Sampai titik ini,
pembelaan blok Syiah terhadap Asaad hanya bermakna satu hal: mereka sedang
membangun kekuatan sektarian, tidak peduli jika harus berkoalisi dengan
kekuatan Timur
Oleh: Reza
Ageung S.
SEPEKAN lalu jagad Timur Tengah
dihebohkan dengan tewasnya Ali Hussein Nasif yang disebut-sebut sebagai salah
seorang petinggi senior Hizbullah, milisi berhaluan Syiah yang memainkan peran
politik di Libanon. Berita tentang di mana tepatnya lokasi tewasnya simpang
siur, pihak Hizbullah hanya menyebutkan ia “mati syahid dalam tugas jihadnya”.
Namun, menjadi rahasia umum yang tersebar dari penuturan milisi revolusioner di
Suriah, terutama FSA (Free Syrian Army) bahwa
Nasif tewas di perbatasan Suriah-Libanon, tepatnya di Homs.
Sudah bukan rahasia bahwa Hasan Nasrallah,
Sekjen Hizbullah, menyokong penuh rezim otoriter Bashar Al Asaad yang
dianggapnya memiliki sikap menentang Israel. Dalam wawancaranya dengan channel
Mubasyir pada 24 Oktober 2011 menyampaikan alasan-alasan keharusan
dipertahankannya rezim Asaad,
“Suriah adalah mitra dalam pencapaian
kemenangan gerakan-gerakan perlawanan…Suriah berdiri bersama perlawanan di
Palestina, Libanon dan Iraq,” ujar Nasrallah . “Pendirian, komitmen dan
dukungan (rezim Suriah) ini menentukan!”
Lalu Nasrallah menekankan poin-poin
pandangannya, mengapa ia membela Bashar yang jelas membantai rakyatnya sendiri.
Pertama, katanya, rezim Bashar ini adalah
rezim perlawanan (terhadap Amerika dan Israel). Kedua, presiden Bashar al-Asaad
dan kepemimpinannya di Suriah sejak hari pertama demonstrasi telah mengatakan
mau melakukan reformasi. Nasrallah juga menjelaskan analisisnya bahwa ada
tangan-tangan asing yang dibekingi Amerika yang masuk mengintervensi untuk
menciptakan instabilitas mengguling rezim perlawanan tersebut. Ia mengklaim,
yang terjadi di Suriah bukanlah rakyat yang terzalimi melawan rezim yang zalim,
melainkan pertempuran antara tentara pemerintah dengan milisi bantuan asing
yang dipersenjatai semata.
Sikap Iran tidak jauh berbeda. Dalam wawancara
dengan CNN, 24 September yang lalu di New
York bersamaan dengan momen Sidang Umum PBB, Presiden Iran Ahmadinejad
mengatakan, “Saya sebelumnya sudah mengungkapkan posisi saya secara jelas. Saya
tidak bisa ikut campur dalam urusan internal Suriah, tetapi saya bisa
mengumumkan pendapat saya. Sebagian pihak telah bekerja keras menyuplai senjata
kepada oposisi Suriah. Pemerintah Suriah juga memiliki perlengkapan untuk masuk
ke dalam konflik ini.
Dan sebagian pihak berusaha melakukan
campur tangan secara militer dalam konflik ini; kami menolak hal ini. Kami
percaya bahwa konflik ini harus diselesaikan melalui dialog tanpa campur tangan
asing. Banyak pihak yang mendorong terjadinya konflik ini. Saya sebagai
presiden sudah menyampaikan ke berbagai negara secara langsung, ‘Anda sudah
mendorong terjadinya konflik ini.’ Pemerintahan Suriah adalah pemerintahan yang
independen dan pasti akan mempertahankan pemerintahan mereka. Ketika terjadi
pertempuran, maka tidak ada ampun; jika satu pihak membunuh, pihak lain akan membalas,
dan tidak akan berhenti.”
Statemen-statemen ini semakin memperteguh
sikap blok Syiah yang memang mendukung rezim Suriah sejak awal, bahkan sebelum
meletus revolusi.
Blinded Heart
Uniknya, di laman Youtube ada postingan
tayangan yang diberi judul “anazah walau tharat” yang
berarti “kambing walaupun lalat”. Agaknya dipilih kalimat demikian untuk
menyindir pendirian Hasan Nasrallah, karena dalam sebuah tayangan di mana
seorang perempuan Suriah bertopeng menjadi host nya ini, ditampilkan cuplikan
pernyataan-pernyataan Nasralah di televisi tentang Suriah beserta bantahannya.
Ketika Nasrallah mengatakan ada ratusan syuhada pada demonstrasi (kaum Syiah,
red) di Bahrain, sang perempuan bertopeng pun meyanggahnya. “Hati Anda buta (your
heart is blind), Anda telah melihat ratusan syuhada di Bahrain dan
Anda tidak melihat satu pun syuhada di Suriah?!”
Mati sebagai syuhada telah menjadi tren
harian di Suriah. Sejak meletus demo besar-besaran di beberapa kota penting di
Suriah, sampai saat ini rezim Asaad menanggapinya dengan penangkapan,
penembakan, dan bahkan penggempuran kota-kota yang menjadi basis pejuang
revolusioner, seperti Dar’a, Homs, Hama, Aleppo, Idlib dan Damaskus.
Belum lama ini, Majalah Suara Hidayatullah
menurunkan laporan bahwa hingga saat ini sudah 20 ribu kaum Muslim yang
terbunuh, sebanyak 250 ribu orang mengungsi ke negara-negara tetangga. Di dalam
negeri Suriah ada 2 juta orang yang hidup berpindah-pindah tempat. Korban utama
dalam konflik ini ternyata bukan pemerintah, bukan pula apa yang disebut
sebagai milisi bayaran asing, melainkan rakyat sipil. Apakah blok Syiah masih
akan menutup mata dari fakta ini?
Sejatinya, sikap blok Syiah yang
mempertahankan Asaad ini adalah aneh. Memang Suriah adalah jembatan penting
bagi Iran untuk menyokong Hizbullah, front Syiah menghadapi Israel. Front
anti-Israel inilah yang menjadi alasan untuk mempertahankan jembatan tersebut.
Hizbullah sedang menggalang kebencian kaum Muslim sedunia atas Israel lewat
milisinya, sedang Iran gencar menggunakan isu “anti Israel” guna memanfaatkan
sentimen umat Islam. Kaum Muslim melihat mereka bak pahlawan yang ditunggu,
setelah kekalahan panjang umat Islam. Namun menisbatkan perjuangan umat Islam
pada Suriah dan membela Bashar al Asaad dengan mengajak semua umat Islam adalah
hal yang janggal.
Suriah adalah negara sekuler dan Asaad
adalah seorang sekuleris dan rezimnya lahir dari rahim partai sosialis Baath,
sedangkan Iran sekarang dan Hizbullah pada saat yang hampir sama lahir dari
revolusi “Islam (Syiah)” 1979 yang nota-bene perlawanan berbasis ideologi Islam
terhadap sistem sekuler-kapitalis.
Dalam revolusi itu, kita mengenal
tokoh-tokoh ideologis semacam Ali Syiariat dan Imam Khomaini yang merumuskan
ideologi Islam walaupun dalam mainframe Syiah. Maka mendukung Asaad bagi mereka
adalah sebenarnya sebuah ironi ideologis.
Selain itu, klaim bahwa Suriah menentang
pendudukan Israel atas al-Quds pun dipertanyakan, apalagi setelah al-Arabiya
membongkar sebuah dokumen rahasia yang menyingkap hubungan gelap antara Suriah
dan Israel dalam menjaga perbatasan. Dimuat di situs hidayatullah.com
(05/10/12), “Pada 3 April 2011, kurang dari satu bulan sejak aksi unjuk rasa
rakyat merebak di Suriah, kepala intelijen angkatan udara Suriah Sakr Mennoun
mengirim surat perintah kepada Kolonel Suheil Hassan untuk memimpin pasukan
menuju perbatasan Suriah-Israel, guna memastikan wilayah garis depan mereka
aman, lansir Al Arabiya (4/10/2012). Mannoun meminta agar Hassan mengamankan
wilayahnya perbatasan “dalam kerjasama dengan negara Israel.”
Semenjak diserahkannya Dataran Tinggi Golan
oleh bapaknya Bashar, Hafedz kepada Israel pada 1967, hubungan Suriah dan
Israel memang bisa dikatakan “panas-panas dingin”. Tidak jelas apakah Bashar
berniat untuk merebutnya lagi, namun, sebagaimana dimuat di sebuah blog, koran
Haretz mengabarkan adanya sejumlah perundingan rahasia antara kedua negara
antara 2004 hingga 2007. Perundingan-perundingan ini konon hendak mengarah ke
semacam Camp David antara Israel dan Mesir!
Nampaknya, berpuluh tahun ketegangan
kawasan ini tidak membuat Suriah sebagai sebuah negara mengambil sikap yang
tegas terhadap Israel, misalnya menyerang negara Yahudi itu. Pun Iran yang
rajin memamerkan kekuatan militernya setiap tahun dan menggelar hari al-Quds
setiap ramadhan, tidak kunjung merealisasikan retorikanya untuk menghapus
Israel. Dua negara kuat yang katanya anti-Israel ini tidak pernah menggerakkan
satu pun tank atau pesawat tempur ke Israel, dan hanya menghapus
tanggungjawabnya lewat bantuan kepada milisi kecil bernama Hizbullah.
Menentang Setan Yang Satu, Berkawan dengan Setan Lain
Israel dan Iran berkeras mempertahankan
Asaad karena klaim anti-Israel dan Amerika. Namun, secara kritis dunia mesti
membuka mata akan landasan penentangannya. Rezim yang dikatakan oleh Nasrallah
sebagai “rezim of resistance” ini bukanlah kekuatan berbasis Islam sedemikian
hingga memusuhi Yahudi. Ia anti-Barat lebih karena pro dengan Timur : Rusia dan
China, dua negara Dewan Keamanan gigih membela Suriah di depan ancaman Dewan
Keamanan dan PBB.
Memang, Amerika jelas berkepentingan untuk
membajak semua revolusi di Timur Tengah, termasuk Suriah. Namun, membela Asaad
dengan alasan ini sama dengan merestui pengaruh blok eks Komunis itu di negeri
Muslim. Uni Soyet dulu dan Rusia sekarang memasok hampir sebagian besar persenjataan
Suriah. Padahal, kita tahu Rusia terlibat penindasan terhadap Muslim Cechnya
selama bertahun-tahun. Rezim China juga masih berlumur darah Muslim Xinjiang.
Lalu, apa arti anti-Israel jika begitu? Jika ia memusuhi satu setan lalu
berkawan dengan setan lain, apakah layak kita pertahankan?
Sampai titik ini, pembelaan blok Syiah
terhadap Asaad hanya bermakna satu hal: mereka sedang membangun kekuatan
sektarian, tidak peduli jika harus berkoalisi dengan kekuatan Timur, dan meski
mesti menghadang kebangkitan 73,9 % Kaum Muslim Sunni Suriah dan Muslim Sunni
lainnya di kawasan Timur Tengah. Hizbullah yang pernah menuai pamor karena
membendung serangan Israel pada tahun 2006, kini sedang melumuri pakaiannya
sendiri dengan darah Muslim Suriah. Iran yang gagah membela program nuklirnya
di tengah hujan kecaman dan ancaman sanksi Barat, kini tidak lebih menjadi
sekutu sektarian belaka. Iran dan Suriah kini adalah fir’aun yang sama.
Dan Nasrallah, ia telah mendukung semua
revolusi Arab, namun tidak untuk Suriah yang dikuasai minoritas elit Alawi
Nushairiyah. Kini ketika gelombang pengungsi Suriah ke Libanon, rumah Nasralah,
sudah menembus angka 85 ribu. (UNHCR 08/10/12), retorika sang Sayed di
layar-layar televisi hanyalah membuatnya menjadi seperti Bal’am baru (Bal’am
bin Baurah adalah sosok agamawan besar Bani Israel yang bersikap membela
Fir’aun, red), di balik ilusi keberpihakan pada umat Islam.*
Penulis adalah pemerhati
masalah keagamaan