By: Nandang Burhanudin
Di tahun
1963, Ben Gourion, PM Israel pertama menegaskan, "Tidak penting bagi kami
memiliki bom nuklir atau 200 hulu ledak nuklir. Semuanya sama sekali tak
memberi manfaat kepada kami. Justru yang terpenting adalah, bagaimana negara
seperti Mesir, Syiria, dan Irak berpihak dan menjadi penjamin eksistensi dan
entitas kami."
Maka jangan heran, apa yang terjadi hari ini di
negara-negara tersebut merupakan penjelmaan dari "sabda" Ben Gourion.
Mesir, Syiria, Irak dihancurkan. Malah 100 % menjadi "Satpam" penjaga
Israel. Maka krisis antara Saudi vs Yaman, tak terlepas dari mengamankan sisi
lain negara Israel, seiring dengan target Israel Raya yang segera
dideklarasikan.
Di titik
ini, peran Raja Salman bersama Erdogan dan Emir Qatar sangat diperlukan.
Fungsinya menjaga keseimbangan kawasan. Banyak yang berharap, Raja Salman mampu
berperan seperti Raja Faishal yaitu mengembalikan kembali tali "ukhuwwah
Islamiyyah" dan ikatan "al-jasad al-waahid" (satu tubuh) di
kalangan umat Islam.
Nah, hal terberat yang dihadapi Raja Salman adalah
ketiadaan SDM yang mampu mengimplementasikan "peran strategis" dalam
bargaining position vs Israel (AS dan sekutunya). Suka atau tidak suka, SDM
yang siap menghadapi Israel di segala medan adalah jamaah Ikhwanul Muslimin.
Jamaah yang tegas mengatakan, "Perjuangan Ikhwan tidak akan berakhir,
hingga tak ada sejengkal tahan pun milik Palestina yang dikuasai Israel."
Namun sekali lagi, Israel dan AS telah merancang
masa depan Timur Tengah. AS-Israel terlatih mengatur bidak-bidak catur dan membaca
arah pikiran lawan. Terbukti, saat Mubarak dilengserkan 25 Januari 2011, sejak
2010 mereka telah memprediksi Ikhwanul Muslimin akan muncul menjadi pemenang.
Sejak itu, di Kedubes AS dilakukan rapat rahasia merancang kudeta. Hal yang
telah disampaikan intelejen Turki kepada Presiden Mursi via Erdogan.
Sama halnya dengan Saudi Arabia. Mendiang Raja
Abdullah yang sakit-sakitan, dan penggantinya adalah Raja Salman. Maka
AS-Israel telah menyiapkan Syiah Houtsi di Selatan Saudi, ISIS di utara Saudi,
dan Syiah yang makin perkasa di Teluk Persia. Raja Salman pun harus berhadapan
dengan fakta, Mesir, Jordania dan negara-negara Arab lainnya sudah diYahudikan.
Maka kesempatan jangka pendek bagi Raja Salman
adalah, mengubah peta kekuatan Timur Tengah: menghindari sikap konfrontasi
dengan AS, mengedepankan misi kemanusiaan, menolak tindakan kezhaliman dalam
hal apapun. Selain tentunya, memperkuat kerjasama dengan Turki dan
negara-negara G-20. Nampak perjuangan Raja Salman sangat berat. Tapi itu
tuntunan bagi siapapun yang mencita-citakan mati di jalan Allah cita-cita
tertinggi.