‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي أَبُو مُحَمَّدٍ جَعْفَرُ بْنُ حُمَيْدٍ الْكُوفِيُّ
أَخُو أَحْمَدَ بْنِ حُمَيْدٍ يُلَقَّبُ بِدَارِ بِأُمِّ سَلَمَةَ، حَدَّثَنِي
يُونُسُ بْنُ أَبِي يَعْفُورَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ
الْعَبْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " شَهِدْتُ خُطْبَةَ عَلِيٍّ يَوْمَ
الْبَصْرَةِ قَالَ: فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَرَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا عَالَجَ مِنَ النَّاسِ ثُمَّ قَبَضَهُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ ثُمَّ رَأَى الْمُسْلِمُونَ أَنْ يَسْتَخْلِفُوا
أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَبَايعُوا وَعَاهَدُوا وَسَلَّمُوا،
وَبَايَعْتُ وَعَاهَدْتُ وَسَلَّمْتُ، وَرَضُوا وَرَضِيتُ، وَفَعَلَ مِنَ
الْخَيْرِ وَجَاهَدَ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَحْمَةُ اللَّهُ
عَلَيْهِ، وَاسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَبَايَعَهُ الْمُسْلِمُونَ
وَعَاهَدُوا وَسَلَّمُوا، وَبَايَعْتُ وَعَاهَدْتُ وَسَلَّمْتُ، وَرَضُوا
وَرَضِيتُ، ......
Telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad
Ja’far bin Humaid Al-Kuufiy saudara Ahmad bin Humaid : Telah menceritakan
kepadaku Yuunus bin Abi Ya’quub, dari ayahnya, dari Al-Aswad bin Qais
Al-‘Abdiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku menyaksikan khutbah ‘Aliy (bin Abi
Thaalib) pada satu hari di kota Bashrah, ia berkata : “Ia (‘Aliy) memuji dan
menyanjung Allah, lalu menyebutkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan apa-apa
dilakukan beliau kepada manusia[1],
kemudian Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. Kemudian kaum
muslimin[2] berpandangan untuk menjadikan Abu Bakrradliyallaahu
‘anhu sebagai pengganti
beliau sebagai khalifah. Lalu mereka membaiatnya, membuat perjanjian kepadanya,
dan menerimanya. Dan aku (‘Aliy) pun berbaiat kepadanya, membuat perjanjian
kepadanya, dan menerimanya. Mereka (kaum muslimin) ridlaa, dan aku pun juga
ridlaa. Ia (Abu Bakr) melakukan kebaikan, berjihad, dan kemudian Allah ‘azza wa jalla mewafatkannya. Semoga Allah
merahmatinya.[3]Kemudian
‘Umar radliyallaahu ‘anhu menggantikannya. Lalu kaum
muslimin membaiatnya, membuat perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Aku pun
berbaiat kepadanya, mengadakan perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Mereka
ridlaa kepadanya dan aku pun ridlaa kepadanya………… [As-Sunnah, 2/567-568
no. 1329].
Ja’far bin Humaid seorang yang tsiqah. Yuunus bin Abi Ya’fuur,
dikatakan oleh Ibnu Hajar sebagai seorang yang shaduuq, namun banyak keliru.
Adz-Dzahabiy memasukkanya dalam kitab Man
Tukullimaa fiihi wahuwa Muwatstsaq au Shaalihul-Hadiits.
Abu Ya’fuur (ayah Yuunus) seorang yang tsiqah. Al-Aswad bin Qais,
seorang yangtsiqah. Qais Al-‘Abdiy (ayah Al-Aswad) dikatakan Ibnu Hajar
seorang yang maqbul.
Al-Mizziy menyebutkan hanya seorang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu
Al-Aswad (anaknya). Akan tetapi di sini An-Nasaa’iy dan Ibnu Hibbaan
mentsiqahkannya.
Riwayat ini mempunyai penguat dari
‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana diriwayatkan ‘Abdullah dalam As-Sunnah 2/563 no. 1315-1316 dengan sanad
shahih.
Jadi, riwayat ini adalah shahih atau hasan lighairihi.
‘Aliy telah ridlaa dan menerima dengan
kekhalifahan Abu Bakr radliyallaahu
‘anhumaa. Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan ini dilakukan jika hal itu
didasari atas satu kedhaliman. Keridlaan dan penerimaan merupakan pengakuan
atas kebenaran, sebab Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian
melihat kemunkaran, hendaklah ia rubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu,
maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman”.
Keridlaan
dan penerimaan ‘Aliy tentu tidak akan dikatakan jika masih terdapat
pengingkaran dalam hati (atas kedhaliman/kemunkaran). Konsekuensi ini seperti yang ada dalam firman Allah ta’ala :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
‘Aliy menegaskan pengakuan keabsahan serta
keridlaan dirinya terhadap kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar pada saat ia
berkuasa (menjadi khalifah). Dan ia mengatakannya di depan
pendukung-pendukungnya, sehingga tidak ada alasan untuk taqiyyah.[4]
Riwayat ini sekaligus menangkis sebagian
omong-kosong Syi’ah tentang klaimimaamah[5] dan ketidakridlaan ‘Aliy terhadap
kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar (serta ‘Utsmaan).
Jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ridlaa dan menerima, mengapa Syi’ah
Raafidlah tidak ?. Tanyakan kepada Khamainiy, As-Sistaaniy, Al-Ya’quubiy, dan marja’-marja’ mereka yang lain. Jangan tanyakan
kepada ‘Aliy, karena ia telah menjawabnya melalui riwayat di atas.
Semoga artikel ini ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo,
ngaglik, sleman, yogyakarta, indonesia – 1432 H - bersambung ke artikel : 'Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr,
'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu
'anhum (2)].
[1] Perawi meringkas perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
[2] Yaitu para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
[3]
Ini adalah doa kebaikan yang tidak pernah diucapkan oleh kaum Raafidlah, walau
mereka mengaku mencintainya (‘Aliy) radliyallaahu
‘anhu.
[4] Baca artikel kami : Ahlul-Bait dan Taqiyyah.
[5] Baca artikel kami :
‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhum (2)
Al-Balaadzuriy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنِي رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ،
عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّ
عَلِيًّا أَتَاهُمْ عَائِدًا، فَقَالَ: " مَا لَقِيَ أَحَدٌ هَذِه الأُمَّةَ
مَا لَقِيتُ، تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا
أَحَقُّ النَّاسِ بِهَذَا الأَمْرِ، فَبَايَعَ النَّاسُ أَبَا بَكْرٍ،
فَاسْتَخْلَفَ عُمَرَ، فَبَايَعْتُ وَرَضِيتُ وَسَلَّمْتُ، ثُمَّ بَايَعَ النَّاسُ
عُثْمَانَ، فَبَايَعْتُ وَسَلَّمْتُ وَرَضِيتُ، وَهُمُ الآنَ يَمِيلُونَ بَيْنِي
وَبَيْنَ مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepadaku Rauh bin
‘Abdil-Mu’min, dari Abu ‘Awaanah, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Abdurrahmaan
bin Abi Bakrah : Bahwasannya ‘Aliy pernah datang menjenguk mereka, lalu berkata
: “Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mengalami seperti yang aku alami.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam wafat
sedangkan aku adalah orang yang paling berhak dalam urusan ini. Lalu
orang-orang membaiat Abu Bakr, kemudian ‘Umar menggantikannya. Lalu aku pun berbaiat (kepadanya),
merasa ridlaa, dan menerimanya. Kemudian orang-orang membaiat ‘Utsmaan, lalu aku juga berbaiat (kepadanya),
merasa ridlaa, dan menerimanya. Dan sekarang mereka cenderung antara aku
dan Mu’aawiyyah” [Ansaabul-Asyraf, 2/402].
Diriwayatkan juga oleh Al-Harbiy[1] dalam Fadlaailu Abi Bakr Ash-Shiddiiq no. 17 dan ‘Abdullah bin Ahmad no.
1315-1316; semuanya dari jalan Abu ‘Awaanah.
Sanad riwayat ini shahih[2].
Terus terang saya senang ada orang Syi’ah
membawakan dan mengakui riwayat ini, karena hal tersebut menunjukkan bahwa
mereka (orang Syi’ah) mengakui ‘Aliy bin Abi Thaalib telah membaiat Abu Bakr,
'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhum dengan penuh
keridlaan dan penerimaan, bukan keterpaksaan. Keridlaan dan penerimaan ‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu merupakan sikap yang
sangat terpuji sebagaimana keridlaan dan penerimaan para shahabat yang lain
setelah sempat berselisih tentang siapakah yang lebih berhak terhadap
kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam[3].
Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan dari
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhudiungkapkan terhadap dosa dan maksiat.
Ridlaa adalah lawan kata dari as-sukhth (tidak puas, kemarahan), sehingga
orang yang ridlaa tidak mungkin akan marah, jengkel, atau semacamnya.
Makna 'engkau ridlaa terhadap sesuatu' adalah:
قَنَعْت بِهِ وَاكْتَفَيْت بِهِ ، وَلَمْ أَطْلُب مَعَهُ غَيْره
“Engkau merasa puas dan merasa cukup
dengannya, dan tidak menginginkan selainnya” [Syarh Shahiih Muslim,
1/51].
Ini seperti perkataan yang ada dalam hadits:
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ، مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا،
وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman,
orang yang ridla kepada Allah sebagai Rabb-nya,
Islam sebagai agamanya, dan (nabi) Muhammad sebagai rasulnya” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 34].
Ridlaa menggambarkan lapangnya hati.
Adapun tasliim,
maka kedudukannya lebih tinggi dari ridlaa. Tasliim adalah sikap tunduk dan patuh (inqiyaad)
terhadap sesuatu, menerima secara total baik lahir dan batin [lihat : Al-Furuuq Al-Lughawiyyah, no.
1012]. Ini seperti sikap yang diterangkan dalam firman Allah ta’ala :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Oleh karena itu, jika ‘Aliy mengatakan ia ridlaa dan taslim terhadap kekhalifahan Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu
‘anhum sehingga berbaiat
kepada mereka, artinya ia merasa puas, cukup, tidak akan mencari/menuntut yang
lain, tidak ada keberatan hati, dan melaksanakan segala konsekuensinya secara
lahir dan batin.
Seandainya baiat terhadap Abu Bakr, ‘Umar,
dan ‘Utsmaan merupakan kemunkaran/kemaksiatan di sisi Allah dan Rasul-Nya, maka
‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhum tidak
mungkin ia bersikap ridlaa dan menerima (tasliim) atas keputusan
tersebut. Bahkan haram hukumnya. Kecuali, jika ada orang yang ingin menuduh
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu berperilaku nifaq (beda
antara mulut dan hati), dan – na’uudzubillah – sungguh sangat jauh ia dari sifat
itu. Seandainya pun dikatakan terpaksa, tetap haram hukumnya merasa ridla dan
taslim atas kemunkaran itu – jika itu dianggap sebagai kemunkaran - . Ini
seperti firman Allah ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
Maksudnya, seandainya seseorang dipaksa
melakukan kemunkaran[4] – bahkan kekafiran – maka ia diberikan
‘udzur, akan tetapi ia tidak boleh melapangkan dadanya terhadap kemunkaran yang
terpaksa ia lakukan itu.
Jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merasa ridlaa dan taslim (menerima), mengapa orang-orang Syi’ah
pengikut ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini, dan As-Sistaaniy yang mengaku sangat
mencintai Ahlul-Bait tidak merasa ridlaa dan tasliim ?.
Para shahabat, Ahlul-Bait, dan kaum
muslimin merasa ridlaa dengan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagaimana ‘Aliy
merasa ridlaa.
Kita bersama ‘Aliy bin Abi Thaalib dan
Ahlul-Baitnya dalam satu perahu, sementara ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini,
As-Sistaaniy, dan pengikutnya dari kalangan Syi’ah Raafidlah dalam perahu yang
lain.
Hanya kepada Allah ta’ala kita memuji atas nikmat Islam ini
dan kita doakan semoga orang-orang Syi’ah Raafidlah diberikan petunjuk mau
mengikuti agama Islam yang diajarkan ‘Aliy dan Ahlul-Baitnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai –
25032015 – 01:03].
[1] Akan tetapi Al-Harbiy menyebutkan syaikh
dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adalah ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, dan ini keliru,
karena yang benar adalah ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana riwayat yang
lainnya.
[2] Silakan baca
pembahasan riwayat yang semisal pada artikel :
[3] Para shahabat sempat
bersitegang siapakah yang akan menggantikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kaum Anshaar mengajukan Sa’d bin ‘Ubaidah radliyallaahu
‘anhu, karena mereka merasa sebagai ‘tuan rumah’ sehingga lebih berhak. Abu
Bakr radliyallaahu ‘anhumenyarankan
khalifah berasal dari Quraisy. Begitu juga ‘Aliy berpendapat ia mempunyai hak
atas kepemimpinan tersebut karena faktor kekerabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
alasan yang sama ketika ia berpendapat mendapatan warisan Fadak.
Namun yang
pasti, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak
pernah memberikan mandat kepemimpinan yang jelas secara khusus kepada
seseorang. Tidak kepada Abu Bakr, tidak ‘Umar, tidak ‘Utsmaan, tidak pula ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا
وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقُلْنَا: هَلْ عَهِدَ
إِلَيْكَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ
يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً؟ قَالَ: لَا، إِلَّا مَا فِي كِتَابِي هَذَا،
قَالَ: وَكِتَابٌ فِي قِرَابِ سَيْفِهِ، فَإِذَا فِيهِ: " الْمُؤْمِنُونَ
تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ
أَدْنَاهُمْ، أَلَا لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي
عَهْدِهِ، مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa :
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari
Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata : Aku pergi bersama Al-Asytar menuju
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
Kami bertanya : “Apakah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah berwasiat sesuatu kepadamu yang tidak beliau
wasiatkan kepada kebanyakan manusia ?”. Ia berkata : “Tidak, kecuali
apa-apa yang terdapat dalam kitabku ini”. Perawi berkata : Dan kitab yang
terdapat dalam sarung pedangnya dimana padanya bertuliskan : ‘Orang-orang
mukmin sederajat dalam darah mereka. Mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, dimana orang-orang yang paling rendah dari kalangan mereka berjalan
dengan jaminan keamanan mereka. Ketahuilah, tidak boleh dibunuh seorang mukmin
karena membunuh orang kafir. Tidak pula karena membunuh orang kafir yang punya
perjanjian dengan kaum muslimin. Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru
(dalam agama) atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya,
laknat para malaikat dan manusia seluruhnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad,
1/122; shahih].
[4] Sebagai informasi, Al-Mufiid - seorang
rahib agama Syi’ah Raafidlah - berkata :
اتّفقت الإماميّة على أنّ من أنكر إمامة أحد من الأئمّة وجحد ما
أوجبه الله تعالى له من فرض الطّاعة فهو كافر ضالّ مُستحقّ للخلود في النّار
“Madzhab Imaamiyyah telah bersepakat
bahwasannya siapa saja yang mengingkari imaamahsalah
seorang di antara para imam, dan mengingkari apa yang telah Allah ta’ala
wajibkan padanya tentang kewajiban taat, maka ia kafir lagi sesat berhak atas
kekekalan neraka” [Awaailul-Maqaalaat, hal 44 – sumber : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-aqaed/avael-maqalat/a01.htm].
Jadi, proses pengangkatan dan pembaiatan
khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan menurutnya – dan kemudian diikuti oleh
segenap penganut agama Syi’ah – merupakan bentuk kemunkaran dan pengingkaran
atas keimamahan ‘Aliy. Ya, tegasnya, itu merupakan kekafiran.
Kata Al-Kulainiy:
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ
أَبِي نَصْرٍ عَنْ أَبِي الْحَسَنِ (
عليه السلام ) فِي قَوْلِ
اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَواهُ بِغَيْرِ هُدىً
مِنَ اللَّهِ قَالَ يَعْنِي مَنِ اتَّخَذَ دِينَهُ رَأْيَهُ بِغَيْرِ إِمَامٍ مِنْ
أَئِمَّةِ الْهُدَى
Sejumlah shahabat kami, dari Ahmad bin
Muhammad, dari Ibnu Abi Nashr, dari Abul-Hasan (‘alaihis-salaam) tentang
firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikit pun’(QS. Al-Qashshash : 50), ia berkata : “Yaitu orang yang
tidak mengambil agamanya dengan pendapatnya sendiri tanpa bimbingan dari imam
dari imam-imam yang memberikan bimbingan/petunjuk (baca : imam Syi’ah)” [Al-Kaafiy,
1/374].
Al-Majilisy
(4/213) dan Al-Bahbudiy (1/43) bilang, riwayat di atas shahih.
Artinya,
ketika pengangkatan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagai khalifah dan kemudian
mengakui kepemimpinan, keputusan, dan agama mereka merupakan bentuk kesesatan
yang dibicarakan ayat. Begitu
kata orang Syi’ah.