Friday, October 2, 2020

Allah Tampakan Kebusukan Erdogan, Ancam Arab Saudi, Tipikal Kekejaman Otoman Terhadap Diriyah Dan Madinah

Ancaman Erdogan Terhadap Negara Arab Teluk

“Tidak boleh dilupakan bahwa negara-negara tersebut tidak ada kemarin, dan mungkin tidak akan ada besok. Namun, kami akan terus mengibarkan bendera kami di wilayah ini selamanya, dengan izin Allah,” kata Erdogan pada hari Kamis 1 Oktober, berbicara kepada Majelis Umum Turki.


●Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ يَكِيْدُ أَهْلَ الْمَدِينَة أحدٌ إِلَّا انْمَاعَ كَمَا يَنْمَاعُ الْمِلْحُ فِي المَاءِ
“Tidaklah seorangpun yang berencana buruk kepada penduduk kota Madinah kecuali ia akan lebur sebagaimana garam yang lebur di air”(HR Al-Bukhari)
مَنْ أَخَافَ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ ظَالِمًا لَهُمْ أَخَافَهُ اللهُ وَكَانَتْ عَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ
“Barangsiapa yang menakut-nakuti penduduk kota Madinah dengan mendzalimi mereka, maka Allah akan menjadikan mereka takut, dan atas dia laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia, tidak akan diterima darinya amal wajibnya dan tidak juga amal sunnahnya” (HR An-Nasai)
●Akhir Oktober dilunasi Allah Azza wa Jalla - al-Qawiy
Gempa dahsyat pada Jumat (30/10/2020) melanda Turki dengan magnitudo 7,1 SR, kejadian berikutnya akan menyusul
Majusi Rafidhah saat ini juga Porak Poranda


Siapa Dan Bagaimana Sepak Terjang Utsmaniyah (Otoman) Terhadap Semenanjung Arab (lengkap)
Serangan Erdogan Ke Arab Saudi: "Kapan Kita Akan Mendengar Suara Anda?"


Sikap Asli Erdogan Atas Negara Arab Teluk
 
Warga Saudi dan Arab pada umumnya sama, mereka merasa Erdogan selalu melakukan “kebijakan yang negatif” terhadap negara Arab.
Dan apa yang disinyalir selama ini, terafirmasi oleh Erdogan sendiri dalam beberapa kali pernyataannya saat berpidato di negerinya.
 
Yang terbaru, pidato Erdogan tampak penuh permusuhan terhadap negara-negara Arab Teluk, kembali beredar.
 
Sebuah akun mengatasnamakan @rterdogan_ar pada 1 Oktober lalu, mengedarkan video yang diberi subtitle bahasa Arab.
Dalam pidatonya, Erdogan tampak menegaskan posisinya bersama negara Iran dan Qatar, dua negara yang dikucilkan di Timur Tengah atas dukungannya terhadap terorisme.
 
Setelah video tersebut beredar luas, netizen Arab kemudian membuat tag #اردوغان_يهدد_العرب sambil kembali mengancam Erdogan.
Selain juga memunculkan dokumentasi foto-foto dan video bukti pengkhianatan Erdogan terhadap umat Islam, seperti kemesraannya dengan Israel, foto syur dengan penyanyi wanita, dan banyak lagi.
Beberapa hari sebelum ini, muncul tuntutan kepada Presiden Turki Tayyip Erdogan, yang harus diselidiki dan didakwa atas kejahatan perang atas serangan militer negaranya di Suriah.
Ini disampaikan oleh mantan Jaksa Penuntut dan Penyelidik PBB untuk Suriah, Carla del Ponte. Dia menyatakan bahwa intervensi Turki telah melanggar hukum internasional dan telah menyalakan kembali konflik di Suriah.
Simak pidatonya yang menunjukkan sikap sejatinya terhadap negara Arab, terutama di kawasan Teluk:
Ancaman Erdogan Terhadap Negara Arab Teluk
 
Mereka Dengan Hati Penuh Kebencian Terhadap Negara Ini
 
Hampir-hampir, tidak ada kebaikan pada Saudi. Sehingga ada yang menstigma, “Arab Saudi adalah negara Islam yang berusaha menjadi sekuler.”
Kesimpulan yang tergesa-gesa tanpa pijakan ilmiah. Tetapi menjadi wajar, karena didahului dengan slogan “Turki adalah sekuler yang berusaha menjadi Islam.”
Warga Saudi sebenarnya sadar, bahwa negaranya menjadi target (mustahdaf). Bukan perkara politik saja, tetapi juga kebudayaan dan agama.
Yang sulit dicegah adalah kebijakan yang mengarah kepada dekadensi moral, bahkan melanggar syari’ah, seperti yang tampak dilakukan Haiyah Tarfiyah.
Aib yang demikian tersebut, oleh media hater, langsung dituding “berusaha menjadi sekuler.”
Sementara di negara Turki dan keumuman negara muslim lainnya, lokalisasi pelacuran legal, miras, diskotek, bahkan LGBT, dibanggakan sebagai negara yang “berusaha menjadi Islam.”
Padahal, semua itu dilarang dan tidak ada di negeri Raja Salman.
Undang-Undang Dasar Arab Saudi jelas menyatakan sebagai berikut:
Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab Islam, berdaulat penuh, beragama Islam, dan konstitusinya adalah Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berbahasa Arab dan ibukotanya adalah Riyadh.
Tetapi pelanggaran pasti terjadi, penyelisihan terhadap syariat, memungkinkan terjadi, mengingat bukan negara yang dipimpin malaikat dan rakyatnya para nabi.
Yang perlu dicatat di sini, Saudi dan rakyatnya tidak mentolelir kesyirikan atau pebuatan yang dapat menjadi sebab keluar dari agama Islam.
Tetap saja, ada sebagian kelompok yang menampakkan kebenciannya tanpa batas. Mereka gagal memahami konsep kerajaan dengan ulamanya yang bermanhaj salaf.
Atas dasar kekeliruan tersebut, penguasa Saudi harus dikritik secara terbuka, sebagian mengatakan “memberi menasehat” tetapi di muka umum.
Beberapa Kasus Pelanggaran 
Setiap waktu media mengekspos kehidupan sosial di Arab Saudi. Sayangnya, yang ditampilkan keburukan atau aib yang tidak dikehendaki terjadi.
Netizen Saudi paham, negaranya menghadapi kampanye kotor yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mereka yang kerap menviralkan perbuatan menyalahi tradisi dan agama tersebut, kebanyakan warga asing yang menetap di Saudi, seperti warga Suriah dan Yaman.
Mereka tidak memiliki kualifikasi kecuali menari dan mempromosikan keburukan, dan Anda hanya akan melihat yang terburuk dari mereka dengan hati yang penuh kebencian terhadap negara ini! Siapa yang mendukung mereka? Siapa yang membayar mereka? Siapa dalangnya?
Tidak lupa di akhir curhatannya, ditag akun Niyabah ‘Ammah, sebagai pihak berwenang yang menangangi kasus pelanggaran adab dan kriminal

Arab Saudi Boikot Turki, Mulai dari Produk Impor, Investasi hingga Pariwisata
 
Kepala Kamar Dagang Arab Saudi menyerukan pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020 untuk memboikot "semua yang ada di Turki" termasuk impor, investasi, dan pariwisata, dengan mengatakan itu adalah "tanggung jawab setiap orang Saudi."
 
Seruan boikot datang setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa beberapa negara di Teluk Arab menargetkan Turki dan mengejar kebijakan yang membuat kawasan itu tidak stabil.
 
“Tidak boleh dilupakan bahwa negara-negara tersebut tidak ada kemarin, dan mungkin tidak akan ada besok. Namun, kami akan terus mengibarkan bendera kami di wilayah ini selamanya, dengan izin Allah,” kata Erdogan pada hari Kamis 1 Oktober, berbicara kepada Majelis Umum Turki.
 
Kata-katanya itu memicu reaksi balik, kepala Kamar Dagang Arab SaudiAjlan al-Ajlan menyerukan boikot barang-barang Turki.
"Memboikot semua orang Turki, baik pada tingkat impor, investasi atau pariwisata, adalah tanggung jawab setiap Saudi - pedagang dan konsumen - sebagai tanggapan atas permusuhan berkelanjutan dari pemerintah 
Turki terhadap kepemimpinan kami, negara kami dan warga negara kami," kata al -Ajlan dalam sebuah posting di Twitter.
Jika arahan itu diikuti, itu akan mempengaruhi ribuan eksportir Turki pada saat ekonomi Turki sedang goyah.
 
Ekonomi Turki
 
Lira Turki telah menukik, turun ke rekor terendah pada hari Senin di lebih dari 7,7 versus dolar AS. Lira adalah salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di dunia tahun ini, turun 22 persen, menurut Reuters.
Dampak virus corona dikombinasikan dengan krisis mata uang yang dimulai pada 2018 telah menyebabkan resesi tajam, dengan cadangan devisa bruto di bank sentral turun hampir setengahnya tahun ini.
Ibu kota Barat juga melarikan diri dari pasar Turki, menurut mantan anggota parlemen Turki Aykan Erdemir.
"Turki menderita defisit transaksi berjalan kronis dan eksodus Barat yang sedang berlangsung dari obligasi dan ekuitas Turki memperburuk masalah," kata Erdemir kepada Al Arabiya English.

Siapa yang harus disalahkan?

Presiden Turki Erdogan menyalahkan aktor asing atas keadaan ekonomi, mengklaim pada Mei bahwa plot asing berusaha merusak perdagangan negara.
Para penentang malah menunjuk pada kebijakan menteri keuangan Berat Albayrak, 41 tahun, yang merupakan menantu Erdogan.
Mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengatakan bulan lalu bahwa Albayrak "menghancurkan ekonomi Turki" dalam pidatonya dan nepotisme adalah satu-satunya alasan penunjukan Albayrak.
"Seseorang perlu dimintai pertanggungjawaban atas hilangnya nilai lira," kata Davutoglu, menurut kantor berita Turki Duvar.
Argumen lain yang dibuat oleh kritikus Erdogan adalah bahwa pemerintah Turki lebih memperhatikan kemenangan di medan perang asing daripada memperbaiki krisis ekonomi, dan menggunakan sumber daya negara untuk berperang di Suriah, Libya, dan sekarang Azerbaijan.***
 
Wajah Baru Turki di Bawah Erdogan: Kebangkitan Neo-Ottomanisme?
 
Selama bertahun-tahun pasca runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Turki dikenal sebagai masyarakat modern, sekuler, dan pro-Barat setidaknya hingga dekade terakhir. Turki adalah negara sekuler yang berpenduduk mayoritas Muslim. Konstitusi Turki menjamin kebebasan beragama dan tidak memiliki agama resmi yang didukung negara.
Turki terletak di ujung Eropa dan Timur Tengah, tidak hanya menarik secara geografis tetapi juga dalam arti tertentu, secara politik. Meskipun berada di Timur Tengah, Turki adalah anggota NATO dan telah berupaya agar bisa bergabung dengan Uni Eropa. Tetapi banyak hal telah berubah dalam dua puluh tahun terakhir.
Sementara itu, sejak awal tahun 2000-an, sistem politik Turki terus bergerak menuju sistem yang dibentuk oleh ide-ide Islam. Turki telah mendanai dan mengaktifkan kelompok-kelompok pejuang Islam, seperti Hamas. Turki juga berebut pengaruh dengan Arab Saudi dan Iran untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin komunitas Muslim global.
Bagaimana ini bisa terjadi? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kebangkitan Islamisme di Turki?
Untuk memahami transformasi ini, Direktur Ayn Rand Institute, Elan Journo berbicara dengan Dr. Michael Rubin, mantan pejabat Pentagon dan peneliti di American Enterprise Institute. Rubin yang berspesialisasi sebagai pengamat Timur Tengah, Turki dan Iran termasuk di antara sedikit suara yang sejak awal meningkatkan peringatan tentang tren yang diambil oleh Turki, bangkitnya neo-Ottomanisme.
Menurut Dr. Michael Rubin, kekuatan pendorong di balik pembentukan kembali Turki adalah pemimpin negara itu, Recep Tayyip Erdogan -seorang pria yang digambarkan oleh Rubin sebagai seorang jihadis dalam setelan bisnis. Rubin berpendapat bahwa Arab Saudi adalah kebangkitan gerakan Islam di abad ke-20, (dengan menjadi sponsor keuangan global dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai negara), Turki bertujuan untuk mengambil peran itu di abad ke-21.
Beberapa kesimpulan menonjol terkait transformasi Turki dari sekuler menjadi Islamis :
Pertama, Erdogan memulai rencana yang diperhitungkan untuk memasukkan ide-ide Islam ke dalam masyarakat Turki. Kedua, kampanye Erdogan bersifat inkrementalis, membentuk kembali institusi dan sistem hukum dari dalam, tetapi juga oportunistik, mengeksploitasi dalih untuk membungkam perbedaan pendapat. Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa otoritarianisme Erdogan sekarang sedang bergerak menuju kediktatoran, dan bahwa perebutan kekuasaan yang lebih besar ini adalah cara untuk mencapai tujuan akhir dari penciptaan masyarakat Islam di bawah pengaruh neo-Ottomanisme.
Dengan kata lain, rezim-rezim Islamis di Iran, Arab Saudi, Afghanistan dan di tempat lain terkadang mencapai kekuatan totaliter, tetapi variasi yang dapat dikenali dari pemerintahan Islam ini bukanlah satu-satunya. Bisa juga terlihat seperti di Turki. (DH/MTD)
Sumber : Aynrand.org | Redaktur : Hermanto Deli
 
90 Tahun National Day: Propaganda Anti Arab Saudi Dari Turki
 
Hari Nasional ke-90 tahun Arab Saudi, dimaknai berbeda oleh sebagian pihak. Di antaranya, seperti orang Turki yang masih melanjutkan propaganda anti Arab.
Mereka menganggap bahwa tanggal 23 September adalah hari di mana rakyat Saudi merayakan “Hari Kemerdekaan” dari Turki (Gambar 1).
Padahal, tanggal tersebut merupakan hari di mana nama Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Saudiyah) resmi ditetapkan sebagai ganti dari nama “Kerajaan Nejd dan Hijaz beserta Anneksnya” (Mamlakah al-Najd wa al-Hijaz wa Mulhaqatiha).
Sesuai Dekrit Raja Abdulaziz bin Saud nomor: 2716 tahun 1932, menyusul keberhasilan penyatuan wilayah-wilayah Kerajaan yang memakan waktu lebih dari 30 tahun (Gambar 2).
Daulah Utsmaniyah atau Turki Utsmani, tidak pernah menguasai seluruh Jazirah Arab. Tetapi mereka menguasai sebagian saja, bersekutu dengan penguasa di Hijaz (Gambar 3).
Sekutu mereka, Shareef Hussain, adalah orang yang berperang melawan Daulah Utsmaniyah untuk membebaskan tanah Arab, bukan Al Saud yang mendirikan Arab Saudi di Najd (Gambar 4).
Pemahaman yang keliru seperti, menjangkiti sebagian pembenci Saudi, sejarah bias dan propaganda yang disebarluaskan untuk tujuan politis.
Maka, sangat keliru jika National Day di Arab Saudi sebagai perayaan terbebasnya dari penjajahan Utsmaniyah.
Padahal, Turki Utsmani hancur karena oleh anak bangsanya sendiri. Seperti dalam Perang Kemerdekaan Turki, bangsanya sendiri yang melawan.
Sementara orang Arab hanya mengusir mereka dari tanah Arab, tetapi tidak menghancurkan kekaisaran Turki Utsmani (Gambar 5 & 6).
 
Stigma Wahabi-Khawarij Sejak Era Daulah Utsmaniyah
 
Daulah Utsmaniyah atau Turki Ustmani memiliki saham terbesar dalam menghasut umat Islam dengan melabeli Kerajaan Arab Saudi sebagai wahabi-khawarij.
Sejarah ini kembali pada masa penyerbuan Daulah Utsmaniyah terhadap Kerajaan Arab Saudi pertama, di tahun 1213 H.
Utsman bin Bisyr dalam bukunya yang berjudul “Unwan Al Majd,” mengisahkannya cukup detail.
Di antaranya, tentara gabungan Utsmani yang sangat banyak menuju Najd, buah propaganda Turki kepada Saudi pertama yang dituduh khawarij dan kafir.
Dengan kekuatan penuh, didukung persenjataan mutakhir, pasukan Utsmani mengarah menuju Najd.
Di waktu yang sama, Sultan Utsmani membiarkan penjajah Perancis menguasai Mesir, yang saat itu di bawah kekuasaannya.
Dr Sultan al-Ashqah dalam kajiannya kali ini, memaparkan bahwa Turki Utsmani lebih memerangi siapa saja yang mendakwahkan tauhid dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Hingga ketika Makkah dan Madinah telah dikuasai Kerajaan Arab Saudi, sebagai puncak amarah Utsmani.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Dr. Abdurrahim Abdurrahman dalam bukunya “Al Watsaiqy” di jilid pertama.
Setelah Utsmani putus asa atas lepasnya Irak dan Syam, maka dibentuklah pasukan di Mesir, yang dikomandoi Muhammad Ali Pasha.
Selama pembentukan tentara dan pasukan bersenjata itulah, Utsmani tidak berhenti membuat propaganda besar-besaran dengan tuduhan yang buruk terhadap Saudi.
Tujuannya, menjauhkan kaum muslimin di penjuru timur dan barat dari dakwah Imam al-mujaddid Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab, yang didukung oleh Kerajaan Arab Saudi.
Kala itu, disebarkan berita dusta oleh Daulah Ustmani, bahwa Imam Besar Saudi melarang penduduk Syam dan Mesir melaksanakan haji dan umroh.
Al-Jabarti dalam buku sejarahnya, memberikan bantahan atas tuduhan tersebut.
Yang tepat adalah Imam Besar Saudi melarang apa yang dibawa oleh jemaah haji yang disebut “mahmal.”
Al-Mahmal ini membawa qiswah Ka’bah yang dibawa oleh rombongan jama’ah besar dan diiringi oleh rebana, gong, terompet, gendang dan lainnya.
Sejak di perjalanannya dari Mesir dan Syam, orang-orang mengusapnya, bertabarruk dengannya dan menciuminya.
Inilah yang dilarang masuk Makkah oleh Imam Besar Saudi, dengan mengutip perkataan:
Jika kalian datang dengan mahmal pada tahun depan, maka kami akan melarang kalian masuk Makkah. Apabila kalian datang tanpa bid’ah dan khurafat, kami menyambut dengan kelapangan. Dan dari Daulah Saudia bagi kalian, jaminan keamanan haji dari awal sampai akhir.
Kedustaan juga disebarkan melalui Mufti Makkah Daulah Utsmani kala itu, Ahmad Zaini Dahlan dalam bukunya “Ad Durrar  As Sinniyyah Ar Rad A’la Wahhabiyyah.“
Dalam buku tersebut, ditulis berbagai kebohongan terhadap Saudi, terhadap ulamanya dan penduduk Najd.
Di antaranya, Dahlan mengatakan bahwa ulama Najd mengkafirkan siapa saja yang menyelisihi mereka.
Termasuk menuduh bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab menciptakan risalah nubuwwah baru. Jelas ini mengada-ada dan dusta.
Sebagai bantahan atas kedustaan Dahlan. ulama India, Syaikh Bisyri Syah Syawani menulis sebuah buku yang berjudul “ Shiyanatul Insan ‘an Was Wasati Syaikh Dahna.”
Isinya membantah tulisan Dahlan dan membongkar kebohongan-kebohongannya terhadap Daulah Saudi dan dakwah salafiyyah di Najd.
Fakta-fakta sejarah lainnya yang lebih lengkap terkait tema ini, tonton kajian Dr Sultan di video berikut ini.
Tudingan Wahabi Khawarij Ditujukan ke Arab Saudi Oleh Daulah Utsmani