Oleh Henri
Shalahuddin, MIRKH*
Tulisan
ini tidak hendak bertujuan menyerang kepercayaan Syiah, apalagi mencacinya.
Sebab bukanlah hal yang bijak berdakwah dengan mencaci. Lagi pula masalah
kepercayaan adalah hak yang tidak bisa dicegah atau dipaksakan. Terlebih-lebih
para “tokoh” bangsa ini sudah terlanjur sepakat untuk melarang negara ikut
campur kedalam masalah agama, kecuali masalah haji dan beberapa masalah yang
membawa keuntungan politis dan materi.
Tulisan
ini adalah kesan singkat penulis saat membaca buku “40 Masalah Syiah” yang ditulis
seorang pendakwah Syiah, Emilia Renita. [1] Dalam pengantarnya, ketua Dewan
Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) yang sekaligus sebagai Editor
dan Suami penulis buku ini mengaku bahwa buku tersebut ditujukan sebagai
pedoman dakwah untuk seluruh anggota IJABI dan untuk menumbuhkan saling
pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam. Sementara Emilia sendiri
mengaku bukunya ditulis bukan untuk menghujat, menyerang dan mengkafirkan
Ahlussunnah. Meskipun pada saat yang sama, buku ini secara aktif dan provokatif
menyebarkan paham kebencian kepada Sahabat Nabi, mengkampanyekan kawin kontrak
(mut’ah) dan beragam pengeliruan terhadap ajaran Ahlussunnah, termasuk tuduhan
bahwa ulama Sunni membenarkan adanya tahrif dalam al-Qur'an dengan menjungkirbalikkan
makna beberapa Hadits yang diyakini kesahihannya oleh kaum Sunni. [2]
Dalam
konteks al-Qur'an, tahrif berarti penambahan atau pengurangan
lafadz atau huruf (perombakan redaksi) dari teks al-Qur'an yang asli.
Mempercayai tahrif berarti meyakini bahwa al-Qur'an
sebagai wahyu yang diberikan kepada Rasulullah saw tidak sempurna. Al-Qur'an
memberi contoh dalam hal ini kebiasaan orang-orang Yahudi yang gemar melakukan tahrifterhadap kitab sucinya.
Allah berfirman, "Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari
tempat-tempatnya. Mereka berkata, 'Kami mendengar, tetapi kami tidak mau
menurutinya'." QS. Al-Nisa’ [4] : 46. Allah juga berfirman, "Mereka
suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja)
melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya".
(QS. Al-Maidah [5] : 13)
Dalam
bukunya, Emilia menampik tuduhan adanya tahrif al-Qur'an dalam akidah Syiah dan
menyatakan bahwa pendapat tahrif di kalangan ulama Syiah adalah lemah.
Pembuktian masalah tahrif dalam tulisan ini yang mungkin akan
dikesankan nithili akidah Syiah. Meskipun sebenarnya
pembuktian tersebut lebih bertujuan pemaparan tentang perbedaan prinsip yang
seringkali menimbulkan kegelisahan di akar rumput yang memerlukan perhatian
khusus.
Memahami
Keyakinan Syiah tentang al-Qur'an
Tuduhan
bahwa ada penambahan atau pengurangan (tahrif) ayat-ayat al-Qur'an di kalangan
Syiah dibantah keras oleh Emilia. Menurutnya, sejak dulu sampai sekarang para
ulama Syiah menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an. Lalu beliau mengutip
beberapa pendapat ulama besar Syiah ketika menafsirkan QS. Al-Hijr [15] : 9,
"Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya" yang tertulis dalam Tafsir al-Shafi, Majma’ al-Bayan,
al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, dan al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. [3]
Memang
dalam menafsiri QS. Al-Hijr [15] : 9, menurut pemaparan Emilia keempat kitab
tafsir ulama Syiah tersebut menguatkan jaminan Allah dalam menjaga al-Qur'an.
Namun dalam penafsiran ayat-ayat lainnya, tersisip ayat-ayat 'asing' dalam
kitab-kitab tafsir Syiah tersebut. Sebagai contoh dalam kitab “Tafsir al-Shafi”
karya al-Faidh al-Kasyani (1007H-1091H), ada tambahan lafadz asing dalam ayat
Kursi yang tidak pernah dikenali kaum Muslimin pada umumnya. Beliau menukil
dari Ridha a.s., bahwa setelah lafadz: "lahu
ma fi l-samawati wa ma fi l-ardh", ada penambahan lafadz, "Wa ma baynahuma wa ma tahta
l-tsara ‘alim al-ghayb wa l-syahadah al-rahman al-rahim". [4]
Penambahan lafadz pada ayat Kursi seperti itu juga dikuatkan oleh Abu ‘Ali
al-Thabarsi (460H-546H) dalam kitabnya “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an”.
[5]
Abul
Qasim al-Khuiy (1317H/1899M-1984M) seorang ulama besar penulis “al-Bayan fi
Tafsir al-Qur'an” yang menjadi kebanggaan tokoh-tokoh Syiah sedunia,
menjelaskan bahwa Syiah Imamiyah dari dulu hingga sekarang menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an. Kemudian beliau
menuduh Ahlussunnah lah yang mempercayai adanya tahrif. Karena tidak bisa
membuktikan tuduhannya dengan memberi contoh dari ulama Sunni yang melakukan tahrif, maka beliau mengatakan:
إن القول بنسخ التلاوة هو بعينه القول بالتحريف والإسقاط
“Meyakini
adanya bacaan (ayat-ayat) yang di-naskh, sama saja meyakini adanya tahrif dan
pengguguran (dalam al-Qur'an)”.
Beliau
juga berkata:
إن القول بالتحريف هو مذهب أكثر علماء أهل السنة لأنهم يقولون
بجواز نسخ التلاوة
“Sesungguhnya
pendapat adanya tahrif (dalam al-Qur'an) adalah mazhab mayoritas ulama
Ahlussunnah, sebab mereka meyakini adanya bacaan yang dinasakh (naskh
l-tilawah)”. [6]
Tentunya
pendapat al-Khuiy tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab Allah swt., telah
berfirman:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Ayat
mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [5] : 106)
Dalam
QS Ar Ra’d [13] : 39, Allah juga berfirman:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ
“Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).”
Memahami
Inkonsistensi Ulama Syiah
Dakwaan
bahwa Ahlussunnah melakukan tahrif dalam al-Qur'an dilontarkan al-Khuiy
karena Ahlussunnah mempercayai adanya hukum nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Al-Khuiy kemudian
menyebutkan beberapa contoh “tahrif” yang dilakukan oleh Ahlussunnah, misalnya
dihapusnya ayat rajam yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, yakni al-syaikhu wa l-syaikhatu idza
zanaya farjumuha al-battah, yang tidak lagi termaktub dalam al-Qur'an. [7]
Emilia juga melakukan tuduhan yang sama tentang masalah ini dalam bukunya. [8]
Padahal
banyak tokoh-tokoh ulama Syiah yang juga menguatkan hukum nasakh dalam al-Qur'an, tetapi al-Khuiy tidak
mengklaim Syiah sebagai pelaku tahrif.
Bahkan di kalangan ulama pembesar Syiah menetapkan bahwa ayat rajam seperti
yang diriwayatkan Umar di atas, telah dinasakh bacaannya namun hukumnya tetap
berlaku. Pendapat seperti ini dapat disimak dari ulama kenamaan Syiah, di
antaranya: (1) Abu Ali al-Thabarsi dalam kitabnya, “Majma’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur'an”, vol. I, hal. 406, beliau berkata: “Nasakh dalam al-Qur'an ada
bermacam-macam, di antaranya dihapus bacaannya tetapi hukumnya tetap berlaku,
seperti ayat rajam”. 2) Abu Ja’far al-Thusi dalam kitabnya “al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an”, vol.
I, hal. 13. (3) Abd al-Rahman al-ʻAtaʼiqi al-Hilli dalam kitabnya “al-Nasikh wa
l-Mansukh”, hal. 35. (4) Muhammad Ali dalam kitabnya “Lamhat min Tarikh
al-Qur'an”, hal. 22. (5) Muhammad Baqir Majlisi dalam kitabnya “Mir’atul
‘Uqul”, hal. 267.
Al-Khuiy memang menolak tahrif dalam al-Qur'an. Dalam
karyanya, al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, beliau menegaskan dalam satu fasal
khusus tentang keterjagaan al-Qur'an dari tahrif(shiyanatul
Qur’an min al-tahrif). Di akhir fasal ini beliau menulis: “Seperti yang
telah kami sebutkan (sebelumnya), sungguh menjadi jelaslah bagi para pembaca
bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang tahrif dalam al-Qur'an adalah Hadits
khurafat dan khayalan belaka yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah
akalnya…” [9]
Namun uniknya, dalam kitabnya yang sama, beliau malah
terjerumus meyakini adanya tahrif.
Misalnya, beliau menulis: “Sesungguhnya banyaknya periwayatan yang menyebutkan
adanyatahrif dalam
al-Qur'an diwarisi secara meyakinkan, yang sebagiannya muncul dari orang-orang
yang maksum (imam-imam Syiah, pen)… dan sebagiannya diriwayatkan dengan jalan
yang terpercaya”. (al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 226) [10]. Beliau juga
berkata: “Tidak mungkin ada yang bisa menghimpun al-Qur'an seluruhnya kecuali
orang-orang yang diberi wasiat (imam-imam Syiah, pen)”. [11] Beliau juga
mengatakan: “Jikalau al-Qur'an dibaca seperti apa yang diwahyukan, tentu kamu
akan mendapati nama-nama kami (yakni nama imam-imam Syiah yang dianggap maksum,
pen)”. [12] Lebih lanjut beliau berkata: “Jibril menurunkan ayat kepada
Muhammad seperti ini, “wa in
kuntum fi raybin mimma nazzalna ‘ala ‘abdina fi ‘aliyyin fa’tu bi suratin min
mitslih”. [13] Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al-Khuiy dan kalangan
ulama Syiah lainnya mengakui kebenaran riwayat-riwayat yang membincangkan
Mushaf Ali yang berbeda dengan al-Qur'an yang ada saat ini, baik dari sisi
urutan surat, maupun dari sisi kekurangan ayat-ayat yang belum tercantum dalam
al-Qur'an yang ada saat ini, seperti nama-nama Imam Syiah. [14]
Sebenarnya, masih banyak ulama Syiah yang menyangsikan
validitas mushaf al-Qur'an yang ada saat ini. Sayyid Adnan al-Bahrani dalam
kitabnya, “Masyariq al-Syams al-Duriyah” menyebutkan bahwa riwayat-riwayat dari
Ahlulbait sangat banyak, jika tidak dibilang mutawatir, yang menyatakan bahwa
al-Quran di tangan kita saat ini bukan al-Qur'an yang selengkap yang diturunkan
kepada Muhammad saw. Bahkan dalam al-Qur'an yang sekarang ini ada yang
bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, ada juga yang sudah dirubah, dan
banyak juga ayat-ayat yang dihapus, seperti dihapusnya nama "Ali" di
banyak ayat, dihapusnya lafadz "Alu Muhammad" (=keluarga Muhammad),
nama orang-orang munafiq dan lain sebagainya. Dan al-Qur'an sekarang ini
bukanlah berdasarkan susunan yang diridai Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang
disebut dalam kitab tafsir Ali bin Ibrahim. [15]
Al-Sultan Muhammad al-Janabadzi dalam kitab tafsirnya,
“Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah” dalam muqaddimah tafsirnya menyebutkan
sebuah fasal yang menetapkan adanya tahrif dalam al-Qur'an. Beliau menegaskan
hal ini dalam fasal ketiga belas, “Masalah terjadinya penambahan, pengurangan,
mendahulukan, mengakhirkan dan perubahan dalam al-Qur'an yang ada di tangan
kita sekarang ini..” [16]
Memahami Bagaimana Cara Syiah
Memfitnah
Syiah, seperti halnya yang dilakukan Emilia, seringkali
menampik bukti riwayat-riwayat yang dikutip langsung dari kitab-kitab Syiah
seperti “al-Kafi” dan “al-Qummi” tentang tahrif al-Qur'an dan mengatakan bahwa
semua ulama Hadits di kalangan Syiah sepakat tentang kelemahan Hadits-Hadits
itu. [17]
Kemudian Emilia malah balik menuduh Ahlussunnah-lah yang
meyakini adanya tahrif dalam al-Qur'an, dan menetapkan
sepihak kesahihan Hadits-Hadits tahrif dari Ahlussunnah atau menjungkirbalikkan
beberapa Hadits Sahih Bukhari dan Muslim yang diklaimnya mengandung pengakuan
adanya tahrif. Dalam bukunya, Emilia memberi contoh sekitar 10 Hadits dari
Ahlussunnah yang dia klaim seluruhnya sahih. [18] Mengingat keterbatasan ruang,
tidak semua contoh-contoh yang dipaparkan Emilia akan dibahas keseluruhan.
Emilia menulis sebagai berikut:
“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar: Janganlah kamu mengatakan aku
sudah menghapal seluruh al-Qur'an, karena kamu tidak tahu seluruhnya. Banyak
sekali yang hilang dari al-Qur'an. Katakana saja: Aku telah menghapal apa yang
ada dalam al-Qur'an sekarang ini”. (al-Itqan 2:25)
Teks asli yang dimaksud dari kutipan Emilia di atas
adalah sebagai berikut:
قال أبو عبيد: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن نافع عن ابن
عمر قال: لا يقولن أحدكم قد أخذت القرآن كله وما يدريه ما كله قد ذهب منه قرآن
كثير ولكن ليقل قد أخذت منه ما ظهر
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Ayub dari Nafi’ dari Ibnu
Umar yang berkata “Janganlah ada salah seorang dari kalian mengatakan ‘sungguh
aku telah mengambil al-Qur'an seluruhnya’. Tahukah ia apa seluruhnya (dari
al-Qur'an) itu? Sungguh telah sirna darinya banyak (ayat-ayat) Al Qur’an. Akan
tetapi hendaknya ia mengatakan “sungguh aku telah mengambil darinya apa yang
tampak (dari al-Qur'an)”. [19]
Ada
riwayat yang juga menyebutkan atsar semisal ini yang disandarkan dari Umar ibn
Khattab. Padahal atsar yang disandarkan kepada beliau tersebut tidak ditemukan
dalam kitab-kitab Hadits. Atsar di atas diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dan
disandarkan kepada Ibnu ‘Umar. Atsar ini dapat dijumpai dalam kitab “Fadha’il
al-Qur'an” dan mengandung makna nasakh, bukan tahrif. Sedangkan hukum nasakh
tidak bertentangan dengan Janji Allah yang berkenaan dengan terjaganya
al-Qur'an. Sementara adanya ayat-ayat yang dinasakh secara tegas dinyatakan
dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah : 106. Imam al-Suyuthi dalam “al-Dibaj”
menukil perkataan Imam al-Qurthubi: “Dan janganlah menduga-duga atau
menyerupakannya dari hal ini (masalah hukum nasakh) bahwa sebagian ayat
al-Qur'an telah hilang. Sebab pendapat seperti itu adalah batil, tidak benar.
[20]
Maka
dengan meneliti pendapat Imam al-Suyuthi dalam karyanya, “al-Dibaj”, fitnahan
kaum Syiah bahwa Ahlussunnah, khususnya terhadap Imam al-Suyuthi, meyakini
adanya tahrif otomatis terbantahkan. Sebab dalam kitab “al-Itqan” pun, juga
tidak ada bukti tertulis bahwa beliau mengakui adanya tahrif, atau memaknai atsar
tersebut sebagai justifikasi adanya tahrifdalam
al-Qur'an.
Fitnahan
berikutnya berkenaan tahrif yang dilakukan Ahlussunnah, Emilia menukil riwayat
berikut dalam bukunya:
“al-Bukhari
meriwayatkan dalam tarikhnya dari Hudzaifah: Aku membaca surat al-Ahzab pada
zaman Nabi saw sebanyak 200 ayat. Ketika Utsman menuliskan mushaf, al-Ahzab
hanya mencapai sejumlah ayat yang sekarang ini”. (al-Itqan 2:25, Manahil
al-Irfan 1:27, al-Durr al-Mantsur 5:180)
Teks
asli yang dimaksud dari kutipan yang dinukil Emilia di atas adalah sebagai
berikut:
قال: حدثنا ابن أبي مريم عن أبي لهيعة عن أبي الأسود عن عروة بن
الزبير بن عائشة قالت: كانت سورة الأحزاب تقرأ في زمن النبي صلى الله عليه وسلم
مائتي آية، فلما كتب عثمان المصاحف لم نقدر منها إلا ما هو الآن.
(Abu
'Ubayd) berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Maryam dari Abu
Lahi’ah, dari Abu l-Aswad dari ‘Urwah ibn al-Zubair dari ‘Aisyah yang berkata:
“Dahulu surah al-Ahzab itu dibaca di zaman Nabi saw., sebanyak 200 ayat. Lalu
ketika Utsman menulis mushaf-mushaf kita tidak bisa (menemukan) darinya kecuali
yang sekarang ada ini.” [21]
Atsar
ini di-takhrij dalam
"Fadhail al-Qur'an" vol. 2, hal. 146, no. 700, dalam isnad-nya terdapat Abu Lahi'ah
dan sanadnya lemah. Atsar ini menurut tuduhan Syiah mengandaikan bahwa ada
banyak ayat dalam surat al-Ahzab yang tercecer dan tidak mampu dihimpun oleh
Utsman bin Affan, kecuali hanya sejumlah ayat-ayat yang ada dalam surat
al-Ahzab saat ini. Riwayat dalam atsar ini batil, tidak sah dan tidak bisa
diterima akal sehat. Para Ulama telah menjelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat
yang sudah dinasakh baik dari sisi bacaannya maupun hukumnya, kecuali ayat
rajam yang hanya dinasakh bacaannya tapi hukumnya tetap berlaku. Dan seperti
dijelaskan di atas bahwa kedudukan hukum nasakh berbeda dengan tahrif. Sementara hukum nasakh tidak terjadi kecuali pada masa Rasulullah
masih hidup. Di
sisi lain, atsar ini jelas bertentangan dengan Janji Allah yang akan menjaga
al-Qur'an. Maka bagaimana bisa diandai-andaikan bahwa ada sebagian ayat
al-Qur'an yang hilang di tangan seluruh Sahabat Nabi?! [22]
Senada dengan pendapat di atas, Syeikh Ibnu ‘Asyur dalam
kitab “Tafsir al-Tahrir wa l-Tanwir”, mengomentari atsar tentang surat al-Ahzab
yang berisi 200 ayat adalah lemah dari sisi sanadnya. [23]
Riwayat lain berkenaan dengan hilangnya ayat-ayat dalam
surat al-Ahzab yang sering dirujuk dan digemari kaum Syiah untuk memfitnah
Ahlussunnah sebagai pelaku tahrif [24] adalah sebagai berikut:
وقال حدثنا إسماعيل بن جعفر عن المبارك بن فضالة عن عاصم بن أبي
النجود عن زر بن حبيش قال: قال لي أبي بن كعب: "كأين تعد سورة الأحزاب؟ قلت:
اثنتين وسبعين آية أو ثلاثا وسبعين آية. قال: إن كانت لتعدل سورة البقرة
Disampaikan
kepada kami oleh Isma’il ibn Ja’far, dari al-Mubarak ibn Fadhalah, dari ‘Ashim
ibn Abi al-Najud dari Zirr ibn Hubais berkata: Ubay ibn Ka’b berkata padaku,
Berapa (ayat) surat al-Ahzab kamu hitung? Aku menjawab: Sekitar 72 atau 73
ayat. Beliau berkata dulunya (surat al-Ahzab) setara dengan surat al-Baqarah.
Atsar
ini di-takhrij oleh Abu
'Ubaidah dalam "Fadhail al-Qur'an" vol II, hal. 146-147, dalamisnad-nya
terdapat al-Mubarak ibn Fadhalah, ia adalah mudallis. [25]
Senada
dengan atsar di atas, dalam kitab “Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal” juga
menjelaskan melalui mata rantai sanad Abdullah, Wahab ibn Baqiyyah, Khalid ibn
‘Abdullah al-Thahhan, Yazid ibn Abi Ziyad, Zirr ibn Hubais:
عن أبي بن كعب قال: كم تقرؤون سورة الأحزاب؟ قال: بضعا وسبعين آية. قال: لقد قرأتها مع رسول الله مثل البقرة، أو
أكثر منها، وإن فيها آية الرجم
Dari
Ubay ibn Ka’b, beliau bertanya: Berapa (ayat) kalian baca surat al-Ahzab? Lalu
dijawab: sekitar 70an ayat lebih sedikit. Lalu beliau berkata: Aku pernah
membacanya bersama Rasulullah seperti al-Baqarah, atau bahkan lebih panjang
lagi, dan sungguh di dalamnya ada ayat rajam.
Atsar
ini sanadnya lemah, karena ada Yazid ibn Abi Ziyad. Ibn Ma'in berkata: Atsar
ini tidak bisa dijadikan argumen, Ibn al-Mubarak berkata: campakkan ia (jangan
dipakai). Sedangkan 'Ashim ibn Bahdalah, meskipun beliau shaduq (terpercaya),
tetapi terdapat syak mengingat hapalan beliau yang lemah. Sedangkan matan dalam
atsar ini terhitung mungkar karena ada perkataan: "Aku pernah membacanya
bersama Rasulullah". [26]
Demikianlah
cara-cara Syiah memfitnah Ahlussunnah sebagai pelaku tahrif, baik dengan mengambil
riwayat-riwayat yang lemah, maupun memutarbalikkan pesan yang terdapat dalam
sebuah Hadits atau dengan melakukan pentakwilan yang jauh dari makna
sebenarnya. Maka cukuplah perkataan Imam al-Alusi al-Baghdadi dalam menyikapi
berbagai fitnahan tentang adanya tahrif dalam al-Qur'an:
والحق أن كل خبر ظاهره ضياع شيء من القرآن إما موضوع وإما مؤول
Sejatinya
bahwa setiap pemberitaan yang sisi zahirnya (memberitakan) hilangnya sesuatu
(ayat) dari al-Qur'an, (bisa dipastikan bahwa pemberitaan tersebut) baik itu
palsu maupun ditakwilkan. [27]
Memahami
Induk Rujukan Ajaran Syiah
Kaum
Syiah memiliki sejumlah kitab induk yang menjadi rujukan utama mereka dalam
beragama. Jika kaum Sunni di bidang Hadits berpedoman kepada kitab-kitab Sahih
Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmudzi, Sunan an-Nasai,
Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwatta’ Malik, dsb., maka kaum Syiah memiliki
pedoman kitab-kitab Hadits sendiri. Syi'ah hanya mempercayai hadis yang
diriwayatkan oleh keturunan Nabi Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau
oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak
menggunakan hadis yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum
Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Nabi Muhammad saw, yang
melawan Ali pada Perang Jamal. [28]
Syiah
mempunyai pemahaman tersendiri tentang definisi Hadits. Dalam majalahnya,
penganut Syiah di Indonesia menjelaskan pengertian Hadits sebagai berikut:
Apa
yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku,
sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan
demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar
Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa
kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena
faktor itulah kitab-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam
beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah
baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga
lebih banyak daripada hadis Sunni. [29]
Oleh
karena itu, rujukan kitab Hadits yang dipakai Sunni dan Syiah berbeda. Kaum
Syiah memiliki empat kitab yang dipandang sebagai rujukan utama di bidang
Hadits. Kitab-kitab tersebut adalah “al-Kafi” (karya Muhammad ibn Ya’qub ibn
Ishaq al-Kulayni, w. 329H, terdiri dari 16.000 hadits), “Man La Yahduruhu
al-Faqih” (Muhammad ibn 'Ali ibn Babawaih al-Qummi, w. 381H, berisi sekitar
16.000 hadits), “Tahdhib al-Ahkam” (terdiri dari 13.590 hadits) dan “Al-Istibshar”
(terdiri dari 5.511 hadits). Kedua kitab terakhir ini ditulis oleh Abu Jafar
Muhammad Ibn Hassan Tusi, w. 460H/1067M.
Kitab
“al-Kafi” merupakan salah satu kitab terpercaya bagi penganut Syiah dan
dianggap sebagai ensiklopedia Hadits terlengkap dalam ilmu-ilmu keislaman. Al-Kafi terdiri dari tiga
bagian, Usul al-Kafi, Rawdat al-Kafi, dan Furu’ al-Kafi. Jalur periwayatan
Hadits-Hadits dalam kitab ini diyakini bersambung langsung dari imam-imam yang
terbebas dari dosa (ma’sum). Para ulama Syiah (diantaranya al-Faidh al-Kasyani,
al-Mufid, al-Syahid al-Awwal, w.786H, al-Majlisi, al-Syahid al-Tsani w.965H)
sangat menghormati kitab al-Kafi dan memandangnya sebagai salah satu kitab
terbesar Syiah dan paling banyak manfaatnya. Ia juga diyakini sebagai kitab
Hadits yang belum ada tandingannya, paling mulia, paling terpercaya, paling
lengkap dan sempurna. [30]
Kononnya, di kalangan ulama Syiah masih terjadi perbedaan
pendapat tentang kesahihan Hadits-Hadits dalam kitab al-Kafi. Bahkan ada yang
mengatakan sekitar 9.485 Hadits lemah dalam kitab ini. Namun meskipun demikian,
banyak sekali ulama Syiah yang mengutip kitab al-Kafi untuk menguatkan pendapat
bahwa masih banyak ayat-ayat yang belum tertulis dalam al-Qur'an yang ada saat
ini. Di antaranya adalah kitab “al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an” seperti yang
telah disinggung di atas.
Makmun al-Jawi, seorang intelek muda yang cukup intens
terlibat pembahasan tentang akidah Syiah menjelaskan bahwa praktek akidah
tahrif Al Qur’an dalam Syi’ah, bisa kita lihat dalam kitab-kitab Tafsir Al
Qur’an Syi’ah, seperti; Tafsir Al Qummi, Tafsir As Shafi, Tafsir Mir-atul Anwar
wa Misykatul Asrar, Tafsir Muhammad Husein Al Ashfahani, Tafsir Al Burhan,
Tafsir Bayanus Sa-‘adah fi Maqamatil ‘Ibadah, Tafsir Syubbar, Tafsir Majma-‘ul
Bayan, dan Tafsir Aala-ur Rahman.
Di antara Hadits-Hadits ganjil yang menjelaskan tahrif
al-Qur'an dalam kitab al-Kafi adalah sebagai berikut:
عن الصادق قال : إن القرآن الذي نزل به جبريل على محمد سبعة عشر
ألف آية، والتي بأيدينا ستة آلاف ومائتان وثلاث وستون آية والبواقي مخزونة عند أهل
البيت فيما جمعه علي عليه السلام.
a)
Dari al-Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Qur'an yang diturunkan Jibril kepada
Muhammad 17.000 ayat, sementara yang di tangan kita hanya 6.263 ayat dan
sisanya tersimpan di Ahli Bait yang dikumpulkan oleh Ali a.s.” (Ushul al-Kafi,
vol. I, hal. 110).
عن الصادق قال : القرآن الذي جمعه علي هو مثل قرآنكم ثلاث مرات،
والله ما فيه من قرآنكم حرف واحد، مكثت فاطمة بعد موت أبيها خمسة وسبعين يوما صبت
عليها مصائب من الحزن لا يعلمها إلا الله، فأرسل الله إليها جبريل يسليها ويعزيها
ويحدثها عن أيبها وعما يحدث لذريتها، وكان علي يستمع ويكتب ما سمع حتى جاء به
مصحفا قدر القرآن ثلاث مرات ليس فيه شيء من حلال وحرام ولكن فيه علم ما يكون.
b)
Dari al-Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Qur'an yang dikumpulkan Ali adalah
tiga kali lipat dari al-Qur'an yang kalian baca (saat ini), demi Allah tidak
ada di dalamnya satu huruf pun dari al-Qur'an kalian. Fathimah berdiam diri
sepeninggal ayahnya (Rasulullah saw) 75 hari karena didera kesedihan yang tidak
diketahui kecuali Allah. Maka Allah pun mengirimkan Jibril untuk menghiburnya,
menguatkannya dan berbicara kepadanya tentang ayahnya, serta apa yang bakal
terjadi kepada keturunannya. Sementara Ali mendengarkan dan menulis sehingga
terkumpul sebuah mushaf tiga kali lipat lebih banyak dari al-Qur'an yang di
dalamnya tidak sedikitpun terkandung masalah halal dan haram, tetapi berisi
ilmu pengetahuan tentang apa yang akan terjadi”. (Ushul al-Kafi, vol. I, hal.
115, lihat juga vol. I, 1388H, Dar al-kutub al-Islamiyyah, Teheran, hal.239)
عن أبي عبد الله الصادق: أن القائم يخرج المصحف الذي كتبه علي وأني
المصحف غاب بغيبة الإمام.
Dari
Abi Abullah al-Shadiq, bahwasanya al-Qaim (Imam Mahdi, Ratu Piningit) akan
mengeluarkan mushaf yang ditulis Ali , dan bahwasanya mushaf tersebut
menghilang dengan menghilangnya Sang Imam. (Ushul al-Kafi, vol I, hal. 111)
Makmun
al-Jawi menyimpulkan bahwa Hadits dalam kitab al-Kafi tersebut pada hakekatnya
menjelaskan bahwa ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur'an saat ini hanya
sepertiga dari Jami’ah atau Majmu’ Ali atau Mushaf Fathimah. Sedangkan dua
pertiga (2/3) selebihnya masih tersimpan di Ahlul Bait. Mushaf yang ditulis Ali
bin Abi Thalib hilang bersama hilangnya (ghaibah) sang Imam, dan akan dibawa
kembali oleh Al Qaim (kebangkitan Imam Mahdi/Muhammad Al Mahdi, imam ke-12,
putra Hasan Al-Askari, imam ke-11).
Meskipun
terdapat banyak rujukan utama dalam kitab-kitab Syiah yang menguatkan adanya
tahrif dalam al-Qur'an, tetapi uniknya mushaf al-Qur'an yang tersebar di
kalangan Syiah tidak berbeda dengan yang kita baca. Apakah itu bagian dari
strategi taqiyyah Syiah atau bukan, Wallahu a’lam. Sebab hanya merekalah yang
lebih tahu akan kepercayaan yang dianutnya. Namun menurut Sayyid Ni’matullah
al-Jazairi terdapat lebih dari 2.000 “Hadits” yang menetapkan kepercayaan
adanya tahrif di kalangan Syiah. Mayoritas ulama dan ahli Hadits Syiah semenjak
dulu pun berpedoman dengan kesahahihan Hadits-Hadits tahrif tersebut. [31]
Merajut
nota kesepahaman Sunni-Syiah
Hubungan
antara Sunni-Syiah harus diakui menyimpan api dalam sekam. Konflik yang telah,
sedang dan akan terjadi antara kedua millah ini seharusnya bisa diantisipasi.
Mengusir para penganut Syiah dari bumi Indonesia bukanlah solusi yang bijak.
Sebab suka tidak suka, secara historis Syiah telah eksis di Timur Tengah lebih
dari seribu tahun. Sejarah konflik yang memakan ribuan korban di berbagai
belahan negara-negara Islam antara kedua golongan ini pun berlangsung cukup
lama. Maka hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah sebelum mengambil
kebijakan adalah mengakui adanya perbedaan dalam prinsip-prinsip akidah antara
Sunni-Syiah.
Umat
Islam Sunni senantiasa diajarkan mencintai dan meneladani para Sahabat Nabi,
terutama para khulafa’
rasyidin dan para isteri
Nabi. Sementara dalam batasan tertentu kaum Syiah justru getol melaknat Ummahatul Mukminin, khususnya
Aisyah dan sahabat-sahabat terdekat Rasulullah saw., yang sudah mendapat
jaminan Surga, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Bahkan
bisa jadi merupakan ritual yang dianjurkan. Oleh beberapa penganut Syiah, Abu
Lu'lu'ah, pembunuh Umar bin Khattab, r.a., dianggap pahlawan dan makamnya
sangat diagungkan, diziarahi, serta diadakan perayaan tahunan khusus untuk
menghormati si pahlawan pembunuh Khalifah Umar tersebut. Bahkan kaum Syiah
memberinya gelar "Bapak agama yang berani." Di atas kuburannya yang
ada di Iran tertulis kalimat-kalimat penghinaan terhadap sahabat-sahabat Nabi
yang mulia: "Kematian untuk Abu Bakar, Kematian untuk Umar, Kematian untuk
Utsman." [32]
Umat
Islam Sunni menyakini diharamkannya kawin kontrak (mu’tah) dan menganggapnya
sebagai perzinahan yang tergolong dosa besar. Sementara Syiah menganggapnya
sebagai ibadah. Meskipun belum tentu ulama Syiah akan mengijinkan jika putrinya
sendiri dikawini mut’ah. Di samping itu ada kepercayaan maksumnya para imam
Syiah yang oleh umat Islam Sunni justru dianggap bid’ah. Karena sifat maksum
hanya dikhususkan bagi para Nabi.
Memahami
dasar perbedaan kedua millah ini bisa menjadi kunci utama merajut
jalan damai dan mengembangkan kebijakan kedepan. Apapun kebijakan dan solusi
yang dibuat dengan mengabaikan pemahaman terhadap perbedaan prinsipil kedua millah ini, tidak akan pernah menyelesaikan
masalah. Sebab akar konflik dan sumber masalah tidak disentuh sama sekali.
Penyelesaian konflik yang berbasis agama dan keyakinan semestinya tidak hanya
mengandalkan konsep kebebasan beragama liberal. Sebab kebebasan beragama dan
berkeyakinan mestinya berbeda dengan kebebasan menghina agama dan kepercayaan
umat lain.
Di
samping itu, juga perlu diperhatikan asas memahami eksistensi Ahlussunnah
sebagai Muslim mayoritas di Indonesia. Penganut Syiah bisa dihimbau untuk tidak
melakukan dakwah yang sarat dengan provokasi aktif di kalangan Muslim Sunni. Karena kegiatan seperti ini
sama saja menyulutkan api pada rerumputan kering. Oleh sebab itu, upaya
menerapkan aturan perijinan untuk mendirikan tempat peribadatan bagi kaum Syiah
juga bisa menjadi salah satu prioritas kebijakan untuk mengantisipasi konflik
di masa mendatang.
Hak-hak umat mayoritas seharusnya tidak dikesampingkan
dalam membuat segala bentuk kebijakan yang berkenaan dengan agama. Sebab selama
ini pemerintah terkesan hanya mengurusi hak-hak minoritas dan terlalu sibuk
dengan program kerukunan antar umat beragama. Sementara program kerukunan intra
umat Islam dan hak-hak mayoritas sering diabaikan, kecuali hanya pada masa-masa
menjelang pemilu. Saat-saat di mana umat Islam dengan segala potensi yang
dimilikinya, pesantren-pesantrennya, ormas-ormasnya, masjid-masjidnya, kerap
dikunjungi, diberi janji-janji dan dibujuk untuk memberikan suaranya.
Menghormati hak-hak mayoritas tidak bisa diartikan
diskriminasi pada minoritas. Di beberapa wilayah Australia misalnya, ijin
mendirikan masjid tidak hanya mendapatkan ijin dari penduduk sekitar, tetapi
juga harus memperhatikan pengguna akses jalan yang melewati area pendirian
masjid. Jika salah satu pengguna jalan, meskipun bukan penduduk setempat, ada
yang merasa terganggu dengan rencana pendirian masjid, maka suara keberatannya
bisa menjadi faktor penting dalam mempertimbangkan pemberian ijin bangunan oleh
dewan kota. Maka sangat relevan jika ijin pendirian tempat ibadah di Indonesia
bisa diterapkan untuk penganut Syiah. Terlebih jika pendiriannya dilakukan di
komunitas Sunni yang rentan menjadi media provokasi untuk menyulut anarkhisme.
Dalam konteksnya di Indonesia, peluang damai Sunni-Syiah
bahkan terjalinnya kerjasama dalam bermuamalah sangat terbuka lebar. Umat Islam
Sunni terbukti tidak saja bisa hidup rukun bahkan mampu memberi kedamaian dan
perlindungan bagi penganut agama lain. Dan sangat tidak mustahil hal yang sama
juga akan diberikan kepada kaum Syiah yang notabene masih meyakini kalimat:
"La Ilaha Illallah, Muhammadun Rasulullah". Namun akankah Syiah mau menyambut
uluran damai Sunni atau lebih menikmati bermain api dengan akidah Ahlussunnah?
Dan sebagai minoritas, apakah Syiah mampu bertoleransi dengan ikut menjaga
stabilitas dalam berinteraksi intra umat Islam ataukah mereka memilih jalan
provokatif dengan mendirikan masjid-masjid Syiah secara massif di lingkungan
Sunni tanpa mengindahkan adanya perijinan dari komunitas setempat? Wallahu A’lam.
*penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia, memperoleh gelar masternya dalam Islamic Revealed Knowledge and
Heritage (IRKH) dari International Islamic University Malaysia. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa S3 di Universiti
Malaya, fakultas Akademi Pengajian Islam.
Catatan
Kaki:
- Emilia Renita AZ, 40 Masalah Syiah, Ikatan
Jamaah Ahlu Bait Indonesi (IJABI), cetakan 2, Oktober 2009.
- Ibid, hal. 13 dan 15.
- hal. 37-38.
- www.hodaalquran.com/rbook.php?id=7013&mn=1.
Situs Huda Al-Qur'an ini merupakan serangkaian situs Syiah milik
“Hauzatul-Huda” yang beralamat di Bahrain yang fokus dalam bidang Studi
Islam di bawah bimbingan Sheikh Mohammed Shanqour. Situs ini membidangi
kajian al-Qur'an dalam segala aspeknya, seperti tafsir, ulum al-Qur'an,
studi dan penelitian al-Qur'an, artikel serta tema-tema spesifik seputar
al-Qur'an. Di samping itu, juga berisi kisah-kisah dalam al-Qur'an,
beragam audio tentang tilawah, pelajaran dan ceramah umum tentang
al-Qur’an. Situs ini diluncurkan pada bulan Ramadhan bertepatan dengan 5
Oktober 2007. Sedangkan pengasuhnya, yakni Sheikh Mohammed Shanqour
merupakan salah satu ulama Syiah di Bahrain kelahiran tahun 1968. Lebih
lanjut silahkan melihat http://ar.wikipedia.org/ محمد_صنقور
- Lihat: www.hodaalquran.com/rbook.php?id=2269&mn=1,
diunduh pada tanggal 13 januari 2012.
- Al-Bayan
fi Tafsir al-Qur'an, hal. 205 dalamhttp://www.shiaweb.org/quran/bayan/pa44.html, diakses tanggal 23 Januari 2012.
- Artinya:
Orang tua yang berzina baik laki-laki maupun perempuan, maka jatuhkan
hukum rajam terhadap keduanya. lihat: al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal.
203 dalamhttp://www.shiaweb.org/quran/bayan/pa44.html
- Lihat: 40 Masalah Syiah, hal. 41.
- Lihat: al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal.
259, teks aslinya berbunyi: ومما ذكرناه قد تبين للقارئ أن حديث تحريف القرآن حديث خرافة
وخيال لا يقول به إلاّ من ضعف عقله dikutip dari www.al-shaaba.net/vb/showthread.php?t=6419&page=2
- Teks aslinya berbunyi: إن
كثرة الروايات تورث القطع بصدور بعضها عن المعصومين عليهم السلام، ولا أقل من
الاطمئنان بذلك وفيها ما روي بطريق معتبر
- Teks aslinya berbunyi: ما
يستطيع أحد يقول جمع القرآن كله غير الأوصياء
- http://www.fnoor.com/fn0217.htm#_ftn25; Lihat juga
kitab-kitab Syiah lainnya, misalnya: Tafsir al-‘Iyasyi, vol. I, Mansyurat
al-A’lami, Beirut, cet. 91, hal. 1, Tafsir al-Shafi, vol. I, hal. 41,
Bihar al-Anwar, 92: 55, al-Lawami’ al-Nuraniyah, hal. 547. Teks aslinya
berbunyi: لو قرئ القرآن كما أنزل لألفيتنا مُسّمين
- Teks aslinya: نزل
جبريل بهذه الآية على محمد هكذا: وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا في علي
فأتوا بسورة من مثله
- www.fnoor.com/fn0217.htm, diakses tanggal
19 Januari 2012.
- Ulama’ al-Syi’ah Yaquluna..! Watsaiq
Mushawwarah min Kutub al-Syi’ah (=Ulama Syiah Berkata..! disertai Fotokopi
Dokumen dari Kitab-kitab Syiah), Markaz Ihya Turats Ali l-Bayt, cetakan
II, hal. 14.
- Lihat: www.islamww.com/books/GoPage19-1278-8679-128.html diakses tanggal 15 Jan 2012.
- Emilia Renita, Loc. Cit., hal. 39.
- Ibid, hal. 40-44.
- Imam al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum
al-Qur'an, editor: Markaz al-Dirasat al-Qur'aniyyah, Mujamma' al-Malik
Fahd li Thiba'ah al-Mushaf, Wuzarah al-Syu'un al-Islamiyyah wa l-Auqaf wa
l-Da'wah wa l-Irsyad, Saudi Arabia, hal. 1455.
- http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=117605,
teks aslinya berbunyi: ولا يتوهم من هذا أو شبهه أن القرآن ضاع منه شيء فإن ذلك باطل
- Imam
al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1456.
- Keterangan muhaqqiq (editor) dalam al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1456-1457.
- Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa l-Tanwir,
Dar al-Tunisiyyah li l-Nasyr, hal. 246.
- Lihat situs-situs Syiah, di antaranya http://www.holyquran.net/books/tahreef/9.html; Kaum
Nasrani juga melakukan hal yang sama, lihat misalnyahttp://www.ebnmaryam.com/vb/t6972.html
- Imam
al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1457. Mudallas dalam
Mustalah Hadits artinya bahwa seorang perawi meriwayatkan hadits dari
seorang guru yang pernah ia jumpai dan ia dengar riwayat darinya, tetapi
hadits yang ia riwayatkan itu tidak pernah ia dengar darinya. Sedang ia
meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar langsung
darinya, seperti “dari” atau “ia berkata”. Mudallas adalah bagian dari
Hadits dha’if (lemah) dari sisi gugurnya perawi.
- Musnad
al-Imam Ahmad ibn Hanbal, editor: Syu’aib al-Arnauth, Adil Mursyid, Sa’id
al-Liham, Muassasah al-Risalah, vol. 35, hal. 133-134.
- Imam
al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa
l-Sab' al-Matsani, Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, vol. 21, hal. 142.
- Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits# Berdasarkan_
tingkat_keaslian_hadis.
- Lihat: Syiah & Dagelan Jarh Wat-Ta’dil,
Majalah Qiblati, Edisi 3, th VII dalamhttp://syiahali.wordpress.com/2011/06/27/keunggulan-kitab-kitab-hadis-syiah-membantah-salafi-dan-sunni/
- Lihat: www.islam4u.com/almojib_show.php?rid=570
- http://www.fnoor.com/fn0217.htm#_ftnref25
- Lihat: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/ikhwan-yordan-tuntut-pemimpin-syi-ah-tutup-kuburan-pembunuh-khalifah-umar.htm,
diakses tanggal 20 Jan 2012