(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman
Mubarak)
Paham Asy’ariyah sangat kental sekali
dalam tubuh umat Islam dan akidah tersebut terus menyebar di tengah kaum
muslimin. Mereka tidak menyadari bahwa paham yang mereka anut adalah paham yang
menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, paham yang baru ada setelah
berakhirnya generasi utama umat ini: sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.
Penyebab Tersebarnya Pemikiran Asy’ariyah
Jika kita telaah, berkembangnya paham
Asy’ariyah di berbagai negeri disebabkan beberapa faktor, di antaranya:
1. Anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal kita telah ketahui betapa banyak penyimpangan
Asy’ariyah dalam masalah akidah, sehingga para ulama menyatakan Asy’ariyah
bukanlah Ahlus Sunnah.
2. Di sejumlah negara, paham ini didukung
oleh para penguasa. Di kawasan Asia, aliran Asy’ariyah dijadikan aliran resmi
Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) yang didirikan oleh Mahmud Gaznawi.
Berkat jasa Mahmud Gaznawi itulah, aliran ini menyebar dari India, Pakistan,
Afghanistan, hingga Indonesia. Aliran Asy’ariyah berkembang sangat pesat pada
abad ke-11 M, tepatnya pada masa kekuasaan Aip Arsalan dan Dinasti Seljuk (abad
11-14 M). Menurut sejarah, sang khalifah dibantu oleh perdana menteri yang
begitu setia mendukung aliran Asy’ariyah, yakni Nizam al-Mulk. Pada masa itu,
penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui
lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam
al-Mulk.
3. Paham Asy’ariyah juga tersebar seiring
menyebarnya Shufiyah (sufi).
4. Paham ini banyak dianut tokoh-tokoh di
mazhab fikih. Sebagai contoh, al-Baqilani, adalah tokoh Asy’ariyah yang
merupakan tokoh mazhab Maliki.
5. Tersebarnya buku-buku Asy’ariyah,
bahkan dijadikan kurikulum standar di lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan
lainnya.
6. Kedustaan atas nama al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari.
7. Adanya sebagian orang yang masih
memasukkan Asy’ariyah dalam kelompok Ahlus Sunnah.
8. Difigurkannya sebagian tokoh
Asy’ariyah.
9. Menyebarnya kelompok dakwah yang
membawa fikrah Asy’ariyah, seperti Jamaah Tabligh dan thariqat-thariqat
(tarekat-tarekat) shufiyah.
10. Banyak lembaga pendidikan baik
perguruan tinggi maupun lainnya memasukkan akidah Asy’ariyah dalam kurikulum
mereka.
(Lihat Mauqif Ibnu Taimiyah Minal
Asyairah)
Paham Asy’ariyah Tersebar di Masyarakat
Kita
Sangat disayangkan di negeri kita yang
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar, paham Asy’ariyah sangatlah
kental. Mayoritas muslimin menganggap bahwa yang dimaksud Ahlus Sunnah adalah
paham Asy’ariyah. Mereka tidak paham dan tidak menyadari penyimpangan
Asy’ariyah dari akidah Ahlus Sunnah dan prinsip al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
t.
Bukti kuatnya pengaruh Asy’ariyah di
masyarakat kita:
1. Paham Asy’ariyah diajarkan sejak dini
di surau, masjid, majelis taklim, TPA, dan lainnya. Kita ingat dan mendengar
bagaimana anak-anak kecil didikte untuk menghafal sifat dua puluh. Sifat dua
puluh mulai diperkenalkan oleh seorang Asy’ari, yaitu as-Sanusi.
2. Buku-buku berpaham Asy’ariyah
dijadikan kurikulum baku di lembaga-lembaga pendidikan. Sebagai contoh:
Diajarkannya sifat dua puluh di sekolah-sekolah.
3. Tokoh-tokoh Asy’ariyah menjadi figur
banyak kaum muslimin, bahkan karya-karya mereka menjadi rujukan.
Di antara tokoh-tokoh Asy’ariyah yang
masyhur di negeri ini adalah al-Baqilani, Abu Hamid al-Ghazali, ar-Razi,
as-Sanusi, Muhammad Nawawi al-Bantani, Said Hawa, al-Juwaini, dan Sirajudin
Abas.
Sebagian peneliti mengungkapkan bahwa
al-Juwaini adalah penganut Asy’ariyah tulen. Sementara itu, sebagian yang lain
meyakini bahwa ia pengikut Mu’tazilah. Kelompok pertama memberikan argumen
bahwa al-Juwaini pernah belajar kepada Abu Qasim al-Isframi, seorang ahli
teologi Asy’ariyah. Ia juga pernah berguru kepada tokoh Asy’ariyah yang lain,
yakni al-Baqilani.
Bukti lain keterkaitan al-Juwaini dengan
aliran Asy’ariyah adalah ia pernah mengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur
selama 23 tahun. “Kesuksesan” al-Juwaini dalam mendidik murid-muridnya di
Madrasah Nizamiyah itu diungkap secara terperinci dalam buku Al-Juwaini,
Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam karangan Tsuroya Kiswati (Guru Besar
Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya).
4. Di pondok-pondok pesantren, diajarkan
di sana kitab-kitab yang berpemikiran Asy’ariyah, misalnya:
• Aqidatul Awam yang diajarkan di
pondok-pondok pesantren, mengajar sifat dua puluh yang merupakan prinsip
Asy’ariyah
• Tafsir Jalalain, terutama dalam hal
sifat-sifat Allah l
• Ihya Ulumudin
• Ummu Barahin
• Kasyifah al-Haji
• Qathr Ghaits
• Masail al-Laits
5. Banyaknya kelompok dakwah yang membawa
paham Asy’ariyah, di antaranya:
• Jamaah Tabligh, mereka ini sebagaimana
dikatakan asy-Syaikh al-Albani adalah shufiyah (sufi) abad ini.
• Ikhwanul Muslimin, kita telah tahu
bahwa pergerakan ini didirikan di atas thariqat, karena Hasan al-Banna adalah
pengikut tarekat dan banyak tokoh IM mendakwahkan paham Asy’ariyah.
• Tarekat-tarekat shufi.
Bagaimana Membendung Arus Pemikiran
Asy’ariyah?
a. Mengajak umat untuk kembali
mempelajari ilmu dari sumber yang murni yakni al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
merujuk kepada kitab-kitab salaf (ulama terdahulu).
b. Meninggalkan taklid, mengajak mereka
untuk menjauhkan diri dari taklid.
c. Membacakan dan menyampaikan biografi
Abul Hasan secara utuh dan pemikiran-pemikirannya.
d. Menyadarkan umat dan memberikan
pemahaman kepada mereka bahwa Asy’ariyah bukanlah Ahlus Sunnah dan Ahlus Sunnah
bukan Asy’ariyah.
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang
konsekuen dengan istiqamah di atas manhaj Rasulullah n dan sahabat beliau,
sebagaimana dalam hadits, “(Mereka) adalah yang mengikuti jalanku dan jalan
para sahabatku.”
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi
sedikit pencerahan bagi kaum muslimin, dan mudah-mudahan Allah l memberikan
kemudahan bagi kaum muslimin untuk memahami agamanya, untuk kemudian
mengamalkan ajaran Islam yang mulia ini.
Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul
Hasan Al-asy’ari
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin
Sulaimi, Lc.)
Mengkaji biografi ulama dan becermin dari
perjalanan hidup mereka adalah bekal utama menjalani kehidupan. Padanya
terdapat berbagai pengajaran berharga (ibrah) dan nilai-nilai keteladanan yang
sangat berguna bagi setiap insan. Betapa banyak jiwa yang lalai menjadi taat,
yang sekarat menjadi sehat, yang lemah menjadi kuat, dan yang tersesat menjadi
terbimbing di atas jalan kebenaran.
Di antara para ulama yang mulia itu
adalah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, sang pencari kebenaran. Beliau adalah
seorang ulama terkemuka dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari z yang
asal-usulnya dari negeri Yaman. Perjalanan hidup beliau pun sangat menarik
untuk disimak dan dijadikan bahan renungan, mengingat ada tiga fase keyakinan
yang beliau lalui. Fase pertama bersama Mu’tazilah, fase kedua bersama
Kullabiyah, dan terakhir bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah
mendapatkan hidayah dari ar-Rahman.
Nama beliau kesohor di berbagai penjuru
dunia sebagai panutan mazhab Asy’ari (yang hakikatnya adalah mazhab
Kullabiyah), padahal itu adalah fase kedua dalam kehidupan beragama yang telah
beliau tinggalkan. Beliau pun wafat dalam keadaan berpegang teguh dengan manhaj
salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, satu-satunya jalan kebenaran yang diwariskan
oleh Rasulullah n dan para sahabatnya yang budiman.
Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq
(Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa
al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H dan wafat di
Baghdad (Irak) pada tahun 324 H. Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan
al-Asy’ari. Abul Hasan adalah kuniah beliau.1 Adapun al-Asy’ari adalah nisbah
(penyandaran) kepada kabilah al-Asy’ar2, salah satu kabilah besar di negeri
Yaman, yang berpangkal pada diri Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan.
Laqab (julukan) beliau adalah Nashiruddin (pembela agama).3
Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah
seorang sunni yang mencintai ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan,
menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan
kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang
pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163,
al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi Ma’rifatil Ansab
karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm.
35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)
Ditinjau dari garis keturunannya, al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari adalah keturunan dari sahabat Abdullah bin Qais bin
Hadhdhar al-Asy’ari al-Yamani z, yang dikenal dengan sebutan Abu Musa
al-Asy’ari z. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi n yang terkenal akan
keilmuan dan keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an. Adapun pernyataan Abu
Ali al-Hasan bin Ali bin Ibrahim al-Ahwazi dalam kitabnya Matsalib Ibni Abi
Bisyr bahwa al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari bukan keturunan Abu Musa al-Asy’ari
z, namun keturunan Yahudi yang kakeknya diislamkan oleh sebagian orang dari
kabilah al-Asy’ar, menurut al-Imam Ibnu Asakir t hal ini merupakan kedustaan
dan kebodohan yang nyata. (Lihat al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266,
Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/362, dan Tabyin
Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 147)
Kepribadian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t adalah
seorang yang berbudi pekerti luhur dan terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya
sederhana, selalu diiringi oleh sifat zuhud (tidak tamak terhadap dunia),
qana’ah (bersyukur dengan apa yang ada), penuh ta’affuf (jauh dari sifat
meminta-minta), wara’ (sangat berhati-hati dalam urusan dunia), dan sangat
antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah seorang yang suka
humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdadi
11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar fi Khabari Man Ghabar karya
al-Imam adz-Dzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 141—142, serta
al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)
Menelusuri Tiga Fase Keyakinan yang
Dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Faktor lingkungan mempunyai peran yang
sangat besar dalam membentuk keyakinan dan kepribadian seseorang, terkhusus
lingkungan intern keluarga, yaitu ayah dan ibu. Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah seorang anak itu dilahirkan
melainkan di atas fitrah (naluri keislaman). Kedua orang tuanya yang sangat
berperan dalam menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Ini seperti halnya
seekor binatang (pada umumnya) melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna
fisiknya. Apakah kalian melihat pada anak binatang yang baru dilahirkan itu
cacat di telinga atau anggota tubuhnya yang lain?” Kemudian sahabat Abu
Hurairah z berkata, “Jika kalian mau, bacalah firman Allah l (yang artinya),
‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.’ (ar-Rum: 30)” (HR. Muslim no.
2658, dari sahabat Abu Hurairah z)
Demikian pula keadaan al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t. Pada usia belia, beliau hidup di bawah asuhan seorang ayah yang
berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan, menjelang
wafatnya sang ayah berwasiat agar Abul Hasan kecil tumbuh di bawah bimbingan
al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits
kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sepeninggal ayah beliau, sang ibu menikah
lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i. Kondisi
pun berubah. Abul Hasan kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayah tiri
yang berpaham Mu’tazilah tersebut dan dididik dengan doktrin keilmuan ala
Mu’tazilah yang sesat. Cukup lama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari berguru kepada
Abu Ali al-Jubba’i. Semakin erat hubungan antara keduanya hingga al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari menjadi pewaris ilmu Abu Ali al-Jubba’i dan berposisi sebagai tokoh
muda Mu’tazilah yang disegani di kalangan kelompoknya. Dalam banyak kesempatan
Abu Ali al-Jubba’i mewakilkan urusan keagamaan kepada al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t. Bahkan, tak sedikit karya tulis yang beliau luncurkan untuk
kepentingan kelompok Mu’tazilah dan menyerang orang-orang yang berseberangan
dengannya.
Demikianlah fase pertama dari tiga fase
keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Fase kehidupan
sebagai seorang mu’tazili (berpaham Mu’tazilah) yang berjuang keras demi
tersebarnya akidah sesat tersebut.4 (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35,
dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Fase kedua adalah fase bertaubatnya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dari akidah sesat Mu’tazilah, setelah berlalu
empat puluh tahun dari perjalanan hidup beliau t, tepatnya pada tahun 300 H.
Tidak tanggung-tanggung, taubat dan sikap berlepas diri itu beliau umumkan di
atas mimbar Masjid Jami’ kota Bashrah, seusai shalat Jumat. Bahkan, beliau
meluncurkan beberapa karya tulis untuk membantah syubhat-syubhat Mu’tazilah dan
kesesatan mereka. Selang beberapa lama setelah pengumuman taubat tersebut,
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan Bashrah dan berdomisili di Baghdad.
(Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 39, Wafayatul A’yan karya al-Qadhi Ibnu
Khallikan 3/285, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab,
hlm. 19)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh,
Abul Hasan al-Asy’ari dahulunya adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah
kemudian bertaubat di kota Bashrah. Beliau mengumumkan taubat tersebut di atas
mimbar. Setelah itu beliau membongkar berbagai kesesatan dan kejelekan
Mu’tazilah.” (al-Bidayah wan Nihayah 11/187)
Al-Imam adz-Dzahabi t berkata, “Ketika
(al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pen.) telah mendalami hakikat Mu’tazilah,
muncullah kebencian beliau terhadapnya. Beliau lalu berlepas diri darinya.
Beliau naik ke atas mimbar (untuk mengumumkan sikapnya itu, pen.) dan bertaubat
kepada Allah l. Kemudian beliau meluncurkan bantahan terhadap Mu’tazilah dan
membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka.” (Siyar A’lamin Nubala’ 15/86)
Al-Qadhi Ibnu Khallikan t berkata,
“Dahulu, Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah
kemudian bertaubat darinya.” (Wafayatul A’yan 3/285)
Pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t condong kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun belum
berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok
Kullabiyah yang saat itu tergolong gencar dalam membantah kelompok sesat
Mu’tazilah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,
“Ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti jalan
Ibnu Kullab dan condong kepada Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli
wan Naqli, 2/16)
Al-Imam al-Maqrizi t berkata,
“Sesungguhnya, setelah al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan melontarkan
bantahan terhadap mereka, beliau mengikuti akidah Abu Muhammad Abdullah bin
Muhammad bin Said bin Kullab al-Qaththan dan berpijak di atas
kaidah-kaidahnya.” (al-Khuthath karya al-Imam al-Maqrizi 4/191)
Lebih rinci, al-Imam Ibnu Katsir t
berkata, “Fase kedua (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah
menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah bagi Allah l, yaitu al-hayat, al-ilmu,
al-qudrah, al-iradah, as-sam’u, al-bashar, dan al-kalam. Di sisi lain, beliau
menakwilkan (memalingkan dari makna yang sebenarnya) sifat khabariyah, seperti
wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.” (Thabaqatul
Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits
Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t,
Ibnu Kullab (baca: kelompok Kullabiyah) menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah
l, seperti al-ilmu, al-qudrah, al-hayat, dan yang semisalnya, namun mengingkari
sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) Allah l yang berkaitan dengan kehendak dan
takdir-Nya, seperti sifat datang dan yang semisalnya. (Lihat Dar’u Ta’arudhil
Aqli wan Naqli, 2/6)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada
fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t menetapkan sebagian sifat bagi
Allah l (sifat wajib yang tujuh), menakwilkan sifat khabariyyah, dan
mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah l yang berkaitan dengan kehendak
dan takdir-Nya. Jadi, beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang
mengingkari semua sifat Allah l dan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menetapkan
semua sifat-sifat Allah l.
Setelah berlalu sekian masa, al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari t semakin mendekat kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan
akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.
Pada fase ketiga ini, beliau banyak
berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Muhaddits
al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad
bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh
Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih
Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa
dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah
kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Fase
ketiga (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan semua
sifat-sifat Allah l, tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun,
sebagaimana prinsip as-salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau
torehkan dalam kitab al-Ibanah5, karya beliau yang terakhir.” (Thabaqatul
Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits
Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khatib t
berkata, “Kemudian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t membersihkan jalan yang
ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah l dengan rujuk (kembali) secara
total kepada jalan yang ditempuh oleh as-salafush shalih… dan para ulama yang
menyebutkan biografi beliau t menyatakan bahwa al-Ibanah adalah karya tulis
beliau yang terakhir.” (Catatan kaki kitab al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hlm.
41, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab,
hlm. 36)
Keterangan di atas adalah bantahan
terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah adalah kitab yang dipalsukan atas
nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Demikian pula, ini adalah bantahan
terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah bukanlah karya tulis beliau yang
terakhir. Tujuan mereka tiada lain adalah pengaburan sejarah agar umat tetap
berada di atas mazhab Asy’ari yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah—sebuah
mazhab yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Setelah menyebutkan beberapa nukilan dari
para imam terkemuka6 tentang sahnya penyandaran kitab al-Ibanah kepada al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari t, asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari t
mengatakan, “Beberapa nukilan yang tegas dari para imam terkemuka ini—yang dua
ekor kambing tidak saling beradu tanduk karenanya dan dua orang takkan berselisih
karenanya pula—menunjukkan bahwa kitab al-Ibanah bukanlah kitab yang dipalsukan
atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, sebagaimana halnya klaim para anak
muda dari kalangan ahli taklid. Bahkan, kitab tersebut merupakan karya tulis
beliau yang terakhir. Beliau tetap kokoh di atas kandungan kitab tersebut,
yaitu akidah salaf yang bersumber dari al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi n.”
(al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hlm. 72)
Satu hal yang penting untuk diingatkan
bahwa mazhab yang hingga hari ini dikenal dengan sebutan mazhab Asy’ari atau
ASWAJA, tiada lain adalah kelanjutan dari mazhab Kullabiyah, yang telah
ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas
beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah n dan as-salafush
shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t, dan menyelisihi
siapa saja yang berseberangan dengan beliau7. Hal ini sebagaimana yang beliau
torehkan dalam kitab al-Ibanah.
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang
bertanya, bisakah disebutkan contoh pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t
yang ditorehkan dalam kitab al-Ibanah itu?
Jika demikian, perhatikanlah dengan
saksama pernyataan beliau berikut ini, “Prinsip yang kami nyatakan dan agama
yang kami yakini adalah berpegang teguh dengan Kitab Suci (al-Qur’an) yang
datang dari Rabb kami k dan Sunnah Nabi Muhammad n, serta apa yang diriwayatkan
dari para sahabat, tabi’in, dan para imam Ahlul Hadits. Kami berprinsip
dengannya dan menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal—semoga Allah l menyinari wajahnya, mengangkat
derajatnya, dan membesarkan pahalanya. Kami menyelisihi siapa saja yang
berseberangan dengan beliau karena beliau adalah seorang imam yang mulia dan
pemimpin yang utama. Allah l menampakkan kebenaran dengan beliau di kala muncul
kesesatan. Dengan sebab beliau pula, Allah l memperjelas jalan yang lurus,
menghancurkan bid’ah yang diciptakan oleh ahli bid’ah, penyimpangan orang-orang
yang menyimpang, dan keraguan orang-orang yang bimbang. Semoga rahmat Allah l
selalu tercurahkan kepada beliau, imam yang terkemuka, mulia lagi agung, dan
besar lagi terhormat.” (al-Ibanah hlm. 20—21)
Bisa jadi pula, ada yang bertanya,
semisal apakah prinsip keyakinan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t yang sejalan
dengan prinsip salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bertentangan dengan prinsip
Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase
kedua beliau)?
Tentang hal ini, al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t menyebutkannya secara terperinci dalam kitab al-Ibanah. Di
antaranya adalah keyakinan beliau bahwa Allah l dapat dilihat di akhirat kelak
dengan mata kepala, keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah
l) bukan makhluk, keyakinan bahwa Allah l berada di atas Arsy bukan di
mana-mana, dan sebagainya. Semua itu bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah
(fase pertama beliau) dan juga prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua
beliau). Untuk lebih rincinya, silakan Anda membaca kitab al-Ibanah.
Oleh karena itu, tidaklah adil manakala
menyandarkan suatu keyakinan/prinsip/mazhab kepada al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t selain apa yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah yang mulia,
mengingat bahwa itulah potret akhir dari kehidupan beragama yang beliau yakini.
Beliau pun berharap bertemu dengan Allah l di atasnya.
Para pembaca yang mulia. Demikianlah tiga
fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t dalam
kehidupan beragama yang penuh kesan. Perjalanan hidup yang sarat akan
pengajaran berharga (ibrah) dan renungan. Dari satu keyakinan menuju keyakinan
berikutnya, demi mencari kebenaran. Semuanya beliau lalui dengan penuh
kesungguhan dan kesabaran. Manakala tampak bagi beliau sebuah kebatilan, tiada
enggan beliau tinggalkan. Manakala tampak sebuah kebenaran, tiada enggan pula
beliau berpegang teguh dengannya selama hayat masih dikandung badan. Begitulah
seharusnya yang terpatri dalam sanubari setiap insan dalam menyikapi kebatilan
dan kebenaran di tengah kehidupan dunia yang penuh cobaan.
Akhir kata, sungguh rajutan kata-kata
seputar al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t di atas belum cukup menggambarkan sosok
seorang imam terkemuka yang diliputi oleh keutamaan dan kemuliaan. Namun,
semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan berkesan bagi setiap insan yang
haus akan kebenaran.
Wallahul musta’an.
Catatan Kaki:
1 Kuniah adalah sebutan untuk seseorang
selain nama dan julukannya, seperti Abul Hasan dan Ummul Khair. Kuniah biasanya
didahului oleh kata abu (ayah), ummu (ibu), ibnu (putra), akhu (saudara
laki-laki), ukhtu (saudara perempuan), ammu (paman dari pihak ayah), ammatu
(bibi dari pihak ayah), khalu (paman dari pihak ibu), atau khalatu (bibi dari
pihak ibu). Terkadang, kuniah disebutkan bersama nama dan julukan seseorang,
dan terkadang pula disebutkan secara tersendiri. Di kalangan bangsa Arab,
kuniah digunakan sebagai panggilan kehormatan bagi seseorang. (Lihat al-Mu’jamul
Wasith 2/802)
2 Al-Asy’ar adalah julukan bagi Nabt bin
Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Uraib bin Zaid bin Kahlan bin Saba’ bin Yasyjub
bin Ya’rub bin Qahthan. Al-Asy’ar artinya seorang yang banyak rambutnya. Ia
disebut demikian karena tubuhnya ditumbuhi oleh rambut sejak dilahirkan oleh
ibunya. (Lihat Nasab Ma’d wal Yaman al-Kabir 1/27)
3 Julukan tersebut muncul di hari
kematian beliau, saat manusia saling berucap, “Telah meninggal dunia pada hari
ini Nashiruddin (Pembela Agama).” (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam
Ibnu Asakir, hlm. 375)
4 Untuk mengetahui hakikat kelompok sesat
Mu’tazilah, silakan baca rubrik “Manhaji” Majalah Asy-Syari’ah Vol. 1/No.
09/1425 H/2004.
5 Judul lengkapnya adalah al-Ibanah ‘an
Ushulid Diyanah.
6 Di antara mereka adalah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Asakir, al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Ibnul Qayyim,
dll.
7 Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau
ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini
oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t. Dengan demikian, berseberangan
pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Tajuddin as-Subki t—seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan
al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad t, tiada keraguan dan kebimbangan
padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam
beberapa karya tulis beliau.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236)