Salah satu amalan yang mungkin terasa khas bagi kaum
muslimin Indonesia, pada bulan ramadhan ialah shalat tarwih (taraweh) secara
berjamaah di berbagai masjid. amalan ini, tampak menjadi syiar malam bulan suci
ramadhan. yang seyogyanya diisi dengan puasa pada siang harinya dan dilengkapi
dengan qiyam al lail pada malam harinya (tarwih, tahajud, witir dsb). Selain
ibadah-ibadah lainnya seperti men-tadabburi al quran (menyimak dan meresapi isi
kandungan al quran yang kemudian berusaha untuk diaplikasikan), menghafalkannya,
mengajarkannya atau mendengarkan penjelasan-penjelasan terkait dengannya
melalui ceramah dan khutbah diberbagai tempat dan media. Seolah bulan inilah
tempat mendidik (mentarbiyah) diri kita untuk lebih dekat kepadaNya.
Tulisan blog seorang syiah yang cukup sensasional
berjudul: Shalat tarwih berjamaah adalah bidah
(http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html),
tampak menjadi syubhat rutin di bulan ramadhan. Bagi masyarakat muslim,
hal ini tentu menimbulkan kontroversi. Bahkan lebih tegas lagi, penulis artikel
ini menulis pada awal artikelnya, sebagai berikut:
“Jadi jelas sekali dan
tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah
‘ibadah’ yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda
Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap
pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah. Dan
berdasarkan hadis terkenal Rasul; “Setiap bid’ah adalah sesat”
(kullu bid’ah dhalalah) maka tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah menjadi
baik dan buruk/sesat”
“Semua pemeluk agama Islam
pengikut Muhammad Rasulullah SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM pasti meyakini bahwa
bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak
hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang
dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah.”
“Pelaku bid’ah dapat
divonis sebagai penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak
preogatif Tuhan belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu.”
Selanjutnya artikel ini mulai
memuat beberapa dalil untuk menguatkan judul artikelnya, yang menganggap shalat
tarwih berjamaah adalah bid’ah. Diantaranya ialah:
Rasul dalam hadisnya pernah
bersabda: “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah)
dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi
‘baik’ (hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?
Kita akan mulai dengan apa yang
dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari
Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan
Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang
nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri
ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku
alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia
memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab.
Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang
melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal
itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid
2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik
halaman 73).
Dari riwayat di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak pernah
dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat tarawih
berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul
maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar itulah
maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’
sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah
hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa
mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum
peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis
pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut?
Tanggapan
Jika kita ingin menelaah hadis ataupun perkataan
sahabat dengan hati yang jernih dan pemahaman yang baik maka tentu kita akan
memperoleh kesimpulan lebih tepat. Penulis artikel diatas, atau orang yang
berpemahaman syiah (mereka menyebut diri penganut mazhab jakfari, syiah
imamiah, mazhab ahlul bait, diperhalus dengan sebutan mazhab akhlak dan cinta,
atau golongan yang semisal/ sepemahaman dengan mereka). Biasanya mereka
menjadikan ketidak senangan kepada para sahabat nabi shallallahu alaihi wa
sallam, sebagai motor penggerak dalam berpendapat ataupun beribadah. Lihatlah
acara tahunan mereka yang selalu melaknat sahabat-sahabat besar nabi
shallallahu alaihi wa sallam, semisal abu bakar, umar dan utsman.
Jika landasan ketidak-senangan terhadapa sahabat menjadi
dasar maka, hampir bisa dipastikan kesimpulan yang diperoleh akan
mendiskreditkan sahabat nabi shallallahu alaihi wa sallam. Alur pemikiran yang
pada awalnya cenderung menyudutkan para sahabat nabi tersebut, tentu akan
berakhir dengan kesimpulan yang serupa. Mengapa? Untuk menyesuaikan dengan
keinginan mereka. Disinilah, pentingnya kejujuran. Dalam mengemukakan
dalil sebagai argument masing-masing, kedua pihak yang berbeda pendapat/
penafsiran selayaknya dibekali keberanian untuk mengakui kekeliruannya ketika
alasan (dalil) yang digunakan lemah, sebaliknya mereka yang memiliki argument
kuat, tidak malah menyalahkan atau bahkan menghinakan orang yang memiliki
pendapat lemah. Sayangnya kami tidak menemukan hal tersebut dalam pemahaman dan
perangai orang syiah (atau yang semisalnya). Inilah mungkin sebabnya mengapa,
sampai saat ini, kata sepakat dan ukhuwah cukup sulit kita temui dikalangan
ahlus sunnah dan syiah.
Mengenai pembahasan, shalat tarwih secara berjamaah
misalnya. Kita dapat melihat serangan dan dan ucapan tajam orang syiah terhadap
kaum muslimin yang mengadakan shalat tarwih secara berjamaah. Tidak main-main,
mereka menyebut orang yang melakukan shalat tarwih berjamaah dengan sebutan ”Penentang
dalam masalah tauhid”. Hal ini,dikarenakan dasar pemahaman yang tercemari
oleh prasangka yang kurang baik (terhadap sahabat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam) sehingga menghasilkan kesimpulan yang cenderung menyimpang dari
kebenaran.
Jika kita memulai dengan pandangan yang jernih serta
pemikiran yang baik, kemudian dilakukan telaah terhadap berbagai dalil dan
riwayat (tidak hanya riwayat yang mendukung pendapat kita) kemudian kita
bandingkan maka akan kita temui kesimpulan yang lebih komprehensif dan
berimbang.
Shalat tarwih berjamaah di zaman Rasulullah
Kesimpulan yang menyatakan:
Pertama: Shalat terawih berjamaah
tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar.
Kedua: Pertama kali shalat
tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa
Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada.
Kesimpulan ini keliru, karena tidak memperhatikan
riwayat atau hadis lain yang menyatakan bahwa rasulullah pernah melaksanakan
shalat malam pada bulan ramadhan secara berjamaah. bahkan salah satu penyebab
mengapa kemudian nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk berjamaah lagi di
masjid, justru karena peserta shalat tarawih di masa nabi membeludak.
ketidak-berjamaahan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa lalu ada
sebabnya, yaitu karena takut akan diwajibkan oleh Allah SWT. Seadainya
ketakutan itu sudah tdk ada lagi, maka tentu shalat tarawih berjamaah dapat
berlangsung kembali.
Dalilnya ialah:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat
beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka
manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi
wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika
pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah
melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar
kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’
dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan." (Muttafaqun ‘alaih)
Maka kesimpulan yg pertama, bahwa shalat tarawih di
masa nabi pernah dilakukan dgn berjamaah. Umumnya para fuqaha fiqhi berbeda
pendapat manakah yang lebih afdhol dikerjakan sendiri atau secara berjamaah.
Mengenai shalat tarwih yang kembali dihidupkan (secara
berjamaah) oleh Umar radhiyallahu anhu sewaktu menjabat sebagai khalifah, dan
tidak pada masa Abu Bakar radhiyallahu anhu. Analisanya ialah bahwa masa
khilafah Abu Bakar tdk berlangsung lama. Praktis hanya 2 tahun saja beliau
memerintah. Sementara kaum muslimin saat itu sedang mengalami berbagai fitnah
& cobaan. Misalnya kasus murtadnya berbagai suku-suku arab. Sementara itu
kaum muslimin saat itu sedang menghadapi peperangan besar melawan Romawi. Tentu
mereka sibuk mempersiapkan peperangan besar.
Namun bukan berarti tidak ada pembenahan internal di
masa itu. Paling tidak, sejarah mencatat bahwa di masa khilafah Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mushaf Al Quran berhasil dijilid jadi satu.
Setelah selama ini berserakan di berbagai media, meski masih dihafal oleh
ribuan shahabat.
Dua tahun berselang, tibalah masa Umar bin al
Khattabradhiyallahu ‘anhu memerintah. Masa beliau memerintah cukup panjang, ada
banyak waktu untuk menaklukkan para pembangkang, bahkan 3 imperium besar
berhasil ditaklukkan (termasuk didalamnya imperium Persia-negara Iran saat ini-
daerah asal pemahaman Syiah Imamiah). Maka ada banyak kesempatan bagi khalifah
untuk melakukan beberapa pembenahan. Termasuk menghidupkan kembali sunnah nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat tarawih dengan berjamaah,
setelah beberapa tahun sempat tidak berjalan karena berbagai alasan.
Kesimpulannya: di masa nabi, tidak berlangsungnya shalat tarawih
berjmaaah karena alasan takut diwajibkan. Di masa Abu Bakar, alasannya
karena ada banyak permasalahan mendesak & itupun hanya 2 tahun saja(masa kekhalifaan
beliau). Maka kesempatan yg agak luas baru didapat di masa khalifah Umar
radhiyallahu ‘anhu Di masa itulah khalifah menghidupkan kembali sunnah
Rasulullah SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM, yaitu shalat tarawih berjamaah di
masjid dgn satu orang imam. Ubay bin Ka’ab ditunjuk oleh khalifah
karena bacaan beliau sangat baik.
Apa yg dilakukan oleh khalifah Umar radhiyallahu
‘anhu disetujui oleh semua shahabat (termasuk Ali radhiyallahu ‘anhu - imam
syiah yang pertama). Tidak ada riwayat yg menyebutkan bahwa ada satu shahabat
yg menentang diserukannya kembali shalat tarawih berjamaah sebagaimana dahulu
pernah dilakukan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka boleh dibilang
bahwa shalat tarawih dgn berjamaah merupakan ijma’ para shahabat. Dan ijma’ merupakan
salah satu sumber syariah yg disepakati.
Tidak berlangsungnya shalat tarawih berjamaah karena
ada alasan yg bersifat temporal. Begitu alasannya sudah tidak ada lagi, maka
sunnahnya dikembalikan lagi sebagaimana aslinya. Tidak ada kaitannya tentang
berapa lama jamaah tarawih tdk berlangsung.
Dalam hal ini, tdk berjamaahnya nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam shalat tarawih bukan bersifat menasakh (menghapus)
hukum kesunnahan tarawih berjamaah. Tetapi memberi dasar hukum kebolehan shalat
tarawih dilakukan tdk berjamaah karena adanya alasan tertentu. Ketika alasan
(udzur) itu sudah tdk ada lagi, maka kesunnahannya dikembalikan kpd asalnya.
Demikian kira-kira argumentasi jumhur ulama &
fuqaha di bidang ilmu fiqih. Wallahu a’lam bishshawab .( lihat: http://www.rahasiasunnah.com/50/dalil-shalat-tarawih-berjamaah.htm)
Mengenai perkataan Umar radhiyallahu anhu “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah
hadzihi). Berdasarkan perkataan umar ini mereka kemudian
menyimpulkan bahwa inilah salah satu contoh bid’ah sahabat yang telah mencemari
ajaran rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahkan umar radhiyallahu anhu
dituduh telah membuat hukum baru dalam ibadah kepada Allah.
Dari pemamaparan sebelumnya, telah terjawab bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah melaksanakan shalat
tarwih secara berjamaah, namun karena kekhawatiran beliau akan turun perintah
diwajibkan shalat berjamaah ini, maka beliau tidak berjamaah. Dan sekali lagi
tdk berjamaahnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat tarawih bukan
bersifat menasakh (menghapus) hukum kesunnahan tarawih berjamaah. Tetapi
memberi dasar hukum kebolehan shalat tarawih dilakukan tdk berjamaah karena
adanya alasan tertentu. Ketika alasan (udzur) itu sudah tdk ada lagi, maka
kesunnahannya dikembalikan kpd asalnya.
Demikian kira-kita argumentasi jumhur ulama & para
fuqaha di bidang ilmu fiqih. (silahkan lihat ulang pembahasan lengkap mengenai
hal ini di sub judulShalat tarwih berjamaah di zaman Rasulullah)
Dari pemahaman diatas kita memaknai perkataan umar,“Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah
hadzihi), TIDAK dengan menuduh Umar membuat hukum baru,
Umar menghianati rasulullah dengan membuat kesesatan dalam beribadah, sebagai
pelopor para penentang terhadap masalah tauhid, atau kesimpulan negative
lainnya (yang didasarkan ketidak-senangan terhadap sahabat Nabi).
Jika kita ingin, berpikir jernih dan menelaah dengan
baik maka kita akan sampai pada kesimpulan sebagaimana yang diungkapkan para
ulama bahwa, perkataan tersebut tidak berimplikasi syariat, tetapi hanya
sebatas perkataan lughawy (bahasa atau etimologi). Karena memang telah ada
contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Perkataan ‘Umar “ ini adalah sebaik-baik bid;ah”
disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya
bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara
bahasa atau etimologi) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang
dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan
orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan
satu imam di masjid…” (lihat di artikel muslim. or. id “umar dan imam
syafi’I berbicara tentang bid’ah hasanah”)
Bahkan tidak ada pengingkaran Nabi shallallahu alaihi
wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada
beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
Hal ini serupa dengan kata “kafir” , dimana
secara etimologi berarti “menutup” tetapi secara syariat berarti
“orang diluar Islam/ Musyrik”. Para petani misalnya dapat dikatakan kafir
(secara bahasa/ etimologi) karena pekerjaan mereka yang menggali tanah,
memasukkan bibit dan kemudian “menutup” lubang tanahnya. Para petani
muslim tentu tidak dapat dikatakan kafir secara syariat. (Lihat pengertian
kafir-arab- di http://id.wikipedia.org/wiki/Kafir)
Misalkan maksud “bid’ah” dalam perkataan umar diatas
ialah bid’ah syariat, maka perkataan siapapun akan tertolak dengan sabda Nabi
shallallahu alaihi wa sallam:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
(setiap bid’ah -sesuatu yang diada-adakan dalam
syariat, yang tidak memiliki contoh dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam-
adalah sesat). Maka sudah seharusnya, sebagai muslim yang baik kita akan
mengikuti perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menjauhi setiap
bid’ah (dalam syariat) siapapun yang menyerukannya.
Dari penjelasan ini, berimbanglah pemahaman kita
tentang hukum shalat tarwih berjamaah, sehingga kita tidak dengan serampangan
menuduh bid’ah, penentang tauhid dan kesimpulan yang didasarkan oleh prasangka
negatif terhadap murid langsung, dan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
Sebagai tambahan kami juga menemukan beberapa dalil
yang dimanipulasi dalam tulisan “shalat tarwih berjamaah adalah
bid’ah” karya seorang penganut syiah (http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html).
Diantaranya ialah, yang kami kutip:
“Ada dua hadis yang sering
dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat tarawih berjamaah di
bulan Ramadhan;
1- Ummul Mukmin Aisyah berkata:
“Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan
shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red).
Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan
hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah
melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya:
“…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian
tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi
sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343)
Menjadikan hadis di atas sebagai
dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak
sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada
penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan
shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang
bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis.
Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau
Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika kita kaitkan dengan
pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih adalah;
“Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas”
Pertama mereka mengutip hadis
(yang hanya diterjemahkan saja -tanpa teks asli) kemudian menambahkan
keterangan” dalam teks hadis tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada
bulan ramadhan”
Mereka melemahkan hadis muttafaqun alaih, dengan
berkata terdapat rawi yang lemah dalam hadis shahih bukhari dan muslim. Dibawah
ini kami kutipkan hadis yang mereka maksud dalam teks asli, dan terjemahannya,
bandingkan dan perhatikah huruf tebalnya.
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat
beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka
manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka
berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau
shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah
kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali
sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa)
itu terjadi di bulan Ramadhan." (Muttafaqun ‘alaih)
Kita berlindung kepada Allah dari sifat tidak jujur
dan prasangka yang kurang baik terhadap orang-orang shaleh. Akhirnya, mari kita
menyambut bulan suci ramadhan ini dengan penuh kegembiraan serta semangat yang
memuncak untuk meraih segala keutamaannya. Wallahu a’lam
(Sulfandy/lppimakassar.com)
Baca juga:
Tambahan bantahan dari Syi'ah :
Mengapa Syiah menghindari Tarawih berjemaah? Apakah
Imam Syiah Salat Tarawih? ( artikel syi'ah )
5 komentar:
Xarel X says:
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat
beliau..."
pertanyaan saya mana kalimat n kata yang menyatakan
rosul dan sahabat sholat berjamaah...?
LPPI Makassar says
Kepada Xarel X: bahasa arabnya berbunyi "أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ،"
artinya, "manusia mengikuti shalat Rasulullah", kalau ada yang
diikuti dan ada yang mengikuti berarti itu namanya berJAMAAH.
Dalam hadis Aisyah di atas, pada malam ketiga para
sahabat menanti keluarnya Rasulullah, namun Rasulullah tidak keluar, akhirnya
mereka tidak shalat, karena Imam mereka tidak ada di masjid, dan jika ada Imam
berarti mereka berJAMAAH.
Dalam riwayat Abu Dzar yang diriwayatkan oleh
Ash-haabus Sunan dikatakan "falam yaqum bina" (beliau tidak shalat
malam bersama kami)kemudian dilanjutkan pada teks berikutnya "faqaama
bina" artinya Rasulullah menegakkan shalat bersama kami (mengimami kami),
kemudian di akhir hadis sahabat bertanya, "Ya Rasulallah lau naffaltana
baqiyyata lailatina hadzihi" (Ya Rasulullah alangkah senangnya kami bila
pada malam-malam Ramadhan yang masih tersisa engkau sudi mengerjakan shalat
kembali bersama kami)dan itu semua artinya mereka berJAMAAH.
Apa pd masa kalifah abu bakar ada
shalat tarawih berjamaah di bln Ramadan ??
shalat tarwih di zaman Abu Bakar
radhiyallahu anhu ada, dilaksanakan sendiri2.
dan Rasulullah shallallahu alaihi
wa aalihi wasallam pernah melaksanakannya secara berjamaah, namun hanya tiga malam
di bulan Ramadhan karena khawatir shalat tarwih dianggap wajib.
Shalat Tarawih Menurut Syiah
By Ammi Nur Baits
Syiah Menolak Tarawih
Salah satu diantara prinsip syiah dua
belas imam yang berkembang di Iran adalah menolak semua ajaran islam yang
dilestarikan para sahabat. Karena mereka menganggap para sahabat telah berkhianat
dan menyelewengkan syariat. Salah satunya adalah shalat tarawih. Syiah
mengklaim, tarawih adalah ajaran Umar yang belum pernah ada di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan karenanya, bagi orang syiah, tarawih adalah
bid’ah.
Dalam dialog yang ditayangkan pada video
di atas, ada satu orang syiah bertanya: ‘Bukankah bulan Ramadhan itu penuh
berkah, mengapa syiah sendiri justru anti-tarawih?’
Selanjutnya salah satu tokoh syiah,
Yassir Habib memberikan penjelasan, yang intinya, bahwa jamaah tarawih tidak
pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu para sahabat
pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau
melarang untuk melaksanakan shalat sunah secara berjamaah. Keterangan ini ada
di buku-buku shahih yang dimiliki kelompok mukhalifin (orang yang menyimpang).
Kemudian Yasir juga menegaskan, bahwa
yang pertama kali mengadakan jamaah tarawih adalah Umar. Umar mengumpulkan
semua orang untuk shalat jamaah di malam hari Ramadhan, di bawah imam Ubay bin
Ka’b. Ketika itu ada beberapa orang yang tidak paham mengkritik Umar,
“Bid’ah…bid’ah..” kemudian Umar menegaskan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
sebagai bentuk bantahan atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Selanjutnya si Yasir mulai mencela Ahlus
Sunah,
Anda bisa saksikan kelompok mukhalifin,
yang melestarikan shalat sunah yang Umar sendiri telah mengatakan bahwa itu
bid’ah. Mereka melaksanakannya, padahal telah dilarang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lebih memilih syariat Umar. Mereka
memang tidak mengikrarkan bahwa nabi mereka adalah Umar, namun secara praktek,
menunjukkan bahwa mereka telah mengklaim nabinya bukan Muhammad tapi Umar.
…dst.
Saya anggap cukup mewakili, dan masih ada
beberapa celoteh Yasir untuk menganggap sesatnya Ahlus Sunah dan kaum muslimin
seluruhnya.
Demikianlah sikap syiah terhadap Ahlus
sunah. Kebencian mereka kepada Ahlus Sunah telah mendarah daging hingga masuk
ke sumsum tulang mereka. Sehingga untuk menyebut sunni, mereka ganti dengan
kelompok mukhalif (kelompok menyimpang).
Karena itu, sungguh aneh ketika ada orang
yang punya prinsip, janganlah kita menyesatkan kelompok lain, jangan
menyesatkan syiah, dan hormati perbedaan. Prinsip semacam ini justru menjadi
bukti bahwa dia tidak memahami perbedaan. Prinsip ini menjadi bukti bahwa dia
tidak memahami firqah dan aliran yang menisbahkan diri sebagai aliran islam.
Sikap syiah ketika menyesatkan Ahlus sunah, jauh lebih ‘sangar’ dibandingkan
sikap ahlus sunah dalam menyesatkan syiah.
Kebencian Syiah Kepada Umar
Salah satu prinsip syiah adalah benci
setengah mati kepada Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Saking
bencinya mereka kepada Umar, hingga
mereka jadikan kutukan kepada Umar, sebagai bagian dari syahadat syiah. Anda
bisa saksikan video berikut,
Jika ada orang awam yang hendak masuk
syiah, syarat mutlaknya, dia harus mengutuk Abu Bakr, Umar bin Khatab, Utsman
bin Affan, Aisyah, dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum. Itulah agama syiah, sejak
awal mereka membangun agamanya di atas prinsip kebencian dan permusuhan.
Tidak heran, jika mereka memuji habis Abu
Lukluk Al-Majusi, karena dia yang menikam Umar dari belakang ketika shalat
subuh. Mereka hiasi kuburan Abu Lukluk, sebagaimana layaknya kuburan wali. Anda
bisa saksikan video berikut:
Bahkan ada juga yang sangat mengherankan,
saking bencinya mereka kepada Umar, ada salah satu tokoh Syiah, At-Tibrizi
ketika di usia 87 tahun, dia pernah mengatakan kepada jamaahnya,
لو أدخلني الله إلى الجنة ووجدت عمر بن الخطاب فيها
لطلبت من الله أن يخرجني منها
“Andaikan Allah memasukkanku ke dalam surga, kemudian
aku ketemu Umar bin Khattab di surga, niscaya aku akan meminta kepada Allah
untuk mengeluarkanku dari surga.” [sumber: http://www.muslm.org/vb/showthread.php?200079]
Jamaah Tarawih sudah ada sejak Zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Selanjutnya, kita kembali kepada permasalahan shalat
tarawih. Anda garis bawahi pernyataan tokoh syiah di atas, bahwa tarawi tidak
pernah dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat sangat banyak dalil yang menunjukkan adanya
shalat tarawih berjamaah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setidaknya ada 3 jenis hadis tentang shalat tarawih:
Pertama, persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada praktek sahabat
Di zaman beliau, ada beberapa sahabat yang
melaksanakan shalat tarawih di malam Ramadhan secara berjamaah. Dalam hadis
dari Tsa’labah bin Abi Malik,
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة في رمضان
فرأى ناسا في ناحية المسجد يصلون فقال : ما يصنع هؤلاء ؟ قال قائل : يا رسول الله
هؤلاء ناس ليس معهم قرآن وأبي بن كعب يقرأ وهم معه يصلون بصلاته فقال : ” قد أحسنوا ” أو ” قد أصابوا ” ولم
يكره ذلك منهم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar
pada malam Ramadhan. Beliau melihat ada beberapa orang yang shalat jamaah di
salah satu sudut masjid. Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Salah satu
sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah, mereka sekelompok orang yang belum hafal
Alquran. Ketika itu, Ubay bin Ka’b sedang shalat malam. Lalu mereka bergabung
menjadi makmumnya Ubay.’ Kemudian beliau berkomentar, “Mereka telah berbuat
benar.” dan beliau tidak membencinya.
[HR. Baihaqi, dan beliau mengatakan: Hadis mursal yang
hasan. Kemudian dalam jalur lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung),
dari Abu Hurairah dengan sanad diterima, dan Al-Albani menilai hadis hasan].
Kedua, praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Sebagaimana disampaikan oleh An-Nu’man bin Basyir
radhiyallahu ‘anhu,
قمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة ثلاث
وعشرين في شهر رمضان إلى ثلث الليل الأول ثم قمنا معه ليلة خمس وعشرين إلى نصف
الليل ثم قام بنا ليلة سبع وعشرين حتى ظننا أن لا ندرك الفلاح
Kami shalat tarawih bulan Ramadhan bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ke-23 hingga sepertiga malam pertama,
kemudian kami shalat lagi pada malam ke-25, hingga pertengahan malam, kemudian
beliau mengimami kami pada malam ke-27 hingga akhir malam, sampai kami khawatir
tidak bisa ngejar sahur.
[HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf, An-Nasai, Imam
Ahmad dalam musnadnya, Al-Firyabi dan dishahihkan oleh Al-Hakim].
Al-Hakim mengatakan setelah menyebutkan hadis ini:
وفيه الدليل الواضح أن صلاة التراويح في مساجد
المسلمين سنة مسنونة وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة
هذه السنة إلى أن أقامها
Hadis ini dalil yang sangat jelas bahwa shalat tarawih
yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah yang menjadi kebiasaan masa
silam. Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk
melestarikan sunah ini, hingga Umar melaksanakannya. (Al-Mustadrak, 1/607).
Dan masih banyak keterangan sahabat lain yang
menyebutkan kisah ini.
Ketiga, penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang keutamaan Shalat tarawih
Dalam hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat hingga pertengahan malam,
sebagian sahabat minta agar beliau memperlama hingga akhir malam. Kemudian
beliau menyebutkan keutamaan shalat tarawih berjamaah,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى
يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa yang shalat tarawih berjamaah bersama
imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.”
(HR. Nasai 1605, Ibn Majah 1327 dan dishahihkan Al-Albani).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melarang Shalat
Tarawih Berjamaah?
Itulah klaim Yasir, pemuka agama syiah. Tapi anda
tidak perlu heran, karena dia bisa berkata apapun tanpa bukti untuk mendukung
pendapatnya.
Yang benar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melarang jamaah shalat tarawih. Namun beliau tidak keluar shalat jamaah tarawih
karena khawatir Allah mewajibkan shalat malam itu. Demikian yang diceritakan
Ibunda kaum mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis riwayat Bukhari,
Muslim, Nasai, Abu Daud, dan yang lainnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha
menceritakan sejarah perjalanan shalat tarawih,
Dulu para sahabat melaksanakan shalat malam Ramadhan
di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terpencar-pencar. Ada shalat
jamaah 5 orang, ada juga 6 orang shalat jamaah, dan ada yang kurang atau lebih
dari itu. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk
meletakkan tikar di dekat pitu rumahku (pintu rumah Aisyah, berada di sebelah
kiri masjid, bagian depan). Kemudian setealah isya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat malam di atas tikar itu setelah menjalankan shalat
isya. Para sahabat yang berada di masjid, segera berkumpul dan bermakmum kepada
beliau. Setelah berlalu 1/3 malam, beliau usai, dan masuk rumah.
Di pagi harinya, banyak sahabat membicarakan shalat
itu, sehingga di malam berikutnya, masjid nabawi penuh orang, menantikan shalat
malam berjamaah.
Di malam Ramadhan ke-25, beliau keluar dan mengimami
para sahabat dengan jumlah jamaah lebih banyak. Pagi harinya, perbincangan itu
semakin tersebar. Hingga di malam 27, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membangunkan keluarganya dan melaksanakan shalat malam hingga akhir malam,
dengan jamaah sangat banyak.
Di malam berikutnya, beliau tidak keluar rumah.
Setelah beliau mengimami shalat isya, beliau masuk rumah, sementara masjid
penuh para sahabat, menunggu shalat. Beliaupun bertanya kepadaku: ‘Wahai
Aisyah, apa yang terjadi dengan para sahabat?’
‘Wahai Rasulullah, banyak orang mendengar tentang
shalat anda kemarin, dan mereka ingin agar anda mengimami mereka.’ Jawab
Aisyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar tikar kemarin
digulung. Malam itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ibadah di rumah,
sampai subuh. Beliau keluar untuk mengimami shalat subuh, kemudian berkhutbah,
أيها الناس أما والله ما بت والحمد لله ليلتي هذه
غافلا ولكن خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها فاكلفوا من الأعمال ما تطيقون فإن الله لا يمل
حتى تملوا
Wahai sekalian manusia, demi Allah, tadi malam saya
tidak sedang lalai (tidak tidur) – walhamdu lillah – namun saya khawatir akan
diwajibkan kepada kalian shalat malam ini, sehingga kalian tidak sanggup
melakukannya. Lakukanlah amal sunah yang mampu kalian lakukan, karena Allah
tidak bosan menerima amal kalian, sampai kalian bosa dalam bersamal. [HR.
Bukhari 924, Muslim 761, Abu Daud 1373 dan yang lainnya]
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri mengatakan,
فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس على ذلك ثم
كان الأمر على ذلك في خلافة أبي بكر وصدرا من خلافة عمر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dan
kebiasaan shalat tarawih masyarakat masih seperti itu. Keadaan tersebut tetap
berlanjut di masa Khilafah Abu Bakr, dan beberapa waktu di masa khilafah Umar.
(HR. Bukahri 2009)
Anda bisa saksikan, adakah larangan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk shalat malam berjamaah?
Itu hanya klaim syiah, untuk memojokkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatab
radhiyallahu ‘anhu.
Yang ada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak lagi melaksanakan tarawih secara berjamaah, karena kegiatan itu diikuti
banyak sahabat, hingga beliau khawatir Allah akan menurunkan wahyu, menetapkan
shalat jamaah tarawih sebagai kewajiban bagi kaum muslimin. Dan itu akan sangat
memberatkan kaum muslimin.
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
wahyu tidak lagi turun, sehingga tidak akan ada perubahan hukum dari sunah
menjadi wajib. Karena itu, aktivitas kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih
berjamaah selama sebulan, tidak akan menyebabkan hukum shalat ini menjadi
wajib.
Ijtihad Umar
Itulah yang mendasari ijtihad Umar. Wahyu tidak lagi
turun, dan tidak akan ada perubahan hukum. Karena itu, Umar menghidupkan sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau tinggalkan karena
khawatir Allah wajibkan. Ketika kekhawatiran itu sudah tiada, Umar
memerintahkan sahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami para
sahabat melaksanakan shalat tarawih.
Yang menakjubkan, ijtihad Umar ini justru didukung
100% oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. sebagaimana yang ditegaskan
Imam Al-Hakim dalam Mustadrak,
وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على
إقامة هذه السنة إلى أن أقامها
“Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu
‘anhuma, untuk menghidupkan kembali sunah itu, hingga Umar melaksanakannya.”
(Al-Mustadrak, 1/607)
Mengapa di masa Abu Bakr Tidak Diadakan Tarawih
Berjamaah?
Sebagian orang mempertanyakan hal ini. Jika alasan
Umar mengadakan jamaah shalat tarawih adalah wahyu tidak lagi turun, mengapa di
zaman Abu Bakr, jamaah tarawih tidak diadakan?
Pertanyaan semacam ini telah dijawab oleh As-Syathibi
dalam kitabnya Al-I’tisham,
وإنما لم يقم ذلك أبو بكر رضي الله عنه لأحد أمرين:
الأول؛ إما لأنه رأى أن قيام الناس آخر الليل ، وما هم
به عليه ، كان أفضل عنده من جمعهم على إمام أول الليل . ذكره الطرطوشي
“Jamaah tarawih tidak diadakan di zaman Abu Bakr
radhiyallahu ‘anhu, karena dua alasan,
Pertama, karena Abu Bakr berpendapat bahwa apa yang
dilakukan para sahabat dengan shalat tahajud di akhir malam, dan mereka shalat
sendiri-sendiri atau berjamaah dengan kelompok kecil, itu lebih afdhal menurut
Abu Bakr, dari pada mereka dikumpulkan berjamaah di awal malam dengan satu
imam. Ini adalah keterangan At-Thurthusyi.
وإما لضيق زمانه رضي الله عنه عن النظر في هذه الفروع
، مع شغله بأهل الردة وغير ذلك مما هو أوكد من صلاة التراويح ، فلما تمهد الإسلام
في زمن عمر رضي الله عنه ورأى الناس في المسجد أوزاعاً [ متفرقين ] ، كما جاء في
الخبر ، قال : لو جمعت الناس على قارئ واحد لكان أمثل ، فلما تم له ذلك نبه على أن
قيامهم آخر الليل أفضل، ثم اتفق السلف على صحة ذلك وإقراره ، والأمة لا تجتمع على
ضلالة ، وقد نص الأصوليون أن الإجماع لا يكون إلا عن دليل شرعي..
Alasan kedua, masa kepemimpinan Abu Bakr radhiyallahu
‘anhu sangat pendek, sehingga tidak sempat memperhatikan masalah semacam ini.
Terlebih beliau disibukkan dengan orang murtad atau kasus lainnya, yang lebih
mendesak untuk ditangani dari pada shalat tarawih. Setelah islam jaya di zaman
Umar radhiyallahu ‘anhu, sementara masyarakat shalat malam di masjid dengan
terpencar-pencar, sebagaimana yang disebutkan dalam dalil. Umar kemudian
mengatakan, ‘Andaikan mereka dikumpulkan dengan satu imam, tentu lebih baik.’
Setelah sunah ini dihidupkan, beliau mengingatkan, pelaksanaan shalat tarawih
di akhir malam, itu lebih baik. Kemudian para sahabat sepakat kebenaran ijtihad itu dan mereka
setuju. Sementara kaum muslimin tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Para
ahli ushul fiq telah menegaskan bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) tidak mungkin
ada kecuali berdasarkan dalil syariat.. (Al-I’tisham, 1/142).
Kata Sepakat Umat Islam, Tarawih adalah Sunah
An-Nawawi mengatakan,
صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء
“Shalat tarawih adalah sunah berdasarkan sekapat
ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/526).
An-Nawawi juga mengatakan,
قال أبو العباس وأبو إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من
الانفراد لإجماع الصحابة وإجماع أهل الأمصار على ذلك
Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Shalat tarawih
berjamaah lebih afdhal dari pada sendirian, berdasarkan ijma’ sahabat dan
kesepakatan ulama di berbagai daerah. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/32).
Al-Khatib As-Syirbini mengatakan,
وقد اتفقوا على سنيتها ، وعلى أنها المراد من قوله صلى
الله عليه وسلم ( من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
) رواه البخاري
“Para ulama sepakat adanya sunah shalat tarawih, dan
mereka sepakat keutamaan shalat tarawih seperti yang disebutkan dalam hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan
karena iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lewat
dan yang akan datang.” (Mughni Al-Muhtaj, 1/459).
Dalam berbagai karyanya, para ulama memasukkan masalah
mengusap khuf (sepatu) sebagai bagian dari aqidah, meskipun sejatinya hal ini
adalah kasus ibadah. Namun mengingat praktek mengusap khuf termasuk syiar ahlus
sunah yang membedakan dengan syiah dan khawarij, para ulama mencamtumkannya
dalam masalah aqidah.
Tarawih adalah syiar ahlus sunah. Seluruh kaum
muslimin sepakat, tarawih adalah sunah – sebagaimana keterangan An-Nawawi dan
lainnya -, sementara syiah menyebut
tarawih adalah bid’ah. Karena itu, tidak jauh jika kita masukkan permasalahan
ini bagian dari perbedaan karena aqidah. Semoga Allah melindungi kaum muslimin
dari tipu daya kelompok syiah. Amin
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Syi'ah dan Shalat
Tarawih
Abu Al-Jauzaa'
Salah seorang Syi’ah Raafidlah berkata :
“Bagi Syiah shalat tarawih berjamaah di
malam-malam bulan Ramadhan adalah bid’ah. Dalam sejarah yang telah dibuktikan
oleh Syiah, Umar bin Khattab lah yang telah menciptakan bid’ah shalat tarawih
berjama’ah tersebut. Karena Rasulullah saw sama sekali tidak pernah mengajarkan
kita untuk shalat sunah secara berjama’ah”.
[selesai kutipan].
Perkataan yang semisal sudah sangat
masyhur di kalangan orang-orang Syii’ah Raafidlah, baik dalam negeri maupun
luar negeri[1]. Namun bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah), perkataan di atas
tidaklah ada artinya dan sudah seharusnya diabaikan, karena telah sah beberapa
riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masyru’-nya
shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramdlaan.
عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ
نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ، قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ
الَّذِي صَنَعْتُمْ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ، إِلَّا
أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ، قَالَ: وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat di masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah
dengan beliau sekelompok orang, dan orang-orang pun semakin banyak yang ikut
shalat bersama beliau. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
keempat, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar shalat
bersama mereka. Ketika tiba waktu Shubuh, beliau bersabda : “Sungguh aku telah
melihat apa yang kalian lakukan, maka tidaklah menghalangi diriku untuk keluar
kecuali karena aku khawatir shalat akan diwajibkan untuk kalian”. Perawi
berkata : “Dan yang demikian itu terjadi di bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1129, Muslim no. 761, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: " صُمْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا
مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ
اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ
الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ
الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى
خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ:
السُّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِقِيَّةَ الشَّهْرِ "
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami
pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan
Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari
dari bulan tersebut. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama
kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang pertama). Pada saat
malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika
malam tersisa lima hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga
berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah,
seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab :
”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung
baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau
tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau
mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian
shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falaah. Aku pernah
bertanya : ”Apa makna falaah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam
menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami
pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no.
1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih].
Kembali ke Syi’ah.....
Kali ini saya akan ajak Pembaca budiman jalan-jalan
membaca kitab-kitab Syi’ah yang berkaitan dengan shalat tarawih. Setelah
dipilih-pilih, mari kita cek hasilnya :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى
بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ الْبَقْبَاقِ وَ عُبَيْدِ بْنِ
زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
( صلى الله عليه وآله ) يَزِيدُ فِي صَلَاتِهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِذَا صَلَّى
الْعَتَمَةَ صَلَّى بَعْدَهَا فَيَقُومُ النَّاسُ خَلْفَهُ فَيَدْخُلُ وَ
يَدَعُهُمْ ثُمَّ يَخْرُجُ أَيْضاً فَيَجِيئُونَ وَ يَقُومُونَ خَلْفَهُ
فَيَدَعُهُمْ وَ يَدْخُلُ مِرَاراً قَالَ وَ قَالَ لَا تُصَلِّ بَعْدَ الْعَتَمَةِ
فِي غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa bin
‘Ubaid, dari Yuunus, dari Abul-‘Abbaas Al-Baqbaaq dan ‘Ubaid bin Zuraarah, dari
Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa aalihi menambahkan shalatnya pada bulan Ramadlaan, yaitu apabila beliau
shalat ‘atamah (‘isyaa’), beliau melakukan shalat setelahnya. Lalu orang-orang
berdiri bermakmum di belakang beliau. Lalu beliau masuk dan membiarkan mereka.
Lalu beliau keluar, dan mereka kembali datang dan berdiri makmum di belakang
beliau. Lalu beliau membiarkan mereka dan masuk ke rumah beliau beberapa kali.
Abu ‘Abdillah berkata : Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bersabda :
“Janganlah kalian shalat setelah ‘atamah selain pada bulan Ramadlaan”
[Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 4/154-155. Al-Majlisiy (16/378)
berkata : “Shahih”].
Riwayat ini mirip-mirip dengan riwayat kaum muslimin
(Ahlus-Sunnah) yang dibawakan sebelumnya. Tidak ada keterangan tegas dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat orang Syi’ah ini
larangan shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramadlaan. Kita lanjut…..
وسألته عن قيام شهر رمضان هل يصلح ؟ قال : لا يصلح إلا بقراءة ، تبدأ فتقرأ فاتحة الكتاب
، ثم تنصت لقراءة الامام ، فإذا أراد الركوع قرأت ( قل هو الله أحد ) وغيرها ، ثم
ركعت أنت إذا ركع ، فكبر أنت في ركوعك وسجودك كما تفعل إذا صليت وحدك ، وصلاتك
وحدك أفضل
Dan aku (‘Aliy bin Ja’far) pernah bertanya kepadanya
(Muusaa bin Ja’far) tentang shalat (taraawih) di bulan Ramadlaan, apakah ia
baik ?. Ia menjawab : “Tidak baik, kecuali dengan qira’at. Engkau mulai dengan
membaca Al-Faatihah, kemudian engkau diam karena qira’at imam. Jika engkau
hendak rukuk, bacalah Qul-huwallaahu ahad dan selainnya. Lalu engkau rukuk.
Jika engkau rukuk, bertakbirlah dalam rukukmu dan sujudmu sebagaimana yang
engkau lakukan apabila engkau shalat seorang diri. Namun shalatmu seorang diri
(munfarid) lebih utama” [Masaail ‘Aliy bin Ja’far yang tercetak dalam
Al-Bihaar, hal. 253 – baca sumbernya di : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-hadis/behar85/109.htm].
Konteks shalat yang ditanyakan adalah shalat tarawih.
Muusaa bin Ja’far atau Muusaa Al-Kaadhim (imam Syi’ah ke-7) membolehkan shalat
taraawih berjama’ah, hanya saja ia berpendapat bahwa afdlal-nya shalat sendirian.
احمد بن محمد عن علي
بن الحكم عن ابان عن عبدالرحمن بن ابي عبدالله عن ابي عبدالله عليه السلام قال: صل
بأهلك في رمضان الفريضة والنافلة فاني أفعله
Ahmad bin Muhammad, dari ‘Aliy bin Al-Hakam, dari
Abaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Abdillah, dari Abu ‘Abdillah
‘alaihis-salaam, ia berkata : “Shalatlah (berjama’ah) bersama keluargamu di
bulan Ramadlan, baik shalat wajib maupun sunnah, karena aku melakukannya”
[At-Tahdziib, 3/267-268 no. 762 – lihat sumbernya di sini. Katanya, riwayat ini
shahih[2]].
Abu ‘Abdillah ternyata menyuruh shalat wajib dan
sunnat secara berjama’ah di bulan Ramadlan, karena ia sendiri melakukannya.
Shalat sunnah apa lagi yang masyhur dilakukan khusus bulan Ramadlaan selain
shalat taraawih ?.
Melihat tiga riwayat di atas – bahkan jumlahnya lebih
banyak lagi - , kita menjadi bertanya-tanya, apakah para imam Syi’ah yang
membolehkan shalat tarawih mengikuti jejak ‘Umar bin Al-Khaththaab
radliyallaahu ‘anhu ?. Jika benar, lalu para ulama Syi’ah dan pengikutnya itu
mengikuti siapa ?. ‘Abdullah bin Saba’ ?. Apakah ulama Syi’ah dan pengikutnya
itu tidak membaca riwayat-riwayat di atas ? Entahlah…..
Semoga informasi ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus,
ciomas, bogor - 23081434/02072013 – 23:07].
[1] Terutama
sekali karena kebencian mereka terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu. Segala sesuatu yang ‘berbau’ ‘Umar, mereka hindari dan buang.
Perlu diperhatikan :
Dalam referensi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah)
disebutkan adanya perbedaan pendapat mana yang lebih afdlal masyru’-nya shalat
taraawih di rumah dan di masjid, atau perbedaan pendapat hukum shalat taraawih
berjama’ah. Syi’ah sering mendompleng perbedaan pendapat ini untuk membela
pendapatnya, terutama dalam menyalahkan ‘Umar yang dikatakan membuat-buat
syari’at shalat tarawih berjama’ah.
Meskipun kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah
yang disebutkan, namun mereka tidak pernah mendiskreditkan ‘Umar dan mengatakan
ia lah yang membuat-buat syari’at shalat tarawih berjama’ah. Perbedaan pendapat
mereka hanyalah dari sisi pandang pengambilan hukum dari perbuatan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pernah shalat tarawih berjama’ah (di
masjid) bersama manusia, lalu beliau hentikan, dan kemudian dihidupkan kembali
oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu di jaman kekhalifahannya. Adapun
Syi’ah Raafidlah, mereka menganggap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah melakukannya dan ‘Umar lah yang membuat-buat ibadah tersebut –
selain karena memang resistensi mereka terhadap ‘Umar sebagaimana telah
dimaklumi.
[2]Dalam kitab Al-Hadaaiqun-Naadlirah karya Yuusuf
Al-Bahraaniy 11/84 disebutkan pentashhihan riwayat tersebut sebagai berikut :
ما رواه الشيخ في الصحيح عن عبد الرحمان بن ابى عبد
الله عن ابى عبد الله (عليه السلام) (3) انه قال له: " صل باهلك في رمضان
الفريضة والنافلة فانى افعله " وفى الصحيح عن هشام بن سالم
“Apa yang diriwayatkan Asy-Syaikh dalam Ash-Shahiih
dari ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Abdillah…..dst.”.
Sumber : sini.
Mufti Mesir: Hukum Shalat
Taraweh Adalah
Sunnah Muakkadah
Pernyataan ini dilontarkan Dr. Shawki Allam menjawab
pertanyaan mengenai hukum shalat taraweh yang kini mulai dilupakan oleh
sebagian orang.
“Shalat Taraweh adalah sunnah muakkadah yang selalu
dilakukan rasulullah ﷺ dan meminta umat Islam setelahnya untuk
melakukannya. Dan sudah semestinya bagi setiap Muslim untuk mencintai salah
satu sunnah rasul ini,” ujar Dr. Shawki Allam dalam video yang diterbitkan Dar
Ifta Mesir.
Dr. Shawki Allam melanjutkan, “Shalat Sunnai ini telah
dilakukan sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga saat ini. Terlebih ada hadits nabi ﷺ yang berbunyi ( من قام رمضان إيمانًا واحتسابًا غُفر له ما تقدم من
ذنبه
)
Menurutnya, sudah menjadi suatu keharusan bagi seorang
Muslim untuk menunaikan ibadah shalat yang dilakukan sekali dalam setahun,
yaitu di bulan suci Ramadhan. (Shorouk/Ram)
“Barangsiapa yang melaksanakan
sholat malam (di bulan Ramadhan) bersama imam sampai selesai, maka dia dicatat telah menegakkan sholat satu malam penuh”. (HR.
Ahmad, dishohihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam Irwaul Gholil:447)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan
mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari
no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang
dituturkan oleh An Nawawi.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
6/39.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai,
maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” Hal ini sekaligus
merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara
berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai. HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no.
806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini.
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
cukup jelas ?