Artikel terkait :
http://lamurkha.blogspot.com/2014/08/muslimkah-orang-tua-nabi.html
Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi
http://lamurkha.blogspot.com/2014/08/muslimkah-orang-tua-nabi.html
Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi
Muqaddimah
Termasuk
aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang jelas adalah tidak boleh memvonis seseorang
dengan neraka atau surga kecuali berdasarkan dalil yang konkret dari al-Qur’an
dan hadits yang shahih, karena perkara ini termasuk masalah ghaib yang di luar
pengetahuan seorang hamba. Namun, apabila sudah ada dalil shahih yang
menegaskan status seseorang bahwasanya dia di surga atau neraka maka kewajiban
bagi seorang muslim adalah mengimaninya dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Nah,
di antara status keberadaan yang ditegaskan dalam hadits yang shahih adalah
keberadaan orangtua Nabi di neraka. Hanya, masalah ini masih menjadi
kebingungan bagi sebagian orang dan ketergelinciran bagi sebagian pena para
penulis, apalagi setelah terkumpulnya syubhat-syubhat dalam masalah ini yang
digoreskan oleh as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya yang banyak sekali seperti Masaliku Hunafa fii Walidai al-Musthafa, ad-Duruj al-Munifah fil Abâi
asy-Syarifah, al-Maqamat as-Sundusiyyah fin Nisbah al-Musthafawiyyah, at-Ta’zhim wal Minnah fii Anna
Abawai Rasulillah fil Jannah, Nasyru Alamain al-Munifain fii Ihya’ al-Abawain
asy-Syarifain. as-Subul al-Jaliyyah fil Abâi al-Aliyyah.
Gayung
pun bersambut, syubhat-syubhat tersebut dicuatkan oleh sebagian orang untuk
menolak hadits shahih, ditambah dengan alasan cinta kepada Nabi, padahal mereka
tahu bahwa surga dan neraka bukanlah diukur dengan nasab dan kehormatan, namun
dengan iman dan amal shalih.
Berikut
ini kajian singkat tentang hadits pembahasan berikut bantahan terhadap
syubhat-syubhat seputar masalah ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada
kita semua untuk menjadi pembela-pembela hadits Nabi.
Teks Hadits dan Takhrijnya
Ada
dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:
Dalil pertama:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ.
فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari
Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?”
Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau
memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
a.
Takhrij Hadits
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203), Abu Awanah dalam Musnad-nya
(289), Ahmad dalamMusnad-nya (3/268), Abu Dawud dalam Sunan-nya
(4718), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (578), Abu Ya’la dalam Musnad-nya
(3516), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (7/190 no. 13856) danDalâil Nubuwwah (1/191),
al-Jauraqani dalam al-Abâthil wal Manâkir wash Shihah
wal Masyâhir (1/132–233),
dan Ibnu Mandah dalam kitab al-Îmân (926).
Seluruhya
lewat dari dua jalur:
ñ
Jalur pertama: Affan bin Muslim – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas
bin Malik.
ñ
Jalur kedua: Musa bin Isma’il – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas
bin Malik.
b.
Hukum Hadits
Tidak
ragu lagi bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah akan
keshahihannya bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya
yang masyhur itu. Syaikh al-Albani berkata dalam Muqaddimah
Bidâyatus Sûl(hlm. 16–17),
“Hadits riwayat Muslim dan selainnya. Hadits ini shahih meskipun as-Suyuthi
memaksakan diri untuk melemahkan hadits ini dalam beberapa kitabnya.”
Dalil Kedua:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ
n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ
لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ
فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا
فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ
Dari
Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau
menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis
kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon
ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin
kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin.
Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’”
a.
Takhrij Hadits
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977), Abu Dawud (3235), Nasai (4/90),
Ibnu Majah (1572), Ahmad dalam Musnad-nya (2/441), ath-Thahawi dalam Musykil Atsar (3/89),
al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (4/76), (7/190) danDalâil Nubuawwah (1/190),
al-Baghawi dalam Syarh Sunnah(5/463 no. 1554) dan Ma’alim Tanzil (3/115),
Abu Ya’la dalamMusnad-nya (6193), al-Jauraqani dalam Abâthil wal Manâkir(1/230)
dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1429).
Seluruhnya
dari tiga jalur:
Jalur pertama: Marwan bin Mu’awiyah – Yazid bin Kaisan
– Abu Hazim – Abu Hurairah.
Jalur kedua: Muhammad bin Ubaid – Yazid bin Kaisan –
Abu Hazim – Abu Hurairah.
Jalur ketiga: Ya’la bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu
Hazim – Abu Hurairah (Riwayat al-Hakim saja)
b.
Hukum Hadits
Tidaklah
diragukan bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah bahwa Imam
Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya. Imam Baghawi berkata, “Hadits ini shahih.”
Al-Hakim berkata, “Hadits shahih menurut syarat Muslim tetapi keduanya
(Bukhari-Muslim) tidak mengeluarkannya.” Dan disetujui Imam Dzahabi!!
Kami
berkata: Imam Hakim benar dalam menghukumi hadits ini shahih menurut syarat
Muslim, tetapi beliau salah ketika mengatakan bahwa Imam Muslim tidak
mengeluarkannya, karena hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîh-nya—sebagaimana
Anda lihat di atas.
Bersama al-Hafizh as-Suyuthi
Al-Hafizh
as-Suyuthi melemahkan hadits pertama dalam kitabnya Masaliku Hunafa fi Walidai Musthafa 2/432–435 dengan alasan bahwa Hammad bin Salamah
telah diselisihi oleh Ma’mar bin Rasyid, di mana beliau tidak menyebutkan
lafazh ini, tetapi dengan lafazh “Apabila
engkau melewati kuburan seorang kafir maka beritakanlah dia dengan neraka”.Hadits dengan lafazh ini lebih kuat, karena
Ma’mar lebih kuat hafalannya daripada Hammad, sebab Hammad ada pembicaraan
dalam hafalannya, berbeda halnya dengan Ma’mar.
Jawaban: Alasan ini adalah alasan yang sangat lemah
sekali, sebab sebagaimana tidak samar lagi bagi para ahli hadits—termasuk
as-Suyuthi sendiri—bahwa perawi yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit
al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sehingga apabila bertentangan dengan rawi
lainnya maka yang dimenangkan adalah Hammad bin Salamah.
Abu Hatim ar-Razi berkata—sebagaimana dalam al-’Ilal(2185), ”Hammad bin
Salamah adalah orang yang paling terpercaya apabila meriwayatkan dari Tsabit
dan Ali bin Zaid.”
Ahmad bin Hambal berkata, “Hammad bin Salamah lebih
kuat daripada Ma’mar jika dia meriwayatkan dari Tsabit.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Barang siapa menyelisihi
Hammad bin Salamah maka yang dimenangkan adalah Hammad.” Dikatakan kepada
beliau, “Bagaimana dengan Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit?” Beliau berkata,
“Sulaiman bin Mughirah memang terpercaya, tetapi Hammad adalah orang yang
paling tahu tentang Tsabit.”
Al-’Uqaili berkata dalam adh-Dhu’afa’ (2/291), “Manusia
yang paling terpercaya tentang Tsabit adalah Hammad bin Salamah.”
Imam
Muslim dalam Shahîh-nya seringkali meriwayatkan riwayat dari jalur
Hammad bin Salamah dari Tsabit. Berbeda halnya dengan Ma’mar bin Rasyid,
sekalipun beliau terpercaya, para ahli hadits melemahkan riwayatnya dari
Tsabit. Ibnu Ma’in berkata, “Ma’mar dari Tsabit lemah riwayatnya.” Al-’Uqaili
berkata, “Riwayat yang paling mungkar dari Tsabit adalah riwayat Ma’mar bin
Rasyid.”
Setelah
penjelasan ini, lantas apa artinya perbandingan yang dilakukan oleh al-Hafizh
as-Suyuthi antara dua orang tersebut?! Jadi, pendapat yang benar adalah riwayat
Hammad bin Salamah, sedangkan riwayat Ma’mar bin Rasyid adalah mungkar.[1]
Adapun
hadits kedua, as-Suyuthi tidak memberikan banyak alasan untuk melemahkannya
kecuali ucapan yang global saja!!
Fiqih Hadits
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:
“Ketahuilah
wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga,
mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya
yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang
dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang
sangat jelas.
Menurut
saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah
yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang
meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan
dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap
agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini
kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.
Jika
mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan
hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak
hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada
kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin
seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang
tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa
nafsu mereka semata.
Dan
ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa
hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang
adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan
bulat. Allah berfirman:
الٓمٓ ﴿١﴾ ذَٰلِكَ
ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ
﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ
يُنفِقُونَ ﴿٣﴾
Alif
lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
(QS. al-Baqarah [2]: 1–3)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا
﴿٣٦﴾
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (QS. al-Ahzâb [33]: 36)
Maka
berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama
pahit rasanya.Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua:
Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.
Dan
tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari
hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti
as-Suyuthi—semoga Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap
berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak
terima bila kedua orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan
mereka lebih sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!”[2]
Sebenarnya
ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun, cukuplah kami
nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari, “Telah bersepakat
para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan
seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka)
tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah
mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.”[3]
Syubhat dan Jawabannya
Di
antara syubhat melemahkan hadits shahih, di sana ada beberapa syubhat lainnya
yang perlu kita kupas sekalipun secara singkat:
Syubhat pertama: Kedua orangtua
Nabi hidup di masa fathrah
Mereka
berdalil dengan firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّىٰ نَبْعَثَ
رَسُولًۭا ﴿١٥﴾
Dan
Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isrâ’
[17]: 15)
Syaikh
Abu Zahrah (al-Azhar, Mesir) berkata, “Ayah dan ibu Nabi hidup pada masa fathrah (kekosongan
Nabi), maka bagaimana mungkin keduanya akan diadzab? … Terus terang, saya
(Abu Zahrah) tak dapat menahan telinga dan pikiranku tatkala saya membayangkan
bahwa Abdullah dan Aminah berada di neraka!”
Jawaban: Syaikh al-Albani menjawab syubhat ini,
“Ketahuilah bahwa hadits ini walaupun sudah jelas keshahihan sanadnya,
banyaknya syawahid (penguat)nya serta kesepakatan para ulama pakar
menerimanya, namun Syaikh Abu Zahrah menolaknya mentah-mentah dengan penuh kelancangan
dan kejahilan yang mendalam tatkala dia berkata … (kemudian beliau
menyebutkan perkataan Abu Zahrah di atas). Saya (al-Albani, Red.) katakan: Subhanallah!
seperti inikah sikap hamba yang beriman kepada Rasulullah kemudian kepada para
ulamamukhlishin (ikhlas) yang telah meriwayatkan hadits-hadits
Nabi sekaligus menyaringnya antara shahih dan dha’if serta bersepakat tentang
keshahihan hadits ini?! Bukankah sikap Abu Zahrah ini adalah manhaj (metode)
para pengekor hawa nafsu seperti Mu’tazilah dkk. yang menimbang suatu kebaikan
dan kejelekan berdasarkan akal? Lucunya, Syaikh Abu Zahrah mengaku bahwa
dirinya termasuk Ahli Sunnah, lantas mengapa dia menyelisihi mereka (Ahli
Sunnah) dan meniti jalan Mu’tazilah, pendewa akal dan pengingkar hadits-hadits
shahih berdasarkan hawa nafsu belaka …”[4]
Syubhat kedua: Hadits-hadits
tentang hidupnya kedua orangtua Nabi setelah mati lalu beriman.
Mereka
berdalil dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi hidup
kembali dan beriman kepada Nabi. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa
hadits-hadits tentangnya telah mencapai derajat mutawatir.
Jawaban: Hadits-hadits tentang imannya kedua orangtua Nabi
seluruhnya maudhu’ dan mungkar sebagaimana ditegaskan oleh pakar (ahli) hadits.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits itu tidak shahih menurut ahli hadits,
bahkan mereka bersepakat bahwa hadits itu adalah dusta dan diada-adakan
sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang majahil (tidak
dikenal). Sebenarnya tidak ada pertentangan di kalangan Ahlus Sunnah bahwa
hadits itu palsu yang sangat nyata kedustaannya sebagaimana ditegaskan oleh
ahli ilmu. Seandainya kejadian seperti ini benar-benar terjadi, niscaya akan
banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua
segi:
segi menghidupkan orang yang telah mati
segi keimanan setelah mati
Hadits
ini di samping palsu, juga bertentangan dengan al-Qur’an, hadits shahih, dan
ijma’.”[5]
Syubhat ketiga: Celaan Kepada
Nabi?
Mereka
mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di neraka termasuk
kurang adab terhadap Rasulullah.
Jawaban: Beradab terhadap Rasulullah yang sebenarnya
adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab
terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang
haditsnya. Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
لَا تُقَدِّمُوا۟
بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ
ۖ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ
﴿١﴾
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. al-Hujurât: 1)
Alangkah
bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits
ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia
menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik
mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah(cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an.”
Syaikh
Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang
teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah,
seandainya hadits tentang islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah
orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka
adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada
diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita
tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya,
banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an.”[6]
Demikianlah
pembahasan ini secara singkat. Barang siapa yang ingin memperluas pembahasan
ini maka kami persilakan untuk membaca kitab Adillah Mu’taqad
Abi Hanifah fi Abawai Rasul karya Syaikh
Mula al-Qari, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Naqdhu Masalik as-Suyuthi fi Walidai al-Musthafa oleh Dr. Ahmad bin Shalih az-Zahrani.
[1] Dinukil dari jawaban
Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Majalah at-Tauhid, edisi 3/Th. 9.
Dan lihat bantahannya lebih lengkap dalam tulisan beliau tersebut.
[2]
Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 2592
[3]
Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul hlm. 84
[4] Shahîh
Sîrah Nabawiyyah hlm. 24–27
[5] Majmû’
Fatâwâ 4/324
[6] Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi
3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37
http://abiubaidah.com/sesatkah-aqidah-bahwa-orangtua-nabi-muhammad-adalah-kafir.html/
1. Para ulama’ yang menyatakan kedua orang tua Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam di neraka
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(QS. al-Baqarah : 119)
kafirkah Kedua
Orang Tua Rasulullah??
Oleh: Taufiq Oki Darmawan
(Mahasiswa Islamic
Center Al-Islam)
Pendahuluan
1. Para ulama’ yang menyatakan kedua orang tua Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam di neraka
Imam al-Qaari menukil
ijma’ salaf dan khalaf tentang kedua orang tua Rasul yang masuk neraka. Beliau
berkata : ”Ulama’ salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam yang
empat serta para mujtahid telah sepakat akan hal ini tanpa ada khilaf /
perselisihan sedikitpun. Adapun khilaf yang muncul belakangan setelah adanya
ijma’ tidak diakui.
Sungguh sangat mengherankan bagaimana bisa Imam Suyuthi yang mengerti akan atsar-atsar / hadits-hadits yang banyak ini berpaling darinya, dan tidak mengikuti para imam. Justru dia mengikuti ulama’-ulama’ yang belakangan dan menukil dalil-dalil yang lemah sekali.”
2. Dalil-dalil yang sering dipakai beserta bantahannya :
1. Dalil pertama : bahwa kedua orang tua Rasul termasuk ahli fatrah.
Sungguh sangat mengherankan bagaimana bisa Imam Suyuthi yang mengerti akan atsar-atsar / hadits-hadits yang banyak ini berpaling darinya, dan tidak mengikuti para imam. Justru dia mengikuti ulama’-ulama’ yang belakangan dan menukil dalil-dalil yang lemah sekali.”
2. Dalil-dalil yang sering dipakai beserta bantahannya :
1. Dalil pertama : bahwa kedua orang tua Rasul termasuk ahli fatrah.
Definisi ahli fatrah :
a. Menurut bahasa : Ibnu Manzhur berkata: al-fatrah adalah kelemahan dan penurunan.
b. Menurut istilah : selang / jarak waktu antara dua Nabi.
Ahli fatrah adalah mereka yang hidup pada selang waktu antara dua orang rasul, mereka tidak menemui rasul yang pertama dan tidak pula menjumpai rasul yang kedua, seperti selang waktu antara Nuh dan Idris Alaihi Salam dan antara Isa Alaihi Salam dan Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
a. Menurut bahasa : Ibnu Manzhur berkata: al-fatrah adalah kelemahan dan penurunan.
b. Menurut istilah : selang / jarak waktu antara dua Nabi.
Ahli fatrah adalah mereka yang hidup pada selang waktu antara dua orang rasul, mereka tidak menemui rasul yang pertama dan tidak pula menjumpai rasul yang kedua, seperti selang waktu antara Nuh dan Idris Alaihi Salam dan antara Isa Alaihi Salam dan Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Oleh karena itu jika
kita perhatikan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Maidah : 19)
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Maidah : 19)
Ayat ini menguatkan apa
yang telah kami sebutkan, bahwa maksud dari kata ahli fatrah itu umum tidak
dikhususkan pada kaum atau zaman tertentu.
Selang waktu dari seorang Nabi yang paling mencolok adalah selang waktu antara Nabi Isa Alaihi Salam dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Para ulama’ berselisih pendapat tentang selang waktu antara keduanya. Pendapat yang paling kuat yang mengatakan selang waktu antara keduanya adalah 600 tahun. Inilah pendapat Muqaatil dan Ibnu Abbas.
Macam-macam ahli fatrah dan pendapat yang kuat tentang kewajiban mengikuti ajaran Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sebelum mereka.
Ahli fatrah dibagi menjadi dua macam :
1. Yang telah sampai kepadanya ajaran seorang Nabi.
2. Yang telah sampai kepadanya dakwah dan dia dalam keadaan lalai.
Adapun golongan yang pertama terbagi menjadi dua lagi :
a. Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik.
b. Yang sampai kepadanya dakwah akan tetapi dia merubah ajaran dan berbuat syirik.
- Orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik kapada Allah seperti Qus bin Saa’idah, Zaid bin Amr bin Nifail, Waraqah bin Naufal, dan yang lainnya. Golongan ini tidak diperselisihkan karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mereka itu mati dalam keadaan bertauhid.
- Adapun yang telah sampai kedanya dakwah tapi dia masih berbuaat syirik seperti Amru bin Luhay, Abudullah bin Jad’an, shahibul mihjan (pemilik kayu bercabang yang mencuri pada saat haji), kedua orang tua rasul dan paman serta kakek beliau, maka (golongan ini) selayaknya tidak diperselisihkan bahwa mereka dimasukkan di dalam neraka, karena dakwah telah sampai kepada mereka.
- Adapun golongan kedua maka golongan yang satu ini masih diperselisihkan oleh para ulama’, tapi yang benar mereka itu diuji dengan diperintahkan masuk ke dalam api pada hari kiamat kelak.
Selang waktu dari seorang Nabi yang paling mencolok adalah selang waktu antara Nabi Isa Alaihi Salam dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Para ulama’ berselisih pendapat tentang selang waktu antara keduanya. Pendapat yang paling kuat yang mengatakan selang waktu antara keduanya adalah 600 tahun. Inilah pendapat Muqaatil dan Ibnu Abbas.
Macam-macam ahli fatrah dan pendapat yang kuat tentang kewajiban mengikuti ajaran Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sebelum mereka.
Ahli fatrah dibagi menjadi dua macam :
1. Yang telah sampai kepadanya ajaran seorang Nabi.
2. Yang telah sampai kepadanya dakwah dan dia dalam keadaan lalai.
Adapun golongan yang pertama terbagi menjadi dua lagi :
a. Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik.
b. Yang sampai kepadanya dakwah akan tetapi dia merubah ajaran dan berbuat syirik.
- Orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik kapada Allah seperti Qus bin Saa’idah, Zaid bin Amr bin Nifail, Waraqah bin Naufal, dan yang lainnya. Golongan ini tidak diperselisihkan karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mereka itu mati dalam keadaan bertauhid.
- Adapun yang telah sampai kedanya dakwah tapi dia masih berbuaat syirik seperti Amru bin Luhay, Abudullah bin Jad’an, shahibul mihjan (pemilik kayu bercabang yang mencuri pada saat haji), kedua orang tua rasul dan paman serta kakek beliau, maka (golongan ini) selayaknya tidak diperselisihkan bahwa mereka dimasukkan di dalam neraka, karena dakwah telah sampai kepada mereka.
- Adapun golongan kedua maka golongan yang satu ini masih diperselisihkan oleh para ulama’, tapi yang benar mereka itu diuji dengan diperintahkan masuk ke dalam api pada hari kiamat kelak.
2.
Dalil kedua : hadits-hadits yang berkenaan dengan dihidupkannya kembali kedua
orang tua Nabi Shalallahu Alihi wa Sallam (ke dunia) lalu mereka beriman kepada
beliau.
1. Hadist Aisyah yang disebutkan oleh pengarang.
2. Hadist Ibnu Umar yang juga disebutkan oleh pengarang.
3. Hadist Ali bin Abi Thalib dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda : Jibril turun kepadaku dan berkata : Allah mengucapkan salam kepadamu dan Dia berfirman : “Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu, perut yang pernah melahirkanmu, pangkuan yang telah merawatmu, yaitu Abdullah, Aminah dan Abdul Muthalib.”
1. Hadist Aisyah yang disebutkan oleh pengarang.
2. Hadist Ibnu Umar yang juga disebutkan oleh pengarang.
3. Hadist Ali bin Abi Thalib dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda : Jibril turun kepadaku dan berkata : Allah mengucapkan salam kepadamu dan Dia berfirman : “Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu, perut yang pernah melahirkanmu, pangkuan yang telah merawatmu, yaitu Abdullah, Aminah dan Abdul Muthalib.”
4.
Hadist Adbullah bin Abbas, dia berkata : Aku mendengar Nabi Shalallahu Alaihi
wa Sallam berkata : “Aku
memberi syafa’at kepada ayahku, pamanku, saudara sepersusuan, sehingga mereka
menjadi debu setelah hari kebangkitan.”
KAFIRKAH KEDUA ORANG TUA RASULULLAH
I. Dalil-dalil dari Al-Qur’an :
KAFIRKAH KEDUA ORANG TUA RASULULLAH
I. Dalil-dalil dari Al-Qur’an :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(QS. al-Baqarah : 119)
Waqi’, Sufyan bin
Uyainah, Abdurrazaq, Abdun bin Hunaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir telah
meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi, beliau berkata,” Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam : “Sangat disayangkan! apa yang dikerjakan orang
tuaku?” maka turun ayat : “Sesungguhnya
Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan
jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(QS. al-Baqarah : 119).
Senantiasa Rasulullah mengingat keduanya hingga Allah mewafatkannya.”
Di dalam nash tadi
terdapat bantahan bagi mereka yang menyangka bahwa kedua orang tua Rasulullah
berada di surga. Sekaligus di dalamnya ada kabar bahwa hukum ini tidak dihapus
dengan dihidupkannya kedua orang tua beliau.
Ibnu Jarir meriwayatkan
dari Dawud bin Abi Ashim, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam pernah
bersabda pada suatu hari : “Dimanakah kedua orang tuaku berada? Maka turunlah
ayat tadi.”
II. Dalil-dalil dari Sunnah
Imam Muslim meriwayatkan
dari Anas Radhiyallahu Anhu : (Bahwa ada seeseorang yang bertanya :”Wahai
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam! Dimanakah ayahku?” maka Rasulullah
menjawab : “Ayahmu di neraka.” Lalu orang itu pergi, kemudian Nabi memanggilnya
dan bersabda : ”Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”
Demikian pula yang
diriwayatkan oleh al-Bazzar bahwa Nabi sesungguhnya ingin memintakan mapun
untuk ibunya, mka Jibril menepukkan tanganya ke dada Rasulullah seraya berkata
: “Apakah engkau meminta ampun untuk orang yang mati dalam kesyirikan.”
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, Hakim, Ibnu Mardawih, Baihaqi dalam ”dalail” dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu beliau berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam keluar pada suatu hari ke pemakaman lalu kami pun mengikuti beliau. Setelah masuk pemakaman beliau duduk di sebuah kuburan sambil berkata sesuatu lalu beliau menangis, kami pun ikut menangis. Setelah itu beliau berdiri dan Umar berdiri pula, lalu Nabi memanggil kami semua sambil bertanya :”Apa yang membuat kalian menangis?” kami berkata : “Kami menangis karena melihat anda menangis.” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya ini adalah kuburan Aminah (ibuku) dan saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk berziarah ke kuburnya dan saya diizinkan untuk ziarah. Dan sya memohon izin untuk meminta aampun bagi ibuku tapi saya tidak diizinkan. Lalu turunlah ayat : (Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walaupun kerabat dekat mereka), maka saya bersedih sebagaimana seorang anak, itulah yang menyebabkan saya menangis.” Hal ini disebutkan pula oleh al-Waqidi dalam asbabun nuzul dengan isnadnya. Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, Hakim, Ibnu Mardawih, Baihaqi dalam ”dalail” dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu beliau berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam keluar pada suatu hari ke pemakaman lalu kami pun mengikuti beliau. Setelah masuk pemakaman beliau duduk di sebuah kuburan sambil berkata sesuatu lalu beliau menangis, kami pun ikut menangis. Setelah itu beliau berdiri dan Umar berdiri pula, lalu Nabi memanggil kami semua sambil bertanya :”Apa yang membuat kalian menangis?” kami berkata : “Kami menangis karena melihat anda menangis.” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya ini adalah kuburan Aminah (ibuku) dan saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk berziarah ke kuburnya dan saya diizinkan untuk ziarah. Dan sya memohon izin untuk meminta aampun bagi ibuku tapi saya tidak diizinkan. Lalu turunlah ayat : (Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walaupun kerabat dekat mereka), maka saya bersedih sebagaimana seorang anak, itulah yang menyebabkan saya menangis.” Hal ini disebutkan pula oleh al-Waqidi dalam asbabun nuzul dengan isnadnya. Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu.
III. Dalil Ijma’
Adapun dalil ijma’ maka
para salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam yang empat serta
para mujtahid telah sepakat akan hal ini. Tidak ada khilaf sedikit pun dari
meraka, kalau memang ada khilaf setelah adanya ijma’ maka hal tersebut tidak
mengurangi ijma’ yang telah disepakati.
IV. Bantahan Terhadap Suyuthi
Yang aneh dari Syaikh
Jalaluddin Suyuthi – padahal beliau mengerti tentang riwayat-riwayat yang bisa
dikatakan mutawatir – Suyuthi tidak mengikutinya dan tidak sama dengan para
imam-imam lain, tapi Suyuthi justru cenderung untuk mengikuti kelompok ulama’
belakangan. Dan Suyuthi mendatangkan dalil-dalil yang lemah menurut para pakar
ilmu (hadist).
Di antara dalil-dalil
Suyuthi adalah : sesungguhnya Allah menghidupkan kembali kedua orang tua Nabi
hingga mereka beriman kepadanya. Suyuthi dalam hal ini bersandar kepada riwayat
yang dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam “nasikh wal manshuk”, serta khatib al-Baghdadi
dalam “as-sabiq wal lahiq”, Daruquthni dan Ibnu Asakir keduanya dalam “gharaib
malik”, dengan sanad yang lemah dari Aisyah Rahdhiyallahu Anha berkata,
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berhaji bersama kami paada waktu
haji wada’ / perpisahan. Rasul melewati tempat yang bernama Hajun dalam keadaan
menangis dan sedih, lalu Rasul turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali
kepadaku dalam keadaan gembira dan tersenyum, maka aku pun bertanya tentang
sebabnya? Beliau bersabda : “Saya tadi pergi ke kuburan ibuku dan saya memohon
kepada Allah untuk menghidupkannya kembali hingga ibuku beriman kepadaku maka
Allah pun mengembalikan ibuku ke dunia ini lagi.”
Hadist ini lemah menurut
kesepakatan ahli hadist seperti yang telah diakui seendiri oleh Suyuthi. Ibnu
Katsir berkata, “Hadist ini mungkar sekali, perawi-perawinya tidak dikenal.”
Perkataan Syaikh Ibnu Hajar al-Makki dalam “Syarah al-Hamziyah”, ”Hadist itu shahih dan dishahihkan oleh banyak ulama’. ”Perkataan ini tidak bisa diterima, bahkan ini hanyalah kedustaan semata serta aib buruk yang bisa menggugurkan keadilan dan membatalkan riwayat.
Perkataan Syaikh Ibnu Hajar al-Makki dalam “Syarah al-Hamziyah”, ”Hadist itu shahih dan dishahihkan oleh banyak ulama’. ”Perkataan ini tidak bisa diterima, bahkan ini hanyalah kedustaan semata serta aib buruk yang bisa menggugurkan keadilan dan membatalkan riwayat.
Al-Hafidz Ibnu Dihyah
berkata -seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir-, “Sesungguhnya hadist ini
palsu, telah disanggah oleh al-Qur’an dan ijma’. Allah berfirman yang artinya,
“Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam
keadaan kafir.”(QS. an-Nisa’ : 18)
Kesimpulan : tidak benar
riwayat dihidupkannya kembali serta berimanya kedua orang tua Nabi. Dalilnya
adalah tidak ada satu orang sahabat Nabi yang menyaksikan hal ini terjadi pada
waktu haji wada’, dan manusia pada waktu itu berkumpul untuk menolong beliau
tanpa ada sedikit perselisihan. Ditambah lagi dengan adanya kaidah syariat yang
menyatakan tidak diterimanya keimanan pada waktu sakaratul maut menurut
kesepakatan ulama’.
Diantaranya lagi adalah
perkataan Suyuthi : keduanya meninggal sebelum diutusnya Nabi dan keduanya
tergolong ahlu fatrah.
Ini jelas menyelisihi
al-Qur’an dan Hadist, serta berlawanan dengan apa yang telah dijelaskan, bahwa
mereka mati dalam keadaan syirik. Apa yang dipaparkan panjang lebar oleh
Suyuthi dengan alasan-alasanya tidaklah bermanfaat sama sekali dalam hal ini.
Bersamaan dengan itu ada pertentangan dalam ucapanya yaitu seandainya keduanya
termasuk ahli fatrah, maka tidak perlu untuk mengatakan dihidupkannya kembali
kedua orang tua tersebut karena mereka adalah orang-orang yang selamat karena
mereka ahli fatrah.
Diantaranya juga
perkataan Suyuthi, ”Sesungguhnya telah datang hadist-hadist tentang ahli
fatrah, bahwa mereka akan diuji pada hari kiamat dengan ditampakkannya api lalu
mereka diperintah untuk memasukinya. Maka orang-orang yang telah ditetapkan
kebahagiannya dalam ilmu Allah seandainya mereka diberi kesempatan beramal
mereka akan memasuki api tersebut. Dan orang-orang yang telah ditetapkan
kesengsarannya dalam ilmu Allah jika mereka diberi kesempatan untuk beramal,
mereka enggan untuk memasukinya lalu Allah berfirman, yang artinya : “Kamu telah
memaksiati Aku maka bagaimana dengan rasul-rasul-Ku.”
Jika hadist tersebut
shahih maka telah membantah orang yang menyelisihinya. Sesungguhnya hadist
tersebut bagi mereka yang mati pada zaman fatrah dan tidak diketahui akan
kesyirikan mereka dan ketauhidan mereka. Adapun mereka yang sudah diketahui
kekufurannya dangan al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para imam, maka
tidak ada alasan lagi untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang
yang diuji pada hari kiamat dengan ketaatan seperti Waraqah bin Naufal, Qus bin
Sa’idah dan selain dari keduanya dari mereka yang telah jelas ketauhidanya.
Bukan semisal pemilik kayu bercabang dan selainnya dari orang-orang yang telah
jelas kesyirikannya.
Perkataan Suyuthi,
“Bahwa Ibnu Jarir menyebutkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu Anhuma tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : “Dan
kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hati kamu menjadi
puas.”(QS. ad-Dhuha : 5). Beliau berkata :
Di antara hal yang menjadikan hati beliau puas adalah tidak ada seorang pun
dari keluarga beliau yang masuk neraka.”
Ini adalah pendapat
Suyuthi saja, seandainya riwayat ini benar maka yang dimaksud dengan keluarga
Nabi dalam ucapan Suyuthi tadi bukan keluarga Nabi yang kafir.
Ucapan Suyuthi : (Tidak
ada bukti yang menunjukkan kesyirikan kedua orang tua Rasul, bahkan keduanya di
atas agama tauhid –agama nenek moyang mereka yaitu Ibrahim Alaihi Salam).
Hal ini bertentangan
dengan yang tercantum dalam shahih Muslim dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang telah berlalu.
Metode seperti ini
juga diikuti oleh sebagian orang seperti Fakhruddin ar-Razi yang mengatakan
dalam kitabnya “Asraaruttanzil” : Dikatakan bahwa Azar bukan ayah Ibrahim
Alaihi Salam tapi dia adalah paman beliau. Alasan mereka adalah : Sesungguhnya
orang tua para Nabi itu bukan kafir, dalilnya sebagai berikut : firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : “Dialah
yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan melihat pula
perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud.” (QS.
asy-Syu’ara’ : 218-219), maknanya adalah bahwa Muhammad memindahkan cahayanya
dari orang yang sujud kepada yang lainnya, dari sini maka ayat tersebut
menunjukkan dengan pasti bahwa ayah Ibrahim Alaihi Salam bukan termasuk
orang-orang kafir, tapi yang disebut dengan Azar adalah paman beliau.
Adapun ucapan seorang
sejarawan yahudi atau nashrani seperti yang diungkapkan dengan konteks :
dikatakan bahwa Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim Alaihi Salam tapi dia adalah
pamanya. Bagaimana dia bisa berpaling dari ayat yang jelas menerangkan bahwa
Azar adalah ayah Ibrahim, diantarannya firman Allah Ta’ala yang artinya : “Ingatlah
ketika Ibraqhim berkata kepad ayahnya Azar.”(QS. al-An’am : 74).
Kata “Azar” dalam ayat di atas adalah athof bayan atau badal bina’ yang
bermakna julukan atau sifat (menurut zaman itu) atau lainnya.
Sebagai tambahan
terhadap semua yang telah disebutkan di atas, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa
Sallam adalah penjelas bagi apa yang ada di dalam al-Qur’an, Rasulullah adalah
pembuka pintu kebenaran. Seandainya yang dimaksud dengan ayah Nabi Ibrahim
adalah pamanya maka sungguh Rasulullah akan menjelaskannya.
V. Bantahan Terhadap Ibnu Hajar Al-Makki
Adapun ucapan Ibnu Hajar
al-Makki, ”Anda boleh membantah ucapan Abi Hayan, karena orang seperti dia
hanya bisa dijadikan rujukan dalam maslah nahwu dan yang berkaitan denganya
saja”, ini adalah suatu perkataan batil. Karena telah disepakati dalam ijma’
akan kebolehan menerima persaksian pakar bahasa dan riwayat para ahli hadist
jika tidak ada kelemahan dalam agamanya. Bagaimana tidak, sedangkan Abi Hayan
memilki tiga kitab tafsir, Abi Hayan juga memiliki karangan tentang sirah.
Dan saya (penulis)
katakan, begitu pula yang bisa dikatakan kepada Ibnu Hajar al-Makki, “Anda
adalah ahli fiqh saja, anda tidak mengerti melainkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan fiqh khususnya yang berkaitan dengan perselisihan.”
Dari sini jelasbagi kita
kebatilan ucapan Ibnu Hajar, adapun orang yang mengambil darinya seperti
Baidhawi dan selainnya, maka dia tidak cermat dan teliti.
Bagaimana benar
perkataan perawi, bahwa semua nenek moyang Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam
dahulunya adalah orang-orang bermain sedangkan ini bertentangan dengan hadist
yang diriwaytakan oleh Imam Muslim serta berlawanan dengan ijma’ kaum muslimin?
Kemudian yang lebih aneh lagi dari ucapanya adalah, “Oleh karena itu wajib
untuk memastikan bahwa orang tua Ibrahim Alaihi Salam bukan termasuk orang
kafir.
Adapun pernyataan bahwa
nenek moyang Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bukan tergolong orang-orang
musyrik dengan dalil sabda beliau : “aku terlahir dari tulang rusuk orang-orang
yang suci dan rahim perempuan yang suci...” maka ini tidak bisa diterima dengan
sebab yang telah kami sebutkan, dan karena maksud dari haidst itu adalah
seperti yang telah diterangkan oleh riwayat-riwayat yang lain.
Lebih jauh lagi
kesalahan Suyuthi ketika mentakwilkan hadist Muslim ”Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di neraka” dia berkata, “Maksud beliau adalah untuk menenangkan
hati orang yang bertanya, serta beliau khawatir orang tersebut murtad jika
mendengar pertama kali, bahwa ayahnya masuk neraka.”
Mustahil Nabi Shalallahu
Alaihi wa Sallam menceritakan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan yang ada
dan menghukumi ayahnya kafir hanya untuk menarik hati seseorang yang
kemungkinan beriman dan kemungkinan juga tidak beriman. Ini adalah suatu
kesalahan besar dan kurang beradab (terhadap Nabi), semoga Allah menjaga kita
dari kejelekan seperti ini.
VI. Jawaban Terhadap Bantahan Suyuthi
Pernyataan Suyuthi akan
keimanan semua nenek moyang Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dengan dalih
seperti yang disebutkan oleh Abdurrazzaq dalam ”Mushannaf” dari Ma’mar dari
Ibnu Juraij dia berkata ; berkata Ibnu Musayyib ; berkata Ali bin Abi Thalib,
“Senantiasa ada tujuh orang muslim atau lebih di setiap zaman di atas bumi ini,
seandainya tidak ada maka hancurlah bumi beserta isinya.”
Isnad hadist ini shahih
menurut syarat Bukhari dan Muslim, hal seperti ini tidak mungkin dikatakan
dengan akal semata, hadist ini marfu’.
Demikian pula dalil
Suyuthi dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan dengan
sanad yang lemah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwasanya ayah Ibrahim
bukan bernama Azar, tapi namanya Tarikh.
Di dalam riwayat ini
tidak ada dalil bagi beliau, karena kita katakan : Seandainya kita terima nama
ayahnya Tarikh dan julukannya Azar, ini tidak menunjukkan dia itu buka orang
musyrik.
Adapun Suyuthi berdalil
dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan
dia (Ibrahim) menjadikannya suatu ucapan yang abadi pada keturunannya.”(QS.
az-Zukruf : 28) beliau berkata : (Abduh bin Humaid meriwayatkan dalam tafsirnya
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, Beliau berkata : (Laa Ilaha Illallahu
adalah ucapan yang kekal pada keturunan Ibrahim Alaihi Salam).
Saya katakan : Yaitu
pada keturunannya, hal ini tidak mengharuskan semua keturunan beliau,
tapi hanya sebagian saja. Karena menurut kesepakatan (kaum muslimin), bahwa
semua keturunan Nabi Ibrahim baik dari Ismail maupun Ishaq tidak semuanya
mukmin. Oleh karena itu Qatadah Radhiyallahu Anhu berkata : Selalu ada di
antara keturunan beliau (Nabi Ibrahim) yang mengatakan (Laa Ilaha Illallah)
setelah beliau.
Dalil Suyuthi dengan
firman Allah yang artinya : ”Ingatlah
ketika Ibrahim berkata : Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri
yang aman dan jauhkanlah diriku dan keturunanku dari menyembah berhala.” (QS.
Ibrahim : 35).
Beliau berkata : Ibnu
Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya dari Mujahid tentang ayat di atas, dia
berkata : Allah mengabulkan do’a Ibrahim tentang anaknya, tidak ada seorang pun
dari anak-anak beliau menyembah berhala. Dan Allah juga mengabulkan do’a beliau
untuk menjadikan negeri itu (Mekkah) aman sentosa dan agar Allah menurunkan
rezeki berupa buah-buahan bagi penduduknya serta menjadikannya dan keturunannya
sebagai imam / pemimpin dan orang-orang yang mendirikan sholat.
Padahal sudah jelas
bahwa tidak benar kalau dipahami bahwa yang dimaksud dengan anak-anak beliau
adalah semua keturunan beliau, karena telah disepakati bahwa di antara
keturunan Ismail ada yang kafir dan musyrik dari kalangan arab, yahudi dan
nashara. Maka wajib untuk dipahami bahwa maksudnya adalah anak-anak kandung
Ibrahim sendiri sebagaimana hal ini nampak pada dzahir firman-Nya : “Dan
anak-anakku”.
Di antara dalil Suyuthi
yang lain adalah firman Allah Ta’ala : “Wahai
Rabbku jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang menegakkan
sholat.”(QS. Ibrahim : 40). Ibnu Mundzir
meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa dia pernah berkata : (Selalu ada di antara
keturunan Ibrahim Alaihi Salam orang-orang yang berada di atas fitrah, mereka
menyembah Allah).
Saya katakan : Ini
adalah ucapan yang benar, ucapan beliau ini dengan jelas mengatakan bahwa
sebagian saja di antara keturunan Ibrahim (yang menyembah Allah bukan
semuanya).
VII. Bantahan Terhadap Orang-orang yang
Mengatakan Bahwa Ayah Ibrahim Alaihi Salam Bukan Kafir
Ketahuilah bahwa
pendapat Fakhrurrazi dan Suyuthi tentang ketidakkafiran ayah Ibrahim Alaihi
Salam adalah pendapat yang salah dalam agama serta membuat keraguan dalam
aqidah, meskipun keduanya mengaku termasuk pembaharu. Tapi sebetulnya mereka
layak dikatakan sebagai pengada-ada dalam agama karena Nabi Shalallahu Alaihi
wa Sallam bersabda : ”Barang
siapa yang mnegada-adakan suatu ajaran agama yang bukan darinya maka tertolak.”
Kemudian lihatlah kepada
ucapan Suyuthi yang berdalih dengan bahasa bahwa orang Arab mengistilahkan kata
Abi / Ayah untuk paman. Di dalam al-Qur’an yang artinya : “Adakah
kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
(QS. al-Baqarah : 133).
Di dalam ayat tadi
Ismail disebut dengan kata Ab / Ayah padahal dia adalah paman Ya’qub Alaihi
Salam sebagaimana Ibrahim juga disebut dengan kata al-Abu padahal beliau adalah
kakek Ya’qub.
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwa beliau pernah berkata :
(al-jaddu / kakek disebut juga Ayah / al-Abu) lalu beliau membaca ayat tadi :
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyang kamu”.
Saya katakan , “Ini
hanyalah ucapan kosong orang-orang Mudhoriyah yang tidak banyak manfaatnya,
sebab ayat tadi menunjukkan bahwa tidak benar dimutlakkan / ditujukan kata
al-Aaba’ / nenek moyang kepada satu orang anak. Tapi maksud al-Aaba’ itu adalah
para pendahulu seperti yang dikatakan oleh para Imam madzhab Hanafiyah, atau
dikatakan, “bahwa kata al-Aaba’ bisa digunakan sebagai majaz sekaligus bisa
untuk hakikat sebenarnya seperti yang dikatakan oleh madzhab Syafi’i.”
VIII. Bantahan Terhadap Tulisan Ibnu Kamal Baasya Tentang Kedua
Orang Tua Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam
Aku melihat dari tulisan
Ibnu Kamal Baasya tentang masalah ini, beberapa hal yang tidak benar yaitu :
1. Ucapannya bahwa para salaf berselisih dalam hal ini. Hal ini tidaklah benar karena perselisihan terjadi setelh zaman khalaf / terakhir.
2. Nukilan Ibnu Kamal dari al-Hafidz Ibnu Dihyah, bahwa Ibnu Kamal berkata : Barang siapa mati dalam kekafiran, tidaklah bermanfaat keimanannya setelah dikembalikan. Bahkan seandainya dia beriman pada waktu sakaratul maut tidakkah hal itu bermanfaat apalagi pada waktu dia dikembalikan hidup?
IX. Hukum Orang yang Mencela Nasab Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam
Ibnu Kamal berkata : Sudah jelas bahwa menetapkan kesyirikan pada kedua orang tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah suatu kesesatan yang nyata, sebab beliau berasal dari keturunan yang suci.
1. Ucapannya bahwa para salaf berselisih dalam hal ini. Hal ini tidaklah benar karena perselisihan terjadi setelh zaman khalaf / terakhir.
2. Nukilan Ibnu Kamal dari al-Hafidz Ibnu Dihyah, bahwa Ibnu Kamal berkata : Barang siapa mati dalam kekafiran, tidaklah bermanfaat keimanannya setelah dikembalikan. Bahkan seandainya dia beriman pada waktu sakaratul maut tidakkah hal itu bermanfaat apalagi pada waktu dia dikembalikan hidup?
IX. Hukum Orang yang Mencela Nasab Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam
Ibnu Kamal berkata : Sudah jelas bahwa menetapkan kesyirikan pada kedua orang tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah suatu kesesatan yang nyata, sebab beliau berasal dari keturunan yang suci.
Saya katakan, ”Perkataan
kita (tentang kedua orang tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam di neraka) tidak
merusak nasab beliau, tapi ini hanyalah menetapkan apa yang telah ditetapkan
oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sendiri.”
Sebagaimana sabda beliau
: “Jangan kalian menyakiti orang yang
hidup dengan sebab orang-orang yang mati”. Oleh karena itu tidak
boleh melaknat kedua orang tua Nabi dan orang tua para sahabat dan orang tua
kaum muslimin semuanya, karena tidak ada manfaatnya melaknat.
X. Hikmah Meninggalnya Kedua Orang Tua Nabi Shalallahu Alaihi wa
Sallam Dalam Kekafiran
Semuanya ini menjelaskan
akan kesempurnaan Allah dalam penciptaan dan perintah-Nya, serta menjelaskan
akan rahasia taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekaligus hal ini sebagai
bantahan terhadap filosof yang menyatakan bahwa kenabian itu bisa diperoleh
dengan mengadakan ritual-ritual tertentu dan bukan dari bukan wahyu Allah.
Inilah yang diisyaratkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya : “Dialah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup” (QS.
Yunus : 31). Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan seorang mukmin
dari (ayah) kafir dan sebaliknya, seperti anak Nabi Nuh Alaihi Salam. Anak
beliau kafir menurut kesepakatan para ulama’, demikian juga dengan Qabil
pembunuh Habil dari keturunan Adam Alaihi Salam, sesungguhnya Qabil kafir
menurut ijma’ ulama’.
Di dalam hal ini
terdapat penjelasan bahwa iman adalah nikmat yang paling agung, tidak ada yang
bisa mencapainya melainkan seorang Nabi atau wali yang mulia dari orang-orang
yang telah ditulis kebahagiannya di tempat yang mulia.
Diringkas dari buku
"Kafirkah Kedua Orang Tua Rasulullah?", Ali bin Sulthan Muhammad
Al-Qari, Pustaka As-Shunnah, Cetakan Pertama.