KAMIS, MARET 06, 2014
A. Z.
Muttaqin Kamis, 4 Jumadil Awwal 1435 H / 6
Maret 2014 16:00
Pengikut sesat Syiah dalam suatu acara
mereka di Balai Samudera, Jakarta Utara beberapa waktu lalu
(Arrahmah.com) – Ulama Syiah, Mullah Ahmad Kasravi dalam bukunya “Ulama
Syiah menghujat Syiah” menguraikan beberapa alasan mengapa paham Syiah laris
dan berkembang di beberapa negeri Muslim. Berikut ini kami sadurkan beberapa
poin dari buku yang diterjemahkan oleh Ustadz Muhammad Thalib Al Yamani
tersebut disertai dengan catatan kaki dari ulama Ahlus Sunnah. (halaman 93-104)
Ada banyak alasan mengapa paham
Syiah laris dan berkembang di berbagai negeri. Kami berpendapat bahwa paham
Syiah dalam pengertian umum (baca: pengikut keturunan Ali) telah tersebar di
kalangan kaum Muslimin dan melahirkan sikap fanatisme pada sebagian besar
kalangan mereka, disebabkan Ja’far ash-Shadiq telah membangun dengan berbagai
doktrin khurafat. Juga, dengan cara memanfaatkan sikap berlebih-lebihan
sebagian dari masyarakat Muslim dalam mencintai Ali dan kebenciannya kepada
yang lain dan juga ditopang oleh keputus asaan, kejenuhan, kebobrokan moral
serta rusaknya niat para pengikut Syiah.
Selain itu Ja’far dan para penggantinya
telah memanfaatkan semua peluang yang ada, antara lain:
1. Kedekatan
hubungan kekerabatan mereka dengan NabiShallalahu alaihi wa sallam, bahkan hal
ini merupakan peluang utama mereka.
2. Memanipulasi
posisi (keutamaan) Ali dan Hasan di mata masyarakat dan merekapun turut
menunggangi posisi tersebut demi kepentingan mereka.
3. Memanipulasi
terbunuhnya Husein dan keluarganya serta pengaruh peristiwa tersebut dalam hati
umat Islam.
4. Memanipulasi
kisah khurafat tentang al-Mahdi dan segala kisah tentangnyayang tidak masuk
akal.
Kemudian diantara kesesatan mereka, yakni
mereka menamakan para pengikut aliran tersebut sebagai “Golongan Ali”, padahal
sebenarnya mereka tidak lain hanyalah “Golongan Ja’far”. Sebab bagaimana
mungkin seorang yang sangat shalih dan bertakwa seperti Ali punya kaitan
kelompok yang sesat lagi menyesatkan tersebut.
Selain itu, golongan Syiah juga sangat
terbiasa menyepelekan ajaran agama Islam. Syiah menganggap bahwa prinsip
beragama adalah berwilayah kepada Ali (meyakini bahwa Ali adalah wali/penguasa
mereka). Siapa yang menerimanya maka maka kelak ia akan beruntung dan selamat
serta dapat melebihi yang lain, dan tidak akan tertimpa hal yang buruk selama
cinta kepada Ali. Karena Ali kelak pada hari kiamat akan memberikan
penyelamatan terhadap manusia yang banyaknya semisal dengan jumlah penduduk
suku Rabi’ah dan suku Mudhar. Hal-hal inilah yang menjadi penyebab lakunya
paham Syiah.
Mengenai hal ini ada pernyataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa sebagian besar golongan Syiah
meyakini bahwa cinta kepada Ali adalah amal kebajikan yang tidak akan terhapus
oleh dosa (Minhajus-Sunnah: 1/31). Pernyataan ini dibantah oleh sebagian ulama
dan tokoh Syiah pada abad ini, bahwa menisbatkan perkataan tentang cinta kepada
Ali adalah amal salih yang tidak akan terhapus oleh perbuatan-perbuatan dosa
kepada hanya sebagian besar pengikut Syiah adalah bohong, tetapi
justru semua Syiah telah sepakat dengan pendapat tersebut, maka mengecualikan
aqidah tersebut dari sebagian orang Syiah adalah dusta. (Muhammad Mahdi
al-Kazhimi dalam Minhajusy Syarifah fir Raddi ‘Ala Ibni Taimiyah, 1/98).
Dapat kita lihat bagaimana mereka
menawarkan (melariskan) paham mereka dengan pernyataan semacam itu dan yang
serupa untuk menipu para pengikut hawa nafsu dan untuk memberikan kesempatan
kepada mereka yang bermaksud mencari-cari alasan berlepas diri dari hukum dan
syariat. Mereka telah berhasil menyesatkan banyak orang, disamping batilnya
aqidah tersebut telah sangat jelas bagi mereka yang telah memiliki mata sehat,
yaitu telah merusak keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, seluruh ajaran
aqidah dalam Islam, serta seluruh hukum-hukum syariat. Syekh Suaedi menyatakan
bahwa jikalau cinta kepada Allah dan Rasul-Nya saja belum cukup menyelamatkan
seseorang dari adzab bila tidak dibarengi dengan iman dan amal salih, bagaimana
dengan sekedar mencintai Ali saja dianggap cukup untuk menyelamatkan seseorang
dari adzab? Aqidah semacam ini jelas bertentangan denga firman Allah Ta’ala:
“Siapa saja yang tetap melakukan dosa
sampai sakaratul maut, pasti dia diberi hukuman…” (Qs. An Nisa’, 4:123).
Dan firman Nya: “Siapa saja yang berbuat
dosa walaupun sebesar debu , ia juga akan menyaksikan hukumannya kelak di akhirat.”
(Qs. Az Zalzalah, 99:8).
Bahkan bertentangan dengan
prinsip-prinsip dan riwayat-riwayat mereka sendiri. Yang dimaksud bertentangan
dengan prinsip-prinsip mereka sendiri yakni seorang Syiah yang berbuat dosa
besar, sedang Allah Ta’ala tidak menghukumnya atas perbuatannya itu, maka Allah
Ta’ala juga tidak akan memberikan apa yang Allah wajib berikan kepadanya.
Sedangkan yang dikatakan bertentangan
dengan riwayat-riwayat mereka, karena mereka telah meriwayatkan dari Ali,
tokoh-tokoh mereka yang salih, dan para imam lainnya, disebutkan dalam
lafal-lafal doa mereka yang martabatnya shahih, mereka menangis dan memohon
agar dilindungi dari ‘adzab Allah Ta’ala. Jika para imam mereka yang mulia
merendahkan diri dan penuh rasa takut dari adzab Allah Ta’ala , maka bagaimana
mungkin selain merek mencukupkan diri dengan sekedar cinta kepada Ali serta
meninggalkan amal salih dan bergantung kepada para imam mereka (Batalnya Aqidah
Syiah, oleh Waraqah hlm.34-35)
Komentaku ( Mahrus ali ):
Landasan lakunya ajaran Syi`ah adalah
karena ajaran cinta kepada Ali bin Abi Thalib akan membikin mereka
masuk surga tak perduli dosa dan noda yang mereka jalankan. Ini
mirip sekali dengan ajaran ahli bid`ah cinta pada Syaikh
Abd Qadir al Jailani yang katanya bisa memberikan safaat kepada pecintanya dan
memasukkannya ke surga sekalipun menjalankan berbagai
macam dosa. Ia juga mirip dengan ajaran kristen yang katanya Yesus
penebus dosa dan memasukkan orang kristen ke Surga sekalipun berlumuran
dengan noda dan dosa. Apakah tidak ingatdengan ayat:
أَلاَّ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan
memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]
فَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(7)
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
وَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)
Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.[1]