Oleh: Ahmad Al Mutawakil
Melihat
liputan Al Jazeera tentang konferensi para pemimpin Negara-negara Teluk
memberikan nuansa yang sama sekali baru, dimana kesan negara-negara teluk yang
lamban, malas, pengecut dan kuno berubah 180 derajat. Semuanya dipicu oleh
perubahan karakter dan arah kebijakan raja Arab Saudi yang baru yaitu raja
Salman bin Abdul Aziz. Dalam 100 hari pertama dalam memerintah, raja ini
menghasilkan banyak keputusan-keputusan berani yang membolak balik tatanan yang
selama dianggap umat sebagai tatanan yang salah.
Raja Salman yang kini menjadi pemimpin terpopuler di Arab dan
dunia Islam – mendampingi popularitas pemimpin Turki Erdogan – membentuk dua
poros kebijakan yang memaksa membentuk peta jalan baru dalam dinamika politik
dan sosial di Timur Tengah.
Poros Pertama
Adalah politik dalam negeri, raja Salman memecat semua pejabat
pejabat tinggi Negara yang menduduki posisi posisi srategis yang dinilai
terlalu berpandangan liberal. Pejabat pejabat semacam inilah yang menjadi otak
dibelakang kudeta kudeta terhadap pemerintahan Arab yang demokratis seperti di
Mesir dan Libya, oleh para pejabat tingg iyang dipecat raja Salman itu
menganggap Mesir dan Libya terlalu Islami dan mengancam eksistensi system
kerajaan. Posisi ini dimulai dari posisi putra mahkota, lembaga tinggi Negara,
kementrian hingga level pemerintahan terbawah.
Dalam konteks yang sama, raja Salman berani menannggung resiko
terhadap kursi kekuasaannya sendiri dengan mengantarkan generasi ketiga yaitu
generasi cucu pendiri kerajaan untuk mendominasi stuktur kekuasaan di kerajaan
Saudi. Seluruh putra mahkota dan mayoritas posisi posisi tertinggi dan
strategis diestafetkan kepada generasi muda yang usianya berkisar antara 30
hingga 50 tahun. Raja Salman sudah berani memberikan posisi posisi kementerian
strategis kepada rakyat biasa yang biasanya secara tradisi diisi oleh para
pangeran seperti posisi Menlu. Baru kemarin, raja Salman memecat menteri
kesehatan dan komandan garda kerajaan karena ketahuan bersikap kasar terhadap
rakyatnya.
Dalam kebijakan ekonomi, raja Salman membuat keputusn heboh dan
bersejarah dimana pada awal hari kekuasaannya menyisihkan ratusan milyar dolar
untuk memperbaharui fasilitas fasilitas kesehatan, air, kebersihan rakyat yang
sebenarnya sudah berada di atas standar. Raja Salman menaikkan penghasilan para
pegawai menjadi 100 persen hingga dijuluki oleh rakyat Saudi sebagai raja
penghapus hutang.
Jika disimpulkan, kebijakan poros pertama raja Salman didalam
negeri Saudi adalah menciptakan transformasi Saudi kearah baru dinamika yang
lebih cepat disegala aspek kehidupan Negara. Raja Salman tidak puas dengan
julukan Saudi yang super kaya yang sekedar menikmati kemewahan, raja Salman
menginginkan wujud Saudi yang ama sekali baru yang lebih beradab, modern, kuat
menguatkan haluan Islam disegala bidang dan mengangkat harkat rakyatnya.
Poros Kedua
Adalah politik luar negeri raja Salman yang berubah drastis baik
secara pendekatan, koalisi dan orientasi. Dalam pemerintahan mendiang raja
Abdullah, Saudi cenderung reaktif terhadap perubahan sosial politik di Timur
Tengah, Saudi menjauhi poros Turki dan Qatar yang pro perubahan dan pro pan
Islam, Saudi mencap kekuatan Islamis terbesar di timur tengah Ikhwanul muslimin
sebagai teroris, Saudi mendukung penuh secara politik dan ekonomi terhadap
rezim opresif militer di Mesir, Saudi memusuhi HAMAS sebagai organisasi “semi
teroris”. Saudi terkesan lemah dan membiarkan Iran menyebarkan pengaruhnya baik
secara politis maupun ideologis/Syiah. Dalam hubungannya dengan barat, selama
masa pemerintahan mendiang raja Abdullah Saudi melihat terorisme dari kacamata
barat sepenuhnya, mirip seperti BNPT di Indonesia.
Sejak naik tahta, raja Salman merubah semua hal diatas sejak
hari pertama kekuasaannya. Perubahan itu dibumbui oleh insiden insiden yang
membetot perhatian pers, seperti sikap raja Salman yang hangat terhadap
pemimpin Turki Erdogan saat pemakaman raja Abdullah, sikap ini sangat berbeda
ditunjukkan kepada pemimpin Mesir yang sepertinya saya lihat di TV di
perlakukan seperti pengemis jalanan. Dan sikap tegas raja Salman yang
meninggalkan Obama untuk menunaikan solat fardhu saat adzan Asar mengumandang.
Banyak yang sinis terhadap insiden-insiden yang dianggap minor
dan kecil ini, ternyata belakangan banyak yang menyadari bahwa insiden insiden
ini merepresentasikan pandangan dan orientasi politik luar negeri raja Salman
yang membolak balikkan fakta dan tatanan yang selama ini melekat di muka
kerajaan Saudi sebagai sesepuh kaya yang cenderung menjaga dan mengurus diri
sendiri.
Yah, Saudi berubah, Saudi berubah menjadi muda,enerjik,kharismatik
dan berani. Secara mengejutkan, raja Salman ditengah malam meluncurkan operasi
militer “Badai Penghancur” yang bertumpu kepada kekuatan udara. Operasi militer
ini begitu fenomenal bukan semata karena kekuatan fisik militer, namun karena
bersifat sangat monumental. Baru kali ini Negara Negara Arab mampu bersatu
dibawah pimpinan Saudi tanpa pengaruh barat dalam menginisiasi sebuah operasi
militer, Amerika baru ikut terlibat menjelang operasi ini berakhir. Setelah 1
dekade lebih baru kali ini tercipta polarisasi yang luas dikalangan muslim
global yang menyatu dan mendukung sebuah operasi militer. Sasaran utama dari
operasi militer ini adalah upaya menghentikan pemaksaan penyebaran faham Syiah
di negara-negara Arab. Paham Syiah adalah paham yang selalu menghantui
eksistensi Islam selama ribuan tahun, secara politis, paham syiah adalah upaya
pengembalian kejayaan imperium Persia yang runtuh oleh khalifah Islam kedua
Umar bin Khattab, hal ini sangat mendalam bagi orang Arab dan Islam secara
umum.
Dalam arah persekutuan geopolitik, Saudi di era mendiang raja
Abdullah sempat beberapa kali mendekat ke rezim Iran demi membentuk kekuatan
untuk mengalah lawan lawan politiknya dikawasan timur tengah. Saudi di era
mendiang raja Abdulloh kerap berseteru secara politik dengan Turki dan Qatar,
bahkan dalam suatu insiden diplomatic, Saudi di Era mendiang raja Abdullah
sempat menggalang aksi penarikan duta besar Negara-negara teluk di Qatar. Kini
di era raja Salman hal ini berubah 180 derajat, hubungan Saudi dengan Turki dan
Qatar seakan akan terasa sudah dekat sekian lama. Saat operasi “badai
penghancur” Negara yang pertama di kunjungi oleh putra mahkota Saudi adalah
Turki, oleh Erdogan, Turki menyatakan menjamin kedaulatan Saudi Arabia jika
Iran mencoba coba menyentuh kedauatan Saudi Arabia. Stasiun televisi berita
nomor satu didunia yaitu Al Jazeera milik Qatar kini selalu mendukung apa yang
menjadi maneuver geopolitik Saudi sebagai satu kesatuan umat.
Adapun ke Mesir, Saudi pada masa mendiang raja Abdullah, setiap
kunjungan pemimpin kudeta Jenderal Abdul Fattah Al Sisi, jenderal yang
tangannya berlumuran darah rakyatnya sendiri ini selalu mengecup jidat mendiang
raja Abdullah setiap berkunjung ke Saudi. Ada lagi insiden yang menarik, saat
mendiang raja Abdullah berkunjung ke Mesir, diktator Al Sisi melanggar protokol
kenegaraannya sendiri dengan mendatangi mendiang raja Abdullah ke pesawatnya.
Saat raja Abdullah meninggal, sepertinya sang diktator Mesir ini sudah
mengetahui persis siapa sebenarnya raja Salman, sang diktatorpun berubah sikap,
diktator yang rajin mengecup jidat raja Abdullah ini memilih emoh mengawal
pemakaman sang raja…
Raja Salman menegaskan, bahwa dia tidak mau menjadikan lebih
banyak harta Saudi yang terpakai untuk menjadi alat penindas militer terhadap
rakyatnya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, pembantu pembantu raja Salman
kerap menyatakan apa yang terjadi di Mesir adalah “tragedi yang tidak
seharusnya terjadi”. Sikap ini memancing emosi media media Mesir yang pro
kudeta, setiap hari yang menu utamanya adalah menghina Ikhwanul Muslimin kini
sudah berganti menu menjadi menghina Saudi dan keluarga kerajaannya.
Sikap yang membuat lega banyak kalangan muslim adalah politk
Saudi terhadap Palestina. Selama satu decade lebih, Saudi diera mendiang raja
Abdullah konsisten melemahkan salahsatu basis perjuangan rakyat Palestina
terbesar yaitu HAMAS, bekerjasama dengan dictator Mesir di era Mubarak, Saudi
selalu menghimpit ruang gerak HAMAS di timur tengah.
Di era raja Salman, Saudi menegaskan akan menjaga jarak yang
sama dengan faksi apapun di Palestina. Saudi sudah meninggalkan kebiasaan
mengkriminalkan HAMAS sebagai biang kerok kekacauan politk timur tengah.
Bahkan, untuk pertama kalinya televisi pemerintah Saudi menayangkan khutbah
Jumat pemimpin HAMAS Ismail Haniyyah secara langsung, hal ini sempat memancing
kemarahan pemimpin kudeta Mesir Al Sisi yang sangat membenci HAMAS dan kerap
melancarkan fitnah bahwa HAMAS berambisi menguasai tanah Sinai yang menjadi
salahsatu provinsi di Mesir.
Dampak positif dari perubahan geopolitik Saudi ini adalah,
meningkatnya semangat dan moral perjuangan rakyat Suriah dalam menghentikan
kekejaman rezim Syiah alawiyah Al Asad. Hari ini, praktis seluruh kota kota
strategis di Suriah sudah dikuasai oleh pejuang rakyat Suriah. Salahsatu analis
geopolitk dari lembaga CSIS Amerika (bukan Indonesia) menegaskan bahwa rezim
syiah Suriah sedikit lagi akan tumbang.