Yang Layak
Jadi Guru Ngaji
Allah berfirman yang artinya, “Ikutilah
orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS Yasin:21).
Ibnu Sa’di mengatakan, “Ikutilah orang
yang memberikan nasehat kepadamu, yang menginginkan kebaikan untukmu, bukan
seorang yang menginginkan harta dan upah darimu karena nasehat dan bimbingan
yang dia berikan kepadamu. Ini merupakan faktor pendorong untuk mengikuti orang
yang memiliki sifat demikian. Namun boleh jadi ada yang bilang, ‘memang
boleh jadi dia berdakwah dan tidak meminta upah dengan dakwahnya namun ternyata
dia tidak berada di atas kebenaran’. Kemungkinan ini Allah
bantah dengan firmanNya, ‘Dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk’. Hal ini karena mereka hanyalah
mendakwahkan hal-hal yang dinilai baik oleh akal sehat dan mereka hanya
melarang untuk mengerjakan hal-hal yang dinilai buruk oleh akal sehat” (Taisir
al Karim al Rahman hal 817, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).
Pepatah arab mengatakan, faaqidus
syai’ laa yu’thihi, orang yang tidak punya tidak akan bisa
memberi. Sebagaimana orang yang tidak punya uang tidak akan pernah bisa memberi
uang kepada orang lain maka demikian pula orang yang tidak berada di atas
hidayah tentu tidak bisa bagi-bagi hidayah.
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan ciri
dai yang bisa bagi-bagi hidayah karena dia memang berada dalam hidayah yaitu
tidak meminta upah dengan dakwah dan nasehatnya.
Tidak hanya sebatas meminta upah berupa harta, namun juga tidak
meminta upah dalam bentuk penghormatan, cium tangan, disowani,
diminta mencoblos partai tertentu, dimintai membuat kartu anggota organisasi
tertentu ataupun tergabung dalam kelompok pengajian tertentu.
Inilah
ciri orang yang layak kita jadikan sebagai guru ngaji kita.
Syeikh Abdur Rahman bin
Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam dakwah ada dua syarat yang harus dipenuhi
yaitu ikhlas karena
mengharap melihat wajah Alloh dan sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Jika seorang dai tidak memenuhi kriteria pertama maka dia adalah musyrik. Tetapi jika syarat kedua yang tidak terpenuhi maka
dia adalahmubtadi’. Demikian pula, seorang dai harus mengetahui
materi yang hendak didakwahkan baik berupa perintah maupun larangan sebagaimana
seharusnya lembut ketika memerintah dan melarang suatu hal” (Hasyiah Kitab at
Tauhid hal 55).
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungguhnya
para nabi itu tidak memwariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu
agama” (HR Abu Daud no 3741, dinilai shahih oleh al Albani).
Adalah menjadi ketentuan untuk semua nabi,
jika mereka meninggal dunia maka harta warisan mereka tidak jatuh kepada
keluarganya namun menjadi hak sosial. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa
dakwah yang diusung oleh para nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka
dengan baik adalah dakwah yang ikhlas.
Mereka berdakwah bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau anggota
keluarga dan keturunan.
Andai harta warisan para nabi itu
dibagikan kepada keluarganya maka boleh jadi ada orang akan berpikir bahwa nabi
demikian rajin berdakwah adalah supaya anggota keluarganya berkecukupan hingga
tujuh keturunan.
Dengan adanya ketentuan di atas maka orang akan semakin yakin
bahwa dakwah para nabi hanyalah karena Alloh. Mereka ingin agar masyarakat
berubah semakin baik, semula syirik menjadi tauhid, bid’ah menjadi sunnah dan
maksiat menjadi ketaatan.
Jangan terburu-buru menjadikan seseorang sebagai guru ngaji kita
sebelum sifat di atas ada pada mereka. Tidak semua muslim layak dijadikan guru
dan tidak semua orang yang kita kenal adalah tempat kita bertanya tentang
masalah agama.
Qudwah
Sebelum Dakwah
Mukadimah
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa
saja yang ada di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai
orang-orang yang beriman, kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak
lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 1-3)
Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an disebutkan, “Kenapa engkau mengatakan perkataan yang kamu tidak benarkan
(buktikan) dengan amalmu?”(Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an al Karim, hal. 551)
Sebab turunnya ayat ini adalah ada seorang sahabat,
yakni Abdullah bin Salam Radhiallanu ‘Anhu yang berkata “Seandainya kami mengetahui amal yang paling utama niscaya kami
akan mengamalkannya” maka Allah turunkan ayat ini, dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya hingga
selesai. (HR. Tirmidzi dan Hakim, ia menshahihkannya, Shafwatul Bayan, Ibid)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam tafsirnya berkata tentang لم تقولون ما لا تفعلون (kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau
tidak lakukan?) adalah pengingkaran terhadap orang yang berjanji
dengan sebuah janji atau berkata dengan perkataan, tetapi ia tidak menepatinya.
Berdalil dari ayat yang mulia ini, sebagian pendapat kaum salaf mengatakan
wajibnya menepati janji secara mutlak, sama saja baik yang disertai tekad untuk
berjanji atau tidak. Mereka juga berhujjah dari hadits yang mulia dalam shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tanda –tanda orang munafik ada tiga, jika bicara ia dusta,
jika berjanji ia ingkar, jika diberi amanah ia khianat.” Juga
hadits lain dalam Ash Shahih bahwa, “Ada empat hal yang barang siapa salah satunya
telah ada pada diri seseorang maka ia adalah seorang munafik tulen, sampai ia
meninggalkannya.” Salah satu yang disebutkan adalah orang yang
tidak menepati janji. Allah ‘Azza wa Jalla menguatkan lagi
pengingkaran ini dengan ayat كبر مقتا عندالله أن تقول ما لا تفعلون (Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan) Imam Ahmad dan Imam Abu
Daud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bin ar Rabi’ah, ia berkata: Datang
kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat
itu saya masih anak-anak, lalu aku keluar untuk bermain. Maka ibuku berkata
kepadaku, “Wahai Abdullah kemarilah, aku akan berikan sesuatu untukmu.” Rasulullah
berkata kepadanya (ibu), “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?”,
ia menjawab: “Kurma.” Rasulullah bersabda: “Seandainya engkau tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka
engkau tercatat sebagai pendusta.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, 4/357)
Dari uraian ini kita bisa pahami, bahwa ucapan
seseorang adalah janji, baik yang ditegaskan dengan niat dan tekad untuk
berjanji atau tidak. Islam mewajibkan untuk memenuhinya, jika tidak, maka itu
bagian dari ciri orang munafik. Seorang muslim wajib menyesuaikan perkataannya
dengan perbuatannya, agar ia terhindar dari kebencian Allah ‘Azza wa Jalla yang teramat besar karena itu.
Apalagi bagi para da’i, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan bukan sekadar
menghindar dari label munafik, tetapi merupakan contoh yang berguna dan teladan
yang baik bagi orang yang melihatnya. Keteladanan adalah salah satu ‘ibrah yang bisa kita petik dari ayat di atas.
Al Qudwah ) ( القُدْوَةjuga berarti Al Qadwah, Al Qidwah, dan Al Qidyah yang bermakna ‘apa-apa yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’ Al
Qudwah juga bermakna Al Uswah (contoh), dikatakan لى بك قدوة ‘Liy bika Qudwatun’ (pada
dirimu ada contoh untukku) maksudnya adalah Uswah. (Al Munjid fil Lughah wal A’lam,
hal. 614)
Pada saat ini, di mana kerusakan dunia boleh dikatakan
merata, maka amat wajar bila manusia membutuhkan figur yang bisa diteladani
mereka untuk mengantarkan mereka menuju pintu-pintu perbaikan. Namun, manusia
tidak kunjung mendapatkan figur yang diidam-idamkan, justru mereka mendapatkan
idola-idola tanpa keteladanan. Alih-alih ingin memperbaiki keadaan, kenyataannya
para idola tersebutlah yang menjadi lokomotif kerusakan manusia dan
kehidupannya.
Mereka mengidolakan orang-orang jahil dan fasiq,
seperti sebagian artis dan seniman, pelawak dan atlet. Akhirnya, mereka tidak
mendapatkan apa-apa selain kesatnya hati, kotornya lisan, buntunya pikiran,
serta nihilnya perbuatan. Jika mau silakan katakan, bahwa sebagian besar artis
telah memberikan kontribusi signifikan bagi kerusakan moral bangsa Indonesia
yang mayoritas muslim ini. Melalui pakaian, gaya hidup, pergaulan, ditambah
media massa yang mengekspos kehidupan ‘minim keteladanan’ yang mereka sengaja
tontonkan, seakan akan mereka ingin meneriakkan ‘Akulah Sang idola’.
Keteladanan, itulah yang hampa saat ini. Saya
nasihatkan terutama untuk diri sendiri dan ikhwah fillah sekalian untuk senantiasa menempa
diri untuk menjadi hamba-Nya yang diridhai aqidahnya, niat, ilmu, amal, lisan
dan akhlak secara umum.
Sebenarnya umat ini telah memiliki apa-apa yang
dimiliki generasi terbaik dahulu (salafus shalih). Jika mereka memiliki Al
Qur’an dan As Sunnah, umat sekarang juga demikian. Lalu apa yang kurang?
Padahal umat ini memiliki apa-apa yang tidak dimiliki umat terdahulu, yaitu
pengikut (SDM) yang sangat banyak. Atau justru SDM yang sangat banyak adalah
bagian dari masalah?
Saya tidak menyimpulkan, bahwa malapetaka yang dialami
umat saat ini lantaran tidak adanya figur teladan seperti Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salamsebagaimana para sahabat
dahulu pernah dibimbingnya. Namun, bisa jadi memang karena ini penyebabnya. Wallahu a’lam
Syahidul Islam Sayyid Quthb –Rahimahullah- berkata: Sesungguhnya Al Qur’an yang ada pada dakwah ini telah ada dalam
genggaman kita, begitu juga hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yang dengannya kita beramal, dan sirah yang mulia. Semuanya ada di tangan kita.
Sebagaimana pernah ada pada generasi awal, (generasi) yang tidak pernah lagi
terulang dalam sejarah. Yang tidak ada pada kita hanyalah figur Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ini rahasianya?” (Syaikh
Sayyid Quthb, Ma’alim fith Thariq, hal. 11.
Darusy Syuruq)
Mustahil Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan lagi seorang Rasul
pasca khatamun nabiyin (penutup para nabi), Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aqidah yang haq meyakini
demikian. Paling kita hanya bisa berharap melalui ta’dib rabbani (bimbingan rabbani) akan lahir
figur seperti Uwais Al Qarny, seorang tabi’i terbaik sebagaimana yang diisyaratkan dalam
hadits shahih Imam Muslim, yang dengan kehadirannya bisa membawa umat ini
kepada kehidupan yang lebih baik, atau seperti Umar bin Abdul Aziz, pemimpin
adil, wara, zahid, mujtahid dan mujaddid abad satu hijriyah, atau tokoh teladan
lainnya.
Peluang bagi Para Da’i
Kita tahu, hari ini umat tengah mengalami semangat
keberagamaan yang rendah dan lemah. Di sisi lain, cengkraman haimanah al gharbiyah (hegemoni Barat) dan segala
bentuk kekufuran yang mereka bawa begitu menggurita, hingga banyak membuat
mabuk pemuda Islam dan termasuk orang tuanya. Bukan hanya mabuk, mereka juga
mengekor kepada apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Barat, seraya
melupakan dan menjauh dari apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Islam.
Hal ini sudah diisyaratkan Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Sallam:
يُوشِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُكَذِّبَنِي
“Telah dekat masanya kalian akan mendustakanku.” (HR.
Ahmad No. 17233. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih)
Ya. Masa itu telah datang, umat Islam mendustakan
agamanya sendiri, bahkan lebih dari itu, menistakan ajaran agamanya sendiri
dengan membuat paham-paham baru yang tidak dikenal syariat-Nya dan asing di
depan sejarah umatnya.
Dalam hadits lain, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan umat sebelum
kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, walau mereka masuk ke
lubang biawak, niscaya kalian ikuti juga.” Sahabat bertanya: “Siapakah mereka? Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah
menjawab: “Ya siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3456, 7320,
Muslim No. 2669)
Ya. Kita lihat banyak umat pemuda Islam yang
mengidolakan orang-orang kafir bahkan sangat akrab menggeluti peri kehidupan
mereka melalui buku, majalah, televisi dan lain-lain. Sementara pengetahuan
mereka terhadap nilai keislaman dan sejarah kegemilangannya, nol besar!
Di sisi lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan
peringatan keras dalam haditsnya:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi
bagian kaum itu.” (HR. Ahmad no. 5115. Abu Daud No. 4031, Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1199, Alauddin Al Muttaqi
Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 2468, Al
Bazzar No. 2966, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1862, Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 390, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 33687, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20986)[1]
Dalam kondisi masyarakat terhempas seperti sekarang
ini, tidak saja dibutuhkan upaya tau’iyat (penyadaran) dan taujihat (pengarahan) untuk mereka, lebih dari itu
adalah seorang figur qudwah hasanah yang bisa
dijadikan cermin, pegangan, dan tempat bertanya. Bahkan keteladanan seorang
da’i lebih didahulukan sebelum ia mengajak, memberikan contoh harus lebih
dahulu sebelum memberi soal. Inilah peluang bagi da’i untuk mengisi kekosongan
itu, kekosongan teladan.
Dari Mana Kita Memulai?
Seorang da’i harus menampilkan
citra diri yang positif dan mempesona, yang bisa dinikmati keindahannya dan
dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kita memahami, bahwa kekuatan
argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur
keteladanan yang kokoh sang da’i. Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang da’i seringkali lebih mengena di
hati orang yang berinteraksi dengannya.
1.
Teladan dalam Aqidah dan Iman (keyakinan)
Kebersihan dan kekuatan iman adalah awal dari segala
keshalihan. Da’i teladan harus lebih dahulu membersihkan aqidahnya dari syirik,
khurafat, dan bid’ah, serta menampakkan keyakinan yang tinggi terhadap
kebenaran risalah yang dibawanya. Sebab kotornya aqidah dan lemahnya keyakinan
adalah awal dari segala kekalahan perjuangan.
Dalam hal aqidah seorang da’i tidak boleh menampakkan
sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan
aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat.
Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.
Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan
aqidah Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama
tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan
bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Al Qur’an adalah firman
Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini
berefek luar biasa setelah ia wafat, diriwayatkan bahwa ketika ia wafat,
mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita,
dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam.
(Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits, hal.
375)
Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’i, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al
hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya
dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya. Muhammad adalah hamba dan rasul Allah, ambil-lah
persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya
Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya
sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371)
Ustadzah Zainab Al Ghazaly adalah contoh da’iyah
mujahidah tegar masa kini. Ketika ia divonis oleh pengadilan Mesir berupa
hukuman lima puluh tahun penjara, ia justru teriak lantang, “Allahu Akbar lima puluh tahun fi sabilillah!”
2.
Teladan dalam Perilaku (Akhlak)
Tahukah Anda, bahwa, manusia lebih banyak mengikuti
dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita
ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang da’i adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga
keteladanan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta
kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik
(husnul khuluq)” (HR. Abu Ya’la No. 6550, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 428, beliau menshahihkannya. Al
Bazzar No. 8544. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8054. Imam Al Haitsami
mengatakan: “Di dalamnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqbari, dia dhaif.”
Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/22. Syaikh Husein Salim Asad
mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah.
Lihat Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6550)
Akhlak yang baik merupakan salah satu tiket menuju
surga. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya
tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga,
beliau menjawab:“Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau
juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka,
beliau menjawab:“Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004,
katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Imam Ibnul Qayyim –rahmatullah ‘alaih- berkata: “Digabungkan keduanya (taqwallah dan husnul khuluq), karena
taqwallah memperbaiki apa-apa yang ada pada hamba kepada Tuhannya, sedangkan
akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan antara hamba dengan makhluk-Nya.” (Bulughul Maram, catatan kaki no. 3, hal. 287. Darul
Kutub Al Islamiyah)
Kita tidak menuntut muluk-muluk, bahwa seorang da’i
wajib memiliki khuluqun ‘azhim misalnya,
sebab itu adalah minhah rabbaniyah (anugerah Allah) untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak agung.” (QS.
Al Qalam: 4)
Dalam salah satu tafsir dikatakan: “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar memiliki adab
yang agung, yang dengannya Tuhanmu telah mendidikmu, yaitu adab Al Qur’an “ (Syaikh
Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim,
hal. 564. Darul Basya-ir Beirut)
Adapun al Aufi berkata dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki agama yang agung, yaitu
Islam.” Seperti itu pula yang dikatakan Mujahid, Abu Malik, As
Sudy, Ar Rabi’ bin Anas, Dhahak dan Ibnu Zaid. Berkata ‘Athiyah: “Benar-benar memiliki adab yang agung.” Berkata
Ma’mar dari Qatadah aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Adalah Rasulullah akhlaknya itu Al Qur’an.” Ini
juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i.
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/403)
Paling tidak, da’i memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada
pada seorang muslim berakhlak. Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang
terindah’ di tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu
dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah. Akhlak standar itu sebagaimana yang
terpampang dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah menjauhi akhlak tercela seperti
hasad, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), su’uz zhan,ghibah, namimah (adu domba), riya’, sum’ah (beramal ingin didengar orang), kibr (sombong), dusta, ingkar janji, khianat
amanah, sengit dalam berdebat, mudah marah, mencaci sesama muslim, sumpah
palsu, aniaya, memakan harta yang bukan haknya, menghardik anak yatim, dan
lain-lain. Sebaliknya ia dekat dengan akhlak terpuji seperti menyebarkan salam,
memberi makan, sedekah, pemaaf, murah senyum, penyantun, sabar, menjenguk yang
sakit dan takziyah kematian, wara’ (hati-hati) terhadap hal
yang diharamkan, makruh dan syubhat, tidak berlebihan dengan yang mubah,
meninggalkan hal yang melalaikan, menolong dalam hal kebaikan, menasihati dalam
kebaikan dan kesabaran, adil, menyayangi yang kecil, menghormati yang tua,
mengetahui hak ulama, menjaga penampilan, bersahabat dengan orang-orang shalih,
memuliakan tamu dan tetangga, bicara yang baik atau diam jika tidak bisa, dan
lain-lain.
3.
Teladan dalam Ilmu
Seorang da’i adalah seperti seorang guru bagi muridnya.
Ia tempat manusia bertanya, meminta solusi, dan mencari masukan. Maka, seorang
da’i yang bertanggung jawab dan menghormati mad’u adalah da’i yang selalu
membekali dan memperkaya dirinya dengan ilmu. Sudah selayaknya –dan inilah yang
dipahami secara umum- da’i harus lebih berwawasan lebih dibanding umat yang
diserunya. Inilah salah satu kewibawaan baginya. Memang dengan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat derajat manusia.
Betapa banyak pemuda berhasil ‘menguasai’ orang tua
dan ulama karena ilmunya. Tahukah Anda bahwa Hasan al Banna –rahmatullah ‘alaih- mendirikan Al Ikhwan Al Muslimun
saat usianya baru 22 tahun? Saat itu, yang termasuk mengagumi gagasan
perjuangannya tidak sedikit orang-orang yang lebih tua darinya, bahkan jauh
lebih tua dan mereka sudah dikenal sebagai ulama atau tokoh negara. Seperti
Syaikh Muhibuddin Al Khathib, Hasan Al Hudhaibi, Umar At Tilmisani dan para
ulama Al Azhar, dan lain-lain. Kecerdasan beliau mendirikan sebuah bangunan
pergerakan, seakan menjadi alasan kuat bagi mereka untuk bergabung dengan
kafilah Ikhwan.
Tahukah Anda Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta
hadits? (tentu ada yang shahih dan ada juga yang dhaif, istilah hadits hasan
baru ada pada masa Imam At Tirmidzi) Tahukah Anda Imam asy Syafi’i (w. 204H)
telah hafal Al Qur’an dan mengetahui seluk beluknya, seperti asbabun nuzul dan nasikh mansukh pada usia tujuh tahun? Dikisahkan
dari Imam Ahmad bahwa Imam asy Syafi’i dalam satu malam menyelesaikan tiga
ratus pertanyaan. Tahukah Anda Imam Sufyan bin Uyainah hafal Al Qur’an pada
usia empat tahun? Tahukah Anda bahwa Imam Ibnu Taimiyah dijuluki ‘lautannya
dalil naqli (nash) dan aqli (akal)’. Sampai-sampai dikatakan jika ada hadits
yang tidak diketahui Imam Ibnu Taimiyah pasti itu bukan hadits. Ia pernah
membuat kitab yakni Al Aqidah Al Washitiyah, yang
selesai dibuatnya hanya dalam sekali duduk setelah shalat Ashar (Muqaddimah syarah al Aqidah al Washitiyah, hal. 5).
Konon Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Zaadul Ma’ad ketika ia sedang musafir (artinya
tanpa referensi)
Tahukah Anda bahwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi –Hafizhahullah- pertama kali ceramah ilmiah di depan
orang banyak ketika ia kelas tiga sekolah dasar, untuk menggantikan seorang
Syaikh alim dan berpengaruh di daerahnya saat itu, yaitu Syaikh Abdul Muthalib
Al Batah. Diceritakan bahwa jamaah sangat puas dengan apa yang disampaikannya.
Beliau –hafizhahullah- ketika dalam penjara –tanpa pena dan
secarik kertas- menyusun ontology (kumpulan puisi) yang diberi judul Malhamatul Ibtila Al Malhamah An Nuuniyah, semuanya
cukup ia rekam dalam otaknya, yang baru sempat ia tulis setelah bebas, padahal
syair itu berjumlah tiga ratus bait.
Tahukah Anda kekuatan Syaikh Al Albany dalam
mempelajari, meneliti dan menelusuri hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Diceritakan dalam salah
satu biografinya, ia sudah datang ke perpustakaan sebelum petugas datang dan
baru pulang setelah malam sudah larut, sehingga tidak sedikit orang yang
mengingatkannya. Jika orang bertanya kepadanya, ia akan jawab tanpa melepaskan
kitab yang sedang dikajinya. Ustadz Muhammad Ash Shabagh berkata tentangnya, “Sebelah mata melihat kitab, sebelah lagi melihat si penanya.”
Subhanallah! Demikianlah keteladanan para ulama dalam
kecintaan mereka terhadap ilmu. Maka para da’i seyogianya menjadi orang yang
tamak terhadap ilmu, dekat dengan mata airnya, menghormati ahlinya, bersungguh
dalam menuntutnya, serta tidak lelah dalam memikulnya. Sesungguhnya Rasulullah‘Alaihis Shalatu was Salam telah berwasiat tentang
ilmu.
Berkata ‘Amir bin Ibrahim:
كان أبو الدرداء إذا رأى طلبة العلم قال مرحبا بطلبة العلم وكان يقول ان رسول الله صلى الله عليه وسلم أوصى بكم
Bahwasanya Abu Darda’ jika melihat seorang thalibul ilmi beliau berujar: Selamat datang wahai
penuntut ilmu. Dan dia pernah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan kamu
sekalian (perkara menuntut ilmu). (Riwayat Ad Darimi dalam Sunannya No. 348. Syaikh Al Albani mengatakan: isnad
ini para perawinya tepercaya kecuali ‘Amir bin Ibrahim saya tidak
mengetahuinya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 1/503)
4.
Teladan dalam Amal dan Ibadah
Seorang da’i, ia teladan dalam ketepatan shalat pada
waktunya, di masjid, dan berjamaah. Ia amat keras usahanya untuk itu. Ia
menjaga wudhunya dari apa yang membatalkannya dan amat memperhatikan adab-adab,
seperti adab tilawah, adab doa, adab di masjid, adab makan dan minum, adab
safar dan di jalan,
Menjaga shaum sunah, shalat nawafil, sedekah sunah,
dan dzikir, lalu ia menyembunyikan itu semua. Biar hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang tahu. Sebab hanya Dia yang
memberikan ganjaran, selainnya tidak bisa memberikan apa-apa walau melihat
amal-amal tersebut.
Selain itu yang terpenting adalah ia menjaga kualitas
ibadahnya, yaitu keikhlasan. Kesesuaian dengan syariat, kekhusyuan, dan
kontinyuitasnya. Tanpa pula meremehkan kuantitasnya.
Ini semua, jika kita lakukan dengan sungguh dan
sebagaimana mestinya, niscaya memberikan pengaruh bukan hanya bagi si da’i
tetapi bagi mereka yang melihatnya. Tanpa ia mengiklankan, masyarakat akan
merasa malu jika tidak mengikutinya, walau tidak ikut, paling tidak mereka
tidak memusuhinya.
5.
Teladan dalam Berkeluarga
Seorang da’i harus bisa menampakkan citra keluarga
dakwah dan harakah. Keluarga yang tegak amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya.
Rumah mereka benar-benar tempat berteduh, suami tempat bercerita, istri tempat
melabuhkan hati, dan anak sebagai penyedap pandangan mata. Potensi perselisihan
tetaplah ada, namun mereka –selain menyerahkan semua kepada Allah- juga
memiliki cara Islami untuk menyelesaikannya, seperti tidak boleh bermusuhan
lebih tiga hari, mudah memaafkan, mengalah walau benar, tidak membandingkan
istri atau suami dengan yang lain, bersyukur atas pemberian dan pelayanan, dan
seterusnya.
Keluarga da’i adalah keluarga yang rumahnya tidak ada
kemungkaran seperti, musik-musik jahiliyah, majelis pergunjingan dan kebencian,
patung dan lukisan makhluk bernyawa, dan dayyuts (yaitu orang yang tidak marah terhadap
maksiat anggota keluarganya). Sebaliknya adalah semarak dengan tilawah Al
Qur’an dan kajian tentangnya, nasihat-nasihat agama, majelis mahabbah, madrasah
bagi anak-anak, dan nasyid-nasyid penyemangat hidup dan jihad, itupun
seperlunya.
Keluarga da’i adalah keluarga yang anggota keluarganya
mengerti dan menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, secara adil dan
musyawarah. Juga pandai bertetangga, baik dalam keadaan ridha atau marah. Sebab
hidup bertetangga tidak lain adalah kumpulan kesabaran, pemakluman, dan lapang
dada, sebab Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan
manusia secara heterogen.
Keluarga da’i adalah contoh keseimbangan bagi
masyarakat. Ia seimbang dalam urusan dunia dan akhirat, materi dan ruhi, kerja
dan istirahat. Seimbang dalam berpakaian, tidak terlalu murah dan jelek
sehingga menghinakan diri sendiri, atau terlalu mewah sehingga terkesan
sombong. Keseimbangan ini amat diperlukan agar ia bisa berinteraksi dan
beradaptasi dengan dua kutub ekstrim manusia.
Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah.
Catatan Kaki:
[1] Para
ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, sebagian mengatakan dhaif, seperti Syaikh Muhammad bin Darwisy bin
Muhammad. (Asna Al Mathalib fi Ahadits Mukhtalifah Al Maratib, No.
1377), Imam Badruddin Az Zarkasyi ( At Tadzkirah fil Ahaadits Al Musytahirah, Hal. 102, No.
33), Imam As Suyuthi (Ad Durar, Hal. 18), Syaikh Syu’aib
Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 5115), yang lain mengatakan shahih, seperti Imam Ibnu Hibban (Bulughul Maram, hal. 301), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2831, 6149 ), Imam Al ‘Iraqi (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar No. 851, juga dalam Takhrijul Ihya’No. 843), Imam As Sakhawi (Al Maqashid Al Hasanah No. 1101, katanya: sanadnya
dhaif tetapi memiliki banyak penguat, dari jalur Hudzaifah, Abu Hubairah, dan
Anas), Imam Ibnu Hajar mengatakan hasan (Fathul Bari, 10/271). Imam Al ‘Ajluni juga menyatakan
bahwa hadits ini dikuatkan oleh banyak jalur lainnya, sebagaimana yang
dikuatkan oleh As Sakhawi dan Al ‘Iraqi . (Kasyful Khafa, 2/240).
Qudwah Qobla Ad
Da’wah (Teladan Sebelum Berda’wah)
Artikel ini adalah ikhtisar
sepuluh prinsip dan kaidah da’wah yang diambil dari sebuah kitab karya Syaikh
Jum’ah Amin Abdul Aziz yang berjudul Ad Da’wah Qawa’id wa Ushul (الدعوة قواعد واصول ) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi “Fiqih Dakwah” (penerbit Era Intermedia). Pada bagian pertama ini
kami akan mencoba meringkas kaidah dari ushul fiqih yang perlu diperhatikan
oleh setiap muslim yang telah mengetahui wajibnya kewajiban menyeru kepada Al
Islam dengan cara yang sesuai dengan sunnah. Prinsip pertama
tersebut adalahteladan sebelum
berda’wah (القدوة قبل الدعوة).
Da’wah berorientasi pembangunan dan perbaikan
masyarakat. Namun seringkali, karena kedangkalan wawasan para da’inya, ia tidak
berhasil memberikan kontribusi apapun, tidak juga perwujudan maslahat yang
riil. Bahkan kadang keberadaannya justru memperkeruh suasana dan merusak
tatanan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, kita menjumpai orang menolak
da’wah bukan karena benar-benar ingkar, tapi semata karena buruknya akhlaq sang
da’i, atau dangkalnya ia akan kaidah-kaidah da’wah.
Teladan adalah pendidikan yang paling efektif untuk
manusia. Contoh teladan yang paling baik dan mulia bagi ummat Islam adalah
segala sesuatu yang diamalkan dan dikatakan oleh Rasulullah SAW. Saat Allah SWT
ingin memberikan teladan bagi manusia tentang risalah-Nya, maka Allah mengutus
manusia yang langsung di bawah bimbingan-Nya. Seorang da’i dikenal sebagai
pewaris nabi, karena ia mewarisi apa yang sudah dilakukan oleh Rasul
SAW. Contoh sederhana : mengajari anak berbicara adalah dengan memberinya
contoh dan mengajaknya langsung untuk mempraktekkannya. Orang yang belajar
bahasa tertentu seharusnya dimulai dari belajar berbicara, bukan belajar
menulis.
Oleh karena itu, seorang da’i haruslah mempelajari
sejarah nabi dan mempraktikkan apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah dengan
mengamalkan sunnahnya. Kaidah fiqh mengatakan : siapa yang tidak memiliki, maka ia tidak akan
bisa memberi. Ilmu-ilmu umum yang ada di dunia tidak menuntut
pembelajarnya untuk memiliki akhlaq yang baik. Bisa saja seorang ilmuwan
memiliki akhlaq yang kurang baik. Namun ilmu agama (ad din) menuntut para
pembelajarnya untuk sekaligus memiliki akhlaq yang baik, sehingga keselerasan
akhlaq dan kata-kata menjadi tuntutan utama.
Masalah keikhlasan dalam berda’wah : sudah dicontohkan
oleh Rasulullah sebelum Islam jaya (masa da’wah awal di Makkah) dan sesudah
Rasulullah mendirikan daulah Islamiyyah di Madinah. Kehidupan Rasulullah tidak
banyak berubah, bahkan seorang sahabat pernah menangis karena melihat
Rasulullah badannya membekas guratan tikar saat bangun tidur (kedudukan Rasul
saat itu adalah sebagai seorang khalifah negara Islam Madinah).
Islam tersebar di seluruh penjuru dunia sebagian besar
justru karena jasa pedagang, bukan ulama. Para pedagang inilah yang menyebarkan
Islam dengan menerapkan akhlaq Islamiy sehingga cahaya Islam terpancar dari
tingkah laku para pedagang tersebut. Syaikh Jum’ah Amin menyebutkan komposisi
da’i sebagai berikut :
Ahli khotbah (orang yang hanya bicara) lebih banya
dari ahli amal (orang yang bekerja). Ahli amal lebih banyak dari mujahid (ahli
amal yang mampu memikul beban jihad) [1].
Allah SWT telah memberikan seruan dan peringatan untuk
para da’i yang menyimpang di Q.S. Al Baqoroh:44
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu menyuruh orang
lain untuk melakukan kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, padahal kamu membaca kitab? Tidakkah kamu berpikir? “
dan Q.S. Ash Shaf 2-3:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
Pelanggaran yang dilakukan oleh da’i akan membuat
masyarakat merasakan kebingungan. Berikutnya, masyarakat menjadi tidak percaya
kepada da’i dan pada akhirnya tidak percaya kepada Islam [2].
Idealnya seorang da’i lebih dulu dikenal karena
kebaikan akhlaqnya sebelum da’wahnya, sebagaimana Rasulullah yang dikenal
karena akhlaqnya sehingga dijuluki dengan sebutan Al Amin. Maka dari itu,
kepemimpinan Nabi disebut sebagai Qiyadah Hakimiyah (kepemimpinan yang
bijaksana, karena mempertimbangkan aspek-aspek humanisme) dan Qiyadah Rasyidah
(kepemimpinan yang benar, karena bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah)[3].
Wallahu a’lam bish showab.
Semoga bermanfaat
# Catatan kaki dari Abu Muafa:
1. Hal ini sangat sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Syaikh Hasan Al Banna dalam risalah Mu’tamar Khamis di bab
Karakteristik da’wah Ikhwan (خصائص دعوة الإخوان):
وإن كثيرين يستطيعون أن يقولوا ولكن قليلاً من هذا الكثير يثبت عند العمل ، وكثير من هذا القليل يستطيع أن يعمل ، ولكن قليلا منهم يقدر علي حمل أعباء الجهاد الشاق والعمل المضني
“Banyak orang yang bisa
berkata, tetapi sedikit di antara mereka itu yang bangkit saat ada pekerjaan.
Banyak di antara yang sedikit ini bisa beramal, namun sedikit sekali yang mampu
mengemban amanat jihad yang begitu berat dan amal yang melelahkan”
2. Oleh karena itulah, seorang da’i
Islam penting untuk menjaga kehormatannya, muru’ahnya. Terkadang apa yang
menurut hukum syar’i tidak haram, bisa jadi tidak diterima oleh masyarakat.
Misal, seorang yang dipandang dan diustadzkan oleh banyak orang tiba-tiba
terlihat berjoget disko, reggae, atau joget dangdut. Meskipun mungkin di dalam
hati maksudnya olah raga, tapi masyarakat akan melihat dzahir dari perbuatan
tersebut. Dan bisa jadi ini akan menjadi preseden buruk untuk Islam secara
keseluruhan. Da’i yang melalaikan diri sendiri ibarat lilin yang habis
terbakar. Ia menerangi lingkungan di sekitarnya, namun dirinya sendiri habis
terbakar dan meleleh. Contoh lain : lampu sepeda motor. Ia menerangi jalan di
depan, namun bagian motor tepat di bawah lampu justru tidak terlihat.
3. Mana yang harus diproritaskan, antara
memperbaiki diri sendiri dengan menyerukan kebaikan kepada orang lain ? Ustadz
Dr. Majdi Al Hilali dalam Rakaizud Da’wah (Konsep Dasar Gerakan Da’wah)
menyebutkan bahwa memperbaiki diri sendiri dan memperbaiki masyarakat adalah
dua kewajiban yang berbeda. Gugurnya satu kewajiban (terlaksananya) tidak akan
mengugurkan kewajiban yang lain. Artinya, keduanya mesti dilaksanakan tanpa
meninggalkan prinsip tawazun (seimbang). Namun alangkah baiknya manakala kita
senantiasa memperbaiki diri sendiri dan mengajak kepada orang lain atas apa
yang sudah kita lakukan.