bolehnya qoshor,
yaitu dua marhalah pertengahan. Sedangkan Asy-Syafi’i berpendapat dengan
pendapat yang lemah bahwasanya boleh menjamak pada semua keadaan safar meski
jarak dekat (Syarh Shahih Muslim lin Nawawy (8/187))