Pengetahuan
tentang sejarah Najd dan negeri-negeri di sekitarnya sangatlah penting untuk
diketahui setiap muslim dalam rangka mengenal hakekat sebenarnya dari dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu,
di mana fakta dan sejarah tentang dakwah beliau telah banyak diputarbalikan
oleh ahlul batil hingga kini, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah, Tashawwuf,
ataupun kaum hizbiyyin dari kalangan neo Khawarij, baik dari kelompok
Hizbut Tahrir ataupun yang lainnya.
Perlu
diketahui bahwa Negeri Najd sejak sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahkan sejak jauh hari sebelum kelahiran
beliau, benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan dan sangat bertentangan
dengan syariat Islam.
Hal
ini ditinjau dari dua sisi, baik dari sisi kehidupan keagamaan masyarakat Najd
secara umum pada masa itu, ataupun dari sisi kehidupan sosial politik serta
keamanan negeri tersebut dan sekitarnya. Najd adalah bagian dari kawasan
Jazirah Arabia yang terletak antara Hijaz dan Iraq[1].
Sejarah
Kehidupan Keagamaan Najd
Pada
masa itu, kaum muslimin di negeri Najd dan Al-Ahsa` serta negeri-negeri yang
lainnya, sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu,
telah tenggelam dalam kehidupan yang penuh kesyirikan, bid’ah, dan khurafat,
serta kemaksiatan.
Mereka
telah mencampakkan bimbingan Al-Qur`an dan Sunnah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta para shahabat radhiallahu ‘anhum. Berbagai macam bentuk
ibadah kepada selain Allah mereka lakukan, ber-istighatsah dan meminta
tolong serta perlindungan kepada makhluk-makhluk, baik wali, jin, batu, pohon,
dan yang lainnya.
Sebagai
contoh adalah apa yang terjadi di salah satu daerah Najd yang terkenal dengan
nama Balidah. Ada sebuah sebuah pohon kurma pejantan, yang terkenal dengan nama
Al-Fida’.
Pohon
itu dikenal karena kejantanannya, sehingga manusia berdatangan ke tempat
tersebut untuk meminta berbagai macam permohonan kepadanya. Orang-orang yang
mengalami kesempitan rizki, musibah, atau penyakit, berdatangan untuk memohon
jalan keluar dari musibah-musibah yang mereka alami. Begitu juga seorang wanita
yang ingin segera mendapatkan jodoh, memohon dengan mengatakan:
“Wahai
pohon pejantan yang ampuh, berilah aku seorang suami…dst.”[2]
Tak
luput pula di daerah Ad-Dir’iyyah, tempat cikal bakal kemunculan dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ad-Dir’iyyah telah dipenuhi dengan
berbagai macam kesyirikan.
Di
antaranya adalah adanya sebuah makam di salah satu gua pada sebuah gunung di
negeri tersebut yang kebanyakan orang meyakininya sebagai makam seorang wanita
cantik yang terkenal dengan julukan Bintul Amir. Konon, dia adalah seorang
wanita yang bertakwa dan banyak beribadah.
Suatu
hari, ia keluar rumah dan sampai di gunung tersebut. Ternyata di sana ada
segerombolan pria jahat yang hendak menodai kehormatannya.
Melihat
kondisi ini, wanita tersebut berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari
bahaya. Belum selesai dari doanya, ternyata salah satu sisi dari gunung
tersebut terbelah, kemudian wanita itu segera memasukinya hingga dia pun
mengakhiri hidupnya di goa tersebut. Setelah itu, beredar keyakinan bahwa
wanita itu adalah salah seorang wali Allah. Maka berdatanganlah manusia ke tempat
itu meminta barakah, rizki, dan jalan keluar atas segala penyakit maupun
musibah yang menimpa mereka. [3]
Kemudian,
beberapa negeri di luar Najd, seperti Mesir, Iraq, India, dan Yaman, dan juga
sebagian besar daerah di wilayah kekuasaan Dinasti ‘Utsmani telah dipenuhi
berbagai macam praktek kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan kemaksiatan.
Di
Mesir, pada waktu itu umat Islam melakukan doa dan istighatsah serta
penyembelihan hewan-hewan sebagai sesaji untuk kuburan Al-Badawi dan Ar-Rifa’i.
Di
Iraq, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi kuburan Abdul Qadir
Al-Jailani.
Di
Makkah dan Ath-Taif pun tak luput dari praktek-praktek kesyirikan, di mana
mereka beramai-ramai mendatangi kuburan Ibnu ‘Abbas. Demikian pula negeri Yaman
dengan kuburan Ibnu ‘Alwan-nya.[4]
Sejarah
Kehidupan Politik dan Keamanan Najd
Kehidupan
sosial politik dan keamanan di Negeri Najd sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu adalah sebuah kehidupan yang
sangat mengerikan.
Hukum
yang berlaku adalah hukum kekabilahan. Masing-masing daerah terpisah dari
daerah yang lainnya dan tercerai berai di bawah kekuasaan para pemimpin
kabilah, yang mayoritas mereka terkungkung kejahilan dan hawa nafsu. Penguasa
negeri yang memiliki kekuatan berambisi untuk mencaplok negeri lainnya yang
cenderung lebih lemah.
Di
setiap negeri terjadi peperangan, pembunuhan, serta kedzaliman. Perasaan takut
dan mencekam meliputi negeri Najd. Kaum wanita pun menjadi tawanan yang
ternodai dan diperjualbelikan harga dirinya. Para perampok di jalan-jalan
menjadi momok besar bagi para pedagang yang hendak lewat.
Salah
satu pembesar kabilah yang terkenal dengan kekejamannya adalah penguasa kota
Ar-Riyadh yang dikenal dengan Dahham bin Dawwas. Seorang pendusta yang dzalim,
yang dikenal dengan kemunafikannya, menghalalkan berbagai macam perkara yang
diharamkan. Dia adalah seorang pelayan di istana penguasa Riyadh, yang kemudian
dengan segala tipu dayanya berhasil menduduki kursi kekuasaan.
Disebutkan
di antara kekejamannya adalah ketika suatu hari dia marah terhadap seorang
wanita, maka mulut wanita tersebut dijahit. Dan pada hari lain, dia menyiksa
seorang lelaki yang tak bersalah dengan bentuk siksaan yang tidak pernah
tercatat dalam sejarah. Dia potong paha lelaki tersebut dan diperintahkannya
untuk memakan potongan daging pahanya sendiri. Kondisi yang mengerikan ini, tak
ada satu pihak pun yang mampu menghentikannya.
Hingga
Allah lahirkan seorang ulama besar yang menyeru kepada tauhid dan Sunnah, serta
mengajak umat untuk menegakkan syariat Islam di bumi Najd khususnya dan
negeri-negeri muslimin secara umum. Dialah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.
Yang
tidak kalah pentingnya dengan pembahasan di atas adalah pengenalan kondisi
Daulah ‘Utsmaniyyah pada masa itu kaitannya dengan keberlangsungan dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di daerah Najd.
Pembahasan
ini meliputi hubungan Najd dengan Daulah ‘Utsmaniyyah
Banyak
pihak menyatakan kawasan Najd pada masa itu adalah bagian dari teritorial
kekuasaan Dinasti ‘Utsmani. Sehingga dari sinilah muncul anggapan bahwa gerakan
dakwah di Najd yang dipimpin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan
dukungan penuh dari Penguasa Ad-Dir’iyyah, yaitu Al-Amir Muhammad bin Su’ud dan
keluarganya, sebagai bentuk pemberontakan atau gerakan separatis yang
memberontak terhadap Dinasti ‘Utsmani.
Tuduhan
miring ini muncul disebabkan beberapa faktor, antara lain:
01.Adanya pihak-pihak yang benci
dan sakit hati terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, yang mendorong mereka untuk memutarbalikkan fakta serta
menyebarkan isu-isu dusta tentang dakwah beliau sebagaimana akan kami jelaskan
dalam kajian Musuh-musuh Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
02.Jauhnya umat dari para ulama
Ahlus Sunnah dan referensi-referensi Islam yang bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk menjawab beberapa tuduhan miring di atas, maka perlu kami jelaskan
tentang eksistensi Najd dan hubungannya dengan Dinasti ‘Utsmani.
03.Sejarah mencatat bahwa Najd
secara umum pada waktu itu atau daerah Ad-Dir’iyyah secara khusus, yaitu negeri
tempat munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu,
tidak termasuk wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Bukti dari hal ini
adalah apa yang dipaparkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, Rektor
Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) Madinah, dalam disertasi doktoral
yang beliau susun dengan judul ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab As-Salafiyyah wa atsaruha fi Al-‘Alam Al-Islamy (Aqidah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyah serta pengaruhnya dalam dunia Islam),
beliau berkata (I/40-41):
“Belahan
bumi Najd secara umum tidak menyaksikan adanya pengaruh apapun dari Daulah
‘Utsmaniyyah terhadapnya. Demikian juga kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah tidak
sampai menyentuh bumi Najd.” (lihat Tarikh Al-Biladil ‘Arabiyyah As-Su’udiyyah,
Dr. Munir Al-‘Ajlani).
Tidak
seorangpun penguasa ‘Utsmaniyyah yang datang ke sana. Tidak pula perlindungan
keamanan Turki menyentuh daerah-daerah Najd sejak jauh hari sebelum munculnya
dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullahu.
Di
antara bukti yang menunjukkan hakekat sejarah tersebut adalah penelitian
pembagian daerah-daerah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah, dari sebuah cacatan
resmi Turki yang berjudul Qawanin Ali ‘Utsman Durr Madhamin Daftar Diwan (Undang-undang
Dinasti ‘Utsmani yang dikandung oleh catatan sipil negeri tersebut) karya Yamin
‘Ali Afnadi, seorang penanggung jawab resmi catatan sipil Al-Khaqani pada tahun
1018 H, bertepatan dengan tahun 1690 M.
Catatan
tersebut disebarkan Sathi’ Al-Hashri melalui buku Negara-negara Arab dan Daulah
‘Utsmaniyyah.
Melalui
catatan resmi tersebut, diketahui dengan jelas bahwasanya sejak awal abad ke-11
H, Daulah ‘Utsmaniyyah terbagi menjadi 32 propinsi, 14 di antaranya adalah
propinsi-propinsi Arab.
Dan
daerah Najd tidak termasuk dalam 14 bagian tersebut, kecuali hanya wilayah
Al-Ahsa, itupun jika kita menganggap Al-Ahsa merupakan bagian dari Najd. (lihat
kitab Al-Biladul ‘Arabiyyah wa Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, karya Sathi’
Al-Hashri hal. 230-240; dan Intisyaru Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin
‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-’Arabiyyah, karya Muhammad Kamal
Jam’ah, hal. 13).
Sehingga
atas dasar penjelasan di atas, sangat tidak benar jika pergerakan dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu
merupakan
gerakan pemberontakan terhadap penguasa yang sah pada waktu itu. Karena Najd
berada di luar daerah teritorial Daulah ‘Utsmaniyyah.
Namun
yang ada adalah upaya pembenahan dan penataan kembali daerah Najd dan
negeri-negeri yang di bawah naungannya, yang sebelumnya telah dipenuhi berbagai
macam keterpurukan, baik dalam bidang keagamaan yang mayoritas umat dan
negeri-negeri di Najd telah melakukan praktek-praktek kesyirikan, bid’ah dan
khurafat, maupun dalam bidang sosial politik dan keamanan yang dipenuhi dengan
pembunuhan, penindasan, dan saling menyerang satu terhadap yang lainnya.
Dengan
pergerakan dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu,
Najd berubah menjadi sebuah kekuatan besar yang mengkhawatirkan musuh-musuh
tauhid, baik dari kalangan penjajah ataupun dari kalangan ahlul batil, baik
tashawwuf ataupun kaum Syi’ah Rafidhah.
Kondisi
Politik dan Keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah di Masa Itu
Banyak
pihak menangisi dan meratapi keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Namun sangat
disayangkan, tangisan dan ratapan tersebut tidak disertai dengan sikap yang
adil dan ilmiah untuk menjadikannya sebagai pelajaran dan upaya instrospeksi
diri, mengapa dan apa sebab-sebab keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah.
Yang
ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang
menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Dakwah
ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Padahal kalau mereka mau jujur dan mempelajari dengan seksama bahwa Daulah
‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum
kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Disebutkan
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoralnya yang
berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil
‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta
Pengaruhnya Dalam Dunia Islam):
“Bahwa
Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12 H -yaitu sejak jauh
hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah
lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/
dianggap tidak ada).
Banyak
penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir
pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur. Hal itu
ditandai dengan adanya penandatanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah
Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang, red.), dekat Sungai Danube pada
tahun 1110 H, bertepatan dengan 1699 M [5] dengan Pemerintahan Rusia.
Peristiwa
ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II. Hal itu merupakan bukti
resmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara
Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Akibat
kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan
Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh. Barat menggelari penguasa Dinasti
‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit.
Kemudian
Barat sepakat untuk mulai membagi-bagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani
ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu.
Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing
negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi
antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah
‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.
Secara
kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan
wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu
justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur
asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keislaman, dan
terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara. [6]
Akibat
dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan.
Bahkan sebagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi
dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil. [7]
Muhammad
Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar:
“Di
kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah
dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing
tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan
negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.”
Keadaan
Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan
adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam maupun di luar
negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya
yang ingin melepaskan diri dari Daulah (lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal.
47). Sehingga pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya
di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka.
Hingga
kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa disebabkan revolusi
perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya
pada tahun 1080 H. (lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr)
–sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud
Kondisi
Aqidah dan Keagamaan Daulah ‘Utsmaniyyah
Daulah
‘Utsmaniyyah ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tashawwuf,
mendukung penuh gerakan sufi dengan berbagai macam tarekat-tarekatnya, yang
sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid.
Dalam
pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat,
termasuk sebagian adat peribadatan Nashara, seperti cara kehidupan kependetaan
yang dikenal dengan Ar-Rahbaniyyah, melantunkan dzikir-dzikir dengan lantunan
nada diiringi tari-tarian, disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan.
Berbagai macam bentuk peringatan maulid, dan berbagai macam aliran bid’ah yang
lainnya.
Bahkan
telah masuk pula adat istiadat Hindu, Persia, dan Yunani dengan berbagai macam
dakwah aqidah yang menyesatkan. Seperti aqidah Al-Hulul dan Al-Ittihad serta
Wihdatul Wujud (aqidah yang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana dan telah
menyatu dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, atau sering dikenal di negeri
Indonesia ini dengan manunggaling kawula gusti).
Aqidah
ini merupakan aqidah sesat dan menyesatkan yang dimotori tokoh-tokoh sesat
tashawwuf semacam Al-Hallaj dan yang lainnya.
Pemerintahan
Daulah ‘Utsmaniyyah beranggapan bahwa gerakan tashawwuf merupakan inti agama
Islam. Sehingga para penguasanya benar-benar menghormati dan merendahkan
dirinya di hadapan tokoh-tokoh tashawwuf serta berlebihan dalam mengagungkan
mereka. Di negeri tersebut dan daerah-daerah kekuasaannya, dipenuhi dengan
kubur-kubur yang diagungkan dan dikeramatkan dengan didirikan kubah-kubah di
atasnya.
Hal
itu dilindungi secara resmi oleh Daulah ‘Utsmaniyyah, sehingga banyak umat yang
berdatangan ke kubur-kubur dalam rangka mengagungkannya. Demikian juga
menyembelih qurban dan bernadzar untuk selain Allah telah tersebar luas dan
merata di Daulah ‘Utsmaniyyah. Doa dan istighatsah kepada kubur merupakan suatu
keadaan yang menyelimuti negeri tersebut. [8]
Gambaran
dan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah yang bobrok dan bejat aqidahnya seperti di
atas, telah ada jauh sebelum dilahirkannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullahu.
Semua
itu berakibat semakin lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah, tercerai berainya persatuan
mereka, sehingga mereka benar-benar lemah di hadapan musuh-musuhnya. Hilang
wibawa mereka sehingga dengan penuh kerendahan dan kehinaan mereka harus
menandatangani perjanjian damai dengan negara-negara kafir, yang menunjukkan
betapa lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Ini
semua merupakan bukti nyata bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah tidak menjunjung tinggi
tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, Allah
tidak memberikan pertolongan-Nya kepada mereka. Telah hilang dari mereka janji
Allah dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Allah akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.”(Muhammad: 7)
Mereka
tercerai berai karena mereka telah meninggalkan prinsip dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maha Benar Allah yang telah berkata di dalam
kitab-Nya:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan
inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kalian ikuti as-subul
(bid’ah dan syahwat), karena (jalan-jalan itu) menyebabkan kalian tercerai
berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian, agar
kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Dengan
tercerai-berainya ini, karena meninggalkan tauhid dan Sunnah, yang kemudian
diikuti ambisi masing-masing pihak dalam bentuk berbagai pemberontakan,
akhirnya berujung pada hilangnya kekuatan dan kewibawaan mereka di hadapan
musuh-musuh-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ
“Dan
taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan
kalian.” (Al Anfal: 46).
Dan
benar pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
menyatakan:
وَجُعِلَ الذِّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Dan
dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi pihak-pihak yang menyelisihi
perintahku.” (HR. Ahmad) [9]
Jika
boleh disimpulkan, bahwa keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah disebabkan dua faktor
utama:
1.
Faktor kelemahan politik dan keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah yang ditandai dengan:
>Kekalahan dalam perang
menghadapi kekuatan kafir Eropa sehingga terpaksa harus menandatangani
perjanjian damai, sejak jauh hari sebelum lahirnya Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu.
>Banyaknya gerakan separatis
di daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah.
>Keadaan parlemen dan
kementerian negara yang telah banyak disusupi oleh kaki tangan asing dalam
rangka meruntuhkan kekuatan negara dari dalam.
2.
Faktor aqidah dan kehidupan keagamaan pemerintah Daulah ‘Utsmaniyyah maupun
rakyatnya, yang telah banyak diwarnai kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta
kemaksiatan.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, hilanglah kesempatan mereka untuk
meraih janji Allah yang disebutkan dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا
“Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan
amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka
setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
beribadah kepada-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan-Ku….” (An-Nur:
55)
Wallahu
a’lam.
Footnote:
01.Sebagaimana dalam Al-Mu’jamul
Wasith, penerbit Al-Maktabatul Islamiyyah
02.Lihat kitab Muhammad bin
Abdul Wahhab, karya Ahmad Abdul Ghafur ‘Aththar, hal. 20; dan kitab Muhammad
bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Asy-Syaikh
Mas’ud An-Nadwi, hal. 36.
03.Ibid, hal. 21.
04.Lihat kitab Muhammad bin
‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi. Karya Asy-Syaikh Mas’ud
An-Nadwi; hal 32.
05.Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullahu lahir 1115 H, 5 tahun setelah perjanjian damai
tersebut ditandatangani. Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa dakwah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan bentuk persekongkolan untuk meruntuhkan
Daulah ‘Utsmaniyah. Maka sangat tidak benar apa yang dituduhkan beberapa
penulis dari kelompok Hizbut Tahrir dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah (edisi
Indonesia: Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
06.Lihat kitab Fikrah
Al-Qaumiyyah Al-’Arabiyyah ‘ala Dhau`i Al-Islam, Dr. Shalih bin Abdullah
Al-‘Ubud, hal. 35-56; Intisyaru Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil
Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-’Arabiyyah, M. Kamal Jam’ah, hal. 11-12.
07.Lihat kitab Hadhirul
‘Alam Al-Islamiy, Watsrub Al-Imriky dengan footnote dari Asy-Syaikh
As-Salam, 1/259.
08.Lihat Al-Intisyar, hal.
11-14.’mys’