Yang lainnya ?
Setelah belasan kali sidang sejak 24
Agustus 2017, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/7/2018)
akhirnya memutuskan Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan pihak
Ahmadiyah.
Komunitas Ahmadiyah dalam hal ini
mengajukan uji materi (Judicial Review) terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang
penistaan dan penodaan agama. Komunitas Ahmadiyah memohon tafsir bersyarat atas
UU PNPS tersebut, terutama yang berkait dengan Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3.
Dalam belasan kali sidang yang
berlangsung, Komunitas Ahmadiyah telah menghadirkan para saksi yang mengisahkan
masalah diskriminasi yang dialami para penganutnya, baik berupa tindak
kekerasan, perusakan masjid Ahmadiyah, pengucilan hingga sulitnya memperoleh
identitas kependudukan dan surat nikah. Tak terkecuali itu, beberapa Ahli yang
pro-Ahmadiyah pun dihadirkan dengan mengandalkan keterangan dari Komnas HAM dan
Komnas Perempuan.
Dasar alasan mereka, diskriminasi terhadap
Ahmadiyah terjadi karena adanya stigmatisasi ajaran Ahmadiyah sebagai
ajaran sesat. Untuk itulah mereka mengajukan permohonan tafsir bersyarat atas
Pasal 1-3 dalam UU No.1/PNPS/1965.
Mereka menginginkan tuduhan Ahmadiyah sebagai
agama sesat, agama menyimpang, menodai Islam dan sejenisnya – atas pertimbangan
HAM – tidak berlangsung lagi kedepannya.
Namun demikian, para Ahli dan Saksi yang
dihadirkan rata-rata menghindari mengungkapkan persoalan pokok atau prinsip
dalam agama (Ushul).
Wakil Ketua Umum Dewan
Da’wah, Drs. Amlir Syaifa Yasin, MA, mengatakan, “Justru disinilah
persoalannya”. Mereka meminta persamaan hak atas nama HAM. Mengaku Islam,
tetapi tidak taat kepada ajaran yang dibawa Nabi SAW, bahkan pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad) telah
berani mengaku sebagai mujadid, sebagai nabi sekaligus sebagai Al-Masih al
Maw’ud (yang diturunkan Allah diakhir jaman).
Ia juga berani menyatakan ummat Islam
yang mengakui Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak mengakui dirinya sebagai nabi,
dinyatakan murtad dari Islam. Lebih jauh, penganut Ahmadiyah meyakini kitab
suci lain selain Al-Qur’an, yang dinamakan Tadzkirah, yang isinya di klaim
sebagai wahyu-wahyu Allah yang turun kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui
mimpi-mimpinya. “Ini sesat dan menyesatkan,” tandas Ustadz Amlir Syaifa.
Aliran Ahmadiyah yang didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tahun 1889 menuai banyak kontroversi karena pendirinya
mengaku sebagai Nabi sedangkan Islam mengakui Nabi Muhamad SAW adalah Nabi
penutup dan tidak ada lagi nabi setelahnya. Di Pakistan sendiri, ditempat
berdirinya Ahmadiyah, aliran ini dinyatakan sebagai kelompok minoritas
non-Muslim.
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia sebagai
PIHAK TERKAIT dalam sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965, telah memberi
keterangan melalui sembilan orang Ahli yang dihadirkan, termasuk bukti-bukti
dokumentasi sebanyak satu mobil penuh yang disampaikan oleh Tim Kuasa Hukum
Dewan Da’wah kepada Majelis Hakim. Seluruh upaya tersebut dimaksudkan agar
Majelis Hakim tidak melakukan kesalahan dalam memutuskan permohonan yang
diajukan pihak Pemohon (Ahmadiyah). Selain Dewan Da’wah, pihak Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga menjadi PIHAK TERKAIT, melalui permintaan Dewan Da’wah.
Menurut Sekretaris Umum Dewan Da’wah Drs.
Avid Solihin, MM, merujuk kepada pembentukan UU tersebut (UU No. 1/PNPS/1965)
telah sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945, oleh karenanya Undang-Undang
tersebut harus dipertahankan. UU PNPS memiliki peranan penting sebagai wujud
dari hadirnya negara dalam menata dan melindungi hak kebebasan masyarakatnya
memeluk agama dan untuk beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing. Avid
Solihin mengatakan bahwa UU PNPS sangat diperlukan untuk kerukunan umat
beragama dan mencegah penodaan/penistaan agama.
Agama Palsu
Menurut Ketua Umum Dewan Da’wah Drs.
Mohammad Siddik, MA., beberapa waktu lalu menyatakan, “Apapun yang palsu
datangnya belakangan. Agama palsu tidak akan datang mendahului yang asli.
Ajaran Islam yang benar selalu datang lebih dahulu dibandingkan ajaran yang
mengaku-aku Islam dan menyesatkan.”
Hal ini juga senada dengan yang diucapkan
Direktur Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) H.M. Amin Djamaluddin
sekaligus pakar Aliran Sesat, M. Amin Djamaluddin. Kehadiran aliran Ahmadiyah
di Indonesia, telah dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh Majelis Fatwa MUI
(2005), dengan isi fatwa:
Pertama, bahwa Aliran Ahmadiyah berada di
luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah
murtad (keluar dari Islam).
Kedua, bagi mereka yang terlanjur
mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq
(al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Ketiga, Pemerintah berkewajiban untuk
melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan
organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah
tahun 2005 adalah bentuk penegasan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II
Tahun 1980 yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Jauh
sebelum itu, beberapa lembaga Islam yang menyatakan Ahmadiyah sesat adalah
“Persis” (1932), disusul oleh “Tarjih Muhammadiyah” dan “Bahtsul Masaail NU”.
Fatwa sesatnya Ahmadiyah juga dikeluarkan
oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia dan
Lembaga Ulama Senior Saudi Arabia dan Mujamma Fiqih yang menginduk kepada
Rabithah Alam Islami dan Mujamma Fiqih Islam yang menginduk kepada Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan Mujamma Riset Islam di Al-Azhar.
Di negara tempat beridinya Ahmadiyah
sendiri, Pakistan, sudah difatwakan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok minoritas
non-muslim. Hal ini dinyatakan oleh Parlemen Pakistan. Artinya, Ahmadiyah bukan
Islam.
Selama sidang berlangsung, Dewan Da’wah
sebagai Pihak Terkait didampingi oleh tim Kuasa Hukum yang terdiri dari Ahmad
Leksono, SH; Sani Alamsyah, SH; A. Al Katiri, SH, MBA; Ikhsan Setiawan, SH; H.
Mulyadi, SH; Rubby Cjahyadi, SH; Novel, SH; Hendra, SH, Dedi Suhardadi, SH,
dll.
Setelah berlangsung belasan kali sidang,
Senin, 23 Juli 2018, Pkl. 09.00 WIB, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan
membacakan putusan terhadap Judicial Review yang diajukan Pihak Ahmadiyah.
Bagaimana putusan Majelis Hakim atas uji materi UU No.1/PNPS/1965? Mari doakan
dan nantikan laporan dari Sidang MK, esok Senin, 23 Juli 2018. (yuddy/des)