Saturday, June 20, 2015

The Innocence of Shiah

Sampai titik ini, pembelaan blok Syiah terhadap Asaad hanya bermakna satu hal: mereka sedang membangun kekuatan sektarian, tidak peduli jika harus berkoalisi dengan kekuatan Timur
Oleh: Reza Ageung S.
SEPEKAN lalu jagad Timur Tengah dihebohkan dengan tewasnya Ali Hussein Nasif yang disebut-sebut sebagai salah seorang petinggi senior Hizbullah, milisi berhaluan Syiah yang memainkan peran politik di Libanon. Berita tentang di mana tepatnya lokasi tewasnya simpang siur, pihak Hizbullah hanya menyebutkan ia “mati syahid dalam tugas jihadnya”. Namun, menjadi rahasia umum yang tersebar dari penuturan milisi revolusioner di Suriah, terutama FSA (Free Syrian Army) bahwa Nasif tewas di perbatasan Suriah-Libanon, tepatnya di Homs.
Ia diakui tewas dalam sebuah “jihad”, namun bukan jihad melawan tiran Bashar al Asaad sebagaimana sedang digelorakan oleh rakyat Suriah, melainkan “jihad” yang dimaksud justru mempertahankan Asaad.
Sudah bukan rahasia bahwa Hasan Nasrallah, Sekjen Hizbullah, menyokong penuh rezim otoriter Bashar Al Asaad yang dianggapnya memiliki sikap menentang Israel. Dalam wawancaranya dengan channel Mubasyir pada 24 Oktober 2011 menyampaikan alasan-alasan keharusan dipertahankannya rezim Asaad,
“Suriah adalah mitra dalam pencapaian kemenangan gerakan-gerakan perlawanan…Suriah berdiri bersama perlawanan di Palestina, Libanon dan Iraq,” ujar Nasrallah . “Pendirian, komitmen dan dukungan (rezim Suriah) ini menentukan!”
Lalu Nasrallah menekankan poin-poin pandangannya, mengapa ia membela Bashar yang jelas membantai rakyatnya sendiri.
Pertama, katanya, rezim Bashar ini adalah rezim perlawanan (terhadap Amerika dan Israel). Kedua, presiden Bashar al-Asaad dan kepemimpinannya di Suriah sejak hari pertama demonstrasi telah mengatakan mau melakukan reformasi. Nasrallah juga menjelaskan analisisnya bahwa ada tangan-tangan asing yang dibekingi Amerika yang masuk mengintervensi untuk menciptakan instabilitas mengguling rezim perlawanan tersebut. Ia mengklaim, yang terjadi di Suriah bukanlah rakyat yang terzalimi melawan rezim yang zalim, melainkan pertempuran antara tentara pemerintah dengan milisi bantuan asing yang dipersenjatai semata.
Sikap Iran tidak jauh berbeda. Dalam wawancara dengan CNN, 24 September yang lalu di New York bersamaan dengan momen Sidang Umum PBB, Presiden Iran Ahmadinejad mengatakan, “Saya sebelumnya sudah mengungkapkan posisi saya secara jelas. Saya tidak bisa ikut campur dalam urusan internal Suriah, tetapi saya bisa mengumumkan pendapat saya. Sebagian pihak telah bekerja keras menyuplai senjata kepada oposisi Suriah. Pemerintah Suriah juga memiliki perlengkapan untuk masuk ke dalam konflik ini.
Dan sebagian pihak berusaha melakukan campur tangan secara militer dalam konflik ini; kami menolak hal ini. Kami percaya bahwa konflik ini harus diselesaikan melalui dialog tanpa campur tangan asing. Banyak pihak yang mendorong terjadinya konflik ini. Saya sebagai presiden sudah menyampaikan ke berbagai negara secara langsung, ‘Anda sudah mendorong terjadinya konflik ini.’ Pemerintahan Suriah adalah pemerintahan yang independen dan pasti akan mempertahankan pemerintahan mereka. Ketika terjadi pertempuran, maka tidak ada ampun; jika satu pihak membunuh, pihak lain akan membalas, dan tidak akan berhenti.”
Statemen-statemen ini semakin memperteguh sikap blok Syiah yang memang mendukung rezim Suriah sejak awal, bahkan sebelum meletus revolusi.
Blinded Heart
Uniknya, di laman Youtube ada postingan tayangan yang diberi judul “anazah walau tharat” yang berarti “kambing walaupun lalat”. Agaknya dipilih kalimat demikian untuk menyindir pendirian Hasan Nasrallah, karena dalam sebuah tayangan di mana seorang perempuan Suriah bertopeng menjadi host nya ini, ditampilkan cuplikan pernyataan-pernyataan Nasralah di televisi tentang Suriah beserta bantahannya. Ketika Nasrallah mengatakan ada ratusan syuhada pada demonstrasi (kaum Syiah, red) di Bahrain, sang perempuan bertopeng pun meyanggahnya. “Hati Anda buta (your heart is blind), Anda telah melihat ratusan syuhada di Bahrain dan Anda tidak melihat satu pun syuhada di Suriah?!”
Mati sebagai syuhada telah menjadi tren harian di Suriah. Sejak meletus demo besar-besaran di beberapa kota penting di Suriah, sampai saat ini rezim Asaad menanggapinya dengan penangkapan, penembakan, dan bahkan penggempuran kota-kota yang menjadi basis pejuang revolusioner, seperti Dar’a, Homs, Hama, Aleppo, Idlib dan Damaskus.
Belum lama ini, Majalah Suara Hidayatullah menurunkan laporan bahwa hingga saat ini sudah 20 ribu kaum Muslim yang terbunuh, sebanyak 250 ribu orang mengungsi ke negara-negara tetangga. Di dalam negeri Suriah ada 2 juta orang yang hidup berpindah-pindah tempat. Korban utama dalam konflik ini ternyata bukan pemerintah, bukan pula apa yang disebut sebagai milisi bayaran asing, melainkan rakyat sipil. Apakah blok Syiah masih akan menutup mata dari fakta ini?
Sejatinya, sikap blok Syiah yang mempertahankan Asaad ini adalah aneh. Memang Suriah adalah jembatan penting bagi Iran untuk menyokong Hizbullah, front Syiah menghadapi Israel. Front anti-Israel inilah yang menjadi alasan untuk mempertahankan jembatan tersebut. Hizbullah sedang menggalang kebencian kaum Muslim sedunia atas Israel lewat milisinya, sedang Iran gencar menggunakan isu “anti Israel” guna memanfaatkan sentimen umat Islam. Kaum Muslim melihat mereka bak pahlawan yang ditunggu, setelah kekalahan panjang umat Islam. Namun menisbatkan perjuangan umat Islam pada Suriah dan membela Bashar al Asaad dengan mengajak semua umat Islam adalah hal yang janggal.
Suriah adalah negara sekuler dan Asaad adalah seorang sekuleris dan rezimnya lahir dari rahim partai sosialis Baath, sedangkan Iran sekarang dan Hizbullah pada saat yang hampir sama lahir dari revolusi “Islam (Syiah)” 1979 yang nota-bene perlawanan berbasis ideologi Islam terhadap sistem sekuler-kapitalis.
Dalam revolusi itu, kita mengenal tokoh-tokoh ideologis semacam Ali Syiariat dan Imam Khomaini yang merumuskan ideologi Islam walaupun dalam mainframe Syiah. Maka mendukung Asaad bagi mereka adalah sebenarnya sebuah ironi ideologis.
Selain itu, klaim bahwa Suriah menentang pendudukan Israel atas al-Quds pun dipertanyakan, apalagi setelah al-Arabiya membongkar sebuah dokumen rahasia yang menyingkap hubungan gelap antara Suriah dan Israel dalam menjaga perbatasan. Dimuat di situs hidayatullah.com (05/10/12), “Pada 3 April 2011, kurang dari satu bulan sejak aksi unjuk rasa rakyat merebak di Suriah, kepala intelijen angkatan udara Suriah Sakr Mennoun mengirim surat perintah kepada Kolonel Suheil Hassan untuk memimpin pasukan menuju perbatasan Suriah-Israel, guna memastikan wilayah garis depan mereka aman, lansir Al Arabiya (4/10/2012). Mannoun meminta agar Hassan mengamankan wilayahnya perbatasan “dalam kerjasama dengan negara Israel.”
Semenjak diserahkannya Dataran Tinggi Golan oleh bapaknya Bashar, Hafedz kepada Israel pada 1967, hubungan Suriah dan Israel memang bisa dikatakan “panas-panas dingin”. Tidak jelas apakah Bashar berniat untuk merebutnya lagi, namun, sebagaimana dimuat di sebuah blog, koran Haretz mengabarkan adanya sejumlah perundingan rahasia antara kedua negara antara 2004 hingga 2007. Perundingan-perundingan ini konon hendak mengarah ke semacam Camp David antara Israel dan Mesir!
Nampaknya, berpuluh tahun ketegangan kawasan ini tidak membuat Suriah sebagai sebuah negara mengambil sikap yang tegas terhadap Israel, misalnya menyerang negara Yahudi itu. Pun Iran yang rajin memamerkan kekuatan militernya setiap tahun dan menggelar hari al-Quds setiap ramadhan, tidak kunjung merealisasikan retorikanya untuk menghapus Israel. Dua negara kuat yang katanya anti-Israel ini tidak pernah menggerakkan satu pun tank atau pesawat tempur ke Israel, dan hanya menghapus tanggungjawabnya lewat bantuan kepada milisi kecil bernama Hizbullah.
Menentang Setan Yang Satu, Berkawan dengan Setan Lain
Israel dan Iran berkeras mempertahankan Asaad karena klaim anti-Israel dan Amerika. Namun, secara kritis dunia mesti membuka mata akan landasan penentangannya. Rezim yang dikatakan oleh Nasrallah sebagai “rezim of resistance” ini bukanlah kekuatan berbasis Islam sedemikian hingga memusuhi Yahudi. Ia anti-Barat lebih karena pro dengan Timur : Rusia dan China, dua negara Dewan Keamanan gigih membela Suriah di depan ancaman Dewan Keamanan dan PBB.
Memang, Amerika jelas berkepentingan untuk membajak semua revolusi di Timur Tengah, termasuk Suriah. Namun, membela Asaad dengan alasan ini sama dengan merestui pengaruh blok eks Komunis itu di negeri Muslim. Uni Soyet dulu dan Rusia sekarang memasok hampir sebagian besar persenjataan Suriah. Padahal, kita tahu Rusia terlibat penindasan terhadap Muslim Cechnya selama bertahun-tahun. Rezim China juga masih berlumur darah Muslim Xinjiang. Lalu, apa arti anti-Israel jika begitu? Jika ia memusuhi satu setan lalu berkawan dengan setan lain, apakah layak kita pertahankan?
Sampai titik ini, pembelaan blok Syiah terhadap Asaad hanya bermakna satu hal: mereka sedang membangun kekuatan sektarian, tidak peduli jika harus berkoalisi dengan kekuatan Timur, dan meski mesti menghadang kebangkitan 73,9 % Kaum Muslim Sunni Suriah dan Muslim Sunni lainnya di kawasan Timur Tengah. Hizbullah yang pernah menuai pamor karena membendung serangan Israel pada tahun 2006, kini sedang melumuri pakaiannya sendiri dengan darah Muslim Suriah. Iran yang gagah membela program nuklirnya di tengah hujan kecaman dan ancaman sanksi Barat, kini tidak lebih menjadi sekutu sektarian belaka. Iran dan Suriah kini adalah fir’aun yang sama.
Dan Nasrallah, ia telah mendukung semua revolusi Arab, namun tidak untuk Suriah yang dikuasai minoritas elit Alawi Nushairiyah. Kini ketika gelombang pengungsi Suriah ke Libanon, rumah Nasralah, sudah menembus angka 85 ribu. (UNHCR 08/10/12), retorika sang Sayed di layar-layar televisi hanyalah membuatnya menjadi seperti Bal’am baru (Bal’am bin Baurah adalah sosok agamawan besar Bani Israel yang bersikap membela Fir’aun, red), di balik ilusi keberpihakan pada umat Islam.*
Penulis adalah pemerhati masalah keagamaan