Keutamaan Muawiyah, Kaum
Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? ( Bagian Pertama )
http://lamurkha.blogspot.com/2015/05/keutamaan-muawiyah-kaum-anshar-dan.html
Subhanallah, 170 Ribu Warga
Rohingya Dapat Izin Tinggal di Saudi [ Apa yang Diperbuat Syi'ah Iran dan
Ormas-ormas Islam ? hanya tereak-tereak, Pemerintah Indonesia bahkan menahan
dan menistakannya !]
Ironis di zaman umat
Islam berjumlah lebih dari satu milyar, masih ada umat Islam dianiaya
Kemana umat Islam, di saat ‘kaum muhajirin
Rohingnya’ membutuhkan pertolongan?
Oleh: Mahmud
Budi Setiawan
SUNGGUH ironis! Di zaman ketika
umat Islam berjumlah lebih dari satu milyar; di saat kebanyakan negara dunia
memegang ideologi demokrasi, yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Tapi di bumi Rohingnya, masih ada pembantaian manusia.
Hanya karena motif agama yang berbeda,
mereka dibantai sedimikian rupa, bahkan dicampakkan, diusir dari tanah
kelahirannya.
Baru-baru ini mereka sampai mengungsi di
Aceh. Warga Aceh pun gotong royong membantu mereka(baca: bbc.indonesia
20/05/2015 “Gotong Royong Warga Aceh bantu Rohingnya”). Anehnya, Indonesia
sebagai negeri Muslim terbesar di dunia -melalui Panglima TNI Jendral Moeldoko
sempat menolak kehadirannya. (baca: kompas.com, Panglima TNI Tolak Kapal
Pengungsi Rohingnya Masuk RI, tapi bersedia Beri Bantuan), dan enggan
mengijinkan pengungsi Rohingnnya masuk wilayah Indonesia dengan alasan “Urus
masyarakat Indonesia sendiri saja tidak mudah, jangan lagi dibebani persoalan
ini”. Lain halnya dengan negara Turki. (baca: Turki Kirim
Angkatan Lautnya Bantu Cari Muslim Rohingnya).
Meskipun ia bukan negara yang berpenduduk
Muslim terbesar melalui Ahmet Davutoglu dan istri Recep Tayyip Erdogan beserta
beberapa pejabatdan tentaranya dengan sigap dan cepat pergi ke Aceh untuk
membantu mereka. Baik bantuan materil maupun moril.
Apa yang dialami oleh Muslim Rohingnya yang
dibantai oleh yang ditopang agamawan mereka, mengingatkan kita kembali pada
sejarah Islam yang terjadi lebih dari empat belas abad yang lalu.
Peristiwa itu seakan terulang kembali hari
ini. Ketika Nabi Muhammad kehilangan dua orang tercintanya, sebagai pendukung
dan pembelanya (Khadijah, Abu Thalib), kaum kafir Qurays semakin berani
menyakiti, mencela, bahkan menyiksa sebagian kaum Muslimin. Pergerakan dakwah
semakin sempit. Peluang untuk menyemai dakwah semakin dihimpit.
Dalam kondisi seperti itu, ada inisiatif
nabi untuk mencari tempat yang layak untuk dijadikan lahan dakwah baru yang
lebih akomodatif terhadap dakwah Islam. Harapan pun sirna, ketika di Thaif nya
diusir bahkan dilempari batu. Rasul pun yang ketika itu ditemani Zaid bin
Haritsa kembali ke Makkah dengan tangan kosong.
Pada puncaknya, Rasulullah dihibur Allah
dengan peristiwa isra` dan mi`raj yang merubah secara drastis merubah cara
pandang Rasulullah terhadap segala peristiwa yang ia alami di Makkah.
Nabi pun bertambah optimis. Tahun
keduabelas dan ketigabelas, dengan sangat intens berdakwah akhirnya mereka
menemukan mitra dakwah yang loyal dan militan.
Ada peristiwa yang diabadikan sejarah
dengan istilah, ‘bai`ah al-`Aqabah al-`ūla(janji setia yang
pertama di bukit `Aqabah)’ dan ‘bai`ah al-`aqabah al-tsāniyah(janji
setia yang kedua di bukit `Aqabah)’. Kedua baiat ini seakan menjadi oase di
tengah padang sahara yang meliputi dakwah Islam di bumi Makkah. Pada akhir
tahun ketigabelas, datanglah perintah hijrah ke Madinah.
Umat Islam pun berbondong-bondong melaksanakan
perintah ini. Sejenak anda bisa membayangkan! Bagaimana perasaan mereka
meninggalkan tempat kelahiran mereka. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal,
sanak famili, perniagaan, kenangan manis yang telah diukir selama hidup di
Makkah. Mereka berada dalam bayang-bayang rasa cemas terhadap negeri baru yang
akan mereka singgahi, Madinah.
Meski demikian, dengan hati mantap dan
yakin mereka pegang betul firman Allah: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata”(Qs. Al-Ahzab: 36).
KETAATAN kepada perintah Allah
–bagi mereka- pasti berbuah manis. Keyakinan mereka sungguh tidak sia-sia.
Kehadiran mereka telah ditunggu-tunggu oleh penduduk Muslim Madinah. Dengan
sangat menarik, al-Qur`an mengabadikan mereka dengan nama ‘kaum Anshar(kaum
penolong)’. Anda bisa melihat bagaimana sambutan baik mereka ketika kaum
Muhajirin datang.
Al-Qur`an menceritrakan: “Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntun”(Qs.
Al-Hasyr: 9).
Salah satu contoh menarik ialah peristiwa
yang terjadi antara Sa`ad bin Rabi` dengan Abdurrahman bin `Auf. Waktu itu
–meskipun sebelumnya Abdur Rahman bin `Auf adalah saudagar kaya, namun ketika
hijrah ia telah menjadi papa(miskin)- Sa`ad bin Rabi` pun menawarkan membagikan
separuh hartanya kepada Abdurrahman, bukan hanya itu, ia yang memiliki lebih
dari seorang istri, menawarkan pada Abdurrahman agar memilih yang paling disukai,
kemudian akan diceraikan dan akan dinikahkan dengan dirinya. Mendapat tawaran
yang tulus dan menggiurkan tersebut, Abdurrahman bin `Auf tidak sampai hati
untuk mengiyakan. Ia sangat pandai menjaga harga dirinya. Ia hanya meminta
bantuan agar diberitahu pasar terdekat.
Setelah itu ia pun berniaga sampai akhirnya
menjadi saudagar sukses kembali.
Lihat betapa manisnya hubungan timbal-balik
yang romantis antara kedua sahabat muhajirin dan anshar ini. Sebuah gambaran
luar biasa yang bukan hanya bernilai kemanusiaan, persaudaraan, tapi juga
bernilai ketuhanan. Sifat rubūbiyah Allah, seolah-olah tergambar
jelas terhadap komunikasi dinamis antara kaum muhajirin dan Anshar.
Kita mungkin akan bertanya-tanya: “mengapa
Muslim Rohingnya disebut sebagai, ‘Muhajirin Abad Ini’”? Pertanyaan tersebut
bisa dijawab sebagai berikut: Antara keduanya memiliki persamaan meskipun
setting tempat dan waktunya berbeda.
Persamaannya dapat dilihat dari poin-poin
berikut: Pertama, mereka sama-sama terusir dari tanah
kelahirannya. Kedua, sebabnya pun karena perbedaan latar
agama. Ketiga, nasib yang dialaminya pun tak jauh
berbeda. Mereka diintimidasi, dikucilkan, dihinakan, dan dipersempit ruang
geraknya sehingga tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh dakwah di sana.
Masalahnya kemudian ialah, siapa yang siap
menjadi kaum Anshar (Penolong) bagi mereka? Apakah kita tega, baik dari sisi
kemanusiaan maupun agama melihat orang dibantai, diusir sedemikian rupa dari
negeri asalnya hanya karena latar agama? Kemana gaung PBB? Kemana orang-orang
yang selalu mendewa-dewakan HAM (Hak Asasi Manusia)? Bahkan kemana umat Islam,
di saat ‘kaum muhajirin Rohingnya’ membutuhkan pertolongan? Kalau negara Turki
sudah berada di garda depan dalam membantu mereka, lalu aku, kamu, kita
–sebagai Muslim- kapan menjadi ‘Anshar’ mereka?
Bukankah Muslim yang satu dengan yang lain
bagaikan satu tubuh, satu bangunan? Kalau kesadaran sebagai Muslim telah
tanggal, lalu tidakkah pintu hati kemanusiaan kita terketuk melihat mereka
mengalami nasib tidak manusiawi seperti itu?. Wallahu
a`lamu bidzātis shudūr.*
Penulis
alumni PKU UNIDA Gontor, peminat masalah Shirah