Zona De-Eskalasi Tak Efektif, Turki-Rusia
Saling Lempar Tanggung Jawab
Ahad, 2 Juni 2019 21:51
Rusia mengatakan bahwa Turki bertanggung
jawab untuk menghentikan serangan oposisi di provinsi Idlib terhadap
target-target sipil dan tentara Negeri Beruang Merah. Hal itu dinyatakan pada
Jumat (31/05/2019) sebagai isyarat bahwa Moskow akan terus memberikan dukungan
terhadap rezim Suriah untuk melancarkan serangan ke wilayah yang telah
disepakati sebagai zona de-eskalasi meski diprotes keras Ankara.
Dalam satu bulan terakhir telah terjadi
eskalasi besar-besaran dan paling luas sejak musim panas dalam perang antara
rezim Basyar al-Assad dengan pasukan oposisi. Meningkatnya situasi kekerasan
ini memicu kekhawatiran akan terjadinya krisis kemanusiaan karena ribuan orang
dilaporkan telah bergerak menuju perbatasan Turki untuk mengungsi dan
menyelamatkan diri dari ancaman serangan udara.
Presiden Turki Tayyip Recep Erdogan telah
berbicara dengan kolega Rusianya, Presiden Vladimir Putin, sehari sebelumnya
bahwa ia ingin ada gencatan senjata di Idlib untuk mencegah terus bertambahnya
korban di kalangan warga sipil, dan melonjaknya arus pengungsian ke Turki.
Dalam pembicaraan lewat telepon tersebut, Erdogan menambahkan bahwa Suriah
membutuhkan sebuah solusi politik. Demikian pernyataan yang dirilis Kantor
Kepresidenan di Ankara.
Berulang kali Erdogan telah mengajukan
komplain kepada Moskow terkait dukungan negara pewaris ex-Soviet itu terhadap
serangan-serangan rezim Damaskus ke Idlib. Provinsi di barat laut Suriah itu
kini menjadi benteng terakhir pejuang oposisi.
Di wilayah Atmeh yang berbatasan dengan
Turki pada Jumat (31/05/2019) terlihat puluhan hingga ratusan warga melakukan
protes. Mereka menuntut diakhirinya serangan udara rezim, dan mendesak
pemerintah Turki untuk membuka pintu perbatasan, namun Ankara menolaknya.
Abu l-Nur, seorang pejabat penanggung
jawab kamp pengungsian di Atmeh yang sudah kewalahan menampung banyaknya
pengungsi, mengatakan lebih dari 20.000 keluarga saat ini terpaksa tidur di
antara pohon-pohon zaitun dan semak belukar di dekat area perbatasan. “Mereka
tidak memiliki tempat perlindungan dan air, dan ini di luar batas kemampuan
kami. Kami melakukan semua yang kami bisa,” katanya kepada Reuters.
Walau demikian, dalam pernyataannya pada
hari Jumat, Kremlin semakin memperjelas posisinya bahwa mereka tetap tidak
terpengaruh dengan seruan Erdogan untuk melakukan gencatan senjata. Sebaliknya,
Rusia malah menuntut oposisi sebagai pihak yang harus mengimplementasikan
gencatan senjata.
Ditanya sejumlah wartawan terkait seruan
Erdogan untuk melakukan gencatan senjata, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov
mengatakan, “Kami betul-betul memerlukan gencatan senjata di Idlib, dan yang
perlu dilakukan bagi para teroris (baca: pejuang oposisi) itu adalah
menghentikan serangan terhadap sipil dan sejumlah fasilitas tertentu yang
ditempati pasukan kami. Ini adalah tanggung jawab pihak Turki.”
Lonjakan Arus Pengungsi
Sebelumnya Rusia memprotes sejumlah
serangan roket dan pesawat tak berawak dari arah Idlib yang menargetkan
pangkalan militer dan udara utama Rusia di Hmeymim. Peskov menggambarkan
serangan itu sebagai tindakan sangat berbahaya. Namun ia bungkam ketika disinggung
mengenai pasukan Assad yang didukung kekuatan udara Rusia harus menghentikan
serangan. Peskov pun menyangkal terjadi ketidaksepakatan antara Moskow dan
Turki terkait Idlib.
Situasi di Idlib ini telah meningkatkan
ketegangan hubungan antara Turki dan Rusia yang berkepentingan untuk
meminimalisir dampak konflik ke negara mereka mengingat kedekatan wilayah
Suriah dengan kedua negara itu. Pada bulan September lalu, Rusia yang menjadi
sekutu dekat Basyar al-Assad, bersama Turki sepakat membentuk zona de-militerisasi
di idlib.
Tetapi Moskow, yang berambisi membantu
Assad merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan oposisi, selalu komplain
bahwa kekerasan terus meningkat di Idlib, dan menuding pihak oposisi didominasi
oleh Jabhah Nusrah telah menguasai wilayah yang luas di provinsi itu.
Sejak pertemuan di Sochi antara pemimpin
Turki dan Rusia, ide awal untuk membentuk zona de-militerisasi dan de-eskalasi
nampaknya tidak bisa berjalan mulus. Kremlin menyalahkan Ankara dan menuding
belum berbuat banyak yang menjadi bagian tanggung jawabnya. Sebaliknya, Turki
yang mengkhawatirkan arus gelombang pengungsi dari Idlib terus mendesak
pihak-pihak untuk menahan diri, termasuk melakukan gencatan senjata.
Pekan lalu PBB mengatakan lebih dari
200.000 orang mengungsi sejak pemerintah Suriah dukungan Rusia mulai
melancarkan serangan pada akhir bulan April. Sementara data organisasi medis
dan kemanusiaan PBB (UOSSM) menyebut angka 300.000 orang. Kebanyakan mereka
adalah para pengungsi yang sudah berulang kali mengungsi sejak awal perang
karena berpindahnya area pertempuran maupun karena bergesernya garis depan
pertempuran.
Sumber: Reuters
Sumber: Reuters
Redaktur: Yasin Muslim
Lagi, Rusia Halangi Pengesahan Pernyataan
DK PBB Soal Situasi Terkini Di Idlib
Selasa, 4 Juni 2019 10:39
Sekutu utama rezim Bashar Assad, Rusia,
pada Senin (03/05/2019), mencegah pernyataan Dewan Keamanan PBB yang mengecam
eskalasi militer rezim Suriah di wilayah Idlib. Rusia menganggap pernyataan itu
tidak imbang karena tidak menyertakan pertanyaan serupa atas kampanye militer
koalisi pimpinan AS di Baghuz, wilayah Daulah Islamiyan (ISIS) terakhir di
Suriah.
“Pernyataan ini tidak imbang karena tidak
menyentuh kota Hajin dan Baghuz yang warganya menderita akibat pertempuran
antara pasukan dukungan AS dan ISIS,” kata Rusia dalam sebuah surat yang
didapat AFP pada Senin (03/05/2019).
Belgia, Jerman dan Kuwait mengusulkan
pernyataan mengecam kampanye militer terbaru di di Idlib setelah dua pertemuan
darurat DK PBB. Pertemuan ini sendiri digelar menyusul meningkatkan kampanye
militer rezim Assad dan Rusia di provinsi Idlib dan sekitarnya.
Bulan lalu, Rusia berhasil menghalangi
dikeluarkannya pernyataan peringatan bencana kemanusiaan PBB jika rezim
melancarkan kampanye militer di provinsi yang dihuni tiga juta orang itu.
DK PBB bisa mengeluarkan pernyataan jika
15 negara anggota sepakat. Setidaknya terdapat dua blok besar dalam keanggotaan
lembaga “polisi dunia” itu.
Suriah dan sekutunya Rusia meningkatkan
serangan dan gempuran terhadap Idlib sejak April, memaksa lebih dari 270.000
warga mengungsi.
Asisten Duta Besar Rusia di DK PBB,
Dmitry Polyansky, mengatakan bahwa Moskow keberatan dengan “semua” apa yang
termasuk dalam pernyataan yang diusulkan.
“Sikap kami sudah diketahui. Proposal
dokumen seperti ini adalah hubungan masyarakat, bukan solusi,” katanya.
Usulan pernyataan yang diajukan itu
berisi keprihatinan besar pada kampanye militer di barat laut Suriah, yang juga
menargetkan rumah sakit, klinik dan sekolah.
Pernyataan itu juga memperingatkan
kemungkinan bencana kemanusiaan besar jika kampanye tersebut berlanjut.
Selain itu, pernyataan tersebut
menyerukan kepada para pihak untuk mematuhi gencatan senjata yang disepakati
antara Rusia dan Turki September lalu.
Rusia mengklaim komitmen pada gencatan
senjata yang ditandatanganinya. Ia berdalih, kampanye militer yang
diluncurkannya itu menargetkan “teroris”.
Dalam perjanjian Turki-Rusia, Hai’ah
Tahrir Al-Syam (HTS) yang mengontrol mayoritas Idlib tidak masuk dalam
perjanjian gencatan senjata. Sehingga hal itu dijadikan dalih Rusia untuk
menyerang.
Dalam berbagai laporan media, kampanye
militer Assad dan Rusia tak hanya menargetkan wilayah HTS. Wilayah faksi-faksi
yang “moderat” juga turut jadi sasaran.
Perlu dicatat, Rusia dan rezim Assad
memiliki definisi “teroris” tersendiri. Kedua negara sekutu itu memasukkan kelompok-kelompok
yang menentang rezim, baik Islamis maupun sekular, ke dalam daftar teroris.
Sumber: AFP
Redaktur: Sulhi El-Izzi
https://m.kiblat.net/2019/06/04/lagi-rusia-halangi-pengesahan-pernyataan-dk-pbb-soal-situasi-terkini-di-idlib/
Sumber: AFP
Redaktur: Sulhi El-Izzi
https://m.kiblat.net/2019/06/04/lagi-rusia-halangi-pengesahan-pernyataan-dk-pbb-soal-situasi-terkini-di-idlib/
Hujan Bom, Masjid-Masjid Di Pedesaan
Idlib Tiadakan Salat Jumat
Sabtu, 25 Mei 2019 13:55
Kementerian Wakaf Pemerintah Darurat di
Idlib, Jumat (24/05/2019), meliburkan pelaksanaan Salat Jumat di seluruh
wilayah oposisi pedesaan Idlib. Keputusan terpaksa diambil demi keselamatan
jiwa warga muslim menyusul sengitnya serangan udara dan artileri militer Suriah
dan Suriah pada Jumat itu.
Koresponden portal El-Dorar melaporkan
bahwa seluruh pengurus masjid di pedesaan Idlib selatan mengumumkan tak
menggelar Salat Jumat akibat eskalasi militer di kawasan tersebut.
Seluruh desa dan kota di pedesaan Idlib
selatan mengalami gempuran udara sengit sejak fajar. Menjelang siang, hujan bom
belum berhenti.
El-Dorar mengatakan bahwa gempuran udara
di wilayah tersebut sudah terjadi sejak Kamis. Serangan semakin intens pada
Jumat dini hari.
Gempuran udara sengit ini terjadi
beberapa hari setelah pejuang berhasil kembali merebut Kota Kafr Nabudah di
pedesaan Hama utara. Militer Suriah menderita kerugian pasukan sangat banyak
dalam pertempuran itu. Beberapa di antaranya berhasil ditawan.
Pinggiran Idlib dan Hama yang dekat
dengan wilayah kontrol rezim menjadi saksi eskalasi militer rezim dan Rusia
sejak dua bulan terakhir. Perjanjian gencatan senjata yang disepakati antara
Turki dan Rusia di wilayah itu sudah tak lagi berlaku.
Menurut PBB, ratusan ribu warga
meninggalkan rumah mereka sejak eskalasi terakhir itu. Mayoritas pengungsi
menuju ke perbatasan Turki untuk mencari tempat perlindungan.
Sumber: El-Dorar
Redaktur: Sulhi El-Izzi
https://m.kiblat.net/2019/05/25/hujan-bom-masjid-masjid-di-pedesaan-idlib-tiadakan-salat-jumat/
Sumber: El-Dorar
Redaktur: Sulhi El-Izzi
https://m.kiblat.net/2019/05/25/hujan-bom-masjid-masjid-di-pedesaan-idlib-tiadakan-salat-jumat/
Index “Saudi- Turki- Qatar- Syiah Iran- Komunis
Rusia”