Selain Barat beruntung adanya Israel, Syiah
juga menangguk untung konflik di Timur Tengah [Foto: ilustrasi]
Sabtu,
5 Desember 2015 - 09:26 WIB
Siapa yang mengambil keuntungan dari Perang Salib?
Tentu pasti Syiah-Persia
Oleh: Nugra Abu Fatah
SELAMA ini kita selalu
terpatron dengan perspektif bahwa Yahudi selalu hebat. Khususnya dalam rekayasa
sosial politik hingga militer (perang). Apapun masalahnya, selalu berperspektif
Yahudi-sentris.
Tapi
benarkah demikian? Saya mencoba membawa pada perspektif berbeda, tentang Syiah
dan segala rekayasanya yang patut diketahui.
Kita tarik
dari kondisi terkini lalu ke belakang ratusan tahun silam. Lihatlah dua negeri
yang mengapit Iran, yakni Afghanistan dan Iraq, keduanya hancur lebur menjadi
negara lemah karena isu Usamah Bin Ladin di Afghan dan nuklir di Iraq.
Dua isu yang
sama sekali tidak ditemukan faktanya. Siapa yang menang? Amerika atau Iran?
Amerika menghabiskan jutaan dolar tanpa hasil keuntungan selain mengamankan
pasokan minyak yang sekarang surplus hingga harga minyak terjun.
Sementara
Iran tanpa high cost, mendapatkan stabilitas dan jajahan Iraq timur
plus hadiah Suriah yang justru mengkhawatirkan semua pihak non-koalisi
Iran-Rusia.
Mari kita
mundur 1000 tahun sebelumnya, 100 tahun sebelum Perang Salib. Saat Kekhalifahan
Abbasiyah dikuasai dinasti Syiah, Buhaihi. Sebelumnya Kesultanan Turki
mendominasi Abbasiyah, kemudian raja-raja daerah Persia yang beragama Majusi,
menjadi Syiah(keturunan Abu Syuja) lalu menguasai dominasi pengaruh di Baghdad,
pusat Abbasiyah, tahun 945 M. Pada masa-masa itulah Syiah Qaramithah masuk ke
Makkah dan membantai ribuan jamaah haji di depan Ka’bah.
Selama 100
tahun berikutnya Syiah sesuka hati mengganti khilafah yang sifatnya khilafah
hanya tukang stempel. Tak heran Syiah menyebar hingga terbentuknya Dinasti
Fatimiyah di Mesir. Tidak ada Yahudi di belakang, murni Syiah-Persia.
Ketika tahun
1050 Dinasti Buwaihi Syiah dijatuhkan Sultan Turki Saljuk, Syiah-Persia kembali
mundur ke wilayah Persia (Iran saat ini).
Secara peta,
wilayah Persia takluk dalam kedaulatan Saljuk, namun secara sosial masyarakat,
masyarakat persia tetap menyatu dan loyal kepada Syiah.
Hanya
berselang 30 tahun kemudian tokoh-tokoh besar Saljuk Islam mati terbunuh oleh
Hasyasyin (Asassin), sebuah aliran Syiah ekstrim. Dan provokasi adu domba
terjadi terhadap peziarah Kristen Eropa pada 1090, salah satu faktor penyebab
Perang Salib. [Baca juga:
Assassin: Pemburu Maut Dari Lembah Alamut ]
Siapa yang
mengambil keuntungan dari Perang Salib? Tentu pasti Syiah-Persia, sebab tidak
ada urusan Yahudi di sana. Bahkan ketika Mongol datang seabad setelah Perang
Salib, Syiah lah yang membuka jalan kehancuran Abbasyiah (Islam) dari Baghdad
hingga Suriah.
Syiah, bukan
Yahudi
Sosok yang
berhasil membunuh pemimpin tertinggi kedua umat, Umar bin Khathab bukan Yahudi,
tapi Majusi Persia (sekarang Syiah).
Yahudi
barangkali berperan pada sosok Abdullah bin Saba’ yang kita kategorikan sebagai
salah satu peletak dasar Syiah dengan ungkapan penuhanannya pada Ali.
Tapi apakah
hanya satu orang Saba’ lalu kita katakan Syiah produk Yahudi? Faktanya Persia
lebih berkontribusi besar terhadap lahirnya Syiah (dukungan Kufah, bekas
wilayah Persia) hingga menjadi Iran seperti hari ini.
Sejak
berdirinya Dinasti Safawi abad 16 di Persia (Iran) Syiah-Majusi mengkristal di
Isfahan hingga berhasil menggagalkan proyek penaklukkan Wina pada masa
Utsmaniyah Sultan Sulaiman the Great. Lagi-lagi Syiah dan tidak ada Yahudi di
sana.
Sementara
itu Yahudi muncul zamannya di abad 20 yang secara kebetulan Rotschild Yahudi
kaya raya melalui industri minyak hingga bisa mempengaruhi pimpinan dunia
dengan uangnya.
Sementara
pada masa Perang Salib, Yahudi diburu di Eropa (Prussia-Jerman) hingga dibantai
juga di Palestina, saat penaklukkan Ferdinand-Isabella di Spanyol 1493 M,
Yahudi diburu dan dibantai hingga masa perang dunia, barulah Yahudi muncul.
Artinya
selain kita harus mengkaji kembali ‘yahudi-sentris’ yang tertanam dalam benak
kita, tetapi juga kepada peran Syiah.
Terakhir
kita mengira hanya Yahudi yang untung besar dengan terbentuknya Israel di Timur
Tengah, sisi lain yang kita tidak pahami adalah, justru negara-negara Barat
beruntung mengeluarkan Yahudi dari tanah mereka untuk ditempatkan di Tim Tengah
sebagai kanker yang menciptakan instabilitas. Barat mengambil keuntungan besar.
Lalu apakah
otaknya Yahudi atau justru Kristiani? Faktanya Iran pun beruntung dengan kanker
Israel di Timteng. Iran duduk tenang menonton kegoncangan negara di
sekitarnya.*
Penulis buku
“Panglima Surga”. Twitter @nugrazee