Menjawab
Tuduhan Dusta yang Mengatakan Bahwa Ahlussunnah Membunuh Al-Imam Husain
Posted on 25 Desember 2010 by abunamirahasna
http://abunamira.wordpress.com/2010/12/25/menjawab-tuduhan-dusta-yang-mengatakan-bahwa-ahlussunnah-membunuh-al-imam-husain/
Lagi-lagi sebuah tuduhan
palsu kembali dilontarkan kepada saudara kita orang syi’ah Malaysia ini http://profiles.friendster.com/47504334, old page menurut apa yang dituliskan di
bulletinnya itu bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang Ahlussunnah yang
membunuh Imam Husain. Atas dasar ini kemudian dia menyimpulkan sekaligus memfitnah
bahwa golongan Ahlussunnah wal jama’ah (ASWJ) lah yang membunuh Imam Al Husain
Radhiyallahu ‘anhuma. Bagaimana ini bisa terjadi padahal kami sangat mencintai
Ahlul Bait.
Masya Allah betapa jahat dan
bencinya orang syi’ah ini kepada golongan Ahlussunnah. Saya ingatkan kembali
kepada Syi’ah janganlah kalian menuduh sesama muslim dengan tuduhan tanpa
bukti, dan jika tuduhan itu salah (orang yang dituduh tidak pernah
melakukannya) maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu
‘anhuma., ia mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: “Seorang
laki-laki yang menuduh laki-laki lain itu jahat atau menuduhnya kafir, maka
tuduhannya itu berbalik kepada dirinya, seandainya orang yang dituduhnya itu
tidak seperti itu.” (HR Muslim I – 33, 49)
Ikhwafiddin Rahimakumullah,
saya menghimbau bagi yang telah membaca tulisan-tulisannya di bulletin ini
hendaknya jangan mempercayainya sedikitpun walau dia membawakan artikel tauhid
sekalipun, ketahuilah orang ini batil manhajnya jangan diambil ilmu darinya.
Sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh as-Salafus shalih Al-Imam Ibnu Sirin Rahimahullah, beliau
mengatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah
agama, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
(Muqaddimah Shahiih Muslim)
Beliau juga mengatakan: “Mereka
(para shahabat dan tabi’in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang sanad
hadits. Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat seperti
Khawarij, Syi’ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: “Sebutkan kepada kami
sanad kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka diterima
haditsnya dan apabila datang dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Ibid.)
Berikut lengkap bulletinnya:
=====================
Subject:
Yazid bin Muawiyah yang
membunuh al-Hussain putra Rasulullah adalah dari golongan ASWJ? huh!
Message:
Apabila penduduk Kufah
meminta beliau ke sana untuk memimpin mereka, jemputan itu diketahui Yazid yang
kemudian menghantar pasukan tenteranya bagi menghalang Saidina Hussein sehingga
berlakunya pertempuran meragut nyawa putera Saidina Ali bin Abi Talib dan
Fatimah binti Rasulullah.
Kegembiraan Yazid atas
kematian Saidina Hussein menunjukkan cita bencana dalam dirinya apabila beliau
meletakkan kepala Saidina Hussein yang dipenggal di atas tombak serta diarak
keliling kota Baghdad. – Ketua Jabatan Pengajian Melayu Universiti Singapura,
Prof Madya Dr Syed Farid Alatas
baca seterusnya; http://pakoz.wordpress.com/2009/02/10/yazid-bin-muawiyah-yang-membunuh-al-hussain-putra-rasulullah-adalah-dari
-golongan-aswj-huh/
=====================
Berikut bantahan saya atas
syubhat dari tulisannya tersebut:
Imam Husain ada di hati kami
Diantara prinsip aqidah Ahlus
Sunnah adalah mencintai Ahlul Bait. Kami mencintai Ahlul bait Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, menjadikan mereka wali dan selalu menjaga hak-hak
mereka yang pernah diwasiatkan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalla:
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku
(keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku
(keluargaku).” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2408 (36)
Maka Ahlussunnah sangat
mencintai dan memuliakan mereka, karena hal itu adalah bagian dari kecintaan
dan pemuliaan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan syarat: mereka
(Ahlul bait) harus berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan nabi) dan berada
diatas jalan yang lurus. Sebagaimana pendahulu mereka, seperti: Abbas dan
anaknya, Ali dan anaknya. Adapun orang-orang yang menyelisihi bimbingan nabi
dan tidak berada di jalan yang lurus maka kami tidak menjadikan mereka wali
walaupun dari kalangan Ahlul bait.
Sebagaimana yang diceritakan
dalam Al Qur’an:
“Cekalalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS. Al-Lahab: 1)”
Maka sikap Ahlussunnah
terhadap Ahlul bait adalah sikap yang adil dan inshaf: Ahlussunnah menjadikan
wali setiap Ahlul bait yang istiqamah diatas jalan yang lurus dan berlepas diri
dari setiap Ahlul bait yang menyimpang.
Demikian pula (Ahlussunnah)
berlepas diri dari Ahlul bid’ah dan Khurafiyyin, yaitu orang-orang yang
bertawasul dengan Ahlul bait (yakni tawasul yang tidak benar) dan menjadikan
mereka Tuhan selain Allah.
Ahlul bait berlepas diri dari
Syi’ah
Maka manhaj Ahlussunnah dalam
perkara ini dan selainnya adalah tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak pula
bermudah-mudahan.
Ahlul bait yang berjalan
diatas agama yang lurus juga mengingkari sikap berlebihan terhadap mereka serta
belepas diri dari mereka. (sebagai contoh) Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu pernah membakar orang-orang yang berlebihan terhadap dirinya
dengan api. Ibnu Abbas juga sepakat membunuh mereka akan tetapi dengan cara di
penggal bukan dibakar.
Dan Ali bin Abi Thalib pun
ketika itu ingin membunuh Abdullah bin Saba’, gembong ghulah (pendiri syi’ah
rafidhah) akan tetapi ia lari dan bersembunyi…….
(diterjemahkan dari kitabut
tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Hal.71-73 cetakan
I Maktabah Ibnu ‘Abbas)
Syi’ah bukanlah ahlul bait
dan ahlul bait berlepas diri dari syi’ah keduanya terdapat perbedaan yang jauh
bagaikan timur dan barat bahkan lebih jauh lagi
Barangsiapa yang
mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka
berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya
kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?
Sangat tepatlah ucapan
seorang penyair:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَبِذَاكَ
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَبِذَاكَ
Setiap lelaki mengaku kekasih
Laila
Namun Laila tidak pernah
mengakuinya
Yang Ahlussunnah ketahui
tentang Imam Husain, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga
yang paling mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu
ini. Imam Husain dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni
syurga. Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib,
orang yang mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang
harus dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman.
Ahlussunnah menganggap bahwa
mencintai Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi
Ali adalah bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus
dijauhi. Imam Husain adalah anak dari penghulu wanita penghuni syurga, belahan
hati Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan
oleh Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul
Bait ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku
ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”.
Imam Husain adalah penghulu
Ahlussunnah, dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husain dan yakin
bahwa cinta padanya adalah ikatan tali iman. Mencintai Imam Husain termasuk
amal terbaik yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam
rangka melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang
dicintainya”. Barang siapa mencintai Imam Husain berarti dia telah mencintai
Nabi dan sebaliknya, yang membenci Imam Husain berarti telah membenci Nabi.
Kami Ahlussunnah beranggapan
mengenai Imam Husain sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau :
“siapa yang menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian
wahai Ahlul Bait?”
Kami Ahlussunnah meyakini
bahwa Imam Husain telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami
berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau
bantu-membantu dalam membunuh Imam Husain, atau mereka yang ridho atas
kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam
Husain adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk meninggikan
derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah
orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan
seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah mengaruniakan
padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini Allah
mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa cobaan di
masa awal Islam, begitulah, Imam Husain juga bersabar dalam menghadapi ujian
berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan nikmatnya dengan
karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai syahid tidak pernah
diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam
Husain termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum
muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husain.
Setiap kami mengingat musibah
itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti
Husain, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu
Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat
akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi…dst) maka Allah
akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya
walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan “Inna
lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari
Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu
mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa
musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Walaupun kami mencintai Imam
Husain, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh
kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam
memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi
cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”
Ahlussunnah tidak berdoa dan
meminta pertolongan pada Imam Husain dengan alasan menghormatinya [Ahlussunnah
tidak mengatakan: Ya Husain… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni] ,
karena Allah melarang kami berbuat demikian.
Ahlussunnah tidak
memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana
kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan
mereka berdua sebagai tuhan selain Allah.
Ahlussunnah beranggapan bahwa
Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi,
seperti kemaksuman dan kewenangan membuat syari’at baru, yang hanya dimiliki
oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa
Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi
Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi
mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa
bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti
anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini.
Ahlul Bait adalah mereka yang
paling keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam,
seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi
pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan
memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.
Ahlussunnah tidak melanggar
perintah kakek Imam Husain, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul
badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah. Rasulullah menerangkan bahwa
perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah
dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa
musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud.
Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita
yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat
demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husain tidak
pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya
Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husain
sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti
oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husain.
Hari Asyura adalah hari di
mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah
berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa
pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu
cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan
kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap
musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu
bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa,
yaitu syahidnya Imam Husain. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah
bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar,
sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin,
dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai
ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan
bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husain, dengan hati
yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi
kabar gembira.
(Dr. Abdul Wahhab Al Turairi
)
Siapa yang membunuh Al Husain
Radhiyallahu ‘anhuma ?
Jika pada hari Asyura (10
Muharram), Kami Ahlussunnah wal jama’ah berpuasa atas perintah dari Rasulullah
Shalallahu ‘layhi wasallam, ketika beliau Shalallahu ‘layhi wasallam bersabda,
artinya, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Maka
orang-orang Syi’ah menjadikan 10 Muharram untuk memperingati hari Karbala,
yaitu hari terbunuhnya Al Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Mereka memperingatinya dengan
meratap, melukai kepala dan badan mereka dengan senjata tajam. Bahkan balita
yang masih dalam gendongan ibunya sekalipun, harus meneteskan darah demi
“menyemarakkan” hari Karbala. Seperti itulah orang-orang Syi’ah mengekspresikan
kecintaan mereka kepada Al Husain , salah seorang Ahlu Bait Rasulullah .
Tapi, jika saja mereka mau
menapaktilasi sejarah, maka tentu mereka akan sadar bahwa sebenarnya, secara
tidak langsung orang-orang Syi’ah juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan Al
Husain .
Orang-orang Syi’ah di Kufah
Iraq yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah rutin
mengirim surat kepada Al Husain . Mereka mengajaknya untuk menentang Yazid.
Mereka mengirim utusan demi utusan yang membawa ratusan surat dari orang-orang
yang mengaku sebagai pendukung dan pembela Ahlul Bait.
Isi surat mereka hampir sama,
yaitu menyampaikan bahwa mereka tidak bergabung bersama pimpinan mereka, Nu’man
bin Basyir. Mereka juga tidak mau shalat Jumat bersamanya. Dan meminta Al
Husain untuk datang kepada mereka, kemudian mengusir gubernur mereka, lalu berangkat
bersama-sama menuju negeri Syam menemui Yazid.
Namun, ketika Al Husain
datang memenuhi panggilan mereka, dan ketika pasukan ‘Ubaidillah bin Ziyad
membantai Al Husain dan 17 orang Ahlul Bait di suatu daerah yang disebut
Karbala, tak seorang pun dari orang-orang Syi’ah itu yang membela beliau.
Kemana perginya para pengirim
ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela mati
bersama Al Husain ?
Mereka tidak memberikan
pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau utus dari
Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan pasukan Ibnu
Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syi’ah meratap dan menyiksa diri
mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun atas
dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .
Dalam tragedi mengenaskan
ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah putera Ali bin
Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali.
Demikian pula putera Al
Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar
kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah
pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit.
Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau
dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama
yang paling dibenci orang-orang Syi’ah.
Ternyata Syi’ah sendirilah
yang membunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma di Karbala.
Dengan adanya bukti-bukti
utama ini, tidak ada satu penelitianpun yang dibangun untuk mencari kebenaran
dan mendapatkan keadilan yang memutuskan bahwaYazid bin Muawiyah sebagai
terdakwa yang dituduh bertanggungjawab di dalam rencana jahat pembunuhan
Sayyidina Husain. Bahkan Yazid bin Muawiyah akan dibebaskan dengan penuh
penghormatan dan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya adalah pengakuan
Syi’ah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan
Syi’ah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul
sebagai golongan “At Tawwaabun” yang konon menyesali tindakan mereka
membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah
berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang – orang
Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka
menyembah anak sapi sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina .
Air mata darah yang
dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan
jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun coba dihapuskan
oleh mereka dengan beribu-ribu cara .
Pengakuan Syi’ah
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama – ulama Syi’ah
yang merupakan tonggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah
Syustri dan lain – lain di dalam buku mereka masing – masing. Baaqir
Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang – orang
Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, ” Demi Tuhan! Apa
yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain . Kita telah
membunuh “Ketua Pemuda Ahli Syurga” karena Ibn Ziad anak haram itu . Di sini
mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak
terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa – apa”. ( Jilaau Al’Uyun , m.s. 430
)
Qadhi Nurullah Syustri juga
menulis di dalam bukunya Majalisu Al’Mu’minin bahawa setelah sekian lama (
kurang lebih 4 atau 5 tahun ) Sayyidina Husain terbunuh, pemimpin orang – orang
Syi’ah mengumpulkan orang – orang Syi’ah dan berkata , ” Kita telah memanggil
Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya , kemudian
kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan
diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita “. Dengan itu berkumpulah
sekian banyak orang – orang Syi’ah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca
ayat yang artinya, ” Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu
dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang
menjadikan kamu “. ( Al Baqarah :54 ). Kemudian mereka saling membunuh sesama
diri mereka sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan
gelaran “At Tawaabun”.
Sejarah tidak tidak akan
melupakan peranan Syits bin Rab’ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di
Karbala . Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab’ie? Dia adalah seorang
Syi’ah tulen, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan
Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain . Dia juga yang menjemput Sayyidina
Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan
Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahawa
dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina
Husain dan dialah orang yang pertama-tama turun dari kudanya untuk memenggal
kepala Sayyidina Husain. ( Al’Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, hal.
37 )
Adakah masih ada orang yang
ragu-ragu tentang Syi’ahnya Syits bin Rab’ie dan tidakkah orang yang
menceritakan kejadian ini adalah Mulla Baaqir Majlisi , seorang tokoh Syi’ah
terkenal ? Secara tidak langsung dia mengakui dari pihak Syi’ah sendiri tentang
pembunuhan itu .
Lihatlah pula kepada Qais bin
Asy’ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syi’ahnya tetapi apa
kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menunjukkan kepada kita bahawa itulah
orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya seelah selesai
pertempuran ? (Khulashatu Al Mashaaib ,hal. 192 )
Selain pengakuan mereka
sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina
Husain, ternyata saksi – saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina
Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup setelah peristiwa
ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain sendiri
yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh .
Sayyidina Husain berkata
dengan menujukan kata-katanya kepada orang-orang Syi’ah Kufah yang siap sedia
bertempur dengan beliau :
” Wahai orang – orang Kufah !
Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang –
orang yang curang, dzalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk
membela kamu di waktu sempit tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela
kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang
dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam menentang kami “. (
Jilaau Al’ Uyun, hal. 391 ).
Beliau juga berkata kepada
Syi’ah :” Binasalah kamu ! Bagaimana bisa kamu menghunuskan perang dendammu
dari sarung-sarungnya tanpa permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu
dengan kami ? Mengapa kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebab? ”
( Ibid ).
Akhirnya beliau mendoakan
keburukan untuk golongan Syi’ah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan
beliau :
” Ya Allah! Tahanlah
keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka . Jadikanlah hati-hati
pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud
membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami “.
( Ibid )
Beliau juga diketahui telah
mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu ! Tuhan
akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri
kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan
menumpahkan darahmu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia
dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia
azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh
orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya”. ( Mulla Baqir Majlisi
– Jilaau Al’Uyun, hal. 409 ).
Dari kata – kata Sayyidina
Husain yang telah dipaparkan oleh sejarawan Syi’ah sendiri, Mulla Baqir
Majlisi, dapat disimpulkan bahawa :
(i) Dendam yang
disebarkan oleh musuh-musuh Islam menelusuri penulisan sejarah bahawa
pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan perbuatan balas dendam dari Bani
Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah
yang kafir di dalam peperangan Badar , Uhud, Siffin dan lain – lain tidak lebih
daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina
Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari
kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syi’ah Kufah .
(ii) Keadaan Syi’ah yang
sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah
membuktikan dikabulkannya doa Sayyidina Husaindi medan Karbala akan adzab
Syi’ah
(iii) Upacara menyiksa
badan dengan cara memukul-mukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan pedang pada
10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syi’ah itu
sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain
dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat
Syi’ah . Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah ada upacara yang seperti
ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah golongan yang
bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
(iv) Betapa kejam dan
kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan
membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak sanak keluarganya
walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipanatkan
oleh beliau. Itulah mereka golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang
kewarasan pemikirannya karena setelah mereka selesai membunuh, mereka
melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul
tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah mereka upacara perkabungan
pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka
bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan
ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tiba tanggal 10 Muharram ?
Ali Zainal Abidin anak
Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup
setelah berlalunya peristiwa itu juga berkata kepada orang-orang Kufah lelaki
dan perempuan yang meratap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil
menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada
mereka, ” Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang
membunuh kami selain mereka ?” ( At Thabarsi – Al Ihtijaj, hal. 156
).
Pada halaman berikutnya
Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah.
Beliau berkata:
” Wahai manusia (orang-orang
Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kepada kamu ,
ceritakanlah! Tidakkah kamu sadar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku
(untuk menjemputnya), kemudian kamu menipunya?
Bukankah kamu telah
memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya,
membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu
dahulukan untuk dirimu”.
Sayyidatina Zainab , saudara
perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup setelah peristiwa itu juga
mendoakan keburukan untuk golongan Syi’ah Kufah. Beliau berkata:
” Wahai orang-orang Kufah
yang khianat, penipu! Mengapa kalian menangisi kami sedangkan air mata kami
belum lagi kering karena kedzalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus
oleh kekejamanmu. Keadaan kalian tidak ubah seperti perempuan yang memintal
benang kemudian dirombaknya kembali. Kalian juga telah merombak ikatan iman dan
telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kalian meratapi kami padahal kalian
sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kalian pula menangisi kami. Demi Allah
! Kalian akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kalian telah membeli keaiban
dan kehinaan untuk kamu. Tumpukkan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang
walau dibasuh dengan air apapun”.(Jilaau Al ‘ Uyun, hal. 424 ).
Doa anak Sayyidatina Fatimah
ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syi’ah hingga ke hari ini .
Ummu Kulthum anak
Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya:
” Wahai orang-oang Kufah!
Semoga buruk keadaanmu. Semoga buruk rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku
Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya
dan menawan orang-orang perempuan dari rumahnya . Semoga Allah melaknat kamu
dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu”.
Beliau juga berkata: ” Wahai
orang-orang Kufah ! Orang-orang laki-laki dari kalangan kamu membunuh kami
sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di
antara kami dan kamu di hari kiamat nanti”. ( Ibid , hal. 426 – 428 )
Sementara Fatimah anak
perempuan Sayyidina Husain berkata:
” Kalian telah membunuh kami
dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh kakekku Ali ( Sayyidina
Ali ). Senantiasa darah-darah kami menitis dari ujung-ujung pedangmu……Tidak
lama lagi kalian akan menerima balasannya. Binasalah kalian! Tunggulah nanti
azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kalian. Siksaan dari langit
akan pemusnahan kalian akibat perbuatan terkutukmu. Kalian akan memukul tubuhmu
dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung
dengan azab yang pedih “.
Apa yang dikatakan oleh
Sayyidatina Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita
sendiri di mana-mana Syi’ah berada .
Dua bukti utama yang telah
kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah
sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Dari keterangan dalam
kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
1.
1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak
adalah Syi’ah.
2.
2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di
Karbala itu juga Syi’ah.
3. 3.
Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri
dari saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syi’ahlah
yang telah membunuh mereka .
4.
4. Golongan Syi’ah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping
menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian
orang-orang yang dibunuh oleh mereka .
Kaum muslimin di dunia ini
menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kokoh dan
jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu peristiwa
pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada
orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh
sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan terakhir adalah pengakuan pembunuh
itu sendiri.
Jika keempat-empat perkara
ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh seluruh kaum muslimin sebagai
peristiwa pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui
lagi tentang pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain itu ?
SIKAP YAZID TERHADAP
TERBUNUHNYA AL HUSAIN
Berkata Syaikul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh
Al Husain . Hal ini berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya
memerintahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mencegah Al Hasan menjadi penguasa negeri
Iraq.”
Ketika kabar tentang
terbunuhnya Al Husain sampai kepada Yazid, maka nampak terlihat kesedihan di
wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya.
Kaum wanita rombongan Al
Husain yang ditawan oleh pasukan Ibnu Ziyad pun diperlakukan secara hormat oleh
Yazid hingga mereka dipulangkan ke negeri asal mereka.
Dalam buku-buku Syiah, mereka
mengangkat riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul Bait yang
tertawan diperlakukan secara tidak terhormat. Mereka dibuang ke negeri Syam dan
dihinakan di sana sebagai bentuk celaan kepada mereka. Semua ini adalah riwayat
yang batil dan dusta. Justru sebaliknya, Bani Umayyah memuliakan Bani Hasyim.
Disebutkan pula bahwa kepala
Al Husain dihadapkan kepada Yazid. Tapi riwayat ini pun tidak benar, karena
kepala Al Husain masih berada di sisi Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
SIKAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP YAZID BIN MU’AWIYAH
Sebagian membolehkan melaknat
Yazid bin Mu’awiyah, namun adapula yang melarangnya. Bagi yang membolehkan
melaknatnya, perlu untuk memerhatikan tiga hal berikut:
-Mengetahui dengan jelas bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang fasiq.
-Yakin bahwa Yazid tidak pernah bertaubat dari dosa-dosanya tersebut. Jika orang kafir yang bertaubat kepada Allah diampuni, maka bagaimana lagi dengan orang fasiq?
-Tahu dengan pasti hukum melaknat pribadi tertentu, bahwa itu dibolehkan.
-Mengetahui dengan jelas bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang fasiq.
-Yakin bahwa Yazid tidak pernah bertaubat dari dosa-dosanya tersebut. Jika orang kafir yang bertaubat kepada Allah diampuni, maka bagaimana lagi dengan orang fasiq?
-Tahu dengan pasti hukum melaknat pribadi tertentu, bahwa itu dibolehkan.
Tapi yang benar justru
sebaliknya, melaknat sosok pribadi tertentu yang Allah dan Rasul-Nya tidak
melaknatnya dilarang. Beliau bersabda ketika orang-orang melaknat Abu Jahl,
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
“Janganlah kalian mencela
orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang
telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari).
Agama Islam tidak dibangun di
atas celaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syiah. Tapi dibangun di atas
akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun
dalam agama Islam. Rasulullah bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang Muslim
adalah kefasiqan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak seorang pun yang
mengatakan bahwa Yazid bin Muawiyah kafir. Tapi, kebanyakan orang mengatakan
bahwa ia fasiq. Dan Allahlah yang Mahamengetahui.
Rasulullah pernah bersabda,
Rasulullah pernah bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ
“Pasukan yang paling pertama
menyerang Romawi diampuni.” (HR. Bukhari).
Dan ternyata, pasukan ini
dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Ikut dalam pasukan itu beberapa sahabat yang
mulia; Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abbas, dan Abu Ayyub. Penyerangan ini
terjadi pada tahun 49 H.
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,
“Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada
pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan
semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama
tiga hari.
Demikian pula terbunuhnya
sejumlah sahabat dan anak-anak mereka dalam peristiwa tersebut. Maka dalam
menyikapi Yazid bin Muawiyah, kita serahkan urusannya kepada Allah Tabaraka wa
Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela
Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”
Wallahu A’laa wa A’lam
Wallahu A’laa wa A’lam