UTUSAN KEPADA RAJA KISRA MENDAKWAHINYA KEPADA ISLAM
Sa’ad telah mengirim beberapa orang
sahabatnya kepada Kisra untuk mendakwahinya agar masuk Islam sebelum mereka
diserang. Mereka minta izin untuk dapat bertemu Kisra, mereka diberi izin
masuk, sementara penduduk negeri itu keluar untuk melihat pakaian mereka yang
aneh dengan selendang-selendang di atas pundak mereka dan cemeti di
tangan-tangan mereka, dengan sandal-sandal yang mereka kenakan, kuda-kuda
mereka yang lemah yang memukul tanah dengan kaki-kakinya, mereka sangat heran
dengan penampilan para utusan tersebut. Bagaimana mungkin orang-orang seperti
mereka dapat menaklukkan pasukan musuh yang bilangannya berlipat ganda dari
mereka dan dilengkapi berbagai perlengkapan yang sempurna!!
Mereka diizinkan Raja Yazdigrid untuk datang menemuinya, dan didudukkan di
hadapannya –Raja ini terkenal dengan kesombongannya dan tidak beradab– kemudian
dia mulai bertanya kepada mereka mengenai pakaian yang mereka kenakan apa
namanya? Tentang selendang mereka, sandal dan cemeti yang mereka bawa, setiap
kali pertanyaannya dijawab maka dia berbicara seolah-olah optimis akan menang
melawan mereka –padahal Allah akan memutarbalikkan rasa optimisnya menjadi
kehancuran di atas kepalanya– kemudian dia bertanya, “Kenapa kalian datang ke
negeri ini?” Apakah kalian merasa mampu menaklukkan kami ketika kami sibuk
mengurusi urusan dalam negeri kami yang sedikit goncang?”
An-Nu’man bin Muqarrin menjawab,
“Sesungguhnya Allah telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kami. Dia mengutus
kepada kami seorang Rasul yang menunjukkan kami kebaikan dan memerintahkan kami
untuk mengamalkannya. Dia juga menunjuki kami perkara kejelekan dan mencegah
kami untuk melakukannya. Dia menjanjikan kepada kami kebaikan dunia dan akhirat
jika kami mengikutinya. Setiap kali dia mendakwahkan agama ini kepada setiap
kabilah pasti kabilah tersebut terpecah dua sebagian mengikutinya dan sebagian
mendustakannya. Hanya orang-orang tertentu yang masuk ke dalam agamanya.
Dia terus berdakwah dalam jangka waktu
yang ditentukan Allah. Hingga akhirnya dia diperintahkan untuk memerangi
orang-orang Arab yang menyelisihinya. Akhirnya dia menjalankan perintah
tersebut dan memerangi seluruh Jazirah Arab hingga seluruhnya tunduk dan masuk
ke dalam Islam dengan sukarela ataupun terpaksa.
Akhirnya kami dapat memahami keutamaan
agama yang dibawanya dibandingkan keadaan kami sebelumnya yang saling
bermusuhan dan hidup dalam kesempitan. Setelah itu dia memerintahkan kami untuk
mendakwahkan agama ini kepada umat yang terdekat dengan kami. Karena itulah
kami mendakwahi kalian untuk masuk ke dalam agama ini, agama Islam yang akan
menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, jika kalian menolak maka kalian
akan mendapati keburukan yang lebih ringan dari keburukan terakhir yaitu
membayar jizyah, jika kalian menolak maka pilihan terakhir adalah perang.
Jika kalian menerima agama kami, kami
akan meninggalkan kepada kalian kitab Allah sebagai hukum yang wajib kalian
terapkan di tengah kalian. Kami akan kembali ke negeri kami, dan uruslah negeri
kalian sendiri. Jika kalian membayar upeti kepada kami, maka kami akan
menerimanya dan kalian akan kami lindungi, jika kalian enggan maka kami akan
memerangi kalian.”
Kemudian Yazdigrid berbicara, “Aku tidak
pernah mengetahui suatu bangsa di atas muka bumi ini yang lebih buruk nasabnya,
paling sedikit jumlahnya, dan paling miskin melebihi kalian. Sebelumnya kami
memberikan kuasa kepada Qura ad-Dhawahi untuk mengurusi kalian dan melindungi
kalian agar tidak diperangi oleh musuh, dan kalian tidak sanggup untuk
menaklukkan mereka, maka jika sekarang jumlah personil kalian telah banyak
janganlah kalian merasa bangga dan merasa akan dapat mengalahkan kami. Tetapi
jika kelaparan dan kesultian hidup yang mengeluarkan kalian hingga datang ke
tempat ini, maka kami akan membagi-bagikan makanan untuk kalian, dan kami akan
menghormati kalian. Kami juga akan memberikan pakaian kepada kalian dan akan
kami angkat seorang raja yang bijaksana untuk mengurusi kalian.”
Sejenak semua terdiam, kemudian
al-Mughirah bin Zurarah bin Nabbasy al-Usaidi menjawab perkataannya hingga
membuatnya terdiam dan menuntut agar raja tersebut mau membayar jizyah dalam
keadaan hina jika tidak mau menerima Islam.
PEPERANGAN QADISIYAH
Pertempuran di Qadisiyah adalah
pertempuran terbesar yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Irak. Ketika dua
pasukan telah berhadap-hadapan, Sa’ad tertimpa penyakit irqunnisa dan bisul-bisul yang tumbuh di sekujur
tubuhnya hingga tidak dapat mengendarai kudanya. Dia hanya dapat menyaksikan
pertempuran di dalam benteng dengan bersandar di atas dadanya yang terletak di
atas bantal sambil mengatur tentaranya. Dia telah mewakilkan urusan perang ini
kepada Khalid bin Urfuthah, di sayap kanan dia menempatkan Jarir bin Abdillah
al-Bajili, dan di sayap kiri dia mengangkat Qais bin Maksyuh. Qais dan
al-Mughirah adalah pasukan bantuan yang dikirimkan Abu Ubaidah dari Syam
selesai pertempuran di Yarmuk.
Sa’ad melaksanakan shalat zuhur dengan
pasukannya kemudian dia berpidato memberikan wejangan kepada kaum muslimin
serta memberi semangat untuk berjihad dan ia membacakan ayat,
“Dan sesungguhnya telah Kami tulis di
dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini
dipusakai hamba-hamba-Ku yang shalih.” (QS. Al-Anbiya: 105)
Dia membacakan ayat Jihad dan surat yang
berkenaan dengan masalah itu. Setelah itu Sa’ad bertakbir empat kali, selesai
takbir keempat mereka langsung maju menyerbu musuh hingga malam tiba. Kemudian
mereka berhenti bertempur, sementara dari kedua belah pihak telah banyak yang
menjadi korban.
Pada pagi harinya pertempuran kembali
berkobar hingga larut malam pertempuran masih terus berjalan setelah itu mereka
berhenti. Pada pagi hari berikutnya mereka kembali bertempur hingga sore tiba.
Esok harinya (hari ketiga) mereka kembali bertempur hingga sore hari, dan malam
ini disebut dengan malam al-Harir.
Pada pagi hari yang keempat mereka
bertempur dengan sengitnya. Hari itu kaum muslimin mengalami kesulitan
disebabkan pasukan bergajah musuh membuat kuda-kuda Arab berlarian
menghindarinya. Maka para sahabat berusaha menghabisi seluruh gajah-gajah
dengan para pengendara yang mengandalikannya. Mereka berhasil melukai dan
membutakan mata-mata gajah ini. Beberapa orang dari tentara kaum muslimin
benar-benar menunjukkan kebolehannya dalam bertempur mati-matian memerangi
musuh, seperti Thulaihah al-Asadi, Amr bin Ma’di Karib, al-Qa’qa bin Amr, Jarir
bin Abdillah al-Bajili, Dhirar bin al-Khaththab, Khalid bin Urfuthah dan
lain-lainnya.
Pada waktu matahari tergelincir di hari
ini –disebut dengan hari Qadisiyah tepatnya hari senin bulan Muharram tahun 14
H. Sebagaimana yang dikatakan Saif bin Umar at-Tamimi– tiba-tiba angin
berhembus sangat kencang hingga menerbangkan tenda-tenda tentara Persia dari
tempatnya. Bahkan berhasil menerbangkan dan menjatuhkan singgasana Rustam yang
biasa didudukinya. Rustam segera menaiki kudanya dan melarikan diri, namun kaum
muslimin segera mengejarnya dan berhasil membunuhnya. Mereka juga berhasil
membunuh Jalinius yang berada di posisi depan pasukannya.
Akhirnya tentara Persia mengalami
kekalahan telak. Mereka melarikan diri kocar-kacir sementara kaum muslimin
dengan leluasa mengejar dan membunuh mereka, maka tentara Islam berhasil
membunuh 30.000 pasukan musuh pada hari itu, dan sebelumnya mereka telah
membunuh 10.000 tentara Persia, adapun jumlah pasukan Islam yang terbunuh pada
hari ini dan hari sebelumnya 2500 orang –semoga Allah merahmati mereka–. Kaum
muslimin terus mengejar pasukan persia hingga mereka masuk ke dalam kota
al-Madain tempat kediaman raja dan istana kekaisarannya.
Yang berhasil membunuh Rustam adalah
Hilal bin Ullafah at-Taimi dan yang menghabisi Jalinius adalah Zuhrah bin
Hawaiah as-Sa’di.
Adapun Sa’ad radhiallahu
‘anhu tidak dapat turut
bertempur disebabkan penyakitnya. Namun dia terus menerus memantau perkembangan
pasukannya sambil memberikan instruksi untuk kebaikan pasukannya, meski
demikian dia tidak menutup pintu istana karena keberaniannya, hingga andaikata
tenteranya lari pasti dengan mudah tentara Persia dapat menangkapnya dengan
tangan mereka tanpa ada perlawanan darinya, dan ketika itu dia membawa Istrinya
Salma binti Khasafah yang sebelumnya adalah istri dari al-Mutsanna bin
Haritsah.
Ketika sebagian kuda berlari di hari itu
istrinya sangat kaget dan takut seraya berkata, “Aduhai al-Mutsanna… mungkin
aku tidak lagi memiliki al-Mutsanna setelah hari ini,” Maka Sa’ad marah
mendengarnya dan menampar wajahnya. Istrinya menjawab, “Alangkah pengecutnya
dirimu” –dia mencelanya karena hanya duduk di istana pada waktu peperangan
berkecamuk– ini adalah suatu bentuk pembangkangan darinya padahal dialah yang
lebih mengerti udzur suaminya tidak dapat bertempur disebabkan penyakit yang
menghalanginya.
KEPAHLAWANAN DAN KEBERANIAN ABU MIHJAN
Waktu itu Abu Mihjan berada di dalam
istana. Ia dipenjarakan karena minum Khamr, dan sebelumnya dia telah
berkali-kali didera disebabkan perbuatannya tersebut. Maka kali ini Sa’ad
memerintahkan agar dia diikat dan ditahan di dalam istana. Ketika dia melihat
kuda-kuda berputar-putar di sekitar istana, maka bangkitlah kemarahan dan
semangatnya bertempur. Dia adalah salah seorang dari pahlawan yang paling
pemberani dalam peperangan. Maka Abu Mihjan bersyair menceritakan kesedihannya:
Alangkah
sedihnya hati melihat kuda-kuda perang berkeliling sekitar istana
Sementara
aku ditinggalkan sendiri dalam keadaan terbelenggu kuat
Jika
aku berdiri namun penjara besi ini tertutup
Sementara
orang-orang lain yang telah terbunuh dalam peperangan seakan-akan memanggilku
Aku
sebelumnya adalah orang yang banyak harta dan saudara
Tetapi
sekarang mereka meninggalkanku seolah-olah aku tidak lagi memiliki saudara
Setelah itu dia bermohon kepada Zubara
–Ummu Walad- milik Sa’ad agar melepaskannya dan meminjamkan Kuda Sa’ad
kepadanya. Dia bersumpah akan kembali lagi pada sore hari dan akan kembali
meletakkan kakinya dalam belenggu, maka wanita itu akhirnya melepaskannya.
Dia segera mengendarai kuda Sa’ad dan
keluar turut bertempur dengan gagah berani di medan perang. Sa’ad heran melihat
kudanya yang keluar antara percaya dan tidak menyaksikan penunggang kuda itu
adalah Abu Mihjan, karena sepengetahuannya Abu Mihjan berada di dalam istana
dalam keadaan terbelenggu. Ketika sore hari tiba Abu Mihjan kembali dan
meletakkan belenggu di kakinya. Maka Sa’ad turun dan mendapati kudanya penuh
dengan peluh keletihanm, maka dia berkata, “Kenapa begini?” Maka mereka
menyebutkan padanya kisah Abu Mihjan, maka Sa’ad senang mendengarnya dan
melepaskannya –semoga Allah meridhai keduanya-.
SURAT SA’AD KEPADA UMAR MEMBERITAKAN KEMENANGAN MEREKA
Sa’ad segera mengirim surat kepada Umar
menyampaikan kabar gembira atas kemenangan mereka, lengkap dengan jumlah
pasukan musuh maupun kaum muslimin yang terbunuh, surat tersebut dibawa oleh
Umailah al-Fazari. Isi surat itu sebagai berikut:
“Amma ba’du, sesungguhnya Allah telah
menenangkan kami atas bala tentara Persia. Ini merupakan ketetapan yang pasti
akan terjadi sebagaimana orang-orang sebelum mereka yang seagama dengan mereka.
Telah terjadi pertempuran yang cukup panjang dan alot. Persia telah membawa
pasukan dalam jumlah sangat besar untuk menghadapi kaum muslimin. Belum pernah
terlihat sebelumnya pasukan sebanyak itu. Namun seluruhnya tidak berguna dan
sisa-sia di hadapan Allah, bahkan Allah telah memindahkan kekuasaan dari mereka
ke tangan kaum muslimin. Kaum muslimin terus mengejar mereka ke manapun mereka
berlari, baik ke arah sungai, gunung ataupun lembah.
Pasukan yang terbunuh dari kaum muslimin
adalah Sa’ad bin Ubaid al-Qari, si fulan, fulan, dan lain-lain yang tidak kita
ketahui namun Allah mengetahui mereka. Mereka selalu bergemuruh membaca Alquran
ketika malam mulai tiba seolah-olah dengungan lebah, dan mereka ibarat
singa-singa yang garang di siang hari. Bahkan singa saja tidak segarang mereka.
Tidak ada kelebihan bagi orang yang mendahului mereka dengan orang yang masih
hidup di antara mereka selain mati syahid yang belum ditakdirkan untuk mereka.”
Disebutkan bahwa Umar membacakan berita
gembira ini dari atas mimbar, setelah itu Umar berkata, “Aku tidak ingin
melihat ada kekurangan dan kebutuhan kalian kecuali akan kupenuhi dan kututpi
agar kita sama-sama merasakan kelapangan. Jika kita tidak mampu melakukan itu,
kita akan berusaha hidup secukupnya dan apa adanya. Aku ingin kalian mengetahui
bahwa apa yang kalian makan dan rasakan demikian pula yang aku makan dan aku
rasakan. Aku tidak pernah mengajari kalian kecuali terus bekerja dan beramal.
Demi Allah aku bukanlah Raja yang
memperbudak kalian. Aku hanyalah hamba Allah yang dibebani amanah untuk aku
pikul. Jika segala limpahan rezeki sampai kepada kita aku kembalikan dan aku
bagi-bagikan kepada kalian hingga kalian merasa kenyang di rumah-rumah kalian,
maka aku akan berbahagia, tetapi jika aku membawa seluruh limpahan rezeki itu
ke dalam rumahku maka aku akan celaka. Walaupun senang sesaat tetapi pasti aku
akan bersedih selamanya, dan aku akan digunjing dan dicela.”
Saif berkata dari syaikhnya mereka
berkata, “Orang-orang Arab dari suku Uzaib dan Aden Abyan menunggu-nunggu hasil
peperangan Qadisiyah. Mereka mengetahui dengan pasti bahwa eksis maupun
runtuhnya kerajaan mereka sangat bergantung dari hasil peperangan ini. Mereka
mengutus para utusan mereka dari segala penjuru untuk mencari berita tentang
pertempuran tersebut.
Seluruh Negeri Irak yang sebelumnya
telah ditaklukkan oleh Khalid, kemudian mereka berkhianat membatalkan
seluruh kesepakatan dan perjanjian yang telah dibuat dengan kaum muslimin
secara sepihak, kecuali penduduk Banqiya dan Barusma serta penduduk negeri
Ullais. Usai pertempuran Qadisiyah ini seluruhnya kembali takluk kepada kaum
muslimin dan masing-masing mengklaim bahwa mereka dipaksa Persia untuk
membatalkan perjanjian, dan Persia telah mengambil hasil bumi dan lain-lainnya
dari mereka. Namun kaum muslimin sengaja menerima segala laporan mereka dalam
rangka menarik hati mereka.
Ibnu Ishaq berpendapat bahwa peristiwa
ini terjadi pada tahun 15 H. Sementara Waqidi mengklaim bahwa pertempuran ini
terjadi pada tahun 16 H. Adapun Saif bin Umar dan mayoritas ahli sirah
menyatakan bahwa kejadian ini pada tahun 14 H, sebagaimana yang diceritakan
oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, wallahu a’lam.
Selesai.
Artikel www.KisahMuslim.com
Referensi: Albidayah Wan Nihayah