Sejarah Dan Fitnah
Tasawuf
Orang-orang sufi pada
periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali)
kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis
memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal
dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid
(tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu
Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami
tidak mengambil Tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi
dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan
hal-hal yang dianggap baik. Sebab Tasawuf itu berasal dari kesucian
mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari
dunia.”
Komentar Ibnul Jauzi, jika
seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka
dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan
penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya, lanjut
Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap
manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak
benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar
dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus, Imam
Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary
As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka
menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa
dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka
huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad
berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri,
1368H, hal 168-169).
Kapan awal munculnya
Tasawuf
Tentang kapan awal munculnya
Tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan, yang pasti, istilah sufi muncul
sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang
yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, Tasawuf
dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah
tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga
mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.
Begitulah yang terjadi pada diri
orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan
mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil
dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis
memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka.
Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan
Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya
hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.
Talbis Iblis yang pertama kali terhadap
mereka adalah menghalangi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan
kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika
pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun
menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada yang
diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah
meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang
mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan
kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani
diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali
tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.
Sebenarnya tujuan mereka itu bagus.
Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada
yang karena minimnya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu`
(palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.
Syari’at dianggap ilmu
lahir hingga aqidahnya rusak
Kemudian datang suatu
golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar,
kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam
sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang
dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan
lain yang mengikuti jalan Tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri
tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan,
suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan
sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan.
Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh
menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut
pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari
ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka
menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at sebagai ilmu
dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat
khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar
itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka membayangkan sosok
yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada
di antara kufur dan bid’ah.
Kemudian muncul beberapa golongan
lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah
mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat
tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah
menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan
Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka
dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi
mereka. (ibid, hal 164).
Perintis Tasawuf tak
diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam
bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak
diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi
di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota
Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana
kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada
Tuhan, berasal dari Persia; orang yang
menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam,
2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan
assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud
Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan
adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana
dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan
bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya
sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i
sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:
“Seandainya seseorang menjadi sufi
pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga pernah
berkata: “Tidaklah seseorang menekuni Tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya
(masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).
Semua ini, menurut Abdur
Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum
berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu
kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal
dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan
mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman
dengan Imam Syafi’i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada
Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi
orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran Tasawuf, banyak dikutip
orang. Di antaranya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta
fatwa tentang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi
(tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan
kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam
majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi nasihat
seperti itu karena beliau telah melihat majlis
Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para
peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi
diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita
cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan
daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun
nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan,
dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah
perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah ﷺ? Ataukah memang
mengikuti kaum sufi itu?).
Abad III H Sufi mulai
berani, semua tokohnya dari Parsi
Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal
radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga
Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, Tasawuf telah
muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas
di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan
sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.
Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak
awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan
mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan
keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama
Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi
pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya Tasawuf mencapai puncaknya,
dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu
tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di
depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu
dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya
menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh.
Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman
bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun
demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan
kemudian berkembang di Irak.
Abad keempat mulai
muncul thariqat/ tarekat
Tersebarnya sufisme didukung
oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat penginapan
yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas
sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi
lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah
cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian secara cepat
tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).
Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa
tokoh Tasawuf, masing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan
Rasulullah ﷺ, kemudian
mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang
tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di
Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa
bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali
(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang
muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang
thariqat sufiyah.
Abad ke-6,7, & 8
puncak fitnah shufi
Pada abad keenam,
ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah sufisme mencapai
puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok
khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua
itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathimiyah (kebatinan) di Mesir, dan
setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan
palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di
Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan
peringatan maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah
dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan)
Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.
Propaganda yang dilakukan
oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari
Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan
Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil
menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebatinan
tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen
Eropa) di wilayah-wilayah Islam.
Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan
kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat
sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di
tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam
baru.
Ibnu
Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi
Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah
mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu
tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) memerangi
seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang
diperangi adalah aqidah kaum Sufi.
Setelah itu, perjuangan beliau
dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M),
Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.
Meskipun mendapat serangan,
Tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga berhasil
menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan
Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku
Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan.
Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan kebangkitan
Islam baru.
Da`wah Muhammad bin
Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh
penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap
memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan
simbol-simbol Tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol Tasawuf yang dimaksudkan
adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah
yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was
Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti
Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal
13-17).
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
----------------------------------------------------------------------------
Sorotan Terhadap
Tasawuf
Beberapa komentar tentang Tasawuf akan
menjelaskan bahwa sebenarnya Tasawuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini
komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti Tasawuf.
Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah
menulis:
“Ketika kita memperhatikan dengan teliti
tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang
dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun
yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi
dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya
bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi ﷺ dan para
sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari
kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan
kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.”
(Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir hal 27, seperti
dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf /
diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H,
hal 19).
Komentar ilmuwan lainnya hampir sama.
“Jelas bahwa Tasawuf memiliki pengaruh dari
kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan
berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini
ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.” (Dr Shobir Tho’imah,
Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25,
ibid hal 19).
Lebih jelas lagi, komentar berikut ini:
“Sesungguhnya Tasawuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan
telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah ‘Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Tasawuf adalah topeng kaum Majusi agar ia
terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua
musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya
(ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme,
Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme.” (Syaikh Abdur Rahim
Al-Wakil rahimahullah, Mashra’ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19).
Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan:
“Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari)
luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang
dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam
Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang
belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun
sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.” (Syaikh Dr
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawuf, hal 20).
Ucapan-ucapan Orang
Shufi Sangat Tidak Layak
Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya,
Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati
batas dan menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu,
ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka
sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka
mengeluarkan berbagai macam bualan.
Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh
sufi) berkata, “Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku
bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam.”
“Mengapa begitu wahai Abu Yazid?” tanya
seseorang.
Dia menjawab, “Sebab aku tahu bahwa jika
Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang
lain.”
Abu Musa As-Syibli berkata, saya
mendengar Abu Yazid berkata: “Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan
ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk
memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia
berkata: “Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan-Nya dan kelemahlembutanNya
di dalam neraka menyertai para wali-Nya.”
Komentar Ibnul Jauzi: “Benar-benar
perkataan yang sangat menjijikkan, karena dia telah menghinakan apa yang
diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah
panjang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya:
”Maka peliharalah diri kalian dari api
neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).
“Apabila Neraka itu melihat mereka dari
tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS
Al-Furqan/25:12).
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
“Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan
satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam.”
Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu
benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda,
“Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh
bagian, yang semuanya seperti itu panasnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan
Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
Yu’taa bijahannama yaumaidzin lahaa
sab’uuna alfa zimaamin ma’a kulli zimaamin sab’uuna alfa malakin
yajurruunahaa.”
“Jahannam didatangkan pada hari itu ia
memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000
malaikat yang menyeretnya.” (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342).
Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata,
“Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham.
Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, “Ya Allah,
seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang
dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan
keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku.”
Komentar Ibnul Jauzi, “Dari semua
pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya.
Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat
dari tiga segi:
1. Tentang perkataannya, “Seandainya
sudah ada dalam pengetahuan-Mu”, kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan
mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian
nama-nama makhluk itu, seperti Fir’aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin
dikatakan “Seandainya”, jika sudah ada kepastian dan keputusan?
2. Tentang perkataannya, “Maka
agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab
selainku”, berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih
mendingan jika dia berkata, “Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin.” Yang
pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.
3. Dia tidak tahu ketetapan Allah
terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya.
Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjemahannya
–Perangkap Syetan– Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288).
Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain
lagi sebagai berikut:
Ibnu Aqil pernah menuturkan dari
Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya
kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Ad-Dhuha:
5). Demi Allah, Muhammad ﷺ tidak ridha
karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya.”
Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata,
“Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa’at bagi ummatnya, lalu aku memintakan
syafa’at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, sehingga
di sana tidak menyisa seorangpun.”
Ibnu Aqil berkata, “Anggapan Asy-Syibli
yang pertama tentang Rasulullah ﷺ (tidak ridha
karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau
ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam
hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh
orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap
adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang
salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari’at.
Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa
dia bisa memintakan syafa’at bagi semua orang, yang berarti melampaui
Rasulullah ﷺ, jelas merupakan
kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka
dia justru menjadi penghuni neraka.
Lalu bagaimana mungkin dia membual dan
memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada
kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan
syafa’at?
Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku
punyai untuk melibas para ahli bid’ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya
kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang.
(Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290).
Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha’,
dia berkata, “Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan di
dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan
kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku.
Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga,
semuanya meninggal dunia.”
Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga
ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika
dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Benar apa yang
kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara
semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan,
karena aku masih bisa bersabar.”
Ibnul Jauzi berkomentar, “Karena
kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas
dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan
yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak.”
Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri
(orang sufi) berkata: “Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku
hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman
Allah?”
Komentar Ibnul Jauzi, “Tentu saja
perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan:
“Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah
kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (An-Nahl:
ayat 98).” (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290).
Demikianlah sebagian dari bualan orang
sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks
aslinya diriwayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa
diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad.
--------------------------------------------------------------------------
Perbedaan Pokok Antara Islam
Dan Tasawuf
Manhaj dan jalan Islam berbeda sama
sekali dengan manhaj Tasawuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat
mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama dalam aqidah
dan syari’ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya
Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait,
1404H/ 1984M, halaman 43.
Dijelaskan, Islam menjadikan sumber
pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan
Rasul saja, yang hal itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits
Nabiﷺ) saja. Adapun agama
sufisme (Ad-Dienus Shuufii) –istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq– yang mereka
jadikan sumbernya adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan
kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu yang ghaib) yang mereka dakwakan,
dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi), perjumpaan dengan orang-orang mati yang
dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salaam, bahkan
dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka
namakan para badan halus (ruhaniyyin).
Adapun sumber pengambilan syari’at bagi
ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam’
(kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas
(perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang
sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat
kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan
gandum yang sudah ada nash haditsnya).
Sedangkan bagi orang-orang Tasawuf,
pembuatan syari’at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin,
orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari’at.
Oleh karena itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syari’at Tasawuf itu
bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu
sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat
dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus,
dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka Tasawuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan
syari’at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu di bawah
apa yang dinamakan Tasawuf.
Dan inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar)
antara Al-Islam dan Tasawuf. Islam itu agama yang muhaddad (ditegaskan batasan
ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari’atnya. Sedangkan Tasawuf itu agama
yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti)
dalam aqidah ataupun syari’at-syari’atnya. Inilah perbedaan yang paling besar
antara Al-Islam dan Tasawuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44).
Garis-garis Besar
Aqidah Sufisme
1. Aqidah sufisme mengenai Allah:
Orang-orang Tasawuf percaya kepada Allah
dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi,
penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj
(menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal
Haq” = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan
perkataannya itu berarti ia mengaku: “Akulah Tuhan.” )
Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa
Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam
Tasawuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun
858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu
sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat
dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan
makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu,
terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.
Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam
kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan
ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat
disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak
dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai
segala sifat dan namaNya, dan
bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan
seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan
memuliakannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus
Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123).
Kemudian akibat pendapatnya yang
mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran)
244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa’dah tahun 309H/ 26 Maret
922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37
khalifah, Al-Muqtadir bi ‘l-lah (Ja’far Abu ‘l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun
295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan
(paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi’ah Qaramitah,
suatu kelompok Syi’ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang
menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11.
(lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve
Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).
Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits
Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu
dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan
“Hululiyin” (para penganut faham panteisme) dan “Ittihadiyyin” (para penganut
faham manunggaling kawula gusti). Ia dituduh kafir, dibunuh dan disalib karena
4 perkara yang dituduhkan kepadanya:
1. Karena berhubungan dengan orang-orang
Qaramithah (Syi’ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: “Aku adalah Tuhan
Yang Haq.”
3. Karena pengikutnya meyakini akan
ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa
haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tentang kepribadiannya, banyak hal-hal
yang tidak jelas. Pertama sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang, dan
ekstrim. Ia mengarang buku “Al-Thawwasin”, yang diteliti dan diterbitkan
kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis).
(Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI,
Al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib al Mu’ashirah, diterjemahkan
A Najiyulloh menjadi Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan
Penyebarannya, Al-Ishlahi Press, Cet I, 1995, jilid II, hal. 259).
Ulama yang hidup pada masa itu di
antaranya At-Thabari ahli tarikh/ sejarah (w 923M/ tidak menemui disalibnya
Al-Hallaj 932M). Al-Asy’ari (260-324H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham
Mu’tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut
Asy’ariyyah atau Asya’irah, dan kemudian rujuk ke Manhaj (jalan) Salaf
(sahabat, tabi’ien dan tabi’it tabi’in) dengan menyusun Kitab Al-Ibanah, kitab
Tauhid yang Manhajnya Salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke yang
Salaf itu tapi ke yang Asy’ariyah yang berdekatan dengan faham Maturidiyah.
Beliau wafat tahun 935M, berarti masih hidup selama 3 tahun setelah disalibnya
Al-Hallaj 932M. Sedang Junaid Al-Baghdadi, mufassir shufi pertama, meninggal
tahun 910M, saat itu Al-Hallaj baru berumur 2 atau 3 tahun, yang kemudian
ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran
fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.
Dan di antara aqidah sufi yaitu Wihdatul
Wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan, lihat pada Bab
Nur Muhammad, Hakekat Muhammad, dan Wihdatul Wujud) di mana tidak ada pemisahan
antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad
ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap
tokoh Tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu ‘Arabi, Ibnu
Sab’in, At-Tilmasani, Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para
tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 44,
Al-Fikrus Shufi cet 4, hal 58, As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 21,
terjemahannya, hal 23-24).
Ada pula aqidah shufi yang namanya
ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (Tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’)
dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan
baka’ (tetap/ bersatu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala).
Paham ittihad pertama kali dikemukakan
oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M).
Pada suatu waktu dalam pengembaraannya,
setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang
mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa’budnii (Sesungguhnya aku
ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).” Mendengar
kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah
gila.
Menurut pandangan para shufi, ketika
mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad,
suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham Tasawuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang shufi
sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan,
seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada
Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami juga pernah mengucapkan
kata-kata: Subhani subhani, ma a’dhama sya’ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku,
alangkah Maha Agungnya aku).
Al-Bustami juga berkata: Laisa fi
al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah).
Kata-kata seperti itu disebut syathahat
(perkataan –aneh-aneh– yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad,
menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari
seorang shufi tetapi kata-kata Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui lisan seorang
shufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
yang berbicara, tetapi aspek Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang ada pada diri shufi
itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman
286-287).
Betapa jauhnya kepercayaan shufi itu dari
Islam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala disamakan dengan jin atau syetan yang masuk ke
diri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (ke-jin-an/majnun), dan
bicaranya ngaco (merancu tak keruan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu
bicara ngaco namun justru dianggap telah sampai pada tingkatan (maqom)
tertinggi –yang mereka tuduhkan– yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan.
Na’udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.
Hanya saja, aqidah sesat ini ditampilkan
dengan nada miring berupa pembelaan samar di buku yang disebut Ensiklopedi
Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN
(Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang editornya ada seorang
profesor yang dikenal sebagai pengajar Tasawuf, sekaligus pembela Tasawuf. Pak
profesor itu pernah mengajar Tasawuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di
Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama’ah dan keluaran perguruan tinggi
Islam dan insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor
Tasawuf itu dalam perkuliahan, bahwa Tasawuf itu bukan dari Islam, mengotori
Islam. Apa itu kasyf (tersingkapnya hijab, hingga seorang shufi bisa mengetahui
hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M/ 505H)? Itu bukan
ajaran Islam,
karena teori itu Jayabaya yang sama
sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal
dengan “ramalan Joyoboyo”. Di samping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam
secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika Perang Salib berlangsung
(Tentara Salib menduduki Yerussalem tahun 1076M, sedang Al-Ghazali hidup
1058-1111M) , yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan
Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al-Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia
tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu tulisan ataupun pidato,
padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang
diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh shufi (dijadikan tesis untuk
doktor di IAIN Jakarta oleh Profesor tersebut dengan tema keshufian) ternyata
dia (Mangkunegoro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair yang menyatakan
bahwa dirinya tidak shalat. Jadi Tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam, bahkan
mengotori Islam, tutur saya (penulis).
Bagaimana reaksi Pak Profesor yang bukan
sekadar mengenalkan apa itu shufi, namun memang pembawa ajaran Tasawuf itu.
Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jawa Tengah dan sudah
agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau
menunjuk-nunjuk saya sambil berkata: “Anda belajar di mana?! Keluaran mana?!
Lalu belajar apa?!” dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang
berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu.
Setelah saya jawab, beliau hanya berseru:
“Anda harus banyak belajar lagi!”
Ucapan-ucapan beliau itu, di luar
perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman, yang kalau bertemu saya lalu dia
praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata
Pak Professor, kemudian ditutup dengan: “Ini marahnya seorang shufi, kamu
harus tahu!” ucapnya sambil tertawa-tawa. Sayapun tertawa saja ketika dicandai
begitu.
Pada kesempatan berikutnya, rupanya
pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul).
Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab,
untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya, beliau
menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh shufi kasyf, dan Mangkunegara IV raja
kerajaan (kasunanan) Mangkunegaran Surakarta (Solo) Jawa Tengah, yang
dipersoalkan tersebut. Kata Pak Profesor yang jadi salah satu editor
Ensiklopedi Islam yang sedang dikritik ini, Al-Ghazali bukannya tak ada
perhatian terhadap kegiatan Islam. Buktinya, Al-Ghazali juga pernah berkunjung
ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di
Andalus. Adapun Mangkunegara IV, toh di dalam Kitab Nailul Authar disebutkan
bahwa shalat itu bisa dijama’. Nah, Mangkunagara IV itu sebelumnya dia “nyantri”
di pesantren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai di kerajaan, jadi sibuk.
Memang dalam dua baris syairnya, Mangkunegara IV menyebutkan dirinya tidak
shalat.
Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak
bisa “menjangkau” jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara shalat boleh
dijama’ dengan tidak shalatnya Mangkunagara IV, dan apa hubungannnya antara
perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertandangnya Al-Ghazali untuk
memberi gelar seorang anggota kekhalifahan di Andalus? Yang bisa dijangkau
hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak Profesor, bahwa
beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunagara IV kaitannya
dengan Tasawuf) di IAIN Jakarta tidak sampai seperti pertanyaan yang dicecarkan
si murid ini.
Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal
tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya itu bercerita pula tentang model
jawaban “marah” dari “syeikh” shufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan
kesempatan untuk penataran da’i internasional di Al-Azhar Mesir selama 3 bulan.
Dalam suatu perkuliahan, ada peserta (da’i) dari Bangladesh yang mengkritik
Tasawuf. Lantas guru yang “syeikh” shufi tidak menjawab kritikan itu dengan
jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai
kata-kata, “Di negerimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu
mengkritik-kritik Tasawuf. Urusan di negerimu saja banyak sekali. Itu yang
harus kamu urusi.”
Entah kenapa, kok ada kemiripan antara
sesama guru besar Tasawuf baik yang ada di Jakarta maupun Kairo, kalau dikritik
Tasawufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan). Di samping
itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al-Azhar Mesir atau
ke Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu di masyarakat menyebarkan Tasawuf.
Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap
sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya mengkritik
Mangkunegara IV yang tidak shalat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban
dengan mengemukakan bolehnya shalat jama’ (digabung antara dhuhur dengan
ashar, maghrib dengan isya’). Padahal antara keduanya (tentang tidak shalat dan
tentang bolehnya shalat jama’) itu tidak ada kaitannya.
Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini
karena sering mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN
Jakarta, termasuk ujian beliau (yang jadi editor Ensiklopedi Islam itu),
beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti
biasanya, selalu dihadiri oleh Prof Dr Harun Nasution,
dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai
salah satu penguji. Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam
itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk
meliputnya.
Apa yang kewetu dari lisan Pak Profesor
bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu,
memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah
pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu’tazilah, filsafat, dan
sufisme. (Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu’tazilah, misalnya Harun
Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji: “Apa makna Yahdillaahu man
yasya’?” Lalu si calon doktor menjawab: “Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Allah kehendaki.” Kemudian disahut oleh Harun Nasution: “Itu makna menurut
Ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu’tazilah?” Bila calon doktor tak bisa menjawab,
maka dituntun oleh Harun Nasution: “Allah memberi petunjuk kepada orang yang
orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya’ itu dhomirnya/ kata gantinya kembali
kepada “man” yaitu orang itu sendiri”. Lantas calon doktor itu (maaf) tampaknya
seperti kerbau yang dicocok hidungnya).
Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya
saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau
tidaknya Mangkunegara IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah
bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi waktu
bisa diatur oleh sang ketua ujian,
maka pertanyaan pun tidak sampai menukik
benar. Bahkan, saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunagara IV
yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenarnya sudah
terkubur, tapi digali kembali oleh tangan-tangan yang ‘kemungkinan mengotori
Islam’) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa
difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah
sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui bahwa
Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya
ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapat
sambutan baik tersebut. Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk
disebarkan adalah Ensiklopedi Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang
yang diberi proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk
membiayai kuliahnya hingga mencapai doktor.
Pantaslah kalau penggalian kembali
tulisan Mangkunegara IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi
orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang menggali kembali
peninggalan-peninggalan Tasawuf yang telah terkubur lalu ditampilkan lagi dan
dicetak. Untuk apa? Untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat dengan
penjajahan terhadap ummat Islam sedunia dan mengotori Islam, melemahkan serta
merancukan. Dan missi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan
Orde Baru dengan menteri-menteri agama Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi
Taher, dan di zaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto adalah
Menteri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen
IAIN ke negeri-negeri Barat untuk belajar “Islam” warisan orientalis. Adapun
menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia
menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraish
Shihab yang jadi menteri agama selama 70 hari saja, karena Soeharto keburu
jatuh akibat didemo mahasiswa 21 Mei 1998, walau alumni Al-Azhar Mesir namun
tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro orientalis.
Bahkan sebelumnya, ketika Quraish jadi rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias
tidak terdengar membendung Harunisme. Ketika buku ini ditulis, yang duduk
sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof Dr Said Aqil Al-Munawar,
seorang yang hafal Al-Quran dan berguru Hadits ke Syeikh Yasin Al-Padangi di
Makkah.
Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau
hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan,
beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul
Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkannya shufi juga). Apakah Pak Aqil
mendukung orientalis juga dan mendukung shufi, belum bisa saya berkomentar.
Yang jelas, terhadap shufi tentu tidak
seperti tulisan saya ini. Sedang menteri agama angkatan Presiden Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) September 1999 adalah Thalhah Hasan konon orang NU. Belum
terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk
belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi
Presiden Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro Yahudi
Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang,
program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus
Dur. Di samping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia, namun kader-kadernya
telah banyak, dan programnya masih berjalan. Meskipun demikian, kebatilan yang
mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara,
insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat,
anti Tasawuf, anti bid’ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka
tipuan Yahudi; semakin merebak. Di antara bukti nyata, gagasan
reaktualisasinya.
Munawir Sjadzali, menteri agama yang
lama, yang ingin merubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki
dan perempuan menjadi 1:1; karena Munawir menganggap hukum Islam tentang waris
(yang menegaskan 2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan) itu
tidak adil, ternyata gagasannya itu luntur dengan habisnya masa jabatan
kementrian Munawir 1993.
Mengenai pembelaan samar terhadap Tasawuf
dalam buku Ensi itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut:
“Paham-paham ittihad, hulul ataupun
wahdah al-wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari’at.
Oleh sebab itu, para penulis tentang shufi atau Tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4
Hijriah (masa subur dan berkembangnya paham Tasawuf), seperti Abu Bakar
Al-Kalabadi (w 380H) dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (w 465H), enggan
menulis masalah-masalah tersebut.
Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai
dalam tulisan-tulisan kaum Orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak
kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu.” (Ensiklopedi
Islam, huruf I, halaman 287).
Bagaimana buku itu menggambarkan seakan
Tasawuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam
baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak
dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut “ulama-ulama syari’at”,
seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai Tasawuf. Sedang para ulama
yang ahli hadits, fiqh, tafsir dsb yang tentu saja faham benar tentang sesatnya
Tasawuf, disebutnya ulama-ulama syari’at.
Telah disebutkan di atas, bagaimana Imam
Ahmad bin Hanbal menasihati murid-muridnya agar tidak mendekati orang sufi.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat
terkenal, yaitu Imam Hanafi (lahir di Kufah 80H- w. di Baghdad 150H/ 700-772M),
Imam Maliki (Madinah 93- 179H/ 712-798M), Imam Syafi’i (Ghazza 150H/ 767M – w.
di Fusthat Mesir 204H/820M), dan Imam Hanbali (Baghdad 164H/780M, w. di Baghdad
241H/855M). Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama
syari’at (untuk maksud bahwa ada ulama Tasawuf) seperti penyebutan dalam
Ensiklopedi itu, tetapi adalah Imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu
ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad
(mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara’ yang tidak ada dalam
nash/teks ayat ataupun hadits) tanpa bersandar pada orang lain. Sehingga,
ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab
tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari’at. Cukup disebut ulama.
Namun orang shufi menyebutnya ulama syari’at karena dianggap tidak mengetahui yang
batin atau yang ghaib. Padahal Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak
mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi tidak tahu apa
yang diperbuat Allah untuk Nabi sendiri esok (lihat dalam bab aqidah). Allah
berfirman:
“Katakanlah! Tidak ada yang dapat
mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah.” (An-Naml: 65).
Ada sebagian delegasi yang datang ke
Nabi ﷺ, mereka menganggap bahwa
Nabi termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka
menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan
mereka berkata pada beliau: “Khabarkan pada kami, apa dia (yang ada dalam
genggaman kami ini)? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan
berteriak:
“Innii lastu bikaahinin, wa innal kaahina
wal kahaanatu walkuhhaana fin naar.”
(Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya
dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu di dalam neraka.”) (HR Abu Dawud,
286).
Kembali kepada buku tersebut, untuk
menegaskan satu sikap dari suatu buku, ataupun untuk mengemukakan bahwa shufi
itu juga perlu dianggap bahwa di sana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa
dibaca pula. Sebagaimana Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti
shufi itu menyebut shufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi), bukan sekadar
aliran shufi, karena memang shufi ataupun Tasawuf dinilai sebagai di luar agama
Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela shufi) ingin mendorong agar
shufi atau Tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak shufi)
menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa shufi atau Tasawuf itu di luar
Islam. Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perintah Allah
Subhanahu Wa Ta’ala:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS
An-Nisaa’/ 4:59).
Coba kita kembalikan kepada Al-Quran atau
Sunnah Rasul, apakah memang aqidah shufi itu cocok. Aqidah shufi terutama
ittihad, hulul, dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan keghaiban yang
tertinggi, yaitu dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal, Nabi ﷺ telah
menegaskan:
Wallahi innii larosuulullaah, laa adrii
maa yaf’alu bii ghodan.
Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti
utusan Allah, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah kerjakan padaku
esok.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari 3/ 358, 6/223 dan 224, 8/ 266 dalam Fathul
Bari; dan riwayat Imam Ahmad 6/ 436 dari Ummul ‘Ala’ Al-Andhariyah dengan
semacamnya).
Selanjutnya, untuk menuntaskan masalah ini,
akan dibahas –insya Allah—dalam bab Lemahnya Alasan Shufi dan Pendukungnya.
2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah ﷺ
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah
juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa
Rasul ﷺ tidak sampai pada
derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi ﷺ (dianggap)
jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh Tasawuf seperti perkataan Busthami:
“Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya.”
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang
kitab Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada
At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar:
Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di
kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding
Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari’atNya yang mengandung
kecintaan dan kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai
hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi
Madinah. (Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah, Jam’iyyah Ihyait Turats Al-Islami,
halaman 40).
Di antara mereka (orang-orang shufi) ada
yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah
Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi,
dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muhammad), dan dialah awal
kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi
dan orang-orang yang datang setelahnya/ pengikutna. (fadhoihus Shufiyyah, hal
44-45, Al-fikrus Shufi, hal 58-59, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 22,
terjemahnya halaman 24-25).
3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali.
Sufisme dalam hal wali-wali juga
mempercayai dengan kepercayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang
melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali itu
menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu
mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.
Orang shufi membagi-bagi wali menjadi
beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri
dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi
pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali
Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua
atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba’, yang mereka itu memiliki
kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah
seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan
mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira’, setiap malam
mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (shufi) itu
adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam)
total.
Ini otomatis berbeda dengan kewalian
dalam Islam yang ditegakkan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah
yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya
wali itu tidak bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan
manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah
Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak
kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu
kemanfaatan.” (QS Al-Jinn/ 72:21). (Fadhoihus Shufiyyah, hal 45, Al-Fikrus
Shufi, hal 59, As-Shufiyyah ‘Aqidah wa Ahdaf hal 22-23).
Sebagian cerita yang dikisahkan
orang-orang shufi memang terjadi, namun bercampur dengan sihir, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina
Auliya’ir Rahman wa Auliya’is syaithan (perbedaan antara wali-wali Tuhan dan
wali-wali syetan). Buku itu muncul waktu orang-orang mencampuradukkan antara
sihir dan karamah. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik
dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan
dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan
tidak beriman kepada para Rasul, tidak membenarkan berita-berita yang Rasul
bawa, dan tidak mentaati perintahnya. Orang-orang seperti itu bukanlah
orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka adalah
orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh syetan-syetan. Mereka dapat
mengungkapkan beberapa perkara ghaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar
biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka itu tukang sihir yang dihampiri
syetan-syetan. Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu,
kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta
lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (As-Syu’ara: 221-223).
Mereka bersandar kepada Mukasyafat
(penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila
mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa
seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid’ah dalam
ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi
wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta’ala berfirman:
Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan
(yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.” (Az-Zukhruf/ 43:36).
Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman) adalah
pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya ﷺ, yakni al-Quran.
Barangsiapa tidak beriman kepada
Al-Quran, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban
perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al-Quran, kemudian syetan datang
menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada
Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan
kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah
turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu
terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang membawanya ke
angkasa sehingga ia mampu terbang. (Ibnu Taimiyyah, Al-Furqan baina Auliya’ir
Rahman wa Auliya’is syaithan, 1396H, hal 11 seperti dikutip Laila binti
Abdillah dalam As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan, Riyadh, cetakan I,
1410H, halaman 24-25, dan terjemahan Indonesia Mewaspadai Tasawuf, Wala Press,
Bekasi, I, 1416H/ 1995, hal 28-30).
Wali Allah menurut Al-Quran
Wali Allah menurut Al-Quran tidak seperti
yang digambarkan oleh orang Tasawuf. Tetapi wali Allah yaitu orang-orang yang
beriman dan bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
firmanNya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka
berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat.”
(QS Yunus/ 10: 62, 63, 64).
Dimaksudkan dengan wali-wali Allah dalam
ayat ini ialah orang-orang mukmin dan mereka selalu bertaqwa, sebagai sebutan
bagi orang-orang yang membela agama Allah, dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukumNya
di tengah-tengah masyarakat, dan sebagai lawan kata dari orang-orang yang
memusuhi agamaNya, seperti orang-orang musyrikin dan orang kafir.
Dikatakan tidak ada kekhawatiran bagi
mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan
pertolonganNya tentu akan tiba, serta petunjukNya tentu membimbing mereka ke
jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap bersabar
menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakkal kepada Allah.
Dan tidak pula gundah hati, karena mereka
telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan alam
dan seluruh isinya tunduk dan patuh di bawah hukum-hukum Allah dan berada dalam
genggamanNya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, karena
kenikmatan yang akan diterima di akherat adalah kenikmatan yang lebih besar.
Dan mereka takut akan menerima adzab Allah di hari pembalasan, karena mereka
dan seluruh hatinya telah dibaktikan kepada agama menurut petunjukNya. Mereka
tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang
tak ternilai besarnya.
Kemudian daripada itu Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menjelaskan siapa yang dimaksud dengan wali-wali Allah yang berbahagia
itu, dan apakah sebabnya mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di dalam
ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud
beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikatNya,
kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan
segala kepastian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta
melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan
yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang
mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara’ yang mengatur tata hidup
manusia di dunia.
Sesudah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa mereka mendapat khabar gembira, yang mereka dapati di dalam
kehidupan mereka di dunia dan kehidupan mereka di akherat. Khabar gembira yang
mereka dapati ini, ialah khabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui
Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di dunia seperti kemenangan yang
mereka peroleh di dalam menegakkan kalimat Allah, kesuksesan hidup lantaran
menempuh jalan yang benar, harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia,
selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama
Allah akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira yang akan mereka
dapati di akherat yaitu selamat dari kubur, dari sentuhan api neraka dan
kekalnya mereka di surga ‘Adn. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986,
juz 11, halaman 418-419).
Ada orang yang mengatakan, bahwa wali
Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan aneh,
seperti berjalan di atas air, dapat menerka yang dalam hati orang dan
sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah Al-Quran,
melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan ada juga yang disebut wali
Allah, orang yang kurang akalnya, dan ganjil perbuatannya. (Prof Dr H Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cetakan ke-27, 1988M/
1409H, halaman 300).
Jelaslah bedanya, antara wali Allah menurut
Al-Quran, dan wali Allah menurut orang Tasawuf atau shufi. Orang yang kurang
akalnya dan ganjil perbuatannya pun disebut wali, itu jelas di luar ajaran
Al-Quran.
Mafhum mukhalafahnya (pengertian
tersiratnya), ketika orang-orang justru mengangkat-angkat orang model terakhir
itu sebagai wali dan dihormati, bahkan dijadikan pemimpin yang menentukan
urusan orang banyak, boleh diduga keras bahwa orang-orang itu memang telah lari
dari Al-Quran. Dan itulah sebenarnya bencana bagi ummat Islam. Namun anehnya,
di khutbah-khutbah Jum’at atau di pengajian pun diserukan oleh para khatib
–yang model itu– untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas telah
dipilihnya orang yang mereka anggap wali –padahal sebenarnya sama sekali bukan–
itu.
Ya Allah, tunjukilah hamba-hambaMu yang
lemah ini, agar tidak terseret oleh ocehan mereka yang sangat jauh dari
ajaranMu itu.
4. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan
Neraka:
Mayoritas orang shufi (menurut Abdur
Rahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan
suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan
barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib.
Menurut mereka, yang patut dituntut
adalah al-fana’ (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat
keghaiban, dan mengatur alam… Inilah surga orang shufi yang mereka klaim.
Adapun mengenai neraka, orang-orang shufi
berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang
sempurna. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang
merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah
ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi,
w. 261H/ 874M). Dan orang
shufi yang berkeyakina dengan Wahdatul
Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa
orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni’matannya,
tidak kurang dari keni’matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi
dan aqidahnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 46). Seperti disebutkan dalam buku
Ibnu Arabi, Fushushul Hukm.
Orang jahil di masa kita sekarang kadang
menyangka bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang tinggi,
yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka.
Ini tidak diragukan lagi (jelas) menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah
mereka bahwa:
Mereka berdo’a kepada Kami dengan harap
(roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’.”
(QS Al-Anbiyaa’: 90).
Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah
dan keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi
itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya,
dan keadaannya.
Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan
seorang Arab Badui kepada Nabi ﷺ:
“Wallahi, sungguh aku tidak bisa
mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik –suara tak terdengarmu) dan
bacaan lirih Mu’adz. Namun hanya aku katakan, “Ya Allah, aku mohon surga
kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka.” Lalu Rasulullah ﷺ berkata:
“Sekitar itu juga bacaan lirih kami.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah).
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang
shufi untuk diwujudkan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga)
dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka
berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana’
(meleburkan diri) dengan Tuhan, dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab
(merasa melekat dengan Tuhan), kemudian menyeret mereka pula kepada al-hulul
(inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula
pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan
hamba/manunggaling kawula Gusti). (As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 26-27).
5. Aqidah Shufi Mengenai Iblis dan
Fir’aun
Mengenai iblis, kebanyakan orang shufi,
khususnya para penganut kepercayaan wihdatul wujud, berkeyakinan bahwa iblis
adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhidnya.
Karena menurut anggapan mereka, iblis tidak mau sujud kecuali kepada Allah.
Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan
memasukkannya ke surga. Demikian pula anggapan mereka, Fir’aun adalah
seutama-utamanya orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahhidien).
Karena Fir’aun berkata: “Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi” maka ia mengetahui
hakekat, karena setiap yang wujud itu adalah Allah, kemudian dia (Fir’aun)
menurut klaim mereka, telah beriman dan masuk surga. (lihat Syarh Fushushul
Hukm, halaman 418, Fadhoihus Shufiyyah,
hal 47, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal
27-28, Al-Fikrus shufi, hal 60).
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
--------------------------------------------------
Definisi Tarikat Sufi – Arti Tarekat Shufi –
Makna Thariqot Sufi – Pengertian Tareqat – Tareqot Sufi – Toriqot Sufi
Tarikat atau tarekat berasal dari lafal
Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju
Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf.
Perkataan Tarikat (“jalan” berTasawuf
yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang Tasawuf, khususnya dalam
kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar.
Tarikat tidak membicarakan filsafat
Tasawuf, tetapi merupakan amalan (Tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarikat
merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam
dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun
sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang
bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan
riyadah. Para kyai menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Leksikon Islam, Pustaka
Azet Perkasa Jakarta 1988, II, hal 707).
Selanjutnya, tentang tarikat ini kami
kutip dari buku tersebut (leksikon Islam), karena sudah dirangkum dengan
kondisi Indonesia sehingga mudah dicerna. Setelah itu baru kami ambilkan
komentar tentang tarikat dari berbagai sumber lain. Sehingga pembeberan tarikat
yang kami kutip berikut ini merupakan bahan yang akan dikomentari sesudahnya.
Dalam tradisi pesantren terdapat dua
bentuk tarikat: (1) yang dipratekkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi tarikat, (2) yang dipratekkan menurut cara di luar
ketentuan organisasi-organisasi tarikat.
Tidak semua organisasi tarikat menganut
sistem kepercayaan dan praktek keagamaan yang sama. Terdapat dua kelompok (a)
yang sepenuhnya sejalan dengan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan hadis; (b) yang
tidak memiliki kaitan yang cukup kuat dengan Al-Qur`an dan hadis.
Berikut ini ada beberapa tarikat-tarikat
yang menerangkan nama pendirinya, wafat pendirinya, tempat tarikatnya,
pengaruhnya, asal-usulnya dan keterangan-keterangan yang perlu.
Tarikat
Haddadiah
Tarikat yang didirikan oleh Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang wafat 1095M di Yaman. Banyak orang yang takut
ikut tarikatnya berhubung ratibnya yang terkenal, Ratib Al-Haddad, dipercayai
sebagai doa selamat yang bermantera. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi hampir
di seluruh negara Indonesia.
Tarikat
Khalwatiah
Tarikat yang diprogandakan dalam abad-18
oleh Syaikh Mustafa Al-Bakri di Mesir dan Suriah. Salah seorang tokoh tarikat
ini ialah Ahmad At-Tijani yang berasal dari Aljazair.
Tarikat
Maulawiah
Tarikat yang didirikan oleh Maulwi Jalaluddin Ar-Rumi, meninggal dunia di
Anatoila, Turki. Zikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tak sadar,
agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut-penganutnya bersifat pengasih dan
tidak mengharapkan kepentingan diri sendiri, serta hidup sederahana menjadi
teladan bagi orang lain.
Tarikat
Mu`tabarah Nahdliyin
Para kyai pada tanggal 10 Oktober 1957
mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam`iyah Ahli Tariqah
Mu`tabarah, sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar N.U. (nahdlatul Ulama)
1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar N.U. 1979 di Semarang ditambahkan
kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU. Sejak
berdirinya pimpinan tertinggi badan ini ialah para kyai ternama dari
pesantren-pesantren besar.
Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa
badan ini bertujuan:
(1) meningkatkan pengamalan syariat Islam
di kalangan masyarakat;
(2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu
Mazhab yang empat; dan
(3) menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalan-amalan Ibadah dan
Muamalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.
Pasal 4 menyatakan bahwa badan ini akan
tetap setia kepada paham Ahlussunnah wal-Jama`ah.
Alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah:
(1) untuk membimbing
organisasi-organisasi tarikat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang
sesuai dengan Al-Qur`an dan hadis;
(2) untuk mengawasi organisasi-organisasi tarikat agar tidak menyalahgunakan
pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenar kan oleh ajaran-ajaran agama.
Tarikat
Naqsyabandiah
Tarikat ini mula-mula didirikan di Turkestan oleh Bahiruddin Naqsyabandi
(sumber lain menyebutkan, Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari
1317-1389M, bukan Imam Al-Bukhari perawi Hadits, pen) dan di Indonesia termasuk
tarikat yang paling berpengaruh. Pimpinannya, Sulaiman Effendi, mempunyai
markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubbais di pnggiran kota Makkah.
Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda
dulu, serta di bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.
Pada umumnya tarikat ini paling banyak pengikutnya di Jawa sejak abad ke-19
sampai saat ini.
Tarikat ini adalah tarikat terbesar di dunia, juga di Indonesia, dan dianggap
paling terawat baik. Ada seleksi untuk jadi pengikutnya. Markasnya di Jawa ada
di Jombang, Semarang, Sukabumi, Labuhan Haji (Aceh) di pesantren Syaikh Waly,
Khalidi.
Tarikat Qadiriah
Asal mulanya di Bagdad, dan dipandang
paling tua. Pendirinya ialah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166M).
Mula-mula ia seorang ahli bahasa dan ahli Fiqih dari mazhab Hambali. Tulisannya
pada umumnya berdasarkan ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama`ah. Ada sejumlah bukunya
yang ditulis oleh murid-muridnya yang menceritakan kesaktiannya.
Pelajaran Tarikat Qadiriah tidak jauh
berbeda dari pelajaran Islam umum. Hanya saja tarikat ini mementingkan kasih
sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam
keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarikatnya ialah zikir dengan
menyebut-nyebut nama Tuhan.
Kaum Qadiriah terlalu menyamakan Tuhan
dengan manusia. Paham Qadiriah pada hakikatnya adalah sebagian dari faham
Mu`tazilah, karena imam-imamnya orang mu`tazilah. (Apa yang ditulis di Leksikon
Islam ini, agaknya rancu dengan aliran Qadariyah, yaitu aliran yang menganggap
bahwa manusia ini bebas dan berkuasa penuh untuk menentukan dirinya, tidak ada
campur tangan Tuhan, lawan dari aliran Jabbariyah yang menganggap manusia hanya
bagai wayang yang seluruhnya dijalankan oleh dalang, semuanya digerakkan oleh
Tuhan tanpa ada upaya manusia, pen. Selanjutnya, Leksikon Islam itu menulis:)
Ada anggapan membaca Manaqib Syaikh Abdul
Qadir Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan.
Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatra. (Ini jelas bid’ah
dan sesat, lihat Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nisfu Sya’ban, Manakib Syaikh
AK Jailany oleh HSAAl-Hamdany, Pekalongan, 1971, dan Kitab Manakib Syekh
AbdulQadir Jaelani Merusak Aqidah Islam oleh Drs Imron AM, Yayasan Al-Muslimun
Bangil Jatim, cetakan keenam, 1411H/ 1990, pen).
Kadang kala tarikat ini digabung dengan Naqsyabandiah menjadi Tarikat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Seperti halnya di Suryalaya (Tasikmalaya Jawa Barat, dipimpin
Abah Anom, yang sering dikunjungi Harun Nasution, pen) dan Jombang (Jawa
Timur, daerah kelahiran Presiden Gus Dur, pen).
Tarikat Qadiriah
Naqsyabandiah
Gabungan ajaran dua tarikat, yaitu
Tarikat Qadiriah dan Tarikat Naqsyabandiah. Pendirinya Syaikh Khatib Sambas.
Tarikat ini merupakan sarana yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di
Indonesia dan Malaya dari pusatnya di Makkah antara pertengahan abad ke-19
sampai dengan perempat pertama abad ke-20.
Tarikat Rifa’iah
Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali-Abul
Abbas (wafat 578H/1183M). Syaikh Ahmad, yang konon guru Syaikh Abdul Qadir
Jilani, begitu asyik berzikir hingga tubuhnya terangkat ke atas, ke angkasa.
Tangannya menepuk-nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari
untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada.
Tapi Syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa; begitu khusuknya, sehingga ia tak
mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal seluruh dunia mendengar suara
rebana itu.
Tarikat ini agak fanatik dan anggotanya dapat melakukan hal-hal yang ajaib,
misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas api, dan sebagainya. Rifa`iah,
yang memang merinci tarikatnya dengan rebana, di Aceh dulu pernah berkembang
besar dan disebut Rapa’i sudah sulit mencarinya yang asli, yang masih berpegang
teguh pada ajaran.
Tarikat Samaniah
Tarikat yang dikenal di Jawa Barat dan
Aceh, didirikan oleh Syaikh Muhammad Saman Dari Madinah, Arab Saudi, yang wafat
tahun 1702 M. Manaqib (riwayat hidup) Syaikh Saman banyak dibaca orang yang
mengharap berkah. Manaqib itu ditulis oleh Syaikh Siddiq Al-Madani, murid
beliau.
Di situ tertulis: “barang siapa berziarah ke makam Rasullah tanpa meminta izin
kepada Syaikh Saman ziarahnya sia-sia.” (Ini contoh kebatilan yang nyata, pen).
Juga disebutkan: “Siapa yang menyeru nama Syaikh tiga kali, hilang
kesedihannya. Siapa yang makan-makanannya masuk surga. Siapa yang berziarah ke
makamnya serta membaca doa-doa untuknya, diampuni dosanya.” (ini benar-benar mengada-ada
atas nama agama, na’udzubillahi min dzaalik, pen). Tarikat Saman sekarang
menjadi tari Seudati di Aceh. Zikir Saman mulanya hampir sama dengan
zikir-zikir yang lain. Namun kemudian berkembang menjadi zikir yang ekstrim.
Tarikat Sanusiah
Tarikat yang didirikan oleh Syaikh
Muhammad bin Ali As-Sanusi, tahun 1837, di Aljazair, meninggal dunia tahun
1957. Pusat tarikat ini di Libia.
Tarikat Siddiqiah
Asal-usul tarikat ini tidak begitu jelas,
dan tidak terdapat di negara-negara lain. Muncul dan berkembang di Jombang,
Jawa Timur, dimulai oleh kegiatan Kiyai Mukhtar Mukti yang mendirikan tarikat
ini tahun 1953.
Tarikat Syattariah
Tarikat yang dibangun oleh Syaikh
Abdullah Syattari di India. Tarikat ini di Jawa masih ada, misalnya di sekitar
Madiun. Di Aceh dulu mengalami puncaknya di zaman Sultanah (Ratu) Safiatuddin.
Tarikat ini dibawa oleh Syaikh Abdurra’uf Sinkil yang kemudian bergelar Syiah
Kuala.
Tarikat Syaziliah
Tarikat yang didirikan oleh Ali
As-Syazili, terdapat di Afrika Utara, dan Arab, juga Indonesia, walaupun tidak
luas tersebarnya dan pengaruhnya relatif kecil.
Tarikat Tijaniah
Tarikat yang didirikan oleh Ahmad
At-Tijani. Tarikat ini dengan cepat meluas di Afrika Barat dan di negara-negara
lain, antaranya Indonesia. Di Afrika tarikat ini telah banyak yang mengislamkan
orang-orang Negro. (Ahmad At-Tijani ini mengaku dirinya adalah al-qothbul
maktum yang menjadi perantara/ penengah antara semua anbiya’ (para nabi) dan
auliya’ (para wali). Lihat Ilat Tashawwuf ya ‘Ibadallah oleh Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi, Jam’iyyah Ihyait Turats al-Islami, hal 42, pen).
Tarikat Wahidiah
Tarikat yang ini didirikan oleh Kyai
Majid Ma`ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur), 1963. Teoritis tarikat ini
terbuka sifatnya, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi
anggota: siapa saja yang mengamalkan zikir salawat wahidiah sudah dianggap
sebagai anggota.
Motivasi mendirikan tarikat ini adalah
meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya
menganggap masyarakat Jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan kejiwaan.
Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar meningkatkan ketakwaannya
kepada Tuhan dengan setiap kali mengucapkan zikir “fafirruu ilallaah”, artinya:
“marilah kita kembali ke jalan Allah.”
Begitulah beberapa tarikat dari buku
Leksikon Islam 2.
Bantahan terhadap
Tarikat
Ulama dan ilmuwan Indonesia yang gigih
meluruskan bahkan membantah keras tentang tarekat di antaranya HSA Al-Hamdani
dari Pekalongan Jawa Tengah dengan bukunya Bantahan Singkat terhadap
Kelantjangan Pembela Tashawuf dan Tarekat, 1972; Sorotan-sorotan terhadap
Kitab-kitab Wirid -Dzikir- Hizb Doa dan Sholawat; juga Sanggahan terhadap
Tashawuf dan Ahli Shufi dan Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nishfu Sya’ban,
manakib Sjaich AK Djailany. Sanggahan lain juga ditulis oleh Drs Yunasril Ali,
dengan judul Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat. Sedang
Abdul Qadir Jaelani da’i dari Bogor Jawa Barat menulis bantahan dengan judul
Koreksi terhadap Tasawuf. Juga bantahan-batahan yang ditulis dalam tanya jawab,
misalnya oleh Ustadz Umar Hubeis dalam kitabnya, Fatawa dll.
Berikut ini kami kutip sebagian bantahan
Drs Yunasril Ali, kemudian HSA Al-Hamdany. Sedang bantahan dari kitab-kitab
Arab banyak pula, namun karena masalah tarekat ini orang Indonesia juga
ikut-ikut mendirikannya (menciptakannya) bahkan mengorganisasikannya, maka
kami kemukakan bantahan dari ulama dan ilmuwan Indonesia.
Drs Yunasril Ali dalam bukunya
Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat menjelaskan,
masing-masing tarekat itu merumuskan amalan-amalannya sendiri-sendiri, sehingga
antara satu dengan yang lain saling berbeda cara amaliahnya. Namun demikian
amaliah yang berbeda-beda itu semuanya mereka nisbahkan kepada dua sahabat
besar: Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shiddiq. Entah mana yang benar di
antara tarekat-tarekat itu yang berasal dari Ali dan Abu Bakar, wallahu a’lam.
Dasar mereka mendirikan tarekat ialah:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu,
benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. ” (QS
Al-Jinn/ 72:16).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan siapa pun dalam
beribadah kepada Tuhan.” (QS Al-Kahfi/ 18:110).
3. Hadits:
Qoola ‘Aliyyubnu Abii Thoolib: Qultu: Yaa Rasuulallaah, ayyut thoriiqoti aqrobu
ilallooh? Faqoola Rasuulullaahi ﷺ: Dzikrulloohi.
Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: saya
bertanya: Ya Rasulallah, “Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai
Tuhan? Maka Rasulullah ﷺ menjawab, “dzikir
kepada Allah.” (Dr Mustafazahri, Kunci Memahami Tasawuf, halaman 87, seperti
dikutip Drs Yunasril Ali halaman 54).
Koreksi (dari Drs Yunasril Ali): Di dalam
Al-Quran didapati kata “thariqah” dan musytaqnya (pecahan kata yang berasal
darinya) di sembilan tempat yaitu:
1. firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami mendengar kitab
(Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
(QS Al-Ahqaaf/ 46:30).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan
menunjukkan jalan kepada mereka.” (QS An-Nisaa/ 4:168).
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala
(sambungan ayat no.2):
Artinya: “Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS An-Nisaa’/
4:169).
4. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang
paling lurus jalannya di antara mereka!” Kamu tidak berdiam (di dunia)
melainkan sehari saja.” (QS Thaha/ 20:104).
5. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu
dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka
[1]jalan[1] yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan
tidak usah takut (akan tenggelam).” (QS Thah/ 20:77).
6. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli
sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak
melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS Thaha/ 20:63).
7. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar.” (QS Al-Jinn/
72:16).
8. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan
(tujuh langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami)”. (QS
Al-Mu’minuun/ 23:17).
9. Dan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di
antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh
jalan yang berbeda-beda.” (QS Al-Jinn/ 72:11).
Demikianlah penulis kutip di sini 9 buah
kata “thariqah” dan musytaqnya yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Tidak
satupun yang menunjukkan kepada tarekat yang dipropagandakan oleh penganutnya,
yang mereka berdzikir tanpa sadar diri dan tidak pula ingat kepada Tuhan lagi.
Untuk lebih jelas, penulis kemukakan arti
thoriqoh dalam ayat-ayat di atas dengan mengutipnya dari tafsir-tafsir yang
mu’tabar, sebagai berikut:
1. Kata “thariqin” dalam surat al-Ahqaf
ayat 30 artinya ialah “Agama Islam” (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XV
hal. 94).
2. Kata “thariqon” dalam surat An-Nisaa’ ayat 168 artinya ialah “satu jalan
dari jalan-jalan menuju jahannam”. (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz
I, hal. 94).
3. Kata “thoriqo jahannam” dalam Surat An-Nisaa’ ayat 169 artinya ialah “jalan
yang menyampaikan orang menuju jahannam”. (ibid).
4. Kata “thoriqoh” dalam Surat Thaha ayat 104 artinya ialah “jalan” (ibid, juz
II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan “jalan yang lurus” di sini
ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang
berdosa itu.
(Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahnya, note hal. 488).
5. Kata “thoriqon” dalam S Thaha ayat 77
berarti “Allah mengeringkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya.”
(Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24).
6. Kata “thoriqoh” dalam S Thaha ayat 63 ada yang mengartikannya dengan
“keyakinan (agama)” (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang
menafsirkannya dengan “Bani Israel”. (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid
II, hal. 543).
7. Kata “thoriqoh” dalam S Al-Jinn ayat 16 artinya “jalan kebenaran dan
keadilan”. (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, hal. 5950).
8. Kata “thoroiq” dalam surat al-Mu’minun ayat 17 artinya “langit”, thoroiq
kata jama’ dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat.”
(Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45).
9. Kata “thoroiq” dalam S Al-Jinn ayat 11 artinya “Golongan yang berbeda
pendapat di kalangan muslimin dan kafir.” (ibid, hal. 240).
Inilah artinya kata “thoriqoh” dan
musytaqnya yang ada dalam Al-Quran. Tidak satupun dari kata-kata itu yang
menunjukkan metode ibadah dalam Tasawuf. Memang ada thoriqoh yang berarti
golongan-golongan di kalangan kaum muslimin, tetapi maksudnya ialah golongan
yang berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits. Bukan golongan
yang membuat-buat tarekat tertentu yang dihasilkan oleh renungan guru.
Kalaulah benar bahwa yang dimaskud dengan
tariqat di dalam ayat-ayat itu ialah penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah
yang secara langsung dituntunkan dan dipraktekkan oleh seorang guru kepada
muridnya, seperti menuntun bagaimana cara berdiri betul dalam shalat, bagaimana
cara takbir, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyyat, cara membaca
bacaan-bacan shalat, dan lain-lain; sesuai dengan cara yang ditentukan oleh
Rasul ﷺ. kepada para shahabatnya,
maka tarekat seperti ini dapat penulis terima, karena tarekat ini adalah
sebahagian dari as-sunnah, yang disebut dengan sunnah fi’liyah. Jadi tarekat
dalam pengertian seperti ini termasuk sunnah. Dan memang tarekat (sunnah
fi’liyah) yang seperti inilah yang disuruh dalam mengajarkan agama. Rasulullah ﷺ pernah
membimbing seorang Badwi dalam pelaksanaan shalat, karena orang Badwi tersebut
belum tepat cara ia melaksanakan shalat. (Lihat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi,
al-Muharrar, hal. 42).
Adapun membuat-buat ibadah dengan cara
baru, lantas dinamakan tarekat, ini bid’ah. Contohnya ialah seperti mengadakan
dzikir lisan, dzikir qolbu dan dzikir sirr; semuanya itu tidak pernah ada
diriwayatkan dari Rasul ﷺ. atau dari para shahabat
beliau. Jadi perbuatan ibadat seperti itu adalah bid’ah yang dibuat-buat oleh
para penganut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal agama Islam,
baik aqidah maupun tatacara ibadatnya sudah sempurna, tidak usah
ditambah-tambah. (Drs Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah,
dan Khurafat, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, cet. III 1992, hal. 53-59).
Bantahan terhadap
tarekat dalam polemik
Bantahan terhadap tarekat lainnya, bisa
disimak polemik antara HSA Al-Hamdani dengan doktor (thabib) Rohani Sjech H
Djalaluddin Ketua Umum seumur hidup Pengurus Besar PPTI di Medan.
HSA Al-Hamdani membantah orang yang
menjadikan Surat Al-Fajr ayat 28 sebagai landasan tarekat sebagai berikut:
“…Anda (Thabib-Rohani Djamaluddin) antara
lain menulis: Arti ma’na Tharekat pada istilah (adalah) perjalanan rohani
(nurani, jiwa, hati robani) berjalan mencari Allah. Perjalanan yang
bertingkat-tingkat dari satu tingkat demi satu tingkat, hingga ia bertemu
Allah. Lihatlah QS al-Fajari ayat no. 28; maksudnya kira-kira: kembali
(pergilah, berjalanlah, bertarekatlah kepada Tuhanmu (Allah). Kemudian Anda
menulis: Mengingat ayat yang tersebut merupakan amar wajib, tentulah wajib bagi
kita ber-Tharekat.”
Komentar HSA Al-Hamdani ulama Al-Irsyad
Pekalongan terhadap lawan polemiknya, Thabib Djamaluddin, itu sebagai berikut:
Semoga Allah mengampuni dosa anda
(Thabib-Rohani Djamaluddin), karena anda telah menafsirkan ayat Tuhan semau
anda sendiri! Bacalah tafsir ayat itu menurut rangkaian ayat sebelumnya,
jangan terus mendabik dada dan berkata: Saya sudah hafal bertahun-tahun di
dalam fikiran saya di waktu saya mempertahankan Tasawuf di masa silam… dan
seterusnya. Jangan anda menafsirkan se-enaknya sendiri, dan jangan pula
semau-maunya menta’wilkan arti ayat al-Quran menurut selera yang dikehendaki
nafsu anda! Sebab bisa tak keruan dan bisa runyam!
Tahukah anda bahwa ayat itu (yang anda buat dalil perintah bertarekat) adalah
kelanjutan daripada ayat yang sebelumnya yang berbunyi:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii
ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jannatii.
Yang artinya: Hai jiwa yang tenang
(suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (karena amal-amalmu
yang baik semasa hidup) lagi diridhoinya (oleh Allah). Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hambaku (yang sholeh) dan masuklah ke dalam sorgaKu. (QS
Al-Fajri).
Jelas bahwa khitob (ajakan bicara) itu
ditujukan kepada jiwa-jiwa manusia yang sempurna imannya yang muslimin mukminin
dan muttaqin pada nanti hari kiamat kelak sebagai penghargaan Allah atas amalan
mereka yang baik dan sholeh. Dan kalau ayat itu anda katakan sebagai amar wajib
bertarekat, maka wajib bertarekatkah anda pada hari kiamat nanti untuk mencari
Allah?
HSA Hamdani melanjutkan tulisannya:
Memang orang-orang ahli tharekat atau ahli shufi suka lancang dalam menafsirkan
ayat-ayat semaunya sendiri seperti yang anda katakan: “Di Pakistan Barat
dikatakan sulukan naksyabandi, unsurnya QS An-Nahl no. 69, maksudnya
kira-kira: Dan laluilah jalan (Tharekat) Allah dengan patuh. Sedang ayat yang
dimaksud artinya sebagai berikut:
Ayat 68 S An-Nahl: Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah: Buatlah rumah di atas bukit dan di atas pohon kayu dan
pada apa-apa yang mereka jadikan atap.
Ayat 69: Kemudian makanlah bermacam-macam
buah-buahan dan laluilah jalan Tuhanmu, dengan mudah akan keluar dari dalam
perutnya minuman (madu) yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi keterangan (atas
kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Jelas khitob ayat itu menyatakan bahwa
Allah memerintahkan kepada lebah untuk mengikuti ilham yang diberikan oleh
Allah kepadanya, sehingga lebah itu dapat menghasilkan madu. Maka oleh anda
digunakan untuk dalil tarekat? (HSA Al-Hamdani, bantahan Singkat terhadap
Kelantjangan pembela Tashawuf dan Tarekat,
Penerbit HSA Al-Hamdani, Pekalongan,
cetakan pertama, 1972, halaman 14-15).
Pertanyaan selanjutnya, pembaca bisa
mengajukan sendiri, misalnya: Kenapa tarekat-tarekat yang ternyata tidak ada
landasannya dari Al-Quran maupun al-Hadits itu justru dihidup-hidupkan? Dan
kenapa justru ada organisasi yang memayungi dengan bentuk organisasi pula
seperti tersebut di atas? Tugas para alim
ulama –yang istiqomah mengikuti Al-Quran
dan As-Sunnah– lah untuk melanjutkan dakwah terhadap mereka dengan hikmah dan
mau’idhah hasanah, dan kalau perlu dengan wajadilhum, yaitu mendebat mereka
dengan hujjah yang lebih baik.
DEFINISI TARIKAT SUFI – ARTI TAREKAT
SHUFI – MAKNA THARIQOT SUFI – PENGERTIAN TAREQAT – TAREQOT SUFI – TORIQOT SUFI
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
------------------------------------------------------------------------------------
Kasyf, Khurafat dari Shufi
Tingkatan atau derajat tinggi yang
diklaim oleh orang shufi ada pula yang mereka namakan kasyf (tersingkapnya
tabir).
Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat
hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku
atau meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat mengetahui
hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan memecahkan segala
soal-soal yang pelik. (lihat HSA Al-Hamdani, Sanggahan terhadap Tashawuf dan
Ahli Sufi, PT Al-Ma’arif
Bandung, cet. kedua, 1972, hal. 16).
Di antaranya ialah kepandaian membedakan
hadits yang shahih dari yang dha’if (lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat
madzhab dan kepercayaannya dengan hadits-hadits yang dibikin-bikin dan
hadits-hadits yang dha’if, lalu dianggap sebagai hadits shahih dengan
perantaraan kasyf itu. (ibid, hal 16).
Orang-orang yang meyakini kasyf membantah
ulama yang tidak mau menjadikan lintasan-lintasan hati kaum shufi dan
ilham-ilham mereka sebagai hujjah dalam hukum Islam. Karena kaum shufi meyakini
bahwa ilham-ilham, lintasan-lintasan hati shufi, dan kasyfnya itu tidak mungkin
akan salah. Hingga seorang pengarang kitab Fawatihur rahamaut syarah
musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia termasuk salah seorang yang
memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah Al-Allamah Ibnul Hammam
Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham sama sekali sebagai hujjah. Pengarang
kitab Fawatih (yang shufi itu) mengatakan:
“Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi
kecuali disertai penciptaan ilmu dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang
datang dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau dari ruh Muhammady (ruh Nabi
Muhammad). Maka pada saat itu tidak akan ada keraguan yang timbul akibat adanya
kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini derajatnya lebih tinggi dibanding
ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang tidak qoth’i (tidak pasti). Maka
aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah Ibnul Hammam Al Hanafy menolak
salah satu bejana ilmu. Barangkali beliau beranggapan bahwasanya ilham itu
adalah sesuatu yang terjadi di dalam hati yang berasal dari
lintasan-lintasan hati, padahal bukan
demikian. Apakah kamu belum mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis
oleh Syaikh Quthbu Waqtihi (wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid
Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan kerahasiaannya yang mulia- terhadap
sebagian ahli hadits: ‘Kamu mengambil ilmu dari yang telah menjadi mayit,
kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah ﷺ, sedangkan kami
mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak
Pernah Akan Mati (Allah)!’ (kitab
Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab Al Mustashfa karya Imam
Ghazaly: 2/372, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy dalam Mawaqiful Islam
minal Ilham wal Kasyf….. diterjemahkan menjadi Sifat Islam terhadap Ilham,
Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi, Bina Tsaqafah Jakarta, cet I,
1417H/ 1997, hal 79-80).
Kemudian Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil
bantahan dari Ibnu Taimiyah terhadap klaim ilham dan kasyf yang dianggap ma’shum
(terjaga dari kesalahan) itu sebagai berikut:
“Umat ini tidak membutuhkan kepada
muhaddatsun dan mulhamun disebabkan telah sempurnanya risalah nabi umat ini dan
telah sempurnanya syari’at beliau ﷺ. Oleh karena itu
bentuk lafadz (shighoh) hadits tersebut:
“Fain yakun fii ummatii ahadun fa ‘umar”
“Jika ada di antara umatku seseorang
(seperti mereka) maka Umar-lah orangnya.”
Sedangkan apa yang disebutkan oleh
pengarang kitab Al Fawatih merupakan pendapat subyektif dan tidak ilmiah, dan
semata-mata merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa ada buktinya. Dia telah
mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia kumpulkan itu, antara
orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cerdas, antara ahlus sunnah dan
ahli bid’ah, antara orang yang bertauhid dan orang yang berfaham hululi
(kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk) serta ittihady
(kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah Tuhan). Dan yang lebih
mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis dalam ilmu ushul (fiqh), padahal
ilmu ushul merupakan timbangan akal dan logika manqul (penalaran yang masuk
akal dan berdasarkan dalil-dalil naqli)!
Apa yang dikatakan oleh pengarang kitab
Al-Fawatih ini dan orang-orang yang seperti dia, mirip dengan apa yang
dikatakan oleh kaum syi’ah tentang imam-imam mereka, padahal perkataan seperti
ini amat sangat diingkari oleh ahlus sunnah.
Pendapat kaum syi’ah itsna ‘asyariyah
telah sampai kepada puncaknya dengan menyatakan kema’shuman ilham para imam
mereka yang dua belas. Maka, apa saja yang diilhamkan kepada mereka (para imam
yang 12) tidak mungkin akan berlaku padanya kemungkinan salah, karena apa yang
diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari hasil ijtihad, seperti hasil
ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan benar dan kemungkinan
salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua pahala, dan yang salah
diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka adalah ilham yang datang dari
Allah untuk seorang imam, dimana Allah akan menyingkapkan baginya dengan ilham
tersebut perkara yang gaib bagi orang lain, dan ilham tersebut pasti benar,
baik berupa kabar ataupun hukum. Jika berupa kabar maka pasti benar dan jika
berupa hukum maka pasti adil dan tidak perlu dibantah lagi!
Dengan keyakinan seperti ini mereka pada
hakekatnya telah menetapkan sifat ‘Isham (suci dari kesalahan) kepada selain
Rasulullah ﷺ dan juga berarti
telah mewajibkan ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana
keyakinan demikian tentu bertolak belakang dengan apa yang telah diputuskan oleh
hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam al-Quranul Karim, dan
penjelasan-penjelasan hadits yang mulia.
Kemudian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr
Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa tidak ada yang suci dari kesalahan (Ishmah)
selain Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya sebagai berikut:
Di antara kewajiban yang mesti kami
putuskan di sini dengan sejelas-jelasnya dan seyakin-yakinnya, yang tidak
tercampuri oleh keraguan adalah: Bahwasanya tidak ada yang suci dari kesalahan
(‘ishmah) selain sesuatu yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap
orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa diambil (diterima) dan bisa
ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita untuk merujuk
kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari’at-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS
7:3).
Dan Allah berfirman: “Katakanlah”
‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Dan jika kamu taat
kepadanya (Rasul), niscaya kamu pasti akan mendapat petunjuk…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah.” (QS 59:7).
Dan Allah berfrman: “Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa adzab yang pedih.” (QS 24:63).
Dan Allah berfirman: “Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS 4:59).
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti
dikutip Al-Qardhawi menegaskan: Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak
memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali) kepada hati-hati kita, atau
perasaan batin kita (dzauq), atau kepada lintasan-lintasan hati kita, serta
perkara gaib yang tersingkap bagi kita. Karena sesuatu yang berasal dari hal
demikian itu tidak ada jaminan suci dari kesalahan baginya, karena suatu saat
bisa benar dan pada saat yang lain bisa salah.
Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily
mengatakan:
“Sungguh telah ada bagi kita jaminan
‘ishmah (suci dari kesalahan) dalam hal yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran)
dan As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesalahan)
dalam hal kasyf dan ilham.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Syaikh
Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam), Majmu’ul Fatawa:
2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal
82-84).
Tentang keyakinan shufi mengenai kasyf
itu di antaranya dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi dalam kitab Futuhatnya dan
Al-Jili dalam Insanul Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali sendiri telah mengakui
bahwa ia tidak memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi syak dan kesangsian
kecuali dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia beri’tikaf beberapa tahun di
menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis. (Lihat kitab Al-Ghazali,
Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal. 370, dan Akhlaq, hal. 42,
seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan terhadap tashawuf… hal 16).
Kasyf Syaithani dan Kasyf Haqiqi
Sorotan yang tajam terhadap batilnya
kasyf ini juga ditulis oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir
Al-Manar. Dr Yusuf Al-Qardhawi mengutipnya sebagai berikut:
Bahwa ilham atau kasyf semata-mata
merupakan salah satu contoh dari pengetahuan jiwa yang berbicara, tidak tetap
(baku) dan tidak teratur. Dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan
kepada akal dan tidak pula bersandarkan kepada dalil syar’i, akan tetapi cuma
merupakan pengetahuan yang kurang, yang terkadang salah terkadang benar, dan
sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk diketahui. Sebagian ada yang
bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang diperoleh dengan usaha (kasby) dan
sebagian lagi hasil ciptaan (shina’i), seperti hipnotis yang dikenal di abad
ini, dan apa yang mereka namakan dengan membaca fikiran, komunikasi fikiran,
dan yang mereka serupakan dengan transfer berita lewat kawat listrik maupun
transfer berita tanpa kawat listrik.
Pengetahuan seperti ini tentu bisa
dikuasai oleh orang mu’min maupun orang kafir, orang yang baik maupun orang
yang jahat, sebagaimana diakui oleh para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam
ini dikuasai pula oleh shufi beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa
pengetahuan yang dikuasai oleh mereka bercampur aduk dengan pengelabuan syetan,
dan sedikit sekali orang yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara kasyf
syaithani (kasyf yang berasal dari syetan) dan kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan
tidaklah boleh dinamakan kasyf haqiqi kecuali jika bersesuaian dengan nash yang
qoth’i (nash/ teks ayat atau hadits yang pasti).
Di antara berbagai bukti kesalahan dan
kepalsuan serta khayalan yang ada pada kasyf mereka, yang biasa mereka namakan
dengan An-Nurany (yang berkilauan), dan apa yang mereka sebutkan di dalam kasyf
mereka berupa pengetahuan mereka yang bermacam-macam, berdasarkan keberagaman
pengetahuan mereka tentang seni, kekhurafatan dan syari’ah adalah terjadinya
pertentangan para ahlinya dan saling salah menyalahkan satu sama lain dalam hal
ini. Oleh karena itu, anda akan mengetahui sebagian dari mereka menyebutkan di
dalam kasyfnya Jabal Qof (gunung qof) yang mengelilingi bumi!
Dan Al hayyah (ular) yang
mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda ketahui dalam biografi Asy Sya’rani
oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya merupakan kekhurafatan-kekhurafatan yang
tidak ada hakekatnya.
Di antara mereka ada pula yang
menyebutkan di dalam kasyfnya bintang-bintang dan tempat peredarannya dengan
cara Yunani yang batil. Dan kebanyakan mereka menyebutkan di dalam ksyf mereka
hadits-hadits yang maudhu’ (palsu), walaupun mereka dan orang-orang yang
terfitnah dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama
hadits. Mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya
sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam kasyf kami, walaupun hadits
tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian (ahli hadits), dan kasyf
kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal dari ilmul yaqin sedangkan
ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!’
Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini
adalah urusannya sendiri dan urusan para ahlinya, jika sah bagi kita untuk
membenarkannya tentu ketika tidak terjadi pertentangan dengan syari’at,
aqidah-aqidahnya serta hukum-hukumnya. Maka tidak dibenarkan bagi orang yang
beriman kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya membenarkan sebagian dari kasyf
yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran
dan Sunnah. Dan tidak dibenarkan pula
menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari alam gaib selama tidak
ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita tidak membutuhkan semua ini
(kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha,
Jilid 11/447, cetakan keempat, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi, Sikap
Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal. 86-87).
Penjelasan-penjelasan tersebut sangat
gamblang bahwa kasyf shufi itu batil. Orang mu’min maupun kafir bisa
memperolehnya, orang jahat maupun shalih dapat juga, sebagaimana hasil kasyf
itu ada yang dari syaitan, dan ada yang mengandung kebenaran, tidak ada
patokannya. Maka ketika ungkapan semacam ini saya ajukan
kepada guru besar Tasawuf dengan ungkapan bahwa Joyoboyo yang bukan Islam pun
bisa mendapatkan kasyf itu; ternyata Pak Guru Besar Tasawuf itu marah, dan
tidak ada jawaban pasti, seperti sudah kami kemukakan di atas. Masihkah mereka
mau mengklaim kebenaran kasyf dengan cara lain lagi selain marah-marah dan
bicara ngaco (tidak teratur)?
Dan dari sinilah bisa kita fahami, kenapa
orang-orang Syi’ah, sekuler, dan pengacau Islam kini justru ramai-ramai menjajakan
Tasawuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/ aqidah maupun sikap mereka terhadap
hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan. Hingga ketatnya aqidah dalam Islam
ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang ketatnya pembatasan tentang keshahihan
hadits pun terang-terang mereka tabrak pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat
berdirinya Islam, telah mereka kacaukan, dan hadits sebagai landasan utama yang
kedua setelah Al-Quran telah mereka halalkan untuk dipalsukan dengan cara
mengklaim ke-kasyf-an untuk menshahihkan kepalsuan, maka hancurlah Islam ini.
Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi yang tunduk patuh bahkan sering
mendukung kepada penguasa dhalim –walaupun menghancurkan Islam– maka
sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi, syi’ah, sekluer, munafiqin,
kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun, paranormal, ahli bid’ah, politikus
licik anti Islam, dan penguasa dhalim) dalam menghancurkan Islam dengan wajah
yang pura-pura teduh karena berkedok main batin. Maka waspadalah wahai
saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai tertipu oleh permainan mereka yang
sudah dibabat oleh para ulama pada awal abad keempat Hijriyah dengan dibunuh
dan disalibnya dedengkot shufi bernama Al-Hallaj, namun kemudian digali dan
dihidup-hidupkan lagi oleh para orientalis Barat antek penjajah anti Islam,
kemudian dikembangkan lagi oleh antek-antek orientalis di mana-mana sampai
kini lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada para
pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan istiqomah hingga mampu menghancurkan
kebatilan mereka yang mengancam Islam itu.
Amien.
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
-------------------------------------------------------------------------------
Pengertian Bid’ah dan
Jenis-jenisnya
Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang
diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(1) Ini bisa dilihat dalam firman Allah:
“Allah-lah Pencipta langit dan bumi”.(QS
Al Baqarah 117).
Maksudnya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului suatu contoh
apapun.
Bid’ah menurut syara’, sebagaimana
penjelasan Ibnu Taimiyah Rahimahullah: Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi
atau menyimpang dari Al-Qur’an atau As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah, baik
i’tiqadat (sesuatu yang harus diyakini) maupun ibadah (sesuatu yang harus
diamalkan).(2)
Imam Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham”
menjelaskan bahwa bid’ah adalah mengadakan cara agama yang dibikin-bikin, yang
diadakan (oleh manusia), yang menyerupai syariah. Dan yang dimaksud dengan
perilaku tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala.(3)
Bid’ah itu ada dua: menyangkut keduniaan
dan menyangkut agama. Bid’ah (penciptaan) yang mengenai keduniaan itu boleh,
selama tidak bertentangan dengan Islam. Misalnya mengadakan pembangunan,
menciptakan teknologi baru dsb.
Adapun bid’ah yang menyangkut agama itu
haram, tidak dibolehkan. Karena, agama itu harus berdasarkan wahyu dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Manusia tidak berhak membuat syari’at (peraturan agama).
Itu hanya hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka membuat bid’ah dalam agama itu
melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hingga Nabi Muhammad ﷺ menegaskan:
“Wa iyyaakum wa muhdatsaatil umuuri
fainna kulla muhdatsatin bid’atun wa kulla bid’atin dholaalah.”
“Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan)
yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam
agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan
At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).
Rasulullah ﷺ bersabda:
Artinya: “Barangsiapa mengada-adakan pada
perkara kami ini, sesuatu yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak”.(HR
Bukhari dan Muslim).
Dan pada riwayat lain:
Artinya: “Barangsiapa melakukan amalan, bukan atas perintah kami, maka amalan
itu tertolak”.(HR Muslim).(4)
Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dalam agama ada dua macam, yaitu:
Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah (Bid’ah ucapan atau perkataan yang
bersifat keyakinan), seperti perkataan-perkataan Jahmiyah dan Mu’tazilah dan
Rafidhah dan seluruh kelompok yang sesat aqidahnya.(5) Dan kedua, Bid’ah pada
ibada-ibadah seperti beribadah karena Allah dengan cara-cara yang tidak
disyariatkan.(5)
Dan macam-macam bid’ah pada ibadah yang
bersifat amalan, ada beberapa macam, yaitu:
Pertama, Bid’ah berupa ibadah yang tidak
pernah ada asalnya dalam Islam, yaitu membuat-buat atau mengada-adakan amalan
ibadah yang tidak ada dasarnya pada syara’. Seperti mengada-adakan shalat
bikinan yang memang tidak disyariatkan, atau puasa bikinan yang memang tidak
ada tuntunannya, atau hari raya (A’yad) yang memang tidak dituntunkan /tidak
disyariatkan. Misalnya, mengadakan perayaan maulid dan yang semacamnya.
Kedua, Bid’ah berupa menambahkan sesuatu
atas ibadah yang sudah ada asalnya dalam syari’at Islam. Misalnya, menambah
raka’at jadi lima pada shalat Dhuhur atau pada shalat Ashar.
Ketiga, Bid’ah berupa mengerjakan ibadah
yang telah disyari’atkan tetapi dengan cara yang tidak ada dasarnya dari
syari’at Islam. Misalnya melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi
dengan dibikin cara: bersama-sama dan disertai rebana, dan dibikin cara: dengan
suara yang keras. Dan misalnya pula, memaksakan diri dalam beribadah , sampai
keluar dari batas sunnah Rasulullah ﷺ.
Keempat, Bid’ah berupa mengkhususkan
waktu-waktu tertentu untuk mengerjakan ibadah yang disyari’atkan, padahal tidak
ada pengkhususan dari syari’at Islam. Misalnya mengkhususkan hari dan malam
nshfu Sya’ban dengan puasa dan shalat malam. Padahal shiyam dan qiyam
disyariatkan tetapi mengkhususkan pada waktu-waktu tertentu, diperlukan
dalil.(5)
Bid’ah hakikiyah dan
idhafiyah
Imam Syatibi membagi bid’ah menjadi dua,
ditinjau dari segi adanya dalil yang dijadikan sandaran dalam beramal atau
tidak adanya dalil. Pertama, bid’ah hakikiyah, dan kedua bid’ah idhafiyyah.(6)
Pertama, bid’ah hakikiyah adalah suatu bid’ah
yang sama sekali tidak didasarkan pada suatu pengertian dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah, bahkan lebih bersifat melawan atau menyelisihi ketentuan dalil
yang ada. Tegasnya, dalil yang dijadikan dasar atau sandaran dalam melakukan
amalan bid’ah tersebut tidak ada.
Contoh bid’ah hakikiyah diantaranya :
a. Mengerjakan hal-hal yang menyiksa
diri, tanpa ada dalil yang memerintahkannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abas, ia
berkata: Ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang
berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang berdiri, maka Rasulullah bertanya tentang
dia, lalu mereka (para pendengar khutbah) menjawab: “Abu Israil, dia telah
bernadhar untuk tetap berdiri, tidak duduk ,dan tidak berteduh; tidak
berbicara, dan berpuasa.” Maka Rasulullah bersabda: “Kamu sekalian perintahkan
kepadanya, hendaklah dia berbicara, berteduh dan duduk, dan supaya
menyempurnakan puasanya”.(7)
b. Adanya pemotongan kepala kerbau yang
kemudian ditanam pada lubang galian tanah, sebagai tumbal.
c. Melakukan pecah telur bagi penganten
yang sedang dipertemukan, karena adanya kepercayaan tertentu, sebagaimana yang
dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
d. Melakukan terobosan di bawah keranda
(mayat) bagi ahli waris, sewaktu mayat sudah siap akan diberangkatkan ke
pemakaman.
e. Mengadakan peringatan kematian,
misalnya tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, haul/ temu tahun, seribu
hari dan seterusnya, yang itu semua tidak ada dalilnya, bahkan bertentangan
dengan dalil, dan menirukan adat orang musyrik.
f. Minta do’a pada isi kubur. Ini
bertentangan dengan dalil yang tidak pernah membolehkan mayat dijadikan sarana
untuk berdo’a.
Disamping itu masaih ada berbagai acara
lain yang termasuk bid’ah, karena sama sekali tidak ada dalam Islam.
Kedua, Bid’ah Idhafiyyah adalah suatu
bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al Qur’an atau As Sunnah,
tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil yang dimaksud, tidak
didapatkan di dalam ajaran Islam. Contoh bid’ah idhafiyyah adalah :
a. Sebagai pernyataan taubat atas segala
dosa, disebutlah kalimat “La ilaha illa Allah” dengan cara geleng-geleng kepala
seperti melakukan tarian. Dalam hal taubat itu, gendang dan perlengkapannya
dibunyikan. Bentuk semacam ini dilakukan oleh seseorang dengan seriusnya untuk
beberapa lama sampai orang tersebut jatuh pingsan. Di saat itu taubat baru
dihentikan, karena dianggap orang tersebut telah diterima taubatnya.
b. Di beberapa masjid atau surau, setelah
selesai seorang muadzin adzan, diadakanlah apa yang disebut “puji-pujian”.
Dalam pujian-pujian tersebut banyak dibacakan shalawat Nabi, di samping
berbagai bacaan lain, baik yang diambil dari Al Qur’an maupun syair-syair. Hal
tersebut dilagukan dengan suara keras, selain sebagai pengertian ibadah juga
untuk menanti kedatangan imam. Yang demikian itu banyak dijumpai, sementara
tuntunan dari Rasulullah yang demikian tidak ada.
c. Contoh adanya penentuan dan penertiban
beberapa bacaan yang dilakukan dalam selamatan atas kematian seseorang atau
lainnya pada pengertian yang bisa disebut dengan “tahlilan”. Penentuan yang
dimaksud dalam hal ini, selain dari penentuan waktu, seperti pada hari ke 7, ke
40, ke 100, ke 1000 dst, juga penentuan bacaan. Baik jumlah bilangannya, juga
penentuan penertibannya. Namun keterangan Al Qur’an dan As Sunnah bahwa hal itu
untuk amalan sebagaimana dilakukan itu tidak didapatkan.
Begitulah yang dimaksud dengan bid’ah
idhafiyyah beserta beberapa contohnya.
Hukum Bid’ah pada agama dengan segala
macamnya (8)
Semua bid’ah pada agama, hukumnya haram
dan sesat. karena sabda Rasulullah ﷺ:
“Hendaklah kalian menjauhi
perkara-perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya tiap-tiap yang
diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.(HR Abu Dawud dan
At-Tirmidzi).
Dan sabda Nabi ﷺ:
Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan
pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan perkara dari kami, maka itu adalah
tertolak”. Dan dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan
atas perkara kami, maka yang demikian itu tertolak”.
Hadits itu menunjukkan bahwa tiap-tiap
sesuatu yang diada-adakan pada agama, maka itu adalah bid’ah dan tiap-tiap
bid’ah adalah sesat dan tertolak. Dan makna yang demikian, sesungguhnya bid’ah
pada ibadah dan i’tiqad , yang itu semua sudah jelas diharamkannya. Akan tetapi
pengharamannya bertingkat-tingkat, sesuai dengan macam bid’ahnya.
Dianataranya ada yang hukumnya kufur
dengan jelas, seperti: thowaf (keliling) pada kubur dalam bertaqarrub
(mendekatkan diri pada Allah), atau mempersembahkan sembelihan dan nadhar untuk
kubur. Dan di antaranya termasuk sarana wasail syirik. Seperti membangun
bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan.
Dan di antaranya ada yang fisqu i’tiqadi
(keluar dari ketaatan secara keyakinan), seperti bid’ah khawarij (aliran
ekstrim dalam memahami agama, sehingga dosa besar dianggap kafir dsb),
qadariyah (menolak qadha dan qadar Allah dalam setiap usaha manusia) dan
murji’ah (aliran yang mengkemudiankan, yaitu mengkemudiankan amal daripada
iman, yang dipentingkan adalah iman, sedang yang lainnya adalah soal kedua.
Amal menurut mereka bukan bagian esensi dari iman, walau tetap diperlukan) pada
perkataan-perkataan mereka pada i’tiqadinya yang menyimpang terhadap
dalil-dalil syar’i. Dan di antara bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah
siyam (puasa) dalam keadaan berdiri pada panas matahari, dan kebiri dengan
maksud memutus syahwat jima’ (bersetubuh).(9)
Demikianlah pengertian bid’ah,
jenis-jenis dan hukumnya. Semua itu wajib dihindari, agar kita terbebas dari
kesesatan. (10).
Catatan:
1. Tanbih Ulil Abshar Ila kamaliddin wa
maa fil bida’ minal Akhthor, Dr Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, hal 84.
2. Majmu’ Al-fatawa li Ibn Taimiyyah (18/346).
4. Al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, ahkamuha, Syaikh Shalih bin fauzan, hal 5.
5. Tanbih Ulil Abshar ila kamaliddin wamaa fil bida` minal akhthar, Dr Shalih
bin Sa`d As Suhaimi, hal 100.
6. Ibid hal 93
7. Shahih al-Bukhari ma’al Fath (11/586), Musnad Al-Imam Ahmad (4/168).
8. Al-Bid’ah, ta`rifuha, ahwa`uha, Syaikh Shalih bin Fauzan, hal 7.
9. Lihat Al-I`tisham, As-Syatibi (2/37).
10. Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan tangan seorang da’i yang tak
menyebutkan namanya, namun isinya bisa dipertanggung jawabkan dan insya Allah
bermanfaat.
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
------------------------------------------------------------------------------------
Mengoreksi Ajaran
Tasawuf
Pada hakekatnya ajaran Tasawuf yang
dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang
disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah
satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya
ternyata bersumber dari ajaran Hindu.
Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da’i
yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto akibat menentang asa tunggal
Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku diantaranya
menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat
merebaknya Tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam
terhadap Tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf
diterbitkan GIP Jakarta, cet I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh
Tasawuf yang ia nilai melenceng dari Islam seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh
para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama.
Berbagai metode ajaran Tasawuf dibelejeti
dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ) menyimpang dari Islam seperti
zuhud, bai’at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta uzlah dan
khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi
(orang Tasawuf).
Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa
teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran Tasawuf, baik teori
wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau
al-liqa’, semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu
yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke Tasawuf Islam
lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang
Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah.
Istilah Sufi
Jika istilah “sufi” ini diduga berasal
dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab,
sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari
negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani
menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme
(Plotinus, wafat 269M), filosof Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan
panteisme –yang sangat berpengaruh di dunia Kristen– juga berasal dari pikiran
Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13).
Sementara itu, dari data yang terungkap,
orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150
H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi
tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan
telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak
beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Jika istilah “sufi” itu juga dianggap
berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para
sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling
menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal
dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi
Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa
kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. (hal 14).
Selanjutnya AQ mengemukakan definisi
Tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya pendapat Bandar bin
al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M, tokoh
Tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen).
Al-Junaid berkata: “Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk
hidup kembali di dalam-Nya.” (hal 15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata:
“Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.” (hal 15).
Lalu AQ menyimpulkan, pengertian Tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu
suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil
bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan
memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.
Tasawuf dari Hindu
AQ berkeyakinan bahwa Tasawuf itu berasal
dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir dari peribadatan dalam agama
Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan
brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap
bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik.
Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut
ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran Hindu. (hal 9).
Menurut M Horten (yang didukung R
Hartman), Tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah
melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi
pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap
Tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa Tasawuf
abad ketiga Hijriah-lah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama
ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan
salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa Tasawuf berasal dari sumber India.
Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi
Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa Tasawuf berasal dari aliran
Vedanta di India. (hal 18).
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau
sumber Tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Kebanyakan angkatan pertama sufi
berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu
Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma’az ar Radzi.
2. Kemunculan dan penyebaran Tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan
(Parsi).
3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama
dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk
agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam
kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih,
misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19).
Berasal dari Yunani dan asing
Kemudian cukup banyak para orientalis
yang berpendapat bahwa Tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para
orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap
Tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri,
wafat 245H. (hal 19).
Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya
intervensi (penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama
Budha, agama Hindu, agama Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan
filsafat Yunani.
Dalam kaitan ini secara khusus filsafat
Yunani telah:
1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya:
a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di
Barat; b. filsafat alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c.
filsafat emanasi yang diwakili oleh Suhrawardi.
2. Membantu kelahiran:
a. Tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi;
b. Tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. Tasawuf India, Kristen,
dan neoplatonisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Hallaj.
(hal 23).
Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi
ajaran Tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya berasal dari asing, yakni
Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan Islam.
Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya
dengan buku setebal 240 halaman, maka secara mudah ulama tua KH Ghofar Isma’il
(almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma’il) dalam ceramah-ceramah pengajian
tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang memberikan
amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus
dilandasi hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya.
dikutip dari buku Tasawuf
Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
------------------------------------------------------------------------------------
Manhaj Shahih dan
Penyelewengan Aqidah
Tidak diragukan, Islam adalah agama yang
haq dari Allah, dan sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang
benar, maka perlu diketahui kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber
Islam dan cara menggunakan atau mencari dalil yang benar.
Berikut ini penjelasan singkat tentang
kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan
pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.
1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah
(Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya ﷺ yang shahih,
dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).
2. Setiap Sunnah Rasul ﷺ yang shahih
wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya
tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir
setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak orang).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami
Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang
menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus
shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus
shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak
dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata
kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.
4. Dasar-dasar agama semuanya telah
dijelaskan oleh Nabi ﷺ, maka tidak ada hak bagi
seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu
termasuk dalam agama.
5. Pasrah kepada Allah dan kepada
Rasul-Nya ﷺ (dalam hal penetapan
Islam ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan
satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih (baik
mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim
tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh,
pendapat imam dan sebagainya.
6. Akal yang obyektif dan benar akan
sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan
bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah
naql (ayat ataupun hadits).
7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i
dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan
lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar
dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya
benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang
batil maka ditolak.
8. Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari
kesalahan) itu tetap bagi Rasul ﷺ, sedang ummat ini
terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka
tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari
ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan
lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah; kemudian
mujtahid ummat yang bersalah agar meminta ampun.
9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun
(orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang
mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah
sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/
benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar
gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah
merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.
10. Bertengkar dalam agama itu tercela,
tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam
hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang tentangnya,
maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan
diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang
muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala) maka menyerahkan hal itu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam
menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam
mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan
bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono,
sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula
sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.
12. Setiap bikinan baru dalam agama itu
bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.[1]
Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah
Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau
penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak,
akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah
iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak menyimpang.
Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah
perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.
1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran
dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak
sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya
iblis menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه
خلقتني من نار وخلقته من طين.
“Allah berfirman: “Apakah yang
menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab
iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia
Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).
Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah
yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang
bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau
mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin
belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang
perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah
yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya
memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar,
supaya tidak tersesat.
2. Mengikuti hawa nafsu. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
ولا تطع من ……………………………………… أمره فرطا.
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang
hatinya telah kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya,
dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
إياكم والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم
بالغلو.
“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa
halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”
Artinya:
“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum
kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]
3. Karena menirukan penyelewengan tingkah
laku pemeluk agama-agama terdahulu. Nabi ﷺbersabda:
لتركبن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع
حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.
“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum
syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola
juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu
bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Artinya:
“Pasti kamu sekalian benar-benar akan
melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum kamu, sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk
lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu
mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu sekalian melakukannya
(pula).[3] Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan
Nasrani) dalam kasus yang dikemukakan Nabiﷺ itu tentang
keburukan. Sedang mengenai hal-hal yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu
pun tidak boleh dilakukan, kecuali kalau dibolehkan oleh Nabi ﷺ. Karena Nabi ﷺ bersabda:
“…والله
لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني.”
“…Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa
wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”
Artinya:
“…Demi Allah, seandainya Musa hidup
(sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus
mengikutiku.” [4]
4. Adat istiadat yang bertentangan dengan
Islam, ta’asshub (fanatik suku, golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa
tahu dalilnya).
وإذا قيل لهم اتبعوا …………………………………….. ولا يهتدون.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).
Setelah kita bicarakan sumber-sumber
pokok pengambilan dan manhaj Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber
penyelewengan aqidah Islam, mudah-mudahan kita terbebas dari segala
penyelewengan. Sehingga iman dan Islam kita benar-benar lurus sesuai tuntunan
Rasulullah ﷺ. Mudah-mudahan. Amien.
Sumber:
..Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql,
Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet
I, Syawwal 1411H
· Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah
Jakarta, Ramadhan 1420H/ Desember 1999.
· Dr Shaleh bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta, cetakan I, Rajab 420H.
——————————————————————————–
[1] (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql,
Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet
I, Syawwal 1411H, hal 7-9).
[2] (HR Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah,
dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, berderajat Shahih).
[3] (HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas,
berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’ as-Shaghir).
[4] (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya,
dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna,
berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi dan
lainnya).
dikutip dari buku Tasawuf,
Pluralisme, & Pemurtadan.
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
---------------------------------------------------------------------------------
Mendeteksi Sumber
Penyimpangan:
Yahudinisasi Lewat
Tasawuf
1. Orang yang dikuasai Syetan
“Barangsiapa berpaling dari pengajaran
Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu
benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zuhruf/43: 36-37).
Ayat ini menerangkan bahwa barangsiapa
yang tidak mau membiasakan diri mengingat Allah, dan (juga) berpaling dari
ajaran Al-Quran yang telah disampaikan kepada Muhammad ﷺ, serta berusaha
untuk tidak memperhatikannya, dan telah terpengaruh oleh kesenangan hidup di
dunia, maka Allah akan menjadikan syaitan sebagai teman eratnya, baik berupa
jin maupun manusia.
Syaitan itulah yang selalu mendampingi
dan mempengaruhinya, sehingga tertanamlah dalam pikirannya anggapan yang tidak
baik, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu,
hatinya makin lama makin tertutup, tidak mau menerima kebenaran. Semakin lama
tutupan itu semakin kuat dan rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang
mungkin dimasuki cahaya Ilahi. Ayat yang lain yang sama artinya dengan ayat ini,
ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan (begitu pula) Kami
memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti mereka tidak beriman kepadanya
(Al-Quran) pada permulaan nya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam
kesesatan yang sangat.” (QS Al-An’aam [6]:110).
Makin lama syaitan mendampingi seseorang,
makin lama pula ia bergelimang dalam kesesatan dan semakin kuat pula tutupan
yang menutup hatinya. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 25, hal 117).
Di dalam hadits dijelaskan sebagai
berikut:
Qoola Rasuulullahi ﷺ: “Innal mu’mina
idzaa adznaba dzanban kaanat nuqthotun saudaau fii qolbihii, fain taaba wa
naza’a wasta’taba tsaqula qolbuhuu, wa in zaada zaadat hattaa ta’luwa
qolbuhuu.”
Artinya:
Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia mengerjakan perbuatan dosa maka
terjadilah satu titik hitam di dalam hatinya. Lalu apabila ia bertobat,
mencabut perbuatannya, dan menyesal, maka cemerlanglah hatinya. Dan jika ia
tambah (berdosa) maka bertambahlah titik hitam itu sehingga tertutuplah
hatinya.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Jarir – At-Thabari dari Abu Hurairah, Tafsir
Depag RI, Juz 25, halaman 118).
Menurut Az-Zajzaj, arti ayat ini (QS
Az-Zukhruf: 36) ialah: “Barangsiapa yang berpaling dari Al-Quran dan tidak
mengikuti petunjuknya, pasti ia mendapatkan siksaan dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala; akan didekatkan kepadanya syaitan yang terus menerus menggodanya agar
ia menempuh jalan yang sesat.”
Riwayat lain menyebutkan, ayat itu turun
berkenaan dengan tingkah orang-orang kafir Quraisy:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari
Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi bahwa orang-orang Quraisy berkata,
“Dampingkanlah kepada setiap sahabat Muhammad seorang dari kita untuk
mempengaruhinya.”
Maka mereka mendampingkan Thalhah bin
Ubaidillah (orang kafir Quraisy) kepada Abu Bakar. Maka datanglah Thalhah
kepada Abu Bakar, waktu itu ia sedang berada di tengah-tengah kaum Quraisy,
lalu Abu Bakar bertanya:
“Apa yang kamu serukan kepadaku?”
Thalhah menjawab: “Aku menyeru engkau untuk menyembah Al-Laata dan Al-’Uzza.”
Abu Bakar bertanya:”Apa Al-Laata itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak laki-laki Allah.”
Abu Bakar bertanya: “Apa Al-’Uzza itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak perempuan Allah.”
Abu Bakar bertanya lagi: “Siapa ibu mereka?”
Thalhah terdiam dan tidak dapat menjawabnya.
Lalu Thalhah berkata kepada teman-temannya: “Jawablah pertanyaan orang ini.”
Teman-temannya itu terdiam pula. Maka Thalhah berkata: “Berdirilah hai Abu
Bakar, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah,
dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.” Maka turunlah ayat ini (yaitu QS
Az-Zukhruf: 36). (ibid, hal 118-119).
Dalam ayat 37 QS Az-Zukhruf dijelaskan,
akibat bagi seseorang yang selalu didampingi syaitan, yaitu syaitan itu selalu
berusaha menghambat mereka (agar tidak bisa) menempuh jalan lurus, jalan yang
diridhai Allah, serta berusaha menimbulkan keyakinan dan anggapan pada pikiran
orang itu bahwa jalan sesat yang dtempuhnya itu adalah jalan yang benar, dan
setiap kebenaran yang disampaikan kepadanya dianggap sebagai jalan yang sesat.
(ibid, hal 119).
2. Mengaku Muslim sambil memusuhi Islam
Meskipun dalam riwayat asbabun nuzul
(sebab turunnya ayat) itu mengenai orang kafir Quraisy, namun bukan berarti
yang bisa dikuasai syaitan itu hanya orang-orang kafir. Bahkan orang Islam yang
kurang taat pun dikuasai syaitan. seperti ditegaskan oleh Nabi ﷺ:
“Maa min tsalaatsatin fii qoryatin walaa
badwin laa tuqoomu fiihim sholaatul jamaa’ati illas tahwadza ‘alaihimus
syaithoonu. Fa’alaikum bil jamaa’ati, fainnamaa ya’kuludz dzi’bu minal ghonamil
qooshiyah.”
“Tidaklah dari tiga orang di suatu
kampung atau pedusunan yang di dalam mereka itu tidak ditegakkan shalat
jama’ah, kecuali mereka pasti akan dikuasai oleh syetan. Maka wajib atas kamu
shalat jama’ah. Karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing
yang jauh dari kawannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Al-Hakim,
berderajat shahih).
Betapa banyaknya kampung-kampung yang
mungkin sekali dihuni oleh orang-orang Muslim namun di sana sepi dari shalat
berjama ‘ah. Maka pantas sekali kalau hati mereka telah dikuasai oleh syaitan,
hingga kebringasan, kejahatan, penipuan, penghalangan terhadap Islam terjadi di
mana-mana. Padahal mereka mengaku Islam, namun tidak jarang mereka pula yang
mati-matian mengganjal dan mempecundangi Islam, bahkan sekuat-kuatnya untuk
memberantas orang-orang mu’min yang bercita-cita menegakkan Islam.
Bahkan ada dedengkot-dedengkot perusak
Islam yang terang-terangan membela non Muslim dalam berbagai hal, padahal
dirinya tidak mau kalau disebut antek Yahudi, Zionis, antek Nasrani, atau antek
Konghu chu. Padahal mereka jelas-jelas ikut memeriahkan bahkan menghadiri
perayaan hari-hari raya orang-orang kafir atau musyrik musuh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala itu, dan memperjuangkan aspirasi musyrikin dan kafirin itu.
Mereka tidak malu-malu mengaku dirinya
sebagai tokoh Islam, bahkan mulutnya bisa berdalih dengan dalih nasionalisme,
demokrasi, dan sebagainya yang telah mereka jadikan berhala, sehingga syaitan
telah menguasai mereka, dan mereka menganggap bahwa diri mereka itu mendapat
petunjuk, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut.
Sehingga, sifat syaitan sebagai musuh Allah yang nyata dan musuh mukminin telah
hinggap dan bersarang di dada-dada mereka, di antaranya mereka lego lilo/ tulus
ikhlas bila yang dibantai itu ummat Islam.
Padahal, kalau mereka mau meneladani
sikap Rasulullah ﷺ yang beliau itu
dijamin oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai uswatun hasanah (teladan yang
baik) tentu mereka faham bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah
mengucapi selamat Natal kepada para pendeta maupun rahib. Padahal
Rasulullah ﷺ juga sebagai
pemimpin bangsa, negara, bahkan Ummat Islam sedunia. Mengucapi selamat Natal
pun tidak, apalagi menghadiri upacara Natalan, dan lebih tidak lagi berpidato
pada upacara orang-orang kafirin musyrikin itu.
Tetapi kenapa Presiden Gus Dur hadir pada
upacara Natalan, bahkan berpidato menyambutnya? Padahal, dia dijuluki kiai,
bahkan ada yang menyebutnya wali, meski dia sendiri menganggap orang yang
menyebutnya wali itu orang yang tak bertanggung jawab. Kenapa pula Amien Rais
(ketua MPR, bekas ketua organisasi Islam Muhammadiyah), Akbar Tanjung (ketua
DPR, bekas ketua umum organisasi mahasiswa HMI), dan Megawati anaknya Soekarno
(wakil presiden, dan sudah pernah berhaji) hadir pada upacara kemusyrikan itu.
Kalau memang mereka benar-benar percaya
kepada Nabi Muhammad ﷺ, apakah pernah Nabi
mencontohi hadir, berpidato, atau mengucapi selamat Natal seperti yang mereka
lakukan itu? Dan kenapa pula Prof Dr HM Quraish Shihab yang disebut ahli tafsir
lulusan Mesir itu ngotot menulis fatwanya tentang bolehnya mengucapi selamat
Natal kepada orang Nasrani? Adakah contoh dari Nabi Muhammad ﷺ yang seperti
itu? Mau dibawa ke mana Ummat Islam Indonesia ini oleh para tokoh yang mengaku
dirinya Muslim bahkan sebagai ketua-ketua atau mantan ketua lembaga atau
organisasi Islam, namun memberi contoh yang sama sekali tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullahﷺ itu?
Yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ justru
tantangan untuk mubahalah, atas perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah
‘Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya):
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami
dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta.” (QS Ali ‘Imran: 61).
Mubahalah ialah masing-masing pihak di
antara orang-orang yang berpendapat, mendo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh
agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan
Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani, dan ini menjadi bukti
kebenaran Nabi Muhammad.(Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 85).
Contoh dari Nabi ﷺ dan merupakan
perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah seperti tersebut di
atas. Namun sebaliknya, sebagian tokoh Islam Indonesia sekarang justru sangat
jauh dari keteladanan Nabi ﷺ tersebut.
Keberpihakannya malahan nampak berbalik kepada pihak kafirin walmusyrikin.
Hingga ketika ada gereja yang dirusak orang, tidak diselidiki dulu
penyebab-penyebabnya, dan tidak dicari dulu hukum keabsahan berdirinya menurut
Islam, langsung orang-orang yang masih tak malu mengaku Islam itu berani bilang
“tembak di tempat” bagi perusak gereja. Padahal, puluhan masjid yang dibakar,
dan juga ratusan (mungkin ribuan?) masjid dan musholla yang digusur oleh
orang-orang anti Islam, mereka tidak mau tahu, dan pura-pura tidak tahu. Karena
memang mereka sendiri, di markas besarnya pun kemungkinan sekali tidak ada
masjidnya.
Ada organisasi besar yang mengaku dirinya
Muslim, bahkan ulama, namun di markasnya tidak ada masjidnya, dan hanya ada
musholla sempit sekali, kotor, dan “dihiasi” dengan sangkar-sangkar burung.
Pantas saja kalau mereka ada yang lebih krasan (lebih merasa ni’mat)
berkarib-karib dengan orang gereja ataupun memperjuangkan gereja, klenteng dsb.
Akibatnya, sangat parah. Yang muda-muda atau pun mahasiswa kelompok mereka
tidak malu-malu mencari proyek-proyek dengan bantuan gereja. Bila ditegur
temannya sesama Muslim, jawab mereka enteng, “Ah… saya kan tinggal ngikuti saja
pemimpin-pemimpin yang di atas.
Orang pimpinan-pimpinan saya (maksudnya
para pemimpinnya) juga suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, apa
salahnya saya sebagai muqollidnya “berittiba’” (pengikut buta-nya mengikut)
kepada mereka?” jawabnya cengengesan (sikap tak bertanggung jawab).
Na’udzubillaahi min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian
itu). Benarlah syaitan telah memperdaya hati mereka, sehingga mereka pandang
baik apa-apa yang buruk, dan amat buruk. Memang syaitan sangat berusaha keras
untuk menjerumuskan mereka, yaitu siapa saja yang menjadi teman syaitan.
3. Merubah agama Allah
Firman Allah Ta’ala tentang ucapan Syetan;
“… dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
merubahnya.” (An-Nisaa’: 119).
Dalam tafsir Ibnu katsir, merubah ciptaan
Allah itu menurut Ibnu Abbas dan lain-lain, berarti merubah diinullaah, agama
Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, halaman 686).
Para ahli bid’ah telah memporak
porandakan Islam, diinullah. Dan mereka secara terang-terangan berani
menyatakan permusuhannya terhadap mukminin yang menegakkan Islam dengan benar.
Musuh besar mereka adalah orang Islam yang konsekuen dan konsisten (istiqomah)
dengan Islamnya. Sehingga kalau ahli bid’ah atau orang yang merubah agama Allah
itu berkuasa, maka diangkatlah orang-orang yang lihai dalam memusuhi Islam. Dan
dibabatlah siapa-siapa yang kira-kira jelas menegakkan Islam.
Karena orang-orang yang merubah diinullah
itu di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani –menurut Al-Quran– maka kaum
Ahli Bid’ah pun bergabung dengan Yahudi dan Nasrani serta musyri kin dan
kafirin dalam memusuhi Muslimin. Di situ peran munafiqin sangat strategis,
berupaya menghancurkan Islam dengan bersekongkol bersama Yahudi cs itu.
Akibatnya, orang-orang Islam yang tak kuat imannya akan ikut-ikut pula menjadi
munafiq. Dan semakin banyak munafiqnya semakin subur pula pembunuhan terhadap
orang Islam ataupun aturan Islam itu sendiri.
Selama ini munafiqin, kafirin, musyrikin,
ahli bid’ah dan syaitan-syaitannya telah berhasil membunuh hukum-hukum Islam,
hingga tinggal hukum keluarga, yakni nikah, talak, rujuk, waris, hibah,
shodaqoh, dan waqaf. Munafiqin, Yahudi, Nasrani, kuffar, musyrikin dan
syaitan-syaitannya kini sudah siap dan beraksi lebih lagi. Hukum perkawinan pun
mulai diugrag-ugrag (dikutik-kutik) lagi. Kata mereka, hukum perkawinan yang
berlaku ini diskriminatif.
Orang-orang yang tidak rela adanya hukum
Islam yang masih “tersisa” sedikit itu justru biasanya tidak rela pula kalau
pelacuran dihapus. Jadi benar-benar pikiran syaitanlah yang telah menguasai
jiwa mereka; menggempur hukum Islam tentang perkawinan, sambil “memperjuangkan”
berlangsung tumbuh suburnya pelacuran. Itulah misi mereka, misi syaitan.
Benar-benar mereka itu musuh orang Muslim, yaitu syaitan yang berujud manusia,
artinya manusia yang telah menjadi syaitan.
Meskipun demikian, orang Muslim yang
sejati tidak usah berkecil hati. Ada penjelasan sebagai berikut.
4. Orang yang menegakkan kebenaran Islam:
“Maka bersabarlah kamu untuk melaksanakan
ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang
kafir di antara mereka.” (QS Al-Insaan/76: 24).
Nabi ﷺ bersabda: “Laa
tazaalu thooifatun min ummatii dhoohiriina ‘alal haqqi laa yadhurruhum man
khodzalahum hattaa ya’tiya amrulloohi wahum kadzaalika.”
“Senantiasa masih ada sekelompok dari
ummatku yang selalu menang/unggul dalam menegakkan kebenaran. Mereka tak peduli
dengan orang-orang yang menghinakan mereka sehingga datang perintah Allah (hari
kiamat)dan mereka tetap demikian.” (HR Al-Bukhari 3641, dan Muslim 1920,) dari
Hadits Mu’awiyah ra. Selain Mu’awiyah ada beberapa orang shahabat lainnya
meriwayatkan hadits Thaifah Manshuroh ini. Syaikh Al-Albani menjelaskan takhrij
hadits ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits As-Shahihah, juz 1 nomor 270.
Sabda Nabi ﷺ:
“Innal Islaama bada’a ghariiban wa
saya’uudu ghoriiban kamaa bada’a, fathuubaa lilghurobaa’i.”
“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi
asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang
asing.” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing: yaitu orang-orang yang
(tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata: “Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih, lihat Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqoh an-Najiyah wat Thoifah al-Manshuroh,
diterjemahkan menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet I,
1419H, halaman 7-8).
Sabda Nabi ﷺ:
“Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing, yaitu orang-orang sholeh
yang hidup di tengah orang banyak yang buruk perangainya, di mana orang yang
mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang mentatatinya.” (HR Ahmad,
shahih).
Nabi ﷺ bersabda:
“Orang yang paling pedih musibahnya di dunia ini ialah para nabi, kemudian
orang-orang sholeh.” (HR Ibnu Majah).
Nabi ﷺ bersabda:
“Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal ma’siat kepada Allah, karena
kewajiban taat hanya dalam urusan yang baik.” (HR Al-Bukhari).
5. Siapakah yang menegakkan kebenaran
Islam itu?
Orang-orang yang dikuasai syetan (yaitu
yang berpaling dari Al-Quran, tidak shalat berjama’ah, dan merubah agama Allah)
berhadapan dengan orang-orang yang menegakkan kebenaran Islam.
Yang menegakkan kebenaran Islam itu
siapa?
Apakah yang memahami Islam dengan filsafat, dengan sosiologi, antropologi,
metodologi Barat, demokrasi, nasionalisme, kebudayaan, adat dsb? Bukan.
Hanya dengan Al-Quran? Bukan Hanya dengan Al-Hadits? Bukan. Dengan Al-Quran dan
Hadits namun menurut pendapat masing-masing? Bukan. Tetapi dengan Al-Quran dan
As-Sunnah sesuai dengan penjelasan Rasulullah ﷺ yang diwarisi
oleh generasi terbaik, yaitu salaful ummah, ummat terdahulu, yaitu tiga
generasi pertama, alias sahabat Nabi ﷺ, Tabi’in, dan
Tabi’it Tabi’en.
Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dan diwarisis
serta dilaksanakan oleh para sahabat itu apabila ditentang, dan bahkan
mengambil jalan lain maka diancam oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa: 115).
Untuk mempertahankan diri agar tetap
menjadi orang mukmin yang menegakkan Islam secara benar, maka perlu mengetahui
di mana sumber-sumber penyimpangan Islam terjadi. Berikut ini penjelasannya.
6. Sumber-sumber penyimpangan
6.1. Akal yang tidak tunduk kepada wahyu
Kata Iblis: “Ana Khairun minhu,
kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin”.
Kata Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan saya dari api
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raaf:12).
6.2. Al-hawa’: hawa nafsu dan sikap
ghuluw
Ada serombongan sahabat nabi datang
menanyakan ibadah Nabi kepada isteri-isterinya, lalu mereka menganggap diri
mereka masih sangat sedikit ibadahnya dibanding dengan Rasulullah ﷺ. Lalu yang pertama,
mau puasa terus sepanjang tahun tidak berbuka. Yang kedua akan bangun malam dan
tidak tidur. Yang ketiga akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan
kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ beliau
menjelaskan kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan beliau bersabda:
“Innamaa ana a’lamukum billaahi wa
akhsyaakum lahu, walaakinnii aquumu wa anaamu, wa ashuumu wa ufthiru, wa
atazawwajun nisaa’a, faman roghiba ‘an sunnatii falaisa minnii.”
Saya adalah orang yang kenal Allah dan
paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, puasa dan berbuka, dan
saya beristerikan wanita-wanita. Oleh karena itu barangsiapa membenci sunnahku
maka dia bukan dari golonganku.” (HR Al-Bukhari).
“Iyyaakum wal-ghuluw fid diini fainnamaa
halaka man kaana qoblakum bil ghuluwwi.”
“Jauhilah oleh kalian ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam agama. Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu
sekalian itu hanyalah karena ghuluw.” (HR Ahmad, An-nasaa’i, Ibnu Majah, dan
Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, shahih).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Walaa tuthi’ man aghfalnaa qolbahuu ‘an dzikrinaa wattaba’a hawaahu wakaana
amruhu furuthoo.” Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya
itu melewati batas. (Al-Kahfi:28).
6.3. Karena pengaruh agama-agama
terdahulu
Nabi ﷺ bersabda:
“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wa dziroo’an bi
dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hatta
lau anna ahadahum jaama’amroatahu bit thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Pastilah benar-benar kamu sekalian akan
melakukan kelakuan-kelakuan orang dulu sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang
biawak pasti kalian masuk (pula), sampai-sampai seandainya salahsatu mereka
menyetubuhi isterinya di jalan pasti kalian melakukan (pula). (HR Al-Hakim dari
Ibnu abbas, shahih).
- Contoh, berpakaian, bergaya hidup, dan
bahkan dalam memusuhi Islam atau meremehkan Islam, mereka telah meniru-niru
Yahudi dan Nasrani.
6.4. Mengikuti adat istiadat yang
bertentangan dengan Islam
Misalnya judi, selamatan orang mati dsb.
Qoola Jarir RA: “Kunnaa narol ijtimaa’a
ilaa ahlil mayyiti wa shonii’atat tho’aami ba’da dafnihi lighoirihim minan
niyaahah.”
Jarir RA berkata: “Kita berpendapat bahwa
mengadakan kumpulan bersama-sama pergi ke keluarga orang mati dan membuat
makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya/ ditanamnya mayit,
hukumnya termasuk meratapi mayit.” (Riwayat Ahmad).
Di Zaman sahabat Nabi ﷺ tingkah
kumpul-kumpul, makan-makan setelah dikuburnya mayat itu dinilai sebagai
niyahah/meratap. Sedang meratap adalah perbuatan jahiliyah yang diharamkan oleh
Nabi ﷺ. Namun, kini para ahli
bid’ah dan pengikutnya sangat doyan menggede-gedekan acara tahlilan selamatan
orang mati. Setelah kita tahu orang-orang yang dikuasai syetan dengan
sifat-sifatnya, orang-orang yang menegakkan Islam yang benar dengan
sifat-sifatnya, dan juga mengetahui sumber-sumber penyimpangan, maka ketahuilah
bahwa Tasawuf itu ada dalam jalur yang diliputi sumber-sumber penyimpangan itu.
7. Yahudinisasi lewat Tasawuf
Ada penyimpangan lewat akal. Ada yang
lewat hawa nafsu. Ada yang karena ghuluw atau berlebih-lebihan, ada yang karena
meniru-niru Yahudi dan Nasrani, dan ada yang karena adat istiadat yang
bertentangan dengan Islam. Dan itu semua kini didukung oleh Yahudi
internasional, dengan cara membelajarkan dosen-dosen perguruan tinggi Islam
(IAIN) ke Barat dengan istilah studi Islam, dengan hujjah belajar metodologi
kritis. Padahal, studi Islam di Barat itu menurut hasil seminar pakar-pakar
Islam di London, hanyalah menganggap Islam sebagai budaya Timur yang tidak
sampai sebesar Hindu dan Budha. Sedang materi yang diajarkan Barat dalam studi
Islam itu hanyalah sufisme (Tasawuf). Sedang tujuannya adalah tahwidiyyah /
Yahudinisasi, menurut hasil seminar tersebut.
Mari kita simak kutipan berikut:
Bukti dari Al-Ghazwul Fikri (serangan
pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di
London Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat, dalam
seminar internasional Islam II itu, bahwa seluruh program studi Islam di
perguruan tinggi Barat arahnya adalah Yahudinisasi ataupun Yudhaisme, yang
memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi, dan bahkan tak sampai setarap
dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar
Studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam, ajaran yang disebut studi Islam
hanya melulu tentang sufisme (Tasawuf), dan guru besar yang mengerti bahasa
Arab sebagai sumber utama untuk merujuk kitab-kitab Islam hanya 15% (Lihat buku
Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994, hal 107-108).
Apa itu Yahudinisasi? Secara mudahnya
adalah apa yang kini disebut pluralisme atau kadang dengan halus disebut agama
Ibrahim (Ini sejalan pula dengan istilah inklusivisme dan pluralisme, baca pada
bab yang membahas masalah itu di buku ini). Yaitu penyebaran keyakinan yang
tidak membolehkan ummat Islam ini “mengklaim kebenaran”. Hingga para antek yang
menyebarkan Yahudinisasi ini tidak membenarkan ummat Islam yang mengakui bahwa
agama Islam sajalah yang benar. Mereka terang-terangan menyalahkan Muslimin yang
meyakini bahwa Islam sajalah yang benar di sisi Allah.
Di antara yang menyalahkan Ummat Islam
yang berkeyakinan bahwa Islam sajalah yang benar, contohnya adalah Dr Alwi
Shihab. Ia menuduh ummat Islam tak sedikit yang gagal dalam menangkap makna
dari kata Islam, dan dengan sendirinya (menurut tuduhan Alwi Shihab yang kini
Menteri Luar Negeri RI itu) membenarkan sikap eklusivisme. Ini menyangkut
Al-Quran dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85. Alwi Shihab menulis tuduhan
terhadap Muslimin itu di Majalah Gatra No 9 Tahun V, 16 Januari 1999 dengan
judul Muslim-Kristen.
Kepada Dr Alwi Shihab perlu dikomentari,
dengan liciknya dia telah menyembunyikan keterangan tentang kafirnya orang non
Muslim setelah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Alwi Shihab dengan
mengecam Muslimin, ditambah dengan menyembunyikan keterangan yang haq tentang
kafirnya pemeluk agama apapun selain Islam setelah diutusnya Nabi
Muhammad ﷺ, itulah cara Alwi Shihab
dalam menjajakan sikap mengimani sebagian ayat-ayat Allah dan mengingkari
sebagian lainnya. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim ditegaskan:
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi ﷺ annahu qoola:
“Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil
Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii
ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari
Rasulullah ﷺ bahwa beliau
bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang
dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun
Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus
dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab
Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa ﷺ ilaa jamii’in
naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi
kita ﷺ bagi seluruh manusia
dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Yang perlu ditegaskan pula adalah: lafal
min ash-haabin naari (termasuk penghuni neraka), di situ orang-orang yang tidak
mau masuk Islam itu statusnya bukan sekadar mampir ke neraka, namun justru
penghuni neraka. Dalam uraian lain di buku ini dijelaskan, orang-orang yang
kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir, karena yang masih ada imannya
maka akan dientas dari neraka dan dimasukkan ke surga. (lihat buku ini pada bab
Kebohongan dan kesesatan Islam Jama’ah, Lemkari, LDII). Hadits shahih dan jelas
maknanya semacam ini pun masih disembunyikan oleh orang-orang semacam Dr Alwi
Shihab dan konco-konconya. (lihat tanggapan terhadap Dr Alwi Shihab itu dalam
Buku ”Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia
dari Orde Lama hingga Orde Baru,” oleh Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Darul Falah
Jakarta, 1420H, hal 153).
Kembali ke masalah penikaman terhadap
Islam, biasanya alumni Barat yang menyebarkan Yahudinisasi itu kini rajin
sekali menjajakan Tasawuf. Dari sanalah di antaranya Islam itu ditikam, setelah
upaya Yahudinisasi itu ramai-ramai dihujat oleh majalah Media Dakwah sejak 1992
selama 19 bulan bertutrut-turut. Hingga ada judul cover majalah itu: Ujung
Pemikiran Nurcholish, dengan gambar ujungnya adalah Zionisme.
Sehabis itu mereka yang menjajakan
Yahudinisasi itu menikam Islam lewat Tasawuf bersama orang Syi’ah dan lainnya.
Maka tak mengherankan, sosok dedengkot Syi’ah di Indonesia seperti Jalaluddin
Rachmat sangat getol (bersemangat) menjajakan Tasawuf di mana-mana, bahkan
bagai kemaruk. Contohnya, di Bulan Ramadhan 1421H, kadang Jalaluddin Rachmat
itu menyebarkan Tasawuf lewat dua televisi dalam waktu bersamaan, yang satu
siaran langsung, dan yang lain rekaman.
Padahal, apa-apa yang ditampilkan di
televisi yang disebut acara Tasawuf misalnya di Anteve itu merupakan acara yang
sangat menyesatkan dan merusak Islam. Contohnya, seorang dosen perempuan dari
Bandung yang biasa membawakan acara Tasawuf di Anteve, ketika
berbincang-bincang dengan nara sumber seorang doktor perempuan dosen di Bogor,
lalu pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi yang kaitannya dengan
feminisme. Pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi, katanya ada seorang
syaikh yang masuk ke hutan, lalu binatang-binatang hutan semuanya tunduk,
sampai-sampai ular pun bersedia jadi tongkatnya. Maka syaikh itu ditanya oleh
muridnya, apa rahasianya? Ternyata rahasianya adalah: Syaikh ini senantiasa
diam saja (sabar) ketika dia diomeli oleh isterinya.
Nah, cerita-cerita yang sangat tidak mutu
model inilah yang menjadi landasan Tasawuf itu dari berbagai seginya. Yang hal
itu di zaman Ali bin Abi Thalib saja tukang ceritanya sudah diusir dari masjid,
dilarang masuk masjid. Memang timbulnya tukang nasihat dengan cerita-cerita itu
sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan mereka pun dilarang masuk masjid
untuk bercerita oleh Khalifah. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan untuk memenjarakan tukang-tukang cerita dan para pendengarnya.
Berikut ini penjelasannya:
Munculnya bid’ah
dongeng
Munculnya bid’ah tukang-tukang cerita
(pendongeng/ qosshosh) adalah pada masa Ali RA, lalu mereka itu ditolak oleh
para sahabat dan tabi’in.
Muhammad bin Waddhoh meriwayatkan dari
Musa bin Mu’awiyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari
Sufyan:
“Dari Ubaidillah bin Nafi’, ia berkata:
Belum ada orang berkisah (mendongeng) pada masa Nabi ﷺ, tidak pula di masa
Abu Bakar, tidak di masa Umar, dan tidak di masa Utsman. Dan pertama kali
adanya dongeng itu ketika adanya fitnah (pembunuhan terhadap Utsman 35H).
Pendongeng (qosshosh) adalah juru nasihat
yang mengadakan majelis-majelis untuk nasihat meniru majelis ta’lim. Pendongeng
itu menasihati orang-orang di majelis dengan cerita-cerita dan kisah-kisah
Israiliyyat dan semacamnya, berupa cerita yang tidak mempunyai sumber asalnya,
atau suatu tema/ judul, atau berupa cerita yang tidak bisa dijangkau akal umum.
Sungguh Ali bin Abi Thalib RA telah
melarang mereka –lihat Tahdzirul Khowas oleh As-Suyuti 213, dan Al-Bida’ wan
nahyu ‘anha 16– karena mereka mulai mendongengi orang-orang dengan yang
aneh-aneh dan hal-hal yang samar (mutasyabihat) dan cerita yang tidak
terjangkau oleh akal mereka dan yang tidak mereka kenal.
Ibnu Umar telah memerintahkan polisi
untuk mengeluarkan (mengusir) tukang-tukang cerita dari masjid-masjid. Dan Umar
bin Abdul Aziz telah memenjarakan tukang-tukang cerita dan orang-orang yang
duduk bersama mereka.
Yang demikian itu bukan berarti terlarang
menasihati. Dahulu Nabi ﷺ telah memberikan
nasihat kepada para sahabat. Dan para sahabatnya pun demikian pula, serta
generasi salafus shalih sesudahnya. Yang dilarang hanyalah menasihati dengan
cerita-cerita yang tidak ada sumber asalnya (al-Quran atau al-Hadits atau
riwayat yang shahih), dan bercerita dengan keanehan-keanehan dan
perkara-perkara yang kacau, yang samar-samar, dan yang tidak terjangkau akal
manusia pada umumnya, berupa masalah-masalah ghaib, tentang qadar, dan hal-hal
yang membingungkan akal. Dan dilarang pula penasihat-penasihat yang bodoh yang
membinasakan.Wallahu a’lam.
( Sumber:
1. Dr Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql, Al-Ahwa’ wal Firaq wal Bida’ ‘Ibra Tarikh
al-Islami Masirotu Rokbi as-Syaithan, Darul wathan, Riyadh, Cetakan I, 1415H.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-Bid’atu; ta’rifuha,
anwa’uha, ahkamuha, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1412H.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithah bainal Haqqi wal Khalq,
dimuraja’ah Muhammad Jamil Zainu, Percetakan Universitas Islam Madinah, cetakan
pertama).
Adapun contoh lain penyesatan Tasawuf
yang ditikamkan kepada Islam secara sistematis oleh intelektualnya di Indonesia
di antaranya silakan baca tanggapan buku ini pada judul Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in. Isinya menanggapi tikaman Nurcholish Madjid yang menafsiri
ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in menurut Tasawuf, yang sangat
menyesatkan.
Memang Tasawuf itu sendiri bibit utamanya
di antaranya dari filsafat Yunani, Nasrani, dan Hindu; maka pas lah untuk
sarana menikam Islam dari dalam, karena orang yang tertipu selama ini
menganggap bahwa Tasawuf itu bagian dari ajaran Islam.
Padahal justru penyimpangan, sebenarnya.
Kalau toh mau mentolerir Tasawuf itu hanyalah bisa terhadap bagian yang
sedikit, pada awal-awal ketika masih sekadar tazkiyatun nafs (penyucian jiwa)
yang belum tercemar oleh filsafat dan macam-macam bid’ah.
Kalau memang masih sekadar tazkiyatun
nafs dan tidak ada unsur bid’ah dan lebih-lebih pula bid’ah aqidah yang dibawa
oleh filsafat, maka masih bisa ditolerir. Tetapi, dari segi manhaj (pola,
jalan, sistem) Tasawuf itu sendiri yang sedemikian longgar dalam mengambil
sumber (di antaranya mimpi-mimpi syaikh, alamat-alamat dikait-kaitkan dengan
keghaiban dan bahkan cerita-cerita aneh seperti tersebut di atas) maka
sejatinya Tasawuf itu sudah jauh dari manhaj Islam yang shahih.
Dan justru di situlah pintu masuk yang
dianggap paling strategis oleh musuh-musuh Islam terutama Yahudi. Mereka tidak
menyia-nyiakan pintu bahaya itu, hingga dibikinlah program canggih secara
sistematis dan tingkatnya internasional dengan mengkader putra-putra bangsa
Muslimin sedunia yang cerdas untuk menjadi antek-antek Yahudi yang merusak
Islam dari dalam, lewat Tasawuf, demi menghancurkan Islam, dengan kedok
membangun Islam. (Lebih lengkapnya, baca buku penulis yang berjudul Mendudukkan
Tasawuf, Gus Dur Wali? Darul Falah, Jakarta, Ramadhan 1420H).
Bahkan Tasawuf yang menikan Islam dan
kini dijadikan sarana empuk untuk menikam Islam oleh Yahudi dan antek-anteknya
itu kini digencarkan lewat televisi-televisi segala, di samping kurus-kursus
yang mereka sebut paket-paket kajian Tasawuf.
Untuk lebih “memantapkan” program itu,
tampaknya pemerintahan Indonesia sekarang masih merasa belum cukup hanya
mengirim 300-an dosen-dosen IAIN ke Barat untuk “studi sufisme” yang bertujuan
Yahudinisasi itu. Maka “dengan lapor dan minta restu” (?) kepada Boss Katolik,
Paus Yohannes II, Presiden Gus Dur berkunjung ke Vatikan untuk mengemukakan
bahwa (saat itu akan) diadakan dialog tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam)
di Jakarta, Senin 14 Februari 2000M.
Sebuah sumber mengatakan, ketika pihak
sumber ini berkeinginan untuk ikut dalam “dialog” maka dijawab oleh panitia,
seorang cewek dari Yayasan Paramadina di Jakarta, bahwa acara di Departemen
Agama RI itu tertutup. Dan orang-orangnya sudah tertentu.
Siapa mereka? Dari Islam, menurut sumber
itu, pembicaranya adalah orang-orang IAIN Jakarta, yaitu Dr Azzyumardi Azra
(rektor IAIN Jakarta), Dr Bachtiar Effendi, dan Dr Kautsar Azhari Noer.
8. Mengikuti jejak Annie Besant
Program t kecil dan T besar yang
dilontarkan Dr Nurcholish Madjid tahun 1985 untuk mengaburkan makna kalimah
thoyyibah, Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) menjadi: Tiada tuhan
selain Tuhan –t kecil dan T besar– ternyata tidak berhenti sampai di situ.
Walaupun sudah terpeleset-peleset sampai untuk menghindari lafal Allah itu
dengan kilah bawa Allah itu sebutan bagi Dewa Air, hingga diledek oleh Drs H
Ridwan Saidi: Kalau Allah itu Dewa Air, lantas kutu airnya mana?; namun program
Yahudinisasi atau pendangkalan Islam, atau tasykik alias peragu-raguan terhadap
kebenaran Islam tetap digencarkan.
Drs H Ridwan Saidi pernah menyindir
secara telak terhadap rekannya, Dr Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran-pemikiran
Nur cholish itu tidak jauh beda dengan pemikiran Annie Besant.
Untuk lebih jelasnya, sindiran itu bisa
dicari sumber lain, sebenarnya bagaimanakah pemikiran dan missi Annie Besant
itu. Prof Dr Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang
shobi’un, di sana tertera nama Annie Besant. Tulis Hamka: “…Di dalam al-Quran
kita bertemu nama-nama Shabi’un ini sampai tiga kali. Yaitu pada ayat 62 dari
Surat al-Baqarah, ayat 69 dari Surat Al-Maidah, dan ayat 17 dari surat Al-Hajj.
Diambil kepada pokok pangkal kata-nya,
yaitu shabi’, berarti bahwa shabi’un ialah orang-orang yang keluar dari
Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama
sendiri. Inilah pula artinya seketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya
kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau shabi’ dari agama yang dipeluk
oleh nenek moyangnya.
Di negeri Irak sampai sekarang ini masih
terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang shabi’in. Mereka percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan fikiran sendiri,
mereka tidak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama
sendiri. Kaum shabi’in di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran
Kristen, tetapi merekapun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astrologi),
bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga
kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.
Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini,
maka penulis tafsir ini (Prof Dr Hamka, pen) berpendapat bahwasanya
gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama
Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besant dan Madame Balavatsky di India
beberapa puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi ‘in ini. Sebab
maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik
pertemuan segala agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak
bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan intisari
segala agama, memperdalam rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah
segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.
Pada pendapat saya (Hamka, pen) meskipun
dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini, Theosofi adalah
semacam Shabi’in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam
yang Agung di Hindustan yang terkenal itupun mencoba pula mencari titik-titik
pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (agama Tuhan).
Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa
Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam istana di Agra dan beliau suruh
menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya, dan beliau bertekun ibadat
di dalam bulan puasa. Dan inipun semacam shabi ‘in. (Prof Dr Hamka, Tafsir
Al-Azhar juz 6, hal 322-323).
Model Theosofi, dengan istilah-istilah
yang sering mereka lontarkan yakni mencari titik temu antar agama-agama, memang
sering diucapkan oleh kader-kader dari Barat yang belajar “Islam” dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak syak lagi, apa yang mereka sebut
universalisme, pluralisme, atau agama Ibrahim, tidak lain adalah pencabutan
dari agama Islam, agar keluar dari Islam. Di sinilahletak bahayanya.
Anehnya, kini bahkan merupakan proyek dan
program besar yang didukung oleh penguasa dhalim yang tidak ada pembelaannya
terhadap Islam, dan didukung aneka pihak dengan dipayungi oleh Yahudi
internasional yang telah menggodok para intelektual dari negeri-negeri Islam
lewat “studi Islam di Barat” dengan menggunakan kendaraan Tasawuf untuk menikam
Islam.
Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku
ummat Islam, termasuk pula para intelektual Muslim yang kini terperangkap ke
arah sana. Tidak usah anda berbangga sebagaimana bangganya “londo ireng”
(Belanda Hitam –pribumi yang jadi antek penjajah dan lebih galak ketimbang
penjajahnya sendiri) di zaman penjajahan Belanda.
Akibatnya, mereka (antek-antek penjajah
kafir itu) pun hancur, sedang nama busuk pun tertancap pada diri-diri mereka.
Sadarilah bahwa tidak mungkin musuh Islam itu tulus ikhlas ingin memajukan
Islam, atau mengembangkan Islam. Sebaliknya lah yang ada. Itu sudah hukum alam,
menurut istilah saudara. Kalau istilah Islam, ya ayat itu tadi, tentang
program-program syetan untuk menipu manusia dengan merubah ciptaan Allah, yaitu
merubah diinullaah, agama Allah. Relakah anda disebut sebagai antek syetan?
dikutip dari buku Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.
dikutip dari buku Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.
Borok-Borok Sufi
Oleh Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad
Ad-Dabij
Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir
filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India
dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi
dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi
hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya,
niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah,
prilaku dan pendidikan.
MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.
Yakni, dengan membersihkan Islam dari
bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh
pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan
mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan
menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan
keyakinan-keyakinan mereka.
ILMU LADUNI
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
“wa ‘allamnaahu min Ladunnaa ‘ilmaan”
“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].
“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].
Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut
mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf
(penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan
Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[1]. Mereka berdalil dengan
firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah,
maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”. [Al-Baqarah : 282].
Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh
Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah yang mahir ilmu
kalam. Ia berasal dari Kufah. [2]
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir
ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :
1. Menjauhkan diri dari menuntut ilmu
syar’i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, “Yang paling aku sukai
pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan
menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba
ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi,
tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya”.[3]
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman
Ad-Darani, “Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari
penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia”[.4]
2. Menghancurkan sanad-sanad hadits dan
menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu) dengan
cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, “Kalian mengambil
ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan
tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami :
“Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”. Sedang kalian (maksudnya,
kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : “Telah mengabarkan kepada kami Fulan”.
Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan dijawab :
“Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah
meninggal”. “(Kemudian) dari Fulan (lagi)”. Padahal, bila ditanyakan dimana dia
(Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”.[5] Dikatakan pula oleh
Ibnu Arabi, “Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang
terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya
jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara
langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para
wali”[6]. Dikatakan oleh Asy-Sya’rani, “Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun
cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu
kasyaf”.[7].
3. Menganggap menimba ilmu (hadits)
sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan.
Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid
membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut
:”Sembunyikan auratmu”.[8] Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian
pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang
siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.
Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan
sebagaimana diungkap diatas :
Pertama.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan
masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa
yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi.
Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya para nabi tersebut
dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa
sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah bersabda
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Adalah para nabi diutus untuk
kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. [Hadits Shahih
Riwayat Bukhari dan Muslim].
“Artinya : Tidak seorang pun dari umat
ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman
kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim
I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya
Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tidaklah engkau Kami utus
kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi
peringatan”. [Saba’ : 28]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, wahai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”. [Al-A’raf : 157]
Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin
maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka
barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan
petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke minhaj lainnya,
walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah
bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Seandainya Musa turun, lalu
kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian.
Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada”.
[Riwayat Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa’al-Ghalil
karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa
nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan
kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang
Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur’an
secara nyata :
“Artinya : Dan tidaklah kami jadikan
seorang manusiapun sebelummu abadi”. [Al-Anbiya’ : 34]
“Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang
bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya,
sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”. [Hadits Riwayat Ahmad dan
Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih
hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama
hadits.[9]
Kedua.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah
dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini
dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan diwajibkan atas
setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu
(diperoleh) dengan cara belajar”. [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa
al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda’. Lihat Silsilah
Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah
untuk membatasi.
Ketiga.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk
tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu
Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang
paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan
sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah
menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan tidaklah kasyaf yang mereka
dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
“Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada
kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta
dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan),
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. [Asy-Syu’ara : 221-223]
“Artinya : Tidaklah kamu melihat
bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk
menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah
kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami
hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang
teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada
Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan kami akan
menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”.
[Maryam : 83-86]
Adapun pengakuan mereka, seperti
pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar.
Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak
tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia.
Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat
seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini : “Telah
mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku” tidak lain adalah perkataan khurafat.
Keempat.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, ‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, ‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.
Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah
Sebagai Berikut:
1. Para Rasul tidak memerintahkan
kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam.
Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu
telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam
membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga
mengibadahinya (hal. 188).
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan
bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi)
telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat
baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan
tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal
Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Artinya : Barangsiapa yang melihatku
(dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak
bisa menyerupaiku”. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah,
mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari
dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami’ dan ziyadahnya V/293]
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita
berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal
Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung
kebenaran sama sekali.
SYARI’AT DAN HAKIKAT
Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari’at dan hakikat. Syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari’at dan hakikat. Syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Cara agar mampu untuk mencapainya adalah
dengan memiliki ilmu laduni, kasyaf Rabbani serta Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya,
hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah :
“Artinya : Aku menghafalkan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kantung ilmu. Adapun salah satunya
telah aku sebarkan. Sedangkan lainnya, bila ku sebarkan akan dipotong
tenggorokan ini”. [Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab Fitan]
Padahal ini sebagai isyarat dari beliau
rahimahullah tentang akan tidak adanya kaitan antara ilmu batin dan ilmu
zhahir. Kalau tidak begitu, pasti beliau akan mencantumkannya dalam Al-‘Ilm.
Sesungguhnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan masalah tersebut secara
rinci dalam kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.
Oleh karena itu, barangsiapa menyatakan
Islam terdiri dari lahir dan batin, berarti dia telah menyangka Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati tugas kerasulannya. Tapi,
inilah kenyataannya. Mereka berkeyakinan, Rasulullah hanya menyampaikan yang
zhahir saja. Sedang, yang batin beliau beritahukan kepada orang-orang
tertentu.[12]
Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas dari yang mereka kaitkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah, malaikat Jibril serta orang-orang
shalih dari kalangan yang beriman menyaksikan yang demikian itu. Berfirman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini Aku sempurnakan
untuk mu agamamu, dan Aku lengkapkan untukmu semua ni’mat-Ku serta Aku ridhai
bagimu Islam sebagai agama”. [Al-Maidah : 3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah meminta persaksian dihadapan segenap manusia muslim yang berkumpul di
bawah Jabal Ar-Rahmah pada hari haji akbar. Kata beliau, “Sesungguhnya, kalian
akan ditanya tentang aku. Maka, apakah yang akan kalian katakan ?” Jawab mereka
: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah
menunaikannya. Engkau telah menasehati umatmu dan menunaikan kewajibanmu”.
Lantas beliau bersabda seraya
mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya kehadapan
manusia : “Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”. [Potongan dari hadits
Jabir bin Abdullah tentang hajinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di-tahqiq ulang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal.
37-41].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
telah menyatakan secara terang-terangan, dan hal ini sebagai hujjah nyata guna
menampar setiap pendusta dan yang suka berbuat dosa. Kata beliau :
“Artinya : Sesungguhnya seorang nabi
tidak mengenal main isyarat (dengan mata)”. [Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad,
Abu Dawud, dari Anas. lihat Shahih Al-Jami’ II/303]
Maksudnya memberi isyarat dengan isyarat
rahasia. Hal ini agar tidak ada seorangpun yang berburuk sangka yang
menyebabkan tumbuhnya keyakinan, bahwa dalam agama Allah ada rahasia yang tidak
banyak diketahui manusia.
Yang semakna dengan hadits ini adalah
sabdanya :
“Artinya : Sesungguhnya tidak selayaknya
bagi seorang nabi mempunyai mata yang khianat”. [Hadits Shahih Riwayat Abu
Dawud, Nasa’i dan Hakim dari Sa’id. Lihat Shahih Al-Jami’ II/307]
AL-HULUL WA AL-ITTIHAD
Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Orang-orang yang berpikiran demikian,
misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu Sab’in dan lainnya dari kalangan sufi.
Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka : Al-Hallaj berkata : [13]
Maha Suci yang menampakkan sifat
kemanusiannya,
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan. [14]
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan. [14]
Dan Ibnu Al-Faradh berkata : [15]
Tidaklah aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka’atku.
Tidaklah aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka’atku.
Dan cukuplah bagi orang-orang sufi
merasakan kesedihan tatkala Ibnu Al-Faradh berpayah-payah dibalik fatamorgana.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, tatkala menceritakan keadaan Ibnu Al-Faradh
: “Orang yang mengucapkan sya’ir tersebut ketika meninggalnya mengucapkan syair
sebagai berikut :
Jika kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,
tidak seperti yang pernah aku jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.
tidak seperti yang pernah aku jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.
At-Tusturi berkata : [16]
Akulah yang dicintai dan yang mencintai,
tidak ada selainnya.
Akulah yang dicintai dan yang mencintai,
tidak ada selainnya.
Para syaikh tasawuf tersebut mencari-cari
dalih dengan hadits yang berbicara masalah wali. Padahal, segala dalih dan
alasan itu tak mendukung mereka. Misalnya sebuah hadits :
“Artinya : Tidak henti-hentinya seorang
hamba mendekatkan diri kepadaku dengan perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga
Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi
pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia
gunakan untuk melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia
langkahkan. Maka, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh aku akan beri. Dan jika ia
minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya”. [Hadits Riwayat
Bukhari, akan tetapi kami ringkas sesuai dengan makna pembahasan].
Hadits ini menunjukan dengan sangat
adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam hal ini ada ‘Abid (yang beribadah) dan
Ma’bud (yang diibadahi). Sa-il (yang meminta) dan Mas-ul (yang diminta), ‘A-idz
(yang minta perlindungan) dan Mu’idz (yang melindungi). Sedang, orang-orang
sufi tersebut mengaku bahwa Allah berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia
menjadi dia dan keduanya menjadi dua dzat yang menyatu.
Betapa anehnya ! Bagaimana akal
orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan cara membenarkan kebohongan ini ?
Dan bagaimana pula hingga lisan mereka mengulang-ngulangnya ? Sungguh,
Kursi-Nya seluas langit dan bumi, maka bagaimana mungkin jasad manusia dapat
menampung-Nya ?.
Adapun hadits berikut :
“Artinya : Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang beriman lapang bagi-Ku”
“Artinya : Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang beriman lapang bagi-Ku”
Maka hadits ini adalah hadits palsu
menurut kesepakatan para ulama ilmu hadits.
WIHDAH AL-WUJUD
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.
Ibnu Arabi berkata : “Tidak ada yang
tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah Allah mengetahui kecuali Allah”.
Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah
orang-orang yang mengatakan :”Akulah Allah, Maha Suci Aku”. Seperti, Abu Yazid
Al-Bustahmi.[17]
Katanya : “Rabb itu haq dan hamba itu
haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang menjadi hamba ? Jika
aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku katakan Rabb,
sesungguhnya aku hamba”.
Dikatakan pula : [18] “Suatu saat hamba
menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu saat seorang hamba menjadi hamba tanpa
kedustaan”.
Keberanian mereka kepada Allah sampai
puncaknya ketika tukang sya’ir mereka, Muhammad Baha’uddin Al-Baithar
mengatakan : [19] “Tidaklah anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita, dan
tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja”.
Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah,
Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, berkata :”Perkataan yang demikian itu mengantarkan
manusia pada teori hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya
orang-orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya
Alllah hanya dengan Al-Masih, sedangkan mereka memberlakukan secara umum
terhadap seluruh mahluk. termasuk keyakinan mereka pula, bahwa Fir’aun dan
kaumnya memiliki kesempurnaan iman, sangat mengenal Allah secara hakiki.
Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para
penyembah berhala berada diatas kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah
kepada Allah, tidak kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada perbedaan dalam
penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan
mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah.
Semuanya itu berasal dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa
para nabi mempersempit manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka
katakan”. [20]
Keyakinan semacam ini merupakan puncak
tertinggi dari kekafiran, yang dengannya hancurlah seluruh agama, membatalkan
seluruh syari’at, dihalalkan seluruh perkara yang diharamkan, dan disamakannya
orang yang beriman dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa,
muslim dengan mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam : 35-37].
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam : 35-37].
Benar, mereka mempunyai kitab selain
Al-Qur’an. yaitu, Al-Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyah. Dan telah
berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan
orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang membuat
kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak menjadikan orang-orang yang
bertaqwa seperti orang-orang kafir”. [Shad : 28].
Dan apa yang kami paparkan di sini
bukanlah hasil istimbath kami dan bukan pula ijtihad. Akan tetapi, semua itu
adalah perkataan mereka yang diucapkan dengan lisannya. Yang syaikh paling
senior diantara mereka selalu mengulang kekafirannya dan menyatakan kefasikannya.
Bila pembaca menghendaki hakikat yang
kami paparkan dan dalil yang kami kukuhkan, maka lihatlah kitab Al-Fathu
Ar-Rabbani dan Al-Faidh Ar-Rahmani, karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal.
84,85,86,87.
Semoga Allah memaafkan kita.
CAHAYA (NUR) MUHAMMADI
Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang mengatur apa yang ada.
Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang mengatur apa yang ada.
Mereka menduduki kedudukan Allah dalam
mencipta dan mengatur. Yang demikianpun termasuk keyakinan Syi’ah terhadap para
imamnya. Seperti dikatakan Khumeini dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah hal.52
: “Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat yang tinggi,
dan kekuasaan untuk mencipta serta tunduk di bawah kekuasaannya seluruh unsur
dari semesta ini. Dan termasuk madzhab kami yang sangat penting pula, bahwa
para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak dapat diraih oleh para malaikat
terdekatpun, dan tidak pula oleh nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan
riwayat-riwayat yang ada pada kita, dengan hadits-haditsnya, bahwa Rasul
teragung Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam, mereka semua, sebelum
adanya alam semesta ini berupa cahaya yang dijadikan Allah mengelilingi
Ars-Nya. [21]
Sesungguhnya orang-orang sufi, dimana
beribu-ribu kaum muslimin dari segala penjuru dirangkul mereka, lalai ketika
mengangkat orang-orang tersebut (para imamnya) ke derajat ketuhanan atau yang
mendekati hal itu. Yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkedudukan diantara mereka dalam mengatur semesta, baik masalah penciptaan
dan pengaturan, mendatangkan manfaat dan memberikan madharat, qadha dan qadar
…. Maka, mulailah mereka mengada-ngadakan perkataan terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teori Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah yang
mengeluarkan Rasulullah dari alam manusia dan menjadikannya cahaya (nur). Dari
cahaya Muhammad itulah seluruh mahluk diciptakan.
“Artinya : … Sungguh besar perkataan yang
keluar dari mulut mereka. Tiadalah yang mereka katakan itu kecuali dusta”.
[Al-Kahfi : 5]
Berikut ini sebagian dari perkataan
mereka :
1. Muhammad Adalah Asal Semesta.
“Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta”.[22]
“Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta”.[22]
2. Muhammad Di Atas ‘Arsy.
“Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa’ di atas ‘Arsy Ar-Rahmani, yaitu ‘Arsy ilahi. [23]
“Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa’ di atas ‘Arsy Ar-Rahmani, yaitu ‘Arsy ilahi. [23]
3. Cahaya Muhammad (Nur Muhammadi) Adalah
Cahaya Allah.
4. Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.
5. Semesta Diciptakan Karena Muhammad.
4. Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.
5. Semesta Diciptakan Karena Muhammad.
Ibnu Nabatah Al-Mishri berkata :
Kalau bukan karenanya,
tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
Tidak pula waktu, tidak pula mahluk,
tidak pula gunung.
Kalau bukan karenanya,
tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
Tidak pula waktu, tidak pula mahluk,
tidak pula gunung.
6. Muhammad Mengetahui Yang Ghaib.
Berikut ini dalil-dalil mereka yang
mereka sembunyikan di balik punggung-punggunya :
Hadits pertama.
“Artinya : Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai Jabir” [Hadits Palsu]
“Artinya : Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai Jabir” [Hadits Palsu]
Hadits kedua.
“Artinya : Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan tanah”. [Hadits Palsu. Lihat Syarah Jami’ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib hal. 195]
“Artinya : Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan tanah”. [Hadits Palsu. Lihat Syarah Jami’ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib hal. 195]
Ini adalah perkataan yang sangat lemah
dan matan-nya mungkar. Bukankah air adalah bagian dari tanah ? Adapun hadits
shahih berlafadz : “Artinya : Aku sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam adalah
keadaan antara ruh dan jasad”, tetapi ini pada ilmu Allah yang azali.
Hadits ketiga.
“Artinya : Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak diciptakan”. [Shan’ani berkata bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu’ah hl. 116]
“Artinya : Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak diciptakan”. [Shan’ani berkata bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu’ah hl. 116]
Padahal sesungguhnya Allah telah menutup
berbagai jalan menuju perbuatan yang melebih-lebihkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku
ini adalah manusia seperti kamu semua. Hanyasanya diwahyukan kepadaku (wahyu).
Sesungguhnya sesembahanmu adalah sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa yang
mengharapkan bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan yang
shalih dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya”. [Al-kahfi : 110]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, Maha Suci Rabbku.
Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul ?”. [Al-Isra : 93]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, tidaklah aku
mengatakan kepada kalian semua bahwa aku mempunyai perbendahaaran Allah, tidak
pula aku mengetahui yang ghaib, tidak juga aku katakan bahwasanya aku ini
malaikat. Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah, apakah sama orang yang melihat dengan orang yang buta ? Apakah
kalian semua tidak berpikir ?”. [Al-An’am : 50]
Telah bersabda pula beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kalian semua
melebih-lebihkan aku seperti orang-orang Nashrani melebih-lebihkan Isa anak
Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan
utusan-Nya”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan telah bersabda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya aku ini adalah
manusia yang dapat marah pula”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan riwayat lainnya yang sangat banyak.
Inilah sifat-sifat kemanusiaan yang di sandang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sejak lahirnya hingga bertemu dengan Rabbnya. Beliaulah yang mengajak
manusia untuk mencontohnya dan menempuh jejak-jejaknya.
Kalau bukan dari alam kita, tidaklah kita
diperintahkan untuk mengikuti beliau dan menjalani sunah-sunahnya. Siapakah
yang lebih benar perkataannya dari Allah, sedangkan Dia telah menyetujui
hakikat ini melalui lafadz-lafadz Qur’ani yang pasti dan terinci :
“Artinya : Mereka berkata, kenapa tidak
diturunkan kepada kita malaikat ? kalau diturunkan kepada mereka malaikat, maka
pasti telah diselesaikan perkaranya (dengan dibinasakan mereka semua) kemudian
mereka tidak diberi tangguh. Dan kalau seandainya Kami turunkan malaikat, pasti
akan Kami jadikan dia seorang manusia, Kami-pun akan jadikan mereka tetap ragu
sebagaimana mereka kini ragu”. [Al-An’am : 8-9]
Dan ketahuilah, semoga Allah menambahkan
ilmu kepadamu, semesta ini adalah mahluk yang diciptakan dengan tujuan
tertentu. Yaitu beribadah kepada Allah. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya.
“Artinya : Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. [Adz-Dzariyat : 56]
PENDIDIKAN SUFI
Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya sifat bebas dari dosa (‘ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain, karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki. [24]
Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya sifat bebas dari dosa (‘ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain, karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki. [24]
Ibnu Arabi berkata : “Sesungguhnya
termasuk syarat imam batin, hendaklah ia ma’shum (bebas dari dosa)” [25]
Katanya lebih lanjut : “Dan engkau, wahai para murid yang tertipu dan tersesat,
bantulah apa yang diinginkan terhadap engkau. Dan bersangka baiklah, jangan
membantah. Bahkan yakinilah. Dan manusia dalam masalah ini mempunyai perkataan
yang banyak. Tapi terserah dirilah, niscaya engkau akan selamat. Dan Allah
lebih mengetahui perkataan para walinya. [26]
Kami tidak mengetahui kenapa banyak ulama
kaum muslimin berdiam diri terhadap kekufuran dan keingkaran yang bersembunyi
dalam pakaian Islam yang bertujuan menipu, menyesatkan serta mengajak kaum
muslimin untuk meyakininya serta menegakan agama mereka di atas asasnya ? Sesungguhnya
termasuk suatu kebaikan jihad di sisi Allah untuk menghapuskan fitnah ini dari
kalangan muslimin, karena sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Kenapa kaum muslimin tidak
terang-terangan memerangi mereka secara keseluruhan demi tumbangnya
kepalsuan-kepalsuan yang telah memburamkan keindahan Islam ?.
Bahkan kenyataannya banyak kaum muslimin
yang tersembelih kesesatan dan kekufuran ini. Dan tidaklah menyelamatkan mereka
dari keadaan yang demikian ini kecuali usaha para ulama Islam untuk menyingkap
kebatilan-kebatilan tadi dengan berbagai bahasa dan dengan berbagai kedudukan.
Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah orang-orang yang memperbaharui agama-Mu ini,
karena sesungguhnya kaum sufi telah kembali bangkit dengan wajah baru pula.
[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha’u
Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
17//Tahun IX/1416H/1996M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote.
[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.
[12]. Ihya’Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19
[13]. Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
[14]. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.
[15]. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
[16]. Ma’arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin ‘Ajibah, hal.139.
[17]. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
[18]. Fushush Al-Hikam, hal.90
[19]. Shufiyat, hal.27
[20]. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79
[21]. Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
[22]. Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
[23]. Futuhat Al-Makkiyah, I/152
[24]. Ihya’ Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
[25]. Futuhat Al-Makkiyah, III/183
[26]. Muqaddimah AL-Futuhat, I/5
_______
Footnote.
[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.
[12]. Ihya’Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19
[13]. Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
[14]. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.
[15]. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
[16]. Ma’arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin ‘Ajibah, hal.139.
[17]. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
[18]. Fushush Al-Hikam, hal.90
[19]. Shufiyat, hal.27
[20]. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79
[21]. Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
[22]. Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
[23]. Futuhat Al-Makkiyah, I/152
[24]. Ihya’ Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
[25]. Futuhat Al-Makkiyah, III/183
[26]. Muqaddimah AL-Futuhat, I/5
Tarekat Yang Sesat Lagi Kufur
Oleh : DR. MOHD. ASRI ZAINUL
ABIDIN (pensyarah Bahagian Pengajian Islam Universiti Sains Malaysia
(USM))
Tiada jalan untuk mendapatkan petunjuk
Allah melainkan menerusi Islam. Tiada jalan memahami Islam melainkan memahami
al-Quran dan as-Sunnah dengan kaedah-kaedahnya yang sahih. Malangnya masih ada
di kalangan yang mendakwa diri mereka muslim lebih suka kepada
tafsiran-tafsiran Islam yang tidak berteraskan kefahaman yang betul terhadap
al-Quran dan as-Sunnah. Di kalangan mereka ada pula yang begitu berminat jika
memiliki aliran atau tafsiran agama yang tersendiri dan menyimpang dari
petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Antaranya dengan menyertai atau menganut
ajaran sebahagian tarekat atau aliran kerohanian yang membuat beberapa tafsiran
agama yang sangat bahaya pada penilaian aqidah Islamiyyah.
Golongan seperti ini menganggap diri,
guru dan aliran yang mereka ikuti adalah istimewa dan mulia. Mereka bangga
dengan tafsiran-tafsiran pelik yang menyimpang jauh dari jalan petunjuk yang
sebenar. Mereka mendakwa mereka telah menemui ilmu kerohanian dan makrifat.
Justeru itu, mereka tidak lagi bergantung kepada hukum zahir atau kepada
syariat yang dipegang golongan zahir atau awam. Mereka mendakwa kononnya mereka
adalah golongan batin atau hakikat yang mempunyai ilmu ladunni(ilmu secara
langsung dari Allah), kasyaf (singkapan hijab) yang tidak lagi memerlukan lagi
nas-nas al-Quran dan as-Sunnah.
Sebenarnya, tarekat atau aliran kesufian
yang seperti ini sangat merbahaya kerana menatijahkan kerosakan aqidah dan
tulisan ini akan cuba membahaskannya dengan ringkas.
Kepentingan Aqidah
Telebih dahulu hendaklah seseorang sedar
bahawa persoalan `aqidah adalah teras kepada ad-din. Tanpa aqidah yang sahih
iaitu yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah maka seluruh amalan adalah
sia-sia belaka, sekalipun nampak pada zahirnya hebat.
Firman Allah:
Maksudnya
“Sesiapa yang beramal dengan amalan yang
solih samada lelaki atau perempuan dalam keadaan dia mukmin, mereka itu
memasuki syurga dan mereka tidak dizalimi walaupun sedikit”
(Surah an-Nisa’ :124)
Dalam ayat di atas Allah dengan jelas
mensyaratkan seseorang yang ingin melakukan amal solih itu hendaklah mukmin
iaitu beriman kepada Allah dalam ertikata iman yang sebenar dan pastinya tidak
melakukan perkara-perkara yang merosakkannya. Dengan itu sesiapa yang akidahnya
rosak maka amalannya sama sekali tidak diterima walaupun kelihatan banyak dan
hebat. Ini kerana setiap amalan dalam Islam dibina di atas asas aqidah.
Iktikad Yang Merosakkan
Iktikad yang ada pada sebahagian golongan
tarekat yang menganggap bahawa sesiapa yang sudah sampai kepada peringkat
tertentu dalam amalan atau tarekat yang mereka ikuti maka dia tidak lagi
bergantung kepada syariat seperti tidak perlu lagi solat, puasa, jihad dan
sebagainya. Mereka beranggapan kononnya yang perlu beramal ialah golongan awam
sedangkan mereka adalah golongan khusus atau ahli hakikat atau makrifat.
Sebenarnya hendaklah diketahui bahawa
fahaman ini termasuk dalam aliran kufur dan sesat yang telah lama dibahaskan
dan ditentang oleh para ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama`ah. Mereka perlu jelas
bahawa kesimpulan perbahasan berkenaan menyatakan kepercayaan atau pegangan
tersebut boleh mengeluarkan mereka dari Iman dan Islam. Dalam kata lain ianya
boleh membatalkan syahadah mereka dan menjadikan mereka kafir. Para ulama
aqidah memasukkan kepercayaan seperti itu dalam senarai perkara kufur. Disebut
dalam ‘Taisir dhi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Nawaqid al-Iman’ seperti berikut:
“Sesiapa yang beriktikad bahawa sebahagian manusia dibolehkan keluar dari
syariat Muhammad s.a.w maka dia adalah kafir. Ini berdasarkan firman Allah:
(Maksudnya) “Sesiapa yang mencari selain
Islam sebagai din (agama) maka sama sekali tidak diterima daripadanya dan dia
di akhirat kelak termasuk daripada kalangan golongan yang rugi” (Surah Ali
`Imran : 85)” (m.s. 97, Cetakan Dar Isybilia, Saudi)
Al-Imam Ibn Kathir dalam Tafsir al-Quran
al-`Azim, menafsir ayat dalam Surah Ali `Imran di atas menyatakan: “Sesiapa
yang melalui suatu cara yang lain dari apa yang disyariatkan Allah maka sama
sekali ianya tidak diterima” ( jld. 2, m.s. 378, Cetakan Dar al-Ma’rifah,
Beirut).
Guru-guru ajaran sesat yang seperti ini
biasanya akan mengemukakan kepada para pengikutnya yang jahil dalam memahami
al-Quran dan as-Sunnah berbagai-bagi tafsiran palsu, bohong lagi menyesatkan.
Para pengikut yang tidak begitu jelas kefahaman terhadap Islam akan menerima
dan menganggap mereka memiliki hujah dan dalil yang kuat terhadap apa yang
mereka percayai. Antara apa yang dihuraikan oleh golongan ini untuk
menghalalkan tindakan mereka yang enggan mengikut syariat dan menganggap mereka
telah sampai kepada suatu makam yang istimewa ialah:
Penyelewengan Huraian Maksud al-Yaqin
Mereka berhujjah dengan firman Allah
dalam Surah al-Hijr ayat 99:
Maksudnya:
“Beribadatlah kepada tuhanmu sehingga
datangnya kepadamu al-yaqin”.
Dengan membuat tafsiran salah mereka
menyatakan bahawa ayat ini bermaksud “beribadatlah kepada tuhanmu sehingga
engkau memperolehi ilmu dan makrifat, setelah engkau telah memperolehinya maka
gugurlah kewajipan `ibadat”. Di sana ada lagi beberapa tafsiran lain yang
mereka cipta bagi membolehkan mereka menganggap perkataan al-yaqin dalam ayat
di atas adalah bermaksud makam sufi. Apabila mereka menganggap diri mereka
telah memperolehinya maka tanggungjawab ibadat atau mengikut syariat sudah
tidak diperlukan lagi kerana ayat tersebut menyatakan sehingga datangnya yakin
maka apabila yakin yang ditafsirkan oleh mereka telah diperolehi maka syariat
pun gugur.
Tafsiran Sebenar
Sebenarnya perkataan al-yaqin di dalam
ayat di atas telah ditafsirkan oleh semua mufassirin yang muktabar sebagai
al-maut iaitu kematian. Dengan ini ayat tersebut bermaksud: “Beribadatlah
kepada tuhanmu sehingga datangnya kepadamu kematian”
Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi di dalam
kitabnya yang masyhur iaitu Ahkam al-Quran menjelaskan maksud ayat ini:
“Perkataan al-yaqin bermaksud al-maut (kematian), Allah memerintahnya agar
terus menerus dalam ibadat selama-lamanya, iaitu sepanjang hayat.” Seterusnya
Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi mengemukakan alasan mengapakah perkataan
al-yaqin di dalam ayat di atas ditafsirkan sebagai al-maut. Iaitu berdasarkan
kepada hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, apabila Rasulullah
menziarah jenazah Uthman bin Madh`un, baginda bersabda:
“Adapun dia telah datang kepadanya
al-yaqin. Demi Allah aku mengharapkan untuk kebaikan…” ( jld. 3, m.s. 116,
Cetakan Dar al-Fikr, Beirut).
Daripada hadith riwayat al-Imam
al-Bukhari (hadith ke-1243) yang dikemukan oleh al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi
dengan jelas menunjukkan Rasulullah s.a.w. mengucapkan kepada jenazah Uthman
bin Madh`un yang telah meninggal, baginda menggunakan perkataan al-yaqin dengan
dimaksudkan al-maut iaitu kematian. Dengan jelas sunnah atau hadith sendiri
telah menafsirkan maksud ayat tersebut. Maka ini yang kukuh kerana tafsiran
yang paling kuat terhadap sesuatu ayat al-Quran ialah samada di tafsirkan
dengan ayat al-Quran yang lain atau dengan as-Sunnah. Setelah datangnya
tafsiran yang ma’thur (daripada Rasullullah) maka tidak boleh wujud lagi
sebarang tafsiran aqli yang menyanggah tafsiran Nabi s.a.w.
Daripada ucapan Nabi s.a.w. yang jelas
itu maka ayat tersebut bermaksud setiap mukmin diwajibkan terus beribadat
sehingga tibanya kematian. Justeru itu ternyata, ayat tersebut bukanlah hujah
yang menyokong kesesatan golongan berkenaan sebalik ianya adalah dalil yang
menentang pendapat mereka yang menyeleweng yang hanya menghadkan ibadat
sehingga ke tahap tertentu sahaja.
Al-Imam Ibn Kathir dalam menafsir ayat
daripada surah al-Hijr tersebut, menyebut alasan tambahan yang membuktikan
kesesatan tafsiran golongan tarekat atau sufi tersebut, katanya: “Sesungguhnya
ibadat seperti solat dan seumpamanya adalah wajib bagi bagi setiap insan selagi
akalnya masih berfungsi, maka hendaklah dia mengerjakan solat mengikut
keadaannya. Ini seperti yang sabit di dalam Sahih al-Bukhari daripada `Imran
bin Husoin r.a. sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Solatlah dalam
keadaan berdiri, jika tidak mampu maka dalam keadaan duduk dan jika tidak mampu
maka di atas lambung”. Berdalilkan ini menunjukkan kesalahan pendapat golongan
mulhid yang berpendapat maksud al-yaqin ialah makrifat dan apabila telah
seseorang di kalangan mereka telah memperoleh makrifat maka gugur daripadanya
tuntutan agama. Ini adalah iktikad yang kufur, sesat dan jahil. Sesungguhnya
para anbiya a.s. dan sahabah mereka adalah golongan yang paling mengetahui
tentang Allah, paling mengenali tuntutan-tuntutanNya, sifat-sifatNya dan apa
yang paling layak untuk mengagungkanNya, namun begitu mereka adalah golongan
yang paling kuat dan banyak ibadat serta terus menerus melakukan amalan
kebaikan sehingga menemui kematian. Dengan itu maksud al-yaqin di sini adalah
al-Maut (kematian) (jld. 2, m.s. 581)
Cuba lihat dalam petikan di atas al-Imam
Ibn Kathir dengan jelas menghukum golongan ini sebagai mulhid (tidak percayakan
agama), kafir, sesat dan jahil. Ini menunjukkan betapa bahayanya kepercayaan
seperti ini terhadap aqidah dan wajibnya golongan ini ditentang.
Menyelewengkan Tafsiran Kisah Musa dan
Khidir
Selain itu golongan ini juga beralasan
dengan peristiwa Nabi Musa a.s. dan Khidir a.s. yang disebut di dalam al-Quran,
di dalam Surah al-Kahf. Jika kita merujuk kepada Surah al-Kahf (ayat 60-82)
Allah menceritakan pengembaraan Nabi Musa mencari Khidir a.s. bagi menuntut
ilmu daripadanya. Semasa perjalanan Nabi Musa a.s. menemani Khidir a.s.,
baginda telah melihat beberapa tindakan Khidir a.s. yang menyanggahi syariat
yang diturunkan kepadanya (Musa) lalu baginda membantahnya. Setelah tiga kali
pertanyaan serta bantahan dibuat oleh Musa a.s. terhadap tiga tindakan yang
dilakukan oleh Khidir, akhirnya Khidir pun tidak lagi membenarkan Musa a.s.
mengikuti dan menceritakan rahsia segala tindakan-tindakannya yang dianggap
oleh Nabi Musa a.s. sebagai kesalahan.
Dengan mempergunakan kisah dalam Surah
al-Kahf berkenaan maka golongan sufi atau tarekat yang sesat beralasan bahawa
para wali dibolehkan tidak mengikut syariat para nabi dan boleh melakukan
segala tindakan yang dianggap salah oleh golongan zahir tetapi haikatnya betul
di sisi ilmu hakikat atau ilmu ladunni. Ini kononnya sama seperti tindakan
Khidir yang tidak mengikut Nabi Musa a.s. kerana Khidir adalah wali Allah dia
menilai dengan ilmu ladunni yang terus menerus daripada Allah sedangkan Musa
a.s adalah seorang nabi yang menilai dengan ilmu syariat semata. Justeru itu
golongan hakikat tidak sama dengan golongan syariat dan golongan hakikat tidak
perlu mengikut syariat seperti Khidir tidak perlu mengikut Musa.
Inilah dakwaan mereka yang sangat jahil
bagi menilai apa yang terkandung di dalam lafaz-lafaz atau bentuk-bentuk ayat
(siyaq al-Ayat) yang membawa maksud bagi sesuatu tafsiran yang benar. Golongan
sufi yang menyeleweng dan tarekat yang sesat mempergunakan ayat 65 dari Surah
al-Kahf yang menyebut:
(Maksudnya)
“Lalu mereka berdua (Musa dan Yusya’ bin
Nun) telah bertemu seorang hamba (Khidir) dari kalangan hamba-hamba Kami
(Allah) yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami
berikan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Oleh kerana ayat itu menyebut min ladunna
ilma (ilmu dari sisi Kami) maka muncul istilah ilmu ladunni. Dengan istilah ini
ada golongan sufi dan tarekat yang sesat mengambil kesempatan untuk mengatakan
mereka juga mempunyai ilmu ladunni seperti Khidir oleh itu mereka tidak terikat
atau bergantung dengan syariat zahir.
Sebab itu seorang tokoh mufassir semasa
iaitu Solah `Abd al-Fatah al-Khalidi dalam mengulas ayat ini dalam buku Ma`a
Qasas as-Sabiqin Fi al-Quran beliau menyebut: “Para penafsir golongan sufi
telah berbicara dengan perkataan-perkataan yang pelik mengenai ilmu ladunni dan
memisahkan antara hakikat dan syariat, yang zahir dan batin. Mereka telah
mencampur aduk dan merosakkan dalam menafsirkan ayat-ayat ini dan juga
selainnya.” (jld. 2 m.s. 186. Cetakan Dar al-Qalam, Syiria) .
Beliau juga menukilkan beberapa ulasan
para ulama mengenai ayat ini, antaranya ulasan al-Imam as-Syinqiti di dalam
tafsirnya, Adwa al-Bayan iaitu: “Sesungguhnya rahmat dan ilmu ladunni yang
kedua-duanya Allah kurniakan kepada kepada Khidir bermaksud kenabian dan wahyu.
Ini kerana Khidir berkata kepada Musa:
(Maksudnya)“Aku tidak melakukannya dengan
kehendakku”. (Surah al-Kahf: 82)
Perintah Allah tidak diketahui kecuali
dengan jalan wahyu. Tiada jalan kepadanya melainkan wahyu. Allah telah
menentukannya (pengetahuan mengenai perintahNya) hanya dengan jalan wahyu
dengan firmannya dalam Surah al-Anbiya ayat 45:
(Maksudnya)”Katakanlah (Wahai Muhammad !)
Aku hanya memberikan peringatan dengan wahyu”. (ibid. m.s. 190)
Setelah menghimpunkan ulasan dan tafsiran
para ulama mengenai ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh al-Quran, Solah
al-Khalidi membuat kesimpulan seperti berikut, katanya: “Selepas melihat
perkataan-perkataan daripada para ulama kita maka kita dapat membuat suatu
keputusan yang putus iaitu: Ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh ayat tersebut,
yang telah Allah ajarkannya kepada Khidir a.s. sebenar ialah nubuwwah
(kenabian) dan wahyu. Adapun pengakuan dan dakwaan golongan sufi mengenai ilmu
ladunni menurut kefahaman mereka itu, adalah batil, sesat, menyanggahi syariat
Islam dan petunjuk al-Quran. (m.s. 92)
Ini bererti seluruh tindakan Khidir
adalah wahyu daripada Allah. Khidir adalah nabi. Nabi Musa diutuskan kepada
Bani Israil tidak diutuskan kepada Khidir. Khidir juga sebenarnya adalah Nabi
yang menerima arahan langsung daripada Allah melalui jalan wahyu. Beliau tidak
bergantung kepada syariat yang dikhususkan kepada Bani Israil. Justeru itu,
segala tindakan Khidir adalah perintah Allah yang pasti melalui jalan wahyu dan
tidak bergantung kepada ajaran Nabi Musa a.s. yang diutuskan untuk Bani Israil.
Adapun Nabi Muhammad adalah utusan untuk sekelian manusia tanpa kecuali dan
tidak ada yang terlepas dari berada di bawah lembayung ajarannya.
Al-Imam al-Allamah Ibn Abi al-`Izz dalam
kitab aqidah yang iaitu Syarh al-`Aqidah at-Tahawiyyah dengan jelas menyebut
persoalan ini dengan katanya: “Adapun sesiapa yang berpegang dengan kisah Musa bersama
Khidir a.s. bagi membolehkannya meninggalkan wahyu kerana bergantung dengan
ilmu ladunni, seperti yang didakwa oleh yang tidak mendapat taufik, maka dia
adalah mulhid (atheis) dan zindik (munafiq). Ini kerana Musa a.s. bukanlah
Rasul yang diutuskan kepada Khidir. Khidir juga tidak diperintah untuk
mengikutnya. Sebab itulah Khidir bertanya Musa:
“Apakah engkau Musa dari Bani Israil?”
Jawab Musa: “Ya!”
(Riwayat al-Bukhari).
Adapun Muhammad adalah diutuskan untuk
seluruh manusia dan jin. Sekiranya Musa dan `Isa masih hidup maka mereka mesti
menjadi pengikutnya. Apabila `Isa turun ke bumi (pada akhir zaman) dia hanya
akan berhukum dengan syariat Muhammad. Oleh itu sesiapa yang mendakwa bahawa
kedudukan dia bersama Muhammad seperti Khidir bersama Musa atau membolehkan
(mempercayai) ianya berlaku untuk sesiapa di kalangan umat maka hendaklah dia
memperbaharui keislamannya, hendak dia kembali bersyahadah dengan syahadah yang
benar kerana dia telah terkeluar dari Islam keseluruhannya. Sama sekali dia bukan
dari kalangan wali-wali ar-Rahman sebaliknya dia adalah wali-wali syaitan”.
(m.s. 511, cetakan al-Maktab al-Islami, Beirut).
Lihatlah betapa jelasnya pendirian para
ulama akidah terhadap golongan sufi dan tarekat yang seperti ini. Nyata sekali,
sesiapa yang mendakwa perkara seperti ini terhadap dirinya atau orang lain
seperti guru tarekat atau syeikhnya maka dia sama sekali adalah terkeluar
daripada Islam. Di samping itu, sesiapa yang mendakwa dirinya seperti Khidir
bererti dia mendakwa dirinya diberikan wahyu seperti Khidir atau dalam kata
lain dia mendakwa diri menjadi nabi setelah datangnya penutup sekelian nabi.
Ini adalah kekufuran di atas kekefuran.
Al-Imam al-Qurtubi yang merupakan tokoh
mufassir besar. Beliau juga tidak lupa membahaskan persoalan ini dalam
tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran. Beliau menukilkan ulasan gurunya al-Imam
Abu al-`Abbas mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukum sebagai zindiq
iaitu katanya: “Mereka itu berkata: “Hukum-hakam syarak yang umum adalah untuk
para nabi dan orang awam adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan
nas-nas (agama) sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam
hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran
mereka”. Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian hati mereka dari
kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi,
hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahsia-rahsia alam mereka
mengetahui hukum-hakam yang detil maka mereka tidak memerlukan hukam-hakam yang
bersifat umum seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir)
ilmu-ilmu terserlah kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman
Musa”. Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau
telah diberikan fatwa oleh para penfatwa”. Seterus al-Qurtubi mengulas
dakwaan-dakwaan ini dengan katanya: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan
zindiq dan kufur dibunuh sesiapa yang mengucapkannya dan tidak diminta
daripadanya taubat, kerana dia telah engkar apa yang diketahui dari syariat.
Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalanNya dan melaksanakan hikmahNya bahawa
hukum hakamnya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang
menjadi para utusan antara Allah dan makhlukNya. Meraka adalah penyampai
risalah dan perkataanNya serta penghurai syariat dan hukum-hakam. Allah memilih
mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka.” Dalam
huraian tambahan al-Qurtubi menyebut lagi: “Telah menjadi ijma’ salaf dan
khalaf bahawa tidak ada jalan mengetaui hukum-hakam Allah yang berhubung
suruhan dan laranganNya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Sesiapa
yang berkata “Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah
tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul maka dia adalah
kafir, dihukum bunuh……” (jld. 11, m.s. 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).
Demikian betapa tegasnya al-Imam
al-Qurtubi dalam mengulas dakwaan sesat lagi kufur ini bagi membukti betapa
bahayanya iktikad yang seperti ini. Bahkan kebanyakan para ulama Ahli as-Sunnah
tidak lupa untuk memperingatkan perkara ini setiap kali mereka menyebut kisah
Musa dan Khidir bagi memerangi golongan yang mempergunakan tafsiran yang salah
lagi sesat ini untuk memperlihatkan keistimewaan diri dan akhir mereka
tercerumus ke lembah kekufuran. Umpamanya, lihatlah ulasan yang begitu jelas
oleh Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa dalam menentang
kefahaman-kefahaman yang seperti ini. Demikianlah para ulama yang lain bagi
setiap zaman. Maka golongan ilmuan yang wujud pada zaman ini juga perlu
memerangi perkara yang seperti ini. Ini kerana aliran kepercayaan ini masih
wujud dan mempengaruhi kalangan yang jahil dan mencari kesempatan untuk
melepaskan diri dari agama. Jika mereka tidak ditentang habis-habisan maka akan
hancur binaan Islam dan yang tinggal hanyalah Islam tanpa syariat.
Advertisements
Thariqah
Menurut Habib Luthfi Bin Yahya
Ma’rifat adalah “mengerti dan mengenal”.
Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau mengenal sudah pasti mengerti. Jadi
ma’rifat di sini adalah mengenal Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui
sifat-sifatNya, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru
pondasi. Untuk mengenal lebih jauh kita harus sering-sering mendekati Allah
Swt. agar Allah juga mendekat dengan kita.
Makhluk Allah banyak yang mengerti tapi
tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini, kita belajar mengenal Allah dan
Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak semudah yang kita bayangkan,
diperlukan ritual-ritual khusus untuk bisa lebih dekat dengan Allah dan agar
kita juga tidak lalai dengan Allah.
Bila dalam mengenal Allah kita sudah
dapat saling mengenal, berarti kita sudah semakin dekat dengan Allah. Tapi
pasti pengenalan seseorang dengan Allah berbeda-beda, tergantung dengan
tahapan-tahapannya. Itulah pentingnya wirid untuk mencapai tingkatan
kema’rifatan yang tinggi.
Sebenarnya dalam thariqah yang dikhususkan
adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub atau tazkiyatunnufus. Sedangkan
bacaan-bacaannya (wiridan) adalah sebagai nilai tambahan untuk pendekatan
kepada Allah Swt.
Thariqah sebagian besar adalah mengamalkan
kalimat “La ilaha illallah” atau kalimat “Allah” sebanyak-banyaknya sesuai
ketentuan oleh thariqah itu sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam
hati atau pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).
Wirid yang paling baik sebenarnya adalah
membaca al-Quran, karena dalam hadits dijelaskan bahwa “Barangsiapa ingin
berdialog dengan Allah, maka bacalah al-Quran”. Dialog dengan Tuhan adalah
wirid yang paling indah. Kemudian membaca kalimat thayibah seperti lafadz “La
ilaha illallah”, maka Allah akan menjamin surga bagi para pembaca kalimat
tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya seperti istighfar, shalawat,
tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu semua juga adalah kalimat-kalimat yang
sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat
yang biasa dibaca oleh para jamaah thariqah.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa,
thariqah juga amalan yang tidak gampang untuk dijalani. Karena apabila terjadi
kelalaian dalam pengerjaannya kita akan berdosa, sebab amalan dalam thariqah
adalah suatu keharusan (kewajiban) untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari
segi positifnya memang thariqah tersebut adalah proses kita untuk lebih
mengenali Allah.
Disamping itu, thariqah dapat melepaskan
kedua penyakit hati yang ada pada diri kita; untuk mengatasi kealpaan dalam
hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Sebab amalan dalam
thariqah adalah kewajiban maka orang akan berhutang apabila tidak mengerjakan
amalan tersebut, dan akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan apapun. Dan
thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas yang terdapat dalam dirinya yang
mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah Swt.
Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan
membersihkan hati setidaknya orang tersebut mempunyai ketertarikan terhadap
thariqah tersebut, karena kalau dilihat dari fungsi thariqah adalah
menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan dzikirnya. Karena
dari dzikir tersebut orang akan selalu tenang dan sabar dalam menghadapi setiap
masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut akan selalu merasa dekat dengan
Allah.
Kaitan Thariqah dan
Syariat
Kalau kita pahami lebih lanjut, thariqah
dan syariat sebenarnya memang tidak dapat dipisahkan, karena tujuan keduanya
sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang
berthariqah tetapi ia meninggalkan syariat, maka itu juga salah karena ia telah
meninggalkan kewajibannya.
Thariqah adalah buah dari syariat. Jadi
kalau berthariqah tidak boleh lepas dari pintunya dahulu yaitu syariat. Karena
syariatlah yang mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari
mulai aqidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah,
malaikat, kitab Allah, para rasul, hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan
dengan syariat pula kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat,
shalat, puasa, zakat dan haji.
Setelah kita dapat
menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah mengetahui hukum-hukum dalam
syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menuju
thariqah dan belajar untuk mengenal Allah. Maksudnya bahwa thariqah adalah
tingkatan bagi orang yang sudah cukup ilmunya, terutama yang sudah diwajibkan
syariat. Karena tidak semua orang langsung dapat menuju pada tingkat thariqah.
Orang yang menuju thariqah haruslah
mengetahui Allah, seperti mengetahui tentang sifat wajib dan mustahil Allah,
dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz) Allah. Orang tersebut juga mengetahui
tentang hukum-hukum dalam beribadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal
yang membatalkan wudhu, rukun shalat serta hal-hal yang membatalkan dalam
shalat. Dan juga orang tersebut dapat membedakan mana yang halal dan yang
haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah dapat terpenuhi maka tidak ada salahnya
apabila orang tersebut masuk ke dalam thariqah.
Antisipasi dalam
Berthariqah
Perlu diketahui juga bahwa sufisme itu
sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan telah menjadi warna di kota-kota
besar di beberapa negara. Jika kita tertarik pada thariqah atau perkumpulan
dzikir tertentu, kita juga harus mengetahui tentang perkumpulan tersebut.
Karena di jaman sekarang banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan
Islam untuk kepentingan mereka dan menyelewengkan tentang hukum-hukum yang
telah ditetapkan.
Maka untuk
mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti apakah
thariqah tersebut dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut. Meskipun dalam
dzikir yang dibaca itu memang dari Rasulullah Saw., namun terkadang ada
kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari ajaran sehingga keluar
dari jalan yang benar dan menyesatkan.
Pada thariqah yang
kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah Qadiriyah,
Syadziliyah, Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada
Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), jumlah thariqah
yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan
muktabar atau tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian.
Pertama dari ajarannya, kemudian dari ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur atau
tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai dengan guru yang
jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.
Guru thariqah yang merupakan guru ruhani
itu haruslah orang yang mengerti tentang agama. Jika tidak mengerti maka bisa
diragukan kapasitas keguruannya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu
organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti tentang agama?
Sebab orang yang telah menapak jalur thariqah haruslah sudah sempurna
syariatnya dan guru tersebut juga telah menjalankan semua kewajiban agama
bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang guru.
Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu agama minimal bisa dilihat dari bacaan
al-Qurannya. Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat
menjadi imam shalat antara lain dari kefasihannya membaca ayat-ayat al-Quran.
Memang dalam kenyataannya, terkadang
banyak orang yang bingung tentang thariqah, ada yang ingin masuk tetapi belum
sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum mengetahui tentang pentingnya
berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk pada thariqah maka keimanan
kita akan terbimbing. Disitulah peran para guru mursyid, sehingga tingkatan
tauhid kita, ma’rifat kita tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri
sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut.
Antara Berthariqah dan
Tidak
Bagaimana dengan orang yang tidak
berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui syariatnya dahulu, artinya
kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dapat
dipahami. Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para rasulNya. Setelah kita
mengenal Allah dan RasulNya kita perlu meyakini apa yang telah disampaikannya,
seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan
puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu.
Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti
shalat, wudhu dan lain-lain.
Orang yang menempuh
jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan orang yang
menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui seorang mursyid. Sebagai contoh kalau kita ingin ke Mekkah dan
kita belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu berbeda dengan
orang yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.
Orang yang tidak mengenal sama sekali
tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya maka
itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan
sempurna, karena pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke
rukun yamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lain-lain. Meski orang tersebut
sudah sampai ke Ka’bah namun apabila tidak tahu rukun yamani, dia tidak akan
mampu untuk thawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang ingin berthariqah haruslah melalui para guru atau mursyid, agar jalan yang
ditempuh dapat berjalan dengan baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah
sedekat mungkin.
Agama Islam adalah agama yang fleksibel,
yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak memberatkan kepada umatnya tentang
suatu ibadah. Dalam arti orang Islam melakukan suatu ibadah itu menurut
kemampuannya masing-masing, karena kemampuan seseorang dengan orang yang lain
tentu berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa tingkatan-tingkatan seseorang dalam
beribadah kepada Allah pun berbeda-beda pula. Memang tujuannya sama, yaitu
untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tentu hasilnya akan berbeda
menurut dengan usaha yang dilakukan.
Dalam beribadah tentu sekelompok orang
memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai kesempurnaan untuk dapat
mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara tersebut sah-sah saja asal
tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, dan tidak
menyesatkan.
Kaitan Thariqah dan
Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu usaha peniadaan
diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdi kepada Allah
Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh oleh seorang sufi, melalui
ritual-ritual khusus dan amalan-amalan yang berbeda-beda pula. Amalan-amalan
tersebut ditunjukan untuk menyanjung Allah dan mengakui kebesaran Allah Swt.
Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan penyayang. Barangsiapa yang ingin
berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah akan mengabulkannya.
Thariqah itu min ahli la ilaha illallah,
dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan Islam lalu ihsan. Makna
ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah seolah-olah kita melihat
Allah. Kalau tidak mampu, kita harus yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt.
Dengan merasa didengar dan dilihat oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi
perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri apalagi kepada orang lain.
Karena kita malu, takut kepada Yang Maha Kuasa.
Tasawuf itu sendiri berfungsi untuk
menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari berbagai sifat yang dimiliki
manusia, utamanya sifat kesombongan yang disebabkan oleh banyak hal. Jika
ajaran tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang namanya saling dengki dan saling
iri, justeru yang muncul adalah saling mengisi.
Tasawuf itu buah dari thariqah. Pakaian
thariqah adalah tasawuf yang bersumberkan dari akhlak dan tatakrama (adab).
Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk
masjd mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain,
sebelum makan baca Basmalah dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang
diajarkan dalam tasawuf sebagai bentuk rasa terimakasih kepada yang memberi
rejeki. Kita ambil satu butir nasi yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita
tidak bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.
Nah, kalau syariat itu terbatas. Maka jika
syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak boleh berdekatan dengan orang
Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian, mereka harus diajak bicara, mengapa
mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan pejabat karena ada alasan
tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga wibawa pejabat di hadapan umum,
sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan tetapi jangan asal
tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.
Berthariqah dan Batasan Usia
Jika belajar dzikir kepada Allah Swt.
menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai tua. Bagaimana kalau masih muda
meninggal? Yang terpenting adalah mereka mengerti tata urutan berthariqah,
mengerti syarat dan rukunnya dulu seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti
sifat wajib, jaiz dan mustahil Allah, mengetahui halal dan haram.
Kalau menertibkan hati menunggu tua,
nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda seyogyanya mereka
mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah
An-Nahdliyyah).
Apakah boleh mengikuti baiat thariqah,
padahal masih belajar ilmu syariat? Setiap Muslim tentu boleh, bahkan harus,
berusaha menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam di hatinya dengan
berbagai cara. Salah satunya dengan berthariqah. Namun berthariqah sendiri
bukan hal yang sangat mudah. Karena, sebelum memasukinya, seseorang harus
terlebih dulu mengetahui ilmu syariat. Tapi juga bukan hal yang sangat sulit,
seperti harus menguasai seluruh cabang ilmu syariat secara mumpuni.
Yang diprasyaratkan untuk masuk thariqah
hanya pengetahuan tentang hal-hal yang paling mendasar dalam ilmu syariat.
Dalam aqidah, misalnya, ia harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz
bagi Allah. Dalam fiqih, ia sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat,
lengkap dengan syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal
yang dihalalkan atau diharamkan oleh agama.
Jika dasar-dasar ilmu syariat sudah
dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja ia tetap mempunyai kewajiban
melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa dikaji sambil jalan. Syariat
lainnya adalah umur yang cukup (minimal 8 tahun), dan khusus bagi wanita yang
berumah tangga harus mendapat izin dari suami. Jika semuanya sudah terpenuhi,
saya mengimbau segeralah ikut thariqah.
Semua thariqah, asalkan mu’tabarah,
ajarannya murni dan silsilahnya bersambung sampai Rasulullah Saw., sama
baiknya. Karena semua mengajarkan penjagaan hati dengan memperbanyak
dzikrullah, istighfar dan shalawat. Yang terpenting, masuklah thariqah dengan
niat agar kita bisa menjalankan ihsan. Jangan masuk thariqah karena khasiatnya
atau karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.
(*Ibj, dikompilasi dari ceramah-ceramah
Maulana Habib Luthfi bin Yahya).
“Al Akhfiya” (Orang-Orang Yang Tidak Suka
Popularitas) Adalah Keanehan ! Banyak Digemari Monasiyun, Retorikayun,
Spandukiyun, Youtubiyun !
Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi
Apa Jadinya Jika Saudi Arabia Dikuasai
Oleh Sufi Dan Syiah, Serta Metode (Pemahaman) Nenek Moyang (Tradisi).
'Aqidah Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah Dalam
Sifat Allah Ta'ala, Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Yang Sesungguhnya,
Mengenal Manhaj Salaf, Antara Zuhud Sunni Dan Zuhud Sufi.
Al-Muflis ( Bangkrut )
Borok-Borok Sufi
https://almanhaj.or.id/318-borok-borok-sufi.html
https://almanhaj.or.id/318-borok-borok-sufi.html
Benarkah Kelompok Shufiyyah Termasuk
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
"Dhirar" Chechnya (Konferensi
Sufi Sesat)
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Ibadah Nyeleneh Sufi Di Indonesia Dan
Chechnya (Kebatilan Mazhab Sufi Berzikir Sambil Menari).
KH Afifuddin Muhajir: Pemikiran Said Aqil
Merusak NU, Imam Al-Ghazali Dicap Batil
Kesesatan Syiah Menurut Dr. Said Aqil
Siroj
K.H Said Aqil Siradj : Rajin Shalat
Jamaah Dimasjid, Tahajjud, Dluha, Puasa Senin Kamis Dan Semisalnya, Menghormati
Orang Tua, Menghormati Tamu/ Tetangga, Berprasangka baik, Menolong Orang,
Dermawan Menginfaqkan Harta Sebesar 100 Juta, Belum Tentu Dirinya Seorang Sufi
(Bukan Itu Ukuran Tasawuf ). Jadi Tasawwuf Itu Apa ? Secara Etimologi, Dicari
Akar Katanya Sangat Sulit. Menghujat, Fitnah Orang ( Kelompok ), Menghalalkan
Segala Cara ?
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan
Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An
Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kitab Al-Hikam Dalam Timbangan Islam
"Keteladanan Antara Wali Songo Vs
Wali Dollar" [untuk ulama "su/penghujat wali jenggot !"]
Kewajiban Mencintai Nabi. Mana Buktimu
Cinta Kepada Nabi? Tasawuf Dan Cinta Nabi ? Hakikat Tasawuf Dan Sufi
Klimaks Dari Muktamar Chechnya, Presiden
Chechnya Meminta Maaf Atas Kejahatan Muktamar Sufi Aswaja Sedunia Yang
Menghujat Salafiyyah !!
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Kitab-Kitab Ulama Syafi'iyyah Dalam
Memperjuangkan Sunnah Dan Mengingkari Bid'ah
Membongkar Kedok Sufisme Di Hadramaut (
Penulis Dan Kata Pengantarnya Para Ahlul Bait)
Pesta Tarekat Sufi (Tasawuf) Hilang
Kewarasan
Perbedaan Pokok Ajaran Islam Dan Tasawuf
Peran Dan Kontribusi Imam Al-Ghazali
Dalam Menghadang Pemikiran Dan Kejahatan Syiah. Benarkah Tasawuf Ajaran Nabi,
Perbedaan Pokoknya Dengan Ajaran Islam, Serta Taubatnya Dari Filsafat Dan
Tasawuf.
Penyakit Riya Dan Gila Popularitas.
Mengapa Kita Tak Perlu Terkenal ? Mereka Orang Yang Shalih, Tapi Tidak Mau
Dikenal
Prof DR Nasaruddin Umar (Penganut Sufi
Super Ilmiyyah) : Berguru Dengan Alam Ghaib Itu Dimungkinkan. Katanya, Imam
Ghazali Tidak Perlu Mencantumkan Sebuah Hadits Dalam Kitabnya (Shahih Atau
Tidak) Sebab Langsung Meminta Konfirmasi Ke Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam. Begitupun Ibnu Arabi Dengan Kitab Fushus Al Hikam.
Pengrusak Umat
Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra
Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Keluarga Hasyimiyah) -Weizmann,
Pintu Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina. 'Arab Revolt',
Pemberontakan Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani
Syara' Menggalakkan Zuhud Bukan Tasawuf
Syi'ah Sufistis
Syeikh Abdul Qadir Jailani Dan Syiah
Siapa Wali Kutub Dan Wali Ghauts?
Siapakah Wali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Siapakah Sufi ? Paham Sufi Dalam
Timbangan Al-Qur’an Dan Assunnah
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
Tafsir Orang Sufi Terhadap Al-Qur’an
Bukanlah Tafsir
Untuk "Ulama ?" Penghina "
Wali Jenggot" Baca Artikel ini : Perbedaan antara wali-wali Allah dan
wali-wali syaithon
Walisongo Sangat Gamblang Beberkan
"KEKAFIRAN" dan Perilaku Kategori "KAFIR"
Zuhud