﴿ علم التفسير- نشأته وتطوره ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Muhammad Abu Salma
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2009 - 1430
﴿ علم التفسير- نشأته وتطوره ﴾
« باللغة الإندونيسية »
تأليف: محمد أبو سلمى
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2009 - 1430
بسم الله الرحمن الرحيم
SEJARAH TAFSIR DAN
PERKEMBANGANNYA
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang
samar ).
1 Adapun
secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau
menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan denganKalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah
dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang
ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang
Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka
yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung
dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami
isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna
al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya,
sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan,
(QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin
‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca
firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah
bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan
kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Shahabat
Adapun metode sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa,
adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk
Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada
masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali
bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan
do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya
sama dengan hadist marfu’. 3 Atau
paling kurang adalahMauquf. 4
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang
digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para
tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini
muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas
yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair,
Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin
Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan
3)- Madrasah Iraq atau Madrasah
Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois,
Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir
yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas
pendapat yang lainnya. 5
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama,
pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan
ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan
tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir
At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya,
dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah,
sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan
meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya.
Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif
yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat
kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika
mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa
maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.Periode Keempat, pembukuan
tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil
aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin
naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi
spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat
Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari
sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang
ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu
Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan
Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode
Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat
yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para
sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana
sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan
penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
Tafsir At-Tobary (
( جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير القران) dengan 4
jilid
Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
Tafsir Imam As-Suyuty التفسير بالمأثور ) ( الدر المنثور في terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al
Mahmudah (penafsiran
dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari
nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan
penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini
diantaranya :
Tafsir Al-Qurtuby - الجامع لأحكام القران
Tafsir Al-Jalalain - تفسير الجلالين
Tafsir Al-Baidhowy - التأويل التنزيل و أسرار أنوار
.
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela /
dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya
sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat
Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja
menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain
mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang
ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
Tafsir syiah “Dua belas”
seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
Tafsir As-Sufiyah dan
Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
Syarat dan adab penafsiran Al Qur’an
Untuk bisa
menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah
sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena
dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat
dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan
pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan
al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan
para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan
perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid
berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa
arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar
bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu
hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada
hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan
atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan,
al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an),
aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam
islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan
lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang
mufassir adalah sebagai berikut :
Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari
keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat
hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim
diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan
dapat dicontoh oleh orang lain
Mengamalkan ilmunya, karena dengan
merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih
baik.
Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak
menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu
kebenarannya.
Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan
kapanpun dia berada.
Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap
sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan
metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul,
makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho,
kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat
hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH
KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab : جامع
البيان في تفسير أي القران atau
yang lebih dikenal dengan
1.tafsir
al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224
– 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para
mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena
istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara
detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan
terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan
menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat
tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan
riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat
kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih
kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut
harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut
berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah
al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir
telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih
wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan
perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih
diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat
orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan
lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak
terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir
ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil
dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan
keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu
Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir
(w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir
At-Thobary dengan metode
bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah
dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar
lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan
dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para
tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa
pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah).
mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan
mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy
dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya
belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w
671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus
dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, digantidengan
hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan
mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih.,
dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan
pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan
mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil,
juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik)
dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران
بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah
as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap).
Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai
dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah
bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya
yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah
Muhammad Salim.
Refrensi:
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir
wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi
al-Qur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar
al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar
al-Dakwah, 1405) hal. 8
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu
taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ;
340-342
STUDI KITAB
TAFSIR “JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QUR’AN” KARYA IBN JARIR AL-TABARI
Dalam posisinya sebagai Huda lil an-Naas (sebagai kitab
petunjuk), al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman.
Kajian al-Quran selalu mengalami perkembangan yang dianamis seiring dengan
akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban umat manusia. Hal
ini terbukti denganmunculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga
kontemporer dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan.
Keinginan umat islam untuk selalu mendialogkan al-Qur’an sebagai teks yang
terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas merupakan spirit
tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur’an[[1]].
Semenjak abad kedua Hijriyah para ulama berusaha memenuhi
kebutuhan akan adanya tafsir bi al-ma’tsur dengan menulis karya-karya sambung menyambung dalam bidang tafsir. Namun
usaha-usaha besar pada fase awal ini tidak ada yang tersisa dan sampai pada
kita. Semua kebutuhan itu dapat terpenuhi dengan adanya sebuah maha karya
agung, yang disatu sisi merepresentasikan kekayaan tafsir bi al-ma’tsur yang merupakan
titik permulaan dan peletakkan batu pertama dalam literatur tafsir al-Qur’an.
Terkadang diantara lembaran-lembarannya terhimpun isi kitab-kitab tersebut
dengan bentuk yang sangat sempurna, dan pada saat yang sama diantara
sisi-sisinya memuat seluruh benih orientasi yang mendorong munculnya
penafsiran, lebih dari sekedar hanya mencatat dan mengumpulkan[[2]].
Penulis kitab ini adalah Ibnu Jarir al-Tabary. Ia adalah
satu diantara ulama tafsir yang turut memperkaya turats Islam (839-923
M/224-310 H) yang dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi
keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, lugah, tarikh termasuk tafsir
al-Qur’an. Dua karya besarnya, Tarikh al-Umam wa al-Mulk – yang berbicara
tentang sejarah – dan Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menjadi rujukan utama
(prominent reference), sehingga berhasil mendongkrak popularitasnya ke panggung
dunia di tengah-tengah “masyarakat membaca”, ia merupakan sebuah ensiklopedi
komentar dan pendapat tafsir yang pernah ada sampai masa hidupnya hingga
beberapa generasi telah menyambut baik dan antusias terhadapnya. Dengan corak
tafsir bi al-ma’sur yang dikembangkan oleh al-Tabari telah mengilhami dan
menyemangati para mufassir generasi berikutnya, seperti Ibn Kasir yang telah
melakukan elaborasi dan kolaborasi terhadap tafsir al-Tabari. Oleh karena itu,
kitab ini menjadi sumber yang tak terhindarkan bagi tafsir tradisional, yang
tersusun dari hadis-hadis yang diteruskan dari otoritas-otoritas awal. Meskipun
ilmuwan sekaliber M. Arkoun masih melihat bahwa tafsir besar yang ditulis
al-Tabari belum menjadi subyek studi ilmiah yang mementingkan posisinya dalam
sejarah tfsir.[[3]]
Setting Biografi
al-Tabari
Nama
lengkapnya Ibnu Jarir adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib
al-Tabary al-Amuli.[[4]]. Nama ini disepakati oleh al-Khatib al-Bagdadi, Ibn Katsir dan al-Zahabi.
Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran, sehingga nama
paling belakangnya sering disebutkan al-Amuli penisbatan tanah kelahirannya.
la dilahirkan 223 H (838-839 M), sumber lain menyebutkan akhir 224 H atau awal
225 H (839-840)[[5]], dan meninggal 311/923, sementara dari sumber informasi lain disebutkan
pada 310. Dalam prolog kitabnya, dituliskan wafatnya pada, Senin, 27
Syawwal 310 H bertepatan dengan 17 Februari 923 M dalam usia 85 tahun.
Kematiannya dishalati oleh masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa
waktu setelah wafatnya.
Parade Intelektualnya
Al-Tabari, secara kultural-akademik termasuk `makhluk
yang beruntung’, jika dilihat setting-sosial yang diwarnai oleh kemajuan
peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III
hingga awal abad IV H. Keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun
intelektual terhadap perkembangan keilmuannya.
Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan
keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan, terutama
bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami
kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu
secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-Tabari dan
menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.
Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya, -Amul-
tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan
al-Tabari. la diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah,
Kufah, Mesir, Syiria dan Mesir dalam rangka “travelling in quest of knowledge”
(al-rihtlah li talab al-’ilm) dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah
populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya. Ia hapal al-Qur’an
ketika berusia 7 tahun, menjadi Imam shalat ketika berusia 8 tahun, menulis
hadis ketika berusia 9 tahun.
Di Rayy, ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu `Abdillah
Muhammad bin Humayd al-Razy. la juga menimba ilmu dari al-Mu’sanna bin Ibrahim
al-Ibili, khusus di bidang hadis. la pernah pula pergi ke Bagdad untuk belajar
kepada Ahmad bin Hanbal (164-24I/ 7780-855), sesampainya di sana ternyata ia
telah wafat. la segera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni
Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam
rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd al-A’la
al-San’ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu
al-’As’as, Ahmad bin al-Miqdam (w. 253/867), dan Abu- al-jawza’ Ahmad bin
`U’sman (w 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah
Humayd bin Mas’adah dan Bisr bin Mu’ai al`Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski
sebelumnya pernah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad
bin alSari (w. 243/857).
Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali
ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama. la masih memusatkan perhatian
pada qira’ah (cara baca) dan fiqh dengan bimbingan guru, seperti Ahmad bin
Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za’farani dan al Raby al
Murady. Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, ia melanjutkan perjalanan
ke berbagai kota untuk mendapatkan ilmu, terutama pendalaman gramatika, sastra
(Arab) dan qira’ah. Hamzah dan Warasy termasuk orang-orang yang telah
memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal di Bagdad, tetapi
juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab
tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn `Uyainah dan Waqi’ ibn
al-Jarah, Syu’bah bin a1-Hajjaj, Yaajid bin Harun dan Abd ibn Ha-mid [[6]]. Domisili terakhir sepulang dari Mesir adalah Bagdad dan sempat singgah
di Tabaristan. Adapun pada permulaan tinggal di Baghdad ia bermazhab Syafi’i
kemudian dengan kecerdasannya beliau berlepas dan berijtihad sendiri.
Karya-Karyanya
Secara tepat, belum ditemukan data mengenai berapa jumlah
buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi, yang pasti dari catatan sejarah
membuktikan bahwa karya-karya al-Tabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada
sebagian yang sampai ke tangan kita di antaranya : Adab al Manasik (bidang hukum), Adab al Nufus
al-Jayyidah wa al-Akhlaq an-Nafisah, (bidang etika keagamaan),
Kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (bidang Qur’an, termasuk
tafsir), Al- Musnad al-Mujarrad (bidang hadist), al-Basyir fi Ma’alim
al-Din (bidang teologi).
Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan
abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu
pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan heterogenitas kebudayaan dan peradaban.
Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan
ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja
hal ini mewamai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah
konsekuensi logis yang tak terhindarkan.
Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman
tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis, di
samping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan
secara metodologis dan substansial. kemunculan aliran tafsir bi al-ma’sur dan
bi al ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain,
ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bi al-ma’sur, yaitu dengan
munculnya varian riwayat, dari riwayat yang sahih/akurat dan valid-hingga
riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut parameter-sanad dan
rijal al-hadis- dalam disiplin `Ulumul Hadis. Itulah sebabnya, pada waktu yang
bersamaan tafsir bi al-ma’sur sedang menghadapi masalah serius, karena telah
terjadi pembauran berbagai riwayat. Disamping itu, orientasi kajian tafsir yang
tidak mono material, tetapi telah berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain
seperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan filsafat. Pengaruh unsur-unsur di
luar Islam turut mewarnai corak penafsiran, termasuk Israiliyyat.
Al-Tabari ada pada saat hilangnya salah satu aliran,
rasional keagamaan Mu’tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran
tradisional Asy’ariyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi sekte-sekte
yang lain turut menyemarakkan bursa pemikiran di panggung sejarah umat Islam.
Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di negeri sendiri, menggugah
sensitivitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melakukan
respons dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja pergulatan mazhab yang
dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri
sendiri dan kota-kota sekitarnya tidak terbantahkan, sampai-sampai pada hal
mazhab yang diikutinya.
Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas
sebagai seorang Sunni ketimbang seorang Rafidi -ektremis Ali- yang pernah
hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran
teologi. Bukti bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang
sejarah dan tafsir. Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Tabari pada paruh abad III
H, dan sempat disosialisasikan di depan para murid-muridnya selama kurang lebih
8 tahun, sekitar 282 hingga 290 H.
Kitab tafsir karya al-Tabari, memiliki nama ganda yang
dapat dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami’ aI-Bayan An
Ta’wil Ay al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami’ al-Bayan f i
Tafsir al- Qur’an(Beirut: Dar alKutub al-`Ilmiyyah,
1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Tabari mencoba mengelaborasi terma
takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holistik.
Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan
piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur’an yang pada umumnya tidak
cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif
logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat dan atau surat,
tema (ma’udu ), asbab al-nuzul dan sebagainya.
Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas
keberadaannya; ternyata tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang
tersimpan di maktabah (koleksi pustaka pribadi) seorang Amir (pejabat) Najed,
Hammad ibn `Amir `Abd a1-Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut
diketemukan lantaran terjadi kebangkitan kembali percetakan pada awal abad
20-an. Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah
(resume) dari kitab orisinalnya.
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir,
dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya
bahasa, laun (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis,
sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan
objektivitas penafsirnya. Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al Thabary, yaitu
tafsir, tarikh, dan fiqh. Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai
tafsirnya. Dari sisi linguistik (lugah), Ibn Jarir sangat memperhatikan
penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada syari-syair Arab
kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran ilmu
gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara
luas di kalangan masyarakat.
Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat
sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para
sahabat, tabi’in dan ta-bi’ al ta-bi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan
(bi al-Ma’sur Semua itu diharapkan menjadi detector bagi ketepatan pemahamannya
mengenai suatu kata atau kalimat. la juga menempuh jalan istinbat ketika
menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang
samar i’rab-nya.
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pemaparan
qira’ah secara variatif, dan dianalisis dengan cara dihubungkan dengan makna
yang berbeda-beda, kemudian menjatuhkan pilihan pada satu qira’ah tertentu
yang ia anggap paling kuat dan tepat. Di sisi yang lain, al-Tabari sebagai
seorang ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam
mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan
ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur’an) tanpa melibatkan diri dalam
perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara
tidak langsung, ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika
yang sehat di tengahtengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi
generasi berikutnya.
Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang
menyangkut soal akidah dan eskatologis, mau tak mau, ia terlibat dalam diskusi
cukup intens. Dalam beberapa hal, sikap fanatisnya tampak cukup kentara, ketika
ia harus membela ahl al-Sunnah wa al Jama’ah, pada saat berhadapan dengan
beberapa pandangan kaum Mu’tazilah dalam doktrin-doktrin tertentu. Bahkan, ia
terkesan menyerang gigih penafsiran metaforis dan ajaran-ajaran dogmatis
mereka, meskipun ia telah berusaha untuk mengambil posisi yang moderat.
Metode penafsiran
Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur,
yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi
saw., para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsir
dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat. Dalam
periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap
memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadis-hadis
itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian,
untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga
menggunakan ra’yu.
Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia
lakukan, adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab
disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak
menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap
kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi
sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan pemahamannya. Dengan
langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi. Berhadapan dengan
ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak mau-ia harus menggunakan
logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam kategori Tafsir Tahlili
dengan orientasi penafsiran bi al-ma’sur dan bi ar-ra’yi yang merupakan sebuah
terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan
sebelumnya.
Riwayat-riwayat yang kontroversial (muta’aridah), ia
jelaskan dengan memberikan penekanan-penekanan-setuju atau tidak setuju
(sanggahan)-dengan mengajukan alternatif pandangannya sendiri disertai
argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap
konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, taabi’in
dan ta-bi’ aI-tabi’in, kemudian mengambil istinbat. Untuk menunjukkan
kepakarannya di bidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan
dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan
cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat).
a. Menempuh
jalan tafsir atau takwil.
b. Melakukan
penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi norma tematis
“al-Qur’an Yufasiiru Ba’duhu Ba’d”.
c. Menafsirkan
al-Qur’an dengan as-Sunnah / al-Hadist (bil ma’tsur).
d. Bersandar
pada analisis bahasa (lughoh) bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan.
e. Mengeksplorasi
sya’ir dan menganalisa prosa Arab (lama) ketika menjelaskan makna kosakata dan
kalimat.
f. Memperhatikan
aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan tarjih.
g. Pemaparan
ragam qiraat dalam rangka mengungkap (al-Kasyf) makna ayat.
h. Membeberkan
perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum islam (ushul al-Fiqh) untuk
kepentingan analisis dan istinbat hukum.
i. Mencermati
korelasi (munasabah) ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang
relatif kecil.
j. Melakukan
sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam rangka untuk
menangkap makna secara utuh.
k. Melakukian
kompromi (al-Jam’u) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif
(ta’arud) dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad
Contoh
Penafsiran
Ketika
menafsirkan firman Allah QS. Al-Maidah (5) : 89 :
Yang
dicermati al-Tabari adalah kalimat min ausati ma tut ‘imuna
ahlikum.
Potongan ayat yang telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat Nabi SAW secara
berbeda. Ibnu Abbas misalnya, menafsirkan ayat itu dengan “Jenis makanan yang
dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak
mahal dan tidak murah, tidak sulit dan tidak terlalu mudah.” Sementara Said bin
Jubair dan Ikrimah menafsirkan dengan “Jenis makanan yang sederhana yang
dikonsumsi keluarga.” Sahabat Atha’ menafsirkan “Semisal apa yang dikonsumsi
oleh keluargamu.”
Setelah
ditopang oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian al-Tabari menyatakan
secara tegas, bahwa yang dimaksud oleh firman Allah: “min ausati ma tut’imuna
ahlikum” adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak
sedikit dan tidak banyak. Dari sinilah kemudian muncul wacana di kalangan ulama
tentang standar bahan makanan yang harus dibayarkan oleh si pembayar kifarat
(denda).
Contoh
lain dalam Surat AlAnbiya’ ayat 81:
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ
إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ
Allah
Ta’ala berfirman dan Kami tundukkan kepada Sulaiman bin Dawud dengan angin
besar yang dapat diperintahkan oleh Sulaiman untuk berjalan ke negeri manapun
yang diinginkan oleh Sulaiman kemudian kembali ke Syam. Oleh sebab itu
dikatakan إِلَى
الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا.
Beliau
mengatakan: Hal ini sebagaimana telah menceritakan kepada kami IbnuHumaid: Ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq dari
sebagian ahli ‘ilmu, dari Wahb bin Munabbih, Ia berkata:Dahulu ketika
Sulaiman keluar menuju majlisnya burung-burung membungkuk, para jin dan manusia
berdiri (untuk menghormatinya) hingga beliau duduk di singgasananya. Tidak ada
satu negeripun di muka bumi yang memiliki raja kecuali beliau datangi negeri
itu dan beliau tundukkan.
Beliau
menerangkan bahwa mayoritas ahli qiraat membaca lafadz الريح
dengan i’rab nashab (الرِّيْحَ) dengan anggapan
bahwa kata tersebut adalah objek (maf’ul bih) dari kata kerja سَخَّرَناَ
(Kami jinakkan) yang tidak disebutkan. Sedangkan Imam Abd alRahman al A’raj
membaca lafadz الريح dengan i’rab rafa’ (الرِّيْحُ) karena
menganggapnya sebagai mubtada’ (subjek). Kemudian beliau berkata: Adapun bacaan
selain kedua bacaan itu tidak diperkenankan.
Tentu
saja contoh-contoh di atas belum di rasa representatif untuk mewakili
kandungan tafsir, tetapi paling tidak deskripsi tentang tafsir itu terlihat
secara jelas dan gamblang, betapa konsistensi al-Tabari dalam mengaplikasikan
metodologinya yang ditopang oleh kekuatan data dan akurasinya, tanpa menutup
mata masih terdapat kelemahan-kelemahan yang ada.
Kelebihan
Tafsir al-Tabari
Penerapan
metode secara konsisten ia tetapkan, dengan istilah tahlili menurut perspepsi
sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan
teks-teks al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan
yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat. Itulah sebabnya Tafsir ini
memilki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling
tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant
qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum
tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Tabari tidak
menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan
pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten
dengan bidang sejarah yang ia kuasai.
Selebihnya
untuk melihat sisi lebih dari karya fenomenal ini, kita bisa melihat komentar
beberapa tokoh terhadap kitab tafsir ini:
Dalam
suatu kesempatan Muhammad Abduh mengomentari tafsir al-Tabari demikian:
“Kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan”.
“Kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan”.
Berdasarkan
penelitian Taufik Adnan Jamal, Ibn Jarir al-Tabari adalah mufasir “tradisional”
paling terkemuka, menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari 20 sistem
bacaan (qiraat). Mohammad Arkoun secara
kritis menegaskan: “Al-Tabari telah menghimpun, dalam sebuah karya
monumental 30 jilid, sejumlah akhbar mengesankan (semua kisah, tradisi, sunnah
dan informasi) yang tersebar luas di daerah yang diislamisasikan selama 3 abad
pertama hijri. Dokumen utama yang sangat berharga bagi sejarawan ini masih
belum menjadi obyek monografi manapun yang menghapus citra dari seorang
al-Tabari sebagai kompilator ‘rakus’, ‘obyektif’.”
Dalam
sebuah Ensiklopedi, dinyatakan: “Karya Ibn Jarir, Jami’
al-Bayan, adalah sebuah ensiklopedi komentar dan pendapat tafsir bil ma’tsur.
Ia memaksudkan karyanya ini lebih bersifat komprehensif daripada selektif
sehingga kiranya menjadi gudang informasi. Ciri-ciri ini memberi kitab Ibn
Jarir tersebut obyektivitas yang menjadikannya layak diistemewakan.”
Imam
Suyuthi : “Kitab ini adalah kitab yang paling baik dan besar, memuat
pendapat-pendapat para ulama, dan sekaligus menguatkan pendapat-pendapat itu,
dan memuat uraian nahwu serta istinbath hukum. Dengan kelebihannya itu, ia
menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya.”
Ibnu
Taimiyah : “Adapun dari tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang
paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari. Ini karena ia menyebutkan
ucapan-ucapan para salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak menukil
kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya.”
Tak
ketinggalan pula Orientalis, Ignaz Goldziher secar jujur Mengakui kapasitas
kitab tafsir al-Thabari dengan mengatakan: “ Di Eropa, karya
sejarahnya pernah menjadi masterpiece, karena kelengkapan informasi dan
kompleksitas materi kajiannya, banyak di antara para ilmuwan dan sejarawan yang
mengadopsi data-data darinya”.
Kekurangann
Tafsir al-Tabari
Al-Thabari
dalam penafsirannya selalu menyertakan riwayat beserta sanad-sanadnya. Hanya
saja, umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap
sanad-sanadnya itu, meski kadang-kadang la memposisikan diri sebagai seorang
kritikus yang cermat. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan
sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para
periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya
agar kita bisa mengetahui yang shahih dari yang dla’if. Ada ungkapan yang menyatakan
bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi
kesempatan kepada anda untuk menilainya.
Penutup
Al-Tabari
dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’
al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya.. kehadiran tafsir ini
memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Di sisi lain, tafsir
ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur)
yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in
melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Sumber
Referensi:
1.
Yusuf, Muhammad, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras,
2004).
2. Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir; terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006).
3. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir
Kontemporer (Yogyakarta: Lkis, 2011).
[2] Goldziher, Mazhab Tafsir; terj. M. Alaika
Salamullah, dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), cet. III, hal. 112.
[5] Muhammad Yusuf dalam
footnotenya dengan mengutip penjelasan dari Muhammad Bakar Ismail, menulis : “para
ahli sejarah di negeri kami berbeda dalam menentukan tahun kelahiran oleh
karena ada perbedaan sistem penanggalan yang berlaku pada saat itu, bersifat
tradisional dengan bersandar pada aksiden-aksiden penting bukan dengan angka”.
Related
Menafsirkan al Qur’an dengan Al
Qur’an : QS Yubus : 62……siapa wali-wali Allah? Lihat QS Yunus : 63. QS
ath-Thariq : 2………lihat ayat 3 nya. QS an-Naaziat : 30….lihat ayat 31 dan 32.
Al Qur’an ditafsrkan dengan Hadits….. QS Yunus : 26, ….. tambahannya? Harus
dengan hadits
¡ Terkait sahabat di Al Qur’an :
Lihat buku Mulia dengan manhaj salaf ( Yazid Abdul Kadir Jawas ) hal 55-158
(bab IV)
Surat At Taubah a 100,
119
QS An Nisa 105
QS Al-Fatatihah 6-7
QS An-Nisaa 69
QS Al Baqarah 13, 137, 143, 285
QS Az-Zukhruuf 86
QS Ali Imran 101, 110
QS An NIsaa 115
QS Al=Na’aam 153
QS Al-A’raaf 3
QS Yusuf 108
QS Al-Ahqaaf 31
QS Al-Hajj 78
QS Al Furqaan 74
QS AS-Sajdah 24
QS An-Naml 59
QS Faathir 32
QS Ar-Ruum 31-32
QS Lukman 15
QS ………
=============================================