Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka
ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)
Pertama
Dalam masa kebingungan besar (‘hairatusy
syi’ah’) pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (imam ke-11 mereka, 260 H), skenario
hebat seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) yang dekat dengan cucunya
Ja’far Shadiq (Muhammad bin Isma’il), mengkloning nama anaknya (Abdullah) sama
dengan nama cucu Ismail bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad bin Ismail bin
Ja’far Shadiq). Juga anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin
Isma’il.
Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi
tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin
Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq! Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias
Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq
sebagai imam; salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin
Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas
untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama
sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki
dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah,
dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan
bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq
konon bersembunyi selama ini.
Nama-nama Misterius (tokoh syiah)
Dapat dipastikan bahwa banyak dari
pembaca kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak
menulis sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah
dan pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti
kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.
Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi
merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari
cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah
jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan
pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka
ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)
Karenanya, masalah ini semestinya tidak
berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian
menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan
membangun masa depan kita.
Pertama-tama, saya ingin membuka artikel
ini dengan dua peringatan penting:
Pertama, agar anda memahami dan mendapat
faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok
keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan
pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang
terjadi di lapangan.
Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar
membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum
memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya
terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting
ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku
sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk
hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika
berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.
Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang
dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan
besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa
tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap
firqah memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih
baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna ‘asyariyah”
(12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan sebelumnya.
Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah
satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih
berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi
umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau
jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte
Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar
bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.
Mulanya orang ini menampakkan diri
sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan
berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena
merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah.
Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh
menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.
Maimun telah melakukan sesuatu yang luar
biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan
makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah kematiannya!
Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il, yaitu Abdullah.
Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya dengan nama-nama
anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut
akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin
Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak
akan mengklaim bahwa Al Imamah Al Kubra (kepemimpinan terbesar) yang seharusnya
memimpin umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash
Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana
yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya
mendapatkan cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya
mulai meracik pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z
dengan akidah Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah
menitis kepada Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah.
Mereka juga meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah
tiada, lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang
masih hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia
setelah wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal
semua maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat
Rasulullah yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah
melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah
di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka
selanjutnya.
Dakwah Isma’iliyah dengan segala
pemikiran merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum
muslimin yang bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait.
Mereka berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak
cucu Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam
dakwah mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.
Di antara orang Persi tadi adalah Husein
Al Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia
konon beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh
yang sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.
Orang terakhir ini asal usulnya masih
diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang
bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya
dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk
kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’
yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.
Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan
wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti
pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas,
perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan
pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu
firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.
Semua perkembangan ini –dan
perkembangan-perkembangan lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh
kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar
yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam hal
akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah
Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi
Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas
dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa
nafsu dan bid’ah dalam agama.
Sampai periode ini, semua firqah tadi
sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan
belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring
berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai
berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…
Konon yang paling awal mencapai kekuasaan
dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang
paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein
berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang
di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada
yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah
ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di
Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan
Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah
ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum
muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling sadis
di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8
Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam
mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!
Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke
ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap
berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah
tahun 339 H!
Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan
bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein
yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang
yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte
alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq
sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama
Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat
kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan
bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu
menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran
Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan
mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far
Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.
Ia berusaha menarik simpati masyarakat
dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku
keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!
Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan
kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai
melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan
berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka
mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah
ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima
mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz
lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat
kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!
Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu
masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar
demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama
Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus
dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka
lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah.
Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka
tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka
akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau
membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.
Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna
Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih
ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada
Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin
bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i
mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan
Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.
Mereka berhasil merasuki keluarga Bani
Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka
konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman
ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka
baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.
Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan
yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai
wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus
berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga
392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya ialah terhadap keluarga
Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil mendirikan sebuah daulah
di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah
tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak
memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka. Selama
lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun
334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab
Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.
Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah
menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan
khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di
gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata
dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan
dalam sejarah kita umat Islam.
Sebagaimana yang kita saksikan, abad
keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai
sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun
menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia
Islam. Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan
Qaramithah menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz,
Damaskus, dan Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah),
maka lebih liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok
Palestina, Suriah dan Lebanon!
Di akhir abad keempat hijriyah, daulah
Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah
Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis
hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam
kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah
Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa
kekuasaan.
Kondisi tetap seperti itu hingga tahun
907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna
Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang
bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729
H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg
terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah
terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang
bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis
untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang
semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di
sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil
mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran
tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka
dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan
berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka
terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah
Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada
pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah
menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia,
Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang
merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki
periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah
ini silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal
kepada orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India
dan Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.
Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad
Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan
bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang
kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut.
Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah
yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga
keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka
tahun 1343 H/1925 M.
Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya
sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu
menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris
mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza
Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah
itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini
untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).
Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas
dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang.
Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya
muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni.
Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau
mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode
tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah
tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris,
Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan
tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali
antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.
Pun demikian, kita tidak menyalahkan
generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita
mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan
akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar
masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh
keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan
menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul
mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh
berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak
cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…
Menurut Anda, bagaimana sikap kita
terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah
sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya
kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas
dalam tulisan berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum
muslimin…
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary
Artikel www.muslim.or.id
Syi’ah, Jika
Menerapkan Ilmu Al Jarh Wat Ta`Dil Sebagaimana Ahlus Sunnah, Maka Tidak Tersisa
Sedikitpun Dari Hadits Mereka (Sampah). Mereka Banyak Berdusta Atas Ja`far Ash
Shadiq, Menasabkan Dari Riwayat-Riwayat Yang Dibuat-Buat, Menukil Tanpa Sanad
Atau Sanad Maudhu` (Dipalsukan) Atau Dhaif Atau Maqthu` (Terputus), Agama
Masyayikh.
Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab Sampai
Fatimah? Hasil Skenario Hebat Seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) Yang
Dekat Dengan Cucunya Ja’far Shadiq (Muhammad Bin Isma’il), Mengkloning Nama
Anaknya (Abdullah) Sama Dengan Nama Cucu Ismail Bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin
Muhammad Bin Ismail Bin Ja’far Shadiq) Dan Seterusnya.
Para Ulama Menyebut
Daulah Fatimiyah (3H) Dengan Daulah Ubaidiyah (Ubaidullah Al-Mahdi). Tidak Ada
Bukti Ilmiyah (Jahr Wat Ta’dil) Dari Ulama-Ulama Tsiqah Yang Hidup Diabad Ke
3H-7H Terkait Klaim Nasab Mereka Kepada Fathimah RA. Daulah Peneror Terkejam (Syi’ah
Ismailiyah) Terhadap Ahlu Sunnah.
[Kenapa Dinasti Fathimiyyun yang besar dan
mengklaim Memiliki Nasab Sampai Fatimah RA, saat ini tidak meninggalkan jejak
keturunannya (terdata)?]
Ulama Al-Jarh Wa Tadil, Penjaga Dan
Pembela Agama
Ilmu Al-Jarh Wat-Ta’dil
Kedua
Napak Tilas Perjalanan
Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)
Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu
Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa
al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H bertepatan tahun
873 Masehidan wafat di Baghdad (Irak) pada tahun 324 H bertepatan 935 Masehi.
Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan al-Asy’ari. Abul Hasan adalah kuniah
beliau.1 Adapun al-Asy’ari adalah nisbah (penyandaran) kepada kabilah
al-Asy’ar2, salah satu kabilah besar di negeri Yaman, yang berpangkal pada diri
Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Laqab (julukan) beliau adalah
Nashiruddin (pembela agama).3
Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah
seorang sunni yang mencintai ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan,
menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan
kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang
pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163,
al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi Ma’rifatil Ansab
karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm.
35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)
Kepribadian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan
terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu diiringi oleh sifat
zuhud (tidak tamak terhadap dunia), qana’ah (bersyukur dengan apa yang ada),
penuh ta’affuf (jauh dari sifat meminta-minta), wara’ (sangat berhati-hati
dalam urusan dunia), dan sangat antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain,
beliau adalah seorang yang suka humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad
karya al-Khathib al-Baghdadi 11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar fi
Khabari Man Ghabar karya al-Imam adz-Dzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil Muftari,
hlm. 141—142, serta al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)
Setelah berlalu sekian
masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t semakin mendekat kepada para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan
berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga
kehidupan beragama beliau.
Pada fase ketiga ini,
beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti
al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul
Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam
al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan
al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam
hal fatwa dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan
Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Ketiga
Imam Ath-Thobroni
Beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin
Ayyub bin Mathir al-Lakhami asy-Syami ath-Thobroni . Ia dilahirkan pada
bulan shofar tahun 260 Hijriyah di Aka, kota asal ibunya.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah
mengatakan, “Abu al-Qosim ath-Thobroni adalah salah satu al-Hafizh
yang agung.”
Adz-Dzahabi mengatakan, “Ath-Thobroni
adalah seorang imam, al-Hafizh, tsiqoh, ulama yang melakukan banyak perjalanan,
ahli hadits dan bendera para penyeberang lautan ilmu.”
Tidak henti-hentinya hadits-hadits yang
disampaikan ath-Thobroni dituju, disenangi dan diambil orang,
lebih-lebih pada masa temannya, Ibnu Ridzah. Pada masa itu, banyak para pencari
ilmu yang menimba ilmu darinya. As-Salafi telah mencatat ada sekitar seratus
orang yang menjadi muridnya.”
Al-Hafizh Sulaiman bin
Ibrohim mengatakan, “Ibnu Mardawaih pernah mempunyai rasa benci
terhadap ath-Thobroni sehingga mengucapkan sesuatu yang bernada mengejeknya,
maka Abu Nu’aim berkata kepadanya, “Berapakah hadits yang kamu tulis darinya,
wahai Abu Bakar?” Ibnu Mardawaih berisyarat pada beberapa tumpukan berkas. Lalu
Abu Nu’aim bertanya, “Apakah kamu melihat orang yang menyamainya?” Ibnu
Mardawaih tidak menjawab pertanyaan ini.”
Muhammad bin
al-Haitsam menceritakan bahwa ia mendengar Abu Ja’far bin Abi
as-Sirri mengatakan, “Aku bertemu dengan Ibnu Uqdah di kufah. Aku memohon
kepadanya untuk mengulangi apa yang aku tertinggal darinya. Namun, ia menolak
untuk mengulangi. Aku pun meminta dengan keras agar dia tetap mengulanginya.
Kemudian ia berkata, “Dari negeri manakah kamu?” Aku menjawab, “Dari Asfahan.”
Ia berkata, “Syi’ah (pendukung) Muawiyah?” Aku berkata, “Demi Alloh, tidak,
mereka adalah Syi’ah Ali. Imam Ali bagi setiap penduduk Asfahan adalah lebih
berharga dari pada kedua mata dan keluarga mereka.”
Ibnu Uqdah pun mau mengulangi apa yang
aku telah tertinggal darinya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Aku mendengar dari
Sulaiman bin Ahmad al-Lakhomi.” Aku berkata, “Tidak!” Ia
berkata, “Subhanalloh! Abu al-Qosim (Sulaiman bin Ahmad
ath-Thobroni ) di negerimu, sedangkan kamu tidak mau mendengar darinya. Kalau
begitu aku yang berada di kufah merasa sakit hati. Aku tidak mengetahui seorang
pun yang dapat menandingi keilmuannya, aku telah mendengar hadits darinya dan
dia mendengar hadits dariku.”
Ad-Dawudi mengatakan, “ath-Thobroni
adalah imam yang dijadikan hujjah, sandaran para al-Hafizh dan menjadi
sanad dunia.”
Ilmunya Yang Luas dan Aktifnya dalam
Mendengarkan Hadits
Abu al-Husain Ahmad bin Faris
al-Lughowi mengatakan,
“Aku mendengar ustadz ibnu al-Amid mengatakan, “Aku tidak menyangka bahwa di
dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat dari pada kepemimpinan dan kementrian
yang aku berada di dalamnya sampai suatu saat aku melihat perdebatan antara Abu
al-Qosim ath-Thobroni dan Abu Ja’far al-Juabi di depanku.
Ath-Thobroni mengalahkan al-Juabi dengan
hafalan haditsnya dan al-Juabi mengalahkan ath-Thobroni dengan kecerdasan
akalnya. Perdebatan mereka berdua menjadi memanas sehingga suara mereka
terdengar keras. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah.
Al-Juabi berkata, “Aku mempunyai hadits
yang tidak ada di dunia kecuali ada padaku.”
Ath-Thobroni mengatakan, “Datangkanlah
apa yang kamu punya itu.”
Al-Juabi berkata, “Telah
meriwayatkan hadits kepada kami Abu Kholifah al-Jahmi, telah meriwayatkan
hadits kepada kami Sulaiman bin Ayyub, dan dariku Abu Kholifah al-Jahmi, telah
meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub.” Al-Juabi kemudian
menyebutkan matan hadits tersebut.
Ath-Thobroni mengatakan, “Telah
meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub, dan dariku Abu Kholifah
mendengar hadits tersebut. Maka mendengarlah dariku agar sanadmu menjadi
tinggi.”
Mendengar keterangan
ath-Thobroni tersebut al-Juabi menjadi malu. Dan dari perdebatan
tersebut aku berandai, “Jika kementrian tidak ada dan aku adalah
ath-Thobroni serta aku senang, seperti ath-Thobroni merasa senang.”
Abu Bakar bin Abi Ali
al-Muaddil mengatakan, “ath-Thobroni lebih masyhur dari pada
kelebihan-kelebihannya yang disebut-sebut. Ia adalah orang yang luas ilmunya
dan banyak karyanya.”
Adz-Dzahabi mengatakan,
“Pertama kali ia mencari ilmu pada tahun 273 Hijriyah. Ia diajak oleh ayahnya,
seorang ahli hadits dari kawasan Duhaim. Perjalanan pertama kalinya ia lakukan
pada tahun 275 Hijriyah.
Ia terus menerus melakukan perjalanan
mencari ilmu dan menemui para ahli hadits selama enam belas tahun.
Ia menulis para ahli
hadits salaf (yang dahulu) maupun muta’akhirin (yang
belakangan) sampai ia mempunyai kecakapan dalam bidang ini.
Ia mengumpulkan ilmu dan mengarang karya
ilmiyah, diberikan umur yang panjang dan didatangi para ahli hadits dan para
pencari ilmu dari berbagai negeri.
Ia telah menemui teman-teman Yazid bin
Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad dan Abdur Rozaq. Ia terus
menulis para tokoh hadits sampai menulis teman-temannya sendiri.
Ia mencari ilmu di Mekah, Yaman, Syam,
Mesir, Baghdad, Kufah, Bashroh, Asfahan, Khurotsan dan negeri-negeri yang lain.
Kemudian, ia menetap di Asfahan dan mengajar ilmu serta menulis kitab di sana.
Ia sampai ke Irak, setelah selesai melakukan perjalanan dari Mesir, Syam,
Hijaz, dan Yaman. Sedangkan ia menuju Irak lebih terlebih dahulu, maka ia akan
menemukan sanad yang banyak. Wallohu a’lam bishowab. [Dikutip
dari, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka al-Kautar].
(Red-HASMI/IH/Muhammad Sujud A.Md.,S.Sy)
Keempat
Imam an-Nasa’i, Abu Abdir
Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan
Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam,
penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam
meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H[31].
Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau
dengan mengatakan, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan),
penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya”[32].
Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata,
“Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits)
dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”[33].
Beliau juga termasuk yang dinobatkan
sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga
(hijriyah)[34].
[31] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/125) dan
“Taqriibut tahdziib” (hal. 80).
[32] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin
nubalaa’” (14/133).
[33] Ibid (14/131).
[34] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).
Kelima
Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya
Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit
tambahan.
317 H. Abu Thahir Ar-Rafidhi Al-Qurmuthi sampai
dan memasuki kota Mekah pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) lalu membunuh para
jamaah haji di masjidil Haram serta mencongkel hajar Aswad dan membawanya ke
tempat ibadah mereka di Ahsa’. Dan hajar Aswad itu berada disana sampai tahun
355 H. Kerajaan mereka tetap eksis di Ahsa’ hingga tahun 466 H. Pada tahun ini
berdirilah kerajaan Hamdaniyah di Mousul dan Halab kemudian tumbang pada tahun
394 H.
329 H. Pada tahun ini Allah telah menghinakan
kaum Rafidhah karena pada tahun ini dimulailah Ghaibah Al-Kubra atau menghilang
selamanya. Menurut mereka, imam Rafidhah yang ke-12 telah menulis surat dan
sampai kepada mereka yang bunyinya: “Telah dimulailah masa menghilangku dan aku
tidak akan kembali sampai masa yang diizinkan oleh Allah, maka barangsiapa yang
mengatakan bahwa dia telah berjumpa denganku maka dia adalah pendusta dan telah
tertipu.” Semua ini mereka lakukan dengan tujuan menghindari akan banyaknya
pertanyaan orang-orang awam kepada ulama mereka tentang keterlambatan Imam
Mahdi keluar dari persembunyiannya.
320-334 H. Munculnya kerajaan Buwaihiyah
beraliran Rafidhah di daerah Dailam yang didirikan oleh Buwaih bin Syuja’.
Mereka membuat kerusakan-kerusakan di kota Baghdad, Iraq, sehingga orang-orang
bodoh pada masa itu mulai berani memaki-maki para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
339 H. Hajar Aswad dikembalikan ke Mekkah atas
rekomendasi dari pemerintahan Ubaidiyah di mesir.