Yazid bin Muawiyah yang membunuh
al-Hussain putra Rasulullah adalah dari golongan ASWJ?
Lagi-lagi sebuah tuduhan palsu kembali
dilontarkan kepada saudara kita orang syi’ah Malaysia inihttp://profiles.friendster.com/47504334, old page menurut apa yang dituliskan di bulletinnya itu bahwa Yazid bin
Muawiyah adalah seorang Ahlussunnah yang membunuh Imam Husain. Atas dasar ini
kemudian dia menyimpulkan sekaligus memfitnah bahwa golongan Ahlussunnah wal
jama’ah (ASWJ) lah yang membunuh Imam Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Bagaimana ini bisa terjadi
padahal kami sangat mencintai Ahlul Bait.
Masya Allah betapa
jahat dan bencinya orang syi’ah ini kepada golongan Ahlussunnah. Saya ingatkan
kembali kepada Syi’ah janganlah kalian menuduh sesama muslim dengan tuduhan
tanpa bukti, dan jika tuduhan itu salah (orang yang dituduh tidak pernah
melakukannya) maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh.
Dari Abu Dzar
Radhiyallahu ‘anhuma., ia mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda:
“Seorang laki-laki yang menuduh laki-laki lain itu jahat atau menuduhnya kafir,
maka tuduhannya itu berbalik kepada dirinya, seandainya orang yang dituduhnya
itu tidak seperti itu.” (HR Muslim I – 33, 49)
Ikhwafiddin
Rahimakumullah, saya menghimbau bagi yang telah membaca tulisan-tulisannya di
bulletin ini hendaknya jangan mempercayainya sedikitpun walau dia membawakan
artikel tauhid sekalipun, ketahuilah orang ini batil manhajnya jangan diambil
ilmu darinya.
Sebagaimana yang
pernah dikatakan oleh as-Salafus shalihAl-Imam Ibnu Sirin Rahimahullah, beliau
mengatakan:
إِنَّ
هَذَا
الْعِلْمَ
دِيْنٌ
فَانْظُرُوْا
عَمَّنْ
تَأْخُذُوْنَ
دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka
hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Muqaddimah
Shahiih Muslim)
Beliau juga mengatakan: “Mereka (para
shahabat dan tabi’in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang sanad hadits.
Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat seperti Khawarij,
Syi’ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: “Sebutkan kepada kami sanad
kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka diterima haditsnya
dan apabila datang dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Ibid.)
Berikut lengkap bulletinnya:
=====================
Subject:
Yazid bin Muawiyah yang membunuh
al-Hussain putra Rasulullah adalah dari golongan ASWJ? huh!
Message:
Apabila penduduk Kufah meminta beliau ke
sana untuk memimpin mereka, jemputan itu diketahui Yazid yang kemudian
menghantar pasukan tenteranya bagi menghalang Saidina Hussein sehingga
berlakunya pertempuran meragut nyawa putera Saidina Ali bin Abi Talib dan
Fatimah binti Rasulullah.
Kegembiraan Yazid atas kematian Saidina
Hussein menunjukkan cita bencana dalam dirinya apabila beliau meletakkan kepala
Saidina Hussein yang dipenggal di atas tombak serta diarak keliling kota
Baghdad. – Ketua Jabatan Pengajian Melayu Universiti Singapura, Prof Madya Dr
Syed Farid Alatas
=====================
Berikut bantahan saya atas syubhat dari
tulisannya tersebut:
Imam Husain ada di hati kami
Diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah
adalah mencintai Ahlul Bait. Kami mencintai Ahlul bait Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, menjadikan mereka wali dan selalu menjaga hak-hak mereka yang
pernah diwasiatkan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalla: “Sesungguhnya aku
mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku), sesungguhnya
aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku).” (HR. Muslim)
(HR. Muslim no.2408 (36)
Maka Ahlussunnah sangat mencintai dan
memuliakan mereka, karena hal itu adalah bagian dari kecintaan dan pemuliaan
kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan syarat: mereka (Ahlul bait)
harus berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan nabi) dan berada diatas jalan
yang lurus. Sebagaimana
pendahulu mereka, seperti: Abbas dan anaknya, Ali dan anaknya. Adapun
orang-orang yang menyelisihi bimbingan nabi dan tidak berada di jalan yang
lurus maka kami tidak menjadikan mereka wali walaupun dari kalangan Ahlul bait.
Sebagaimana yang
diceritakan dalam Al Qur’an:
“Cekalalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS. Al-Lahab: 1)”
Maka sikap
Ahlussunnah terhadap Ahlul bait adalah sikap yang adil dan inshaf: Ahlussunnah
menjadikan wali setiap Ahlul bait yang istiqamah diatas jalan yang lurus dan
berlepas diri dari setiap Ahlul bait yang menyimpang.
Demikian pula
(Ahlussunnah) berlepas diri dari Ahlul bid’ah dan Khurafiyyin, yaitu
orang-orang yang bertawasul dengan Ahlul bait (yakni tawasul yang tidak benar)
dan menjadikan mereka Tuhan selain Allah.
Ahlul bait berlepas
diri dari Syi’ah
Maka manhaj
Ahlussunnah dalam perkara ini dan selainnya adalah tengah-tengah tidak
berlebihan dan tidak pula bermudah-mudahan.
Ahlul bait yang
berjalan diatas agama yang lurus juga mengingkari sikap berlebihan terhadap
mereka serta belepas diri dari mereka. (sebagai contoh) Amirul Mukminin, Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah membakar orang-orang yang berlebihan
terhadap dirinya dengan api. Ibnu Abbas juga sepakat membunuh mereka akan
tetapi dengan cara di penggal bukan dibakar.
Dan Ali bin Abi
Thalib pun ketika itu ingin membunuh Abdullah bin Saba’, gembong ghulah
(pendiri syi’ah rafidhah) akan tetapi ia lari dan bersembunyi…….
(diterjemahkan dari
kitabut tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.
Hal.71-73 cetakan I Maktabah Ibnu ‘Abbas)
Syi’ah bukanlah
ahlul bait dan ahlul bait berlepas diri dari syi’ah keduanya terdapat perbedaan
yang jauh bagaikan timur dan barat bahkan lebih jauh lagi
Barangsiapa yang
mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka
berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya
kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?
Sangat tepatlah
ucapan seorang penyair:
كُلٌّ
يَدَّعِي
وَصْلاً
بِلَيْلَى
وَلَيْلَى
لاَ
تُقِرُّ
لَهُمْ
بِذَاكَبِذَاكَ
Setiap lelaki mengaku kekasih Laila
Namun Laila tidak pernah mengakuinya
Yang Ahlussunnah ketahui tentang Imam
Husain, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga yang paling
mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu ini. Imam
Husain dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni syurga.
Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, orang yang
mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang harus
dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman.
Ahlussunnah menganggap bahwa mencintai
Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi Ali adalah
bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus dijauhi. Imam
Husain adalah anak dari penghulu wanita penghuni syurga, belahan hati
Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan oleh
Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul Bait
ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku
ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”.
Imam Husain adalah penghulu Ahlussunnah,
dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husain dan yakin bahwa cinta
padanya adalah ikatan tali iman. Mencintai Imam Husain termasuk amal terbaik
yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam rangka
melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”.
Barang siapa mencintai Imam Husain berarti dia telah mencintai Nabi dan
sebaliknya, yang membenci Imam Husain berarti telah membenci Nabi.
Kami Ahlussunnah beranggapan mengenai
Imam Husain sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau : “siapa yang
menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian wahai Ahlul
Bait?”
Kami Ahlussunnah meyakini bahwa Imam
Husain telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami berlepas
diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau bantu-membantu dalam
membunuh Imam Husain, atau mereka yang ridho atas kezaliman yang menimpanya.
Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam Husain adalah curahan karunia
dari Allah pada beliau, untuk meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya,
seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya,
lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan
ujian yang berat ini Allah mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang
syahid. Dengan ujian ini Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul
bait yang sabar ditimpa cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husain juga
bersabar dalam menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah
menyempurnakan nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa
karunia sebagai syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar
dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam Husain termasuk mereka yang layak
mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa
musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husain.
Setiap kami mengingat musibah itu, kami
selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti Husain, yang
ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Rasulullah,
bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat akan musibah
itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi…dst) maka Allah akan
memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya walaupun
musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan “Inna lillahi wa
inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari Allah
: “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang
mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah. Mereka
akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk.”
Walaupun kami mencintai Imam Husain, tapi
kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh kakeknya,
Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam memujiku
seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi cukup
katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”
Ahlussunnah tidak berdoa dan meminta
pertolongan pada Imam Husain dengan alasan menghormatinya [Ahlussunnah
tidak mengatakan: Ya Husain… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni] ,
karena Allah melarang kami berbuat demikian.
Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan
Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan
Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai
tuhan selain Allah.
Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait
tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi, seperti
kemaksuman dan kewenangan membuat syari’at baru, yang hanya dimiliki oleh para
Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait
adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita
semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi mereka adalah
manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa bahwa menjadi
kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti anggapan sebagian
orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini.
Ahlul Bait adalah mereka yang paling
keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti
dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi pahala dua
kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan memberi
dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.
Ahlussunnah tidak melanggar perintah
kakek Imam Husain, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul badan
dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah. Rasulullah menerangkan bahwa
perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah
dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa
musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud.
Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita
yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat
demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husain tidak
pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya
Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husain
sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti
oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husain.
Hari Asyura adalah hari di mana Allah
menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa
pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa pada
hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu cucu
Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya.
Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap musibah
itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur
atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu
syahidnya Imam Husain. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur
memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar, sekaligus
bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana
pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan
rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan bersabar, serta
tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas
musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husain, dengan hati yang penuh
pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi kabar gembira.
(Dr. Abdul Wahhab Al Turairi )
Siapa yang membunuh Al Husain
Radhiyallahu ‘anhuma ?
Jika pada hari Asyura (10 Muharram), Kami
Ahlussunnah wal jama’ah berpuasa atas perintah dari Rasulullah Shalallahu
‘layhi wasallam, ketika beliau Shalallahu ‘layhi wasallam bersabda, artinya,
“Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Maka orang-orang
Syi’ah menjadikan 10 Muharram untuk memperingati hari Karbala, yaitu hari
terbunuhnya Al Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Mereka memperingatinya
dengan meratap, melukai kepala dan badan mereka dengan senjata tajam. Bahkan
balita yang masih dalam gendongan ibunya sekalipun, harus meneteskan darah demi
“menyemarakkan” hari Karbala. Seperti itulah orang-orang Syi’ah mengekspresikan
kecintaan mereka kepada Al Husain , salah seorang Ahlu Bait Rasulullah .
Tapi, jika saja
mereka mau menapaktilasi sejarah, maka tentu mereka akan sadar bahwa
sebenarnya, secara tidak langsung orang-orang Syi’ah juga terlibat dalam
peristiwa pembunuhan Al Husain .
Orang-orang Syi’ah
di Kufah Iraq yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah
rutin mengirim surat kepada Al Husain . Mereka mengajaknya untuk menentang
Yazid. Mereka mengirim utusan demi utusan yang membawa ratusan surat dari
orang-orang yang mengaku sebagai pendukung dan pembela Ahlul Bait.
Isi surat mereka
hampir sama, yaitu menyampaikan bahwa mereka tidak bergabung bersama pimpinan
mereka, Nu’man bin Basyir. Mereka juga tidak mau shalat Jumat bersamanya. Dan
meminta Al Husain untuk datang kepada mereka, kemudian mengusir gubernur
mereka, lalu berangkat bersama-sama menuju negeri Syam menemui Yazid.
Namun, ketika Al
Husain datang memenuhi panggilan mereka, dan ketika pasukan ‘Ubaidillah bin
Ziyad membantai Al Husain dan 17 orang Ahlul Bait di suatu daerah yang disebut
Karbala, tak seorang pun dari orang-orang Syi’ah itu yang membela beliau.
Kemana perginya para
pengirim ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela
mati bersama Al Husain ?
Mereka tidak
memberikan pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau
utus dari Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan
pasukan Ibnu Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syi’ah meratap dan
menyiksa diri mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan
permohonan ampun atas dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .
Dalam tragedi
mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah
putera Ali bin Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman
bin Ali.
Demikian pula putera
Al Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar
kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah
pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit.
Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau
dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama
yang paling dibenci orang-orang Syi’ah.
Ternyata Syi’ah
sendirilah yang membunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma di Karbala.
Dengan adanya
bukti-bukti utama ini, tidak ada satu penelitianpun yang dibangun untuk mencari
kebenaran dan mendapatkan keadilan yang memutuskan bahwa Yazid bin
Muawiyah sebagai terdakwa yang dituduh bertanggungjawab di dalam rencana
jahat pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid bin Muawiyah akan dibebaskan
dengan penuh penghormatan dan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya
adalah pengakuan Syi’ah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh
Sayyidina Husain. Golongan Syi’ah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina
Husain itu kemudian muncul sebagai golongan“At Tawwaabun” yang konon
menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat,
mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh
orang – orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan
mereka menyembah anak sapi sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina .
Air mata darah yang
dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan
jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun coba dihapuskan
oleh mereka dengan beribu-ribu cara .
Pengakuan Syi’ah
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama – ulama Syi’ah
yang merupakan tonggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah
Syustri dan lain – lain di dalam buku mereka masing – masing. Baaqir
Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang –
orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, ” Demi
Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain .
Kita telah membunuh “Ketua Pemuda Ahli Syurga” karena Ibn Ziad anak haram itu .
Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak
terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa – apa”. ( Jilaau Al’Uyun , m.s. 430
)
Qadhi Nurullah
Syustri juga menulis di dalam bukunya Majalisu Al’Mu’minin bahawa setelah
sekian lama ( kurang lebih 4 atau 5 tahun ) Sayyidina Husain terbunuh, pemimpin
orang – orang Syi’ah mengumpulkan orang – orang Syi’ah dan berkata , ” Kita
telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia
kepadanya , kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita
sebesar ini tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita “.
Dengan itu berkumpulah sekian banyak orang – orang Syi’ah di tepi Sungai Furat
sambil mereka membaca ayat yang artinya, ” Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang
telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada
sisi Tuhan yang menjadikan kamu “. ( Al Baqarah :54 ). Kemudian mereka saling
membunuh sesama diri mereka sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam
sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun”.
Sejarah tidak tidak
akan melupakan peranan Syits bin Rab’ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di
Karbala . Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab’ie? Dia adalah seorang
Syi’ah tulen, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan
Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain . Dia juga yang menjemput Sayyidina
Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan
Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan
bahawa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang
Sayyidina Husain dan dialah orang yang pertama-tama turun dari kudanya untuk
memenggal kepala Sayyidina Husain. ( Al’Uyun dan Khulashatu Al
Mashaaib, hal. 37 )
Adakah masih ada
orang yang ragu-ragu tentang Syi’ahnya Syits bin Rab’ie dan tidakkah orang yang
menceritakan kejadian ini adalah Mulla Baaqir Majlisi , seorang tokoh Syi’ah
terkenal ? Secara tidak langsung dia mengakui dari pihak Syi’ah sendiri tentang
pembunuhan itu .
Lihatlah pula kepada
Qais bin Asy’ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syi’ahnya
tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menunjukkan kepada kita
bahawa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya seelah
selesai pertempuran ?(Khulashatu Al Mashaaib , hal. 192 )
Selain pengakuan
mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh
Sayyidina Husain, ternyata saksi – saksi yang turut serta di dalam rombongan
Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup setelah
peristiwa ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain
sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh .
Sayyidina Husain
berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang-orang Syi’ah Kufah yang siap
sedia bertempur dengan beliau :
” Wahai orang –
orang Kufah ! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu.
Wahai orang – orang yang curang, dzalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput
kami untuk membela kamu di waktu sempit tetapi bila kami datang untuk memimpin
dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu
hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam
menentang kami “. ( Jilaau Al’ Uyun, hal. 391 ).
Beliau juga berkata
kepada Syi’ah :” Binasalah kamu ! Bagaimana bisa kamu menghunuskan perang
dendammu dari sarung-sarungnya tanpa permusuhan dan perselisihan yang ada di
antara kamu dengan kami ? Mengapa kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait
tanpa sebab? ” ( Ibid ).
Akhirnya beliau
mendoakan keburukan untuk golongan Syi’ah yang sedang berhadapan untuk
bertempur dengan beliau :
” Ya Allah! Tahanlah
keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka . Jadikanlah hati-hati
pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud
membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami “.
( Ibid )
Beliau juga
diketahui telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya:
“Binasalah kamu ! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di
akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang
di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darahmu sendiri. Kamu tidak akan
mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu.
Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan
menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat
kekufurannya”. ( Mulla Baqir Majlisi – Jilaau Al’Uyun, hal. 409 ).
Dari kata – kata
Sayyidina Husain yang telah dipaparkan oleh sejarawan Syi’ah
sendiri, Mulla Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahawa :
(i) Dendam yang
disebarkan oleh musuh-musuh Islam menelusuri penulisan sejarah bahawa
pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan perbuatan balas dendam dari Bani
Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah
yang kafir di dalam peperangan Badar , Uhud, Siffin dan lain – lain tidak lebih
daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina
Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari
kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syi’ah Kufah .
(ii) Keadaan
Syi’ah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di
sepanjang sejarah membuktikandikabulkannya doa Sayyidina Husain di medan
Karbala akan adzab Syi’ah
(iii) Upacara
menyiksa badan dengan cara memukul-mukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan
pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan
Syi’ah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa
Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di
dalam masyarakat Syi’ah . Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah ada
upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah
golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
(iv) Betapa
kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka
menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak sanak
keluarganya walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka
yang dipanatkan oleh beliau. Itulah mereka golongan yang buta mata hatinya dan
telah hilang kewarasan pemikirannya karena setelah mereka selesai membunuh,
mereka melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil
memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah mereka upacara
perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di
atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu
golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tiba tanggal 10 Muharram
?
Ali Zainal
Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah
dan terus hidup setelah berlalunya peristiwa itu juga berkata kepada
orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang meratap dengan mengoyak-ngoyakkan
baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah
berkata kepada mereka, ” Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang
lain yang membunuh kami selain mereka ?”( At Thabarsi – Al Ihtijaj, hal.
156 ).
Pada halaman
berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada
orang-orang Kufah. Beliau berkata:
” Wahai manusia
(orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kepada kamu
, ceritakanlah! Tidakkah kamu sadar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku
(untuk menjemputnya), kemudian kamu menipunya?
Bukankah kamu telah
memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya,
membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu
dahulukan untuk dirimu”.
Sayyidatina Zainab
, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup setelah peristiwa
itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syi’ah Kufah. Beliau berkata:
” Wahai orang-orang
Kufah yang khianat, penipu! Mengapa kalian menangisi kami sedangkan air mata
kami belum lagi kering karena kedzalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi
terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kalian tidak ubah seperti perempuan yang
memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kalian juga telah merombak ikatan
iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kalian meratapi kami padahal
kalian sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kalian pula menangisi kami. Demi
Allah ! Kalian akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kalian telah membeli
keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tumpukkan kehinaan ini sama sekali tidak akan
hilang walau dibasuh dengan air apapun”. (Jilaau Al ‘ Uyun, hal. 424
).
Doa anak Sayyidatina
Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syi’ah hingga ke
hari ini .
Ummu
Kulthum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas
segedupnya:
” Wahai orang-oang
Kufah! Semoga buruk keadaanmu. Semoga buruk rupamu. Kenapa kamu menjemput
saudaraku Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta
bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari rumahnya . Semoga Allah
melaknat kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu”.
Beliau juga berkata:
” Wahai orang-orang Kufah ! Orang-orang laki-laki dari kalangan kamu membunuh
kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan
di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti”. ( Ibid , hal. 426 –
428 )
Sementara Fatimah
anak perempuan Sayyidina Husain berkata:
” Kalian telah
membunuh kami dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh kakekku Ali
( Sayyidina Ali ). Senantiasa darah-darah kami menitis dari ujung-ujung
pedangmu……Tidak lama lagi kalian akan menerima balasannya. Binasalah kalian!
Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kalian.
Siksaan dari langit akan pemusnahan kalian akibat perbuatan terkutukmu. Kalian
akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti
kamu akan terkepung dengan azab yang pedih “.
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina
Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana
Syi’ah berada .
Dua bukti utama yang telah kita kemukakan
tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya
pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Dari keterangan dalam kedua-dua bukti
yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
1. 1.
Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah
Syi’ah.
2. 2.
Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di
Karbala itu juga Syi’ah.
3. 3. Sayyidina Husain
dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri dari
saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syi’ahlah yang
telah membunuh mereka .
4. 4.
Golongan Syi’ah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping
menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian
orang-orang yang dibunuh oleh mereka .
Kaum muslimin di dunia ini menerima
keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kokoh dan jelas
menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu peristiwa pembunuhan,
yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang
menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri
menyaksikan tentang pembunuhnya dan terakhir adalah pengakuan pembunuh itu
sendiri.
Jika keempat-empat perkara ini sudah
terbukti dengan jelas dan diterima oleh seluruh kaum muslimin sebagai peristiwa
pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi
tentang pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain itu ?
SIKAP
YAZID TERHADAP TERBUNUHNYA AL HUSAIN
Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Al Husain
. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan
kepada Ibnu Ziyad untuk mencegah Al Hasan menjadi penguasa negeri Iraq.”
Ketika kabar tentang terbunuhnya Al
Husain sampai kepada Yazid, maka nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan
suara tangisan pun memenuhi rumahnya.
Kaum wanita rombongan Al Husain yang
ditawan oleh pasukan Ibnu Ziyad pun diperlakukan secara hormat oleh Yazid
hingga mereka dipulangkan ke negeri asal mereka.
Dalam buku-buku Syiah, mereka mengangkat
riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul Bait yang tertawan
diperlakukan secara tidak terhormat. Mereka dibuang ke negeri Syam dan
dihinakan di sana sebagai bentuk celaan kepada mereka. Semua ini adalah riwayat
yang batil dan dusta. Justru sebaliknya, Bani Umayyah memuliakan Bani Hasyim.
Disebutkan pula
bahwa kepala Al Husain dihadapkan kepada Yazid. Tapi riwayat ini pun tidak
benar, karena kepala Al Husain masih berada di sisi Ubaidillah bin Ziyad di
Kufah.
SIKAP AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH TERHADAP YAZID BIN MU’AWIYAH
Sebagian membolehkan
melaknat Yazid bin Mu’awiyah, namun adapula yang melarangnya. Bagi yang
membolehkan melaknatnya, perlu untuk memerhatikan tiga hal berikut:
-Mengetahui dengan jelas bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang fasiq.
-Yakin bahwa Yazid tidak pernah bertaubat dari dosa-dosanya tersebut. Jika
orang kafir yang bertaubat kepada Allah diampuni, maka bagaimana lagi dengan
orang fasiq?
-Tahu dengan pasti hukum melaknat pribadi tertentu, bahwa itu dibolehkan.
Tapi yang benar
justru sebaliknya, melaknat sosok pribadi tertentu yang Allah dan Rasul-Nya
tidak melaknatnya dilarang. Beliau
bersabda ketika orang-orang melaknat Abu Jahl,
لَا
تَسُبُّوا
الْأَمْوَاتَ
فَإِنَّهُمْ
قَدْ
أَفْضَوْا
إِلَى
مَا
قَدَّمُوا
“Janganlah kalian mencela orang yang
telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka
perbuat.” (HR. Bukhari).
Agama Islam tidak dibangun di atas celaan
sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syiah. Tapi dibangun di atas akhlak
mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam
agama Islam. Rasulullah bersabda,
سِبَابُ
الْمُسْلِمِ
فُسُوْقٌ
وَقِتَالُهُ
كُفْرٌ
“Mencela seorang Muslim adalah kefasiqan,
dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa
Yazid bin Muawiyah kafir. Tapi, kebanyakan orang mengatakan bahwa ia fasiq. Dan
Allahlah yang Mahamengetahui.
Rasulullah pernah bersabda,
أَوَّلُ
جَيْشٍ
مِنْ
أُمَّتِي
يَغْزُونَ
مَدِينَةَ
قَيْصَرَ
مَغْفُورٌ
لَهُمْ
“Pasukan yang paling pertama menyerang
Romawi diampuni.” (HR. Bukhari).
Dan ternyata, pasukan ini dipimpin oleh
Yazid bin Muawiyah. Ikut dalam pasukan itu beberapa sahabat yang mulia; Ibnu
Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abbas, dan Abu Ayyub. Penyerangan ini terjadi pada
tahun 49 H.
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,
“Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada
pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan
semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama
tiga hari.
Demikian pula terbunuhnya sejumlah
sahabat dan anak-anak mereka dalam peristiwa tersebut. Maka dalam menyikapi
Yazid bin Muawiyah, kita serahkan urusannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid,
tapi tidak pula mencintainya.”
Wallahu A’laa wa A’lam