Oleh: Ilham Kadir, Mahasiwa
Pascasarjana UMI, Peneliti Lppi Indonesia Timur
POLEMIK Sunni-Syiah
adalah problem masa lalu yang tetap aktual hingga akhir zaman, keduanya tidak
akan mungkin bersatu sebagaimana minyak dan air. Bersatunya Syiah atau Sunni
dengan para pengkut agama lain jauh lebih mudah dibanding menyatukan kedua
aliran yang memiliki Tuhan dan Nabi yang sama ini. Di Iran, terutama di Taheran
dengan mudah kita temui tempat-tempat ibadat agama lain selain Islam, seperti
gereja milik umat Kristen dan Sinagoge sebagai tempat beribadah orang Yahudi, namun
tak satu pun masjid milik pengikut Sunni yang bisa diguna pakai melakukan salat
Jumat, sebagaimana di Mesir dan Malaysia yang tidak membolehkan kepada para
penganut Syiah mendirikan masjid sendiri.
Di Indonesia juga
demikian, jauh-jauh hari, demi menghindari adanya konflik antara kedua aliran
di atas, maka Departeman Agama Republik Indonesia sebagai lembaga keagamaan
resmi negara sudah mengeluarkan edaran terkait kesesata Syiah yang jika
dibiarkan tumbuh dan berkembang di negara ini akan melahirkan konflik.
Di antara
ajaran-ajaran Syiah yang dianggap menyimpang oleh Depag adalah:
a) Menganggap Abu
Bakar dan Umar telah merampas jabatan Khalifah dari pemiliknya yang sah yaitu
Ali bin Abi Thalib ra. Oleh karena itu mereka memaki dan melaknat kedua beliau tersebut.
b) Mereka memberikan
kedudukan kepada Ali ra sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.
c) Bahkan ada yang
berpendapat bahwa Ali ra dan imam-imam yang lain memiliki sifat-sifat
ketuhanan.
d) Mereka percaya
bahwa imam itu ma’shum alias terjaga dari segala kesalahan besar atau kecil.
e) Mereka tidak
mengakui adanya ijma’ kecuali apabila ijma’ itu direstui oleh imam.
f) Mereka menghalalkan
nikah mut’ah yaitu nikah yang sementara waktu, misalnya satu hari, satu minggu,
atau satu bulan, dan
g) Mereka berkeyakinan
bahwa imam-imam yang sudah meninggal akan kembali ke dunia pada akhir zaman
untuk memberantas segala perbuatan kejahatan dan menghukum lawan-lawan golongan
Syiah. Semua itu tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya. (Edaran Depag No: D/BA.01/4865/1983).
MUI juga tak mau
ketinggalan mengeluarkan rekomendasi terkait Syiah sebagai berikut. “ Mengingat
perbedaan-perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlussunnah, terutama mengenai
perbedaan tentang ‘Imamah’ (pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia menghimbau
kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlussunnah agar meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran
Syiah.” (Kumpulan Fatwa MUI, Jakarta 7 Maret 1984, hal.48-49).
Setelah peristiwa
Sampang (jilid I) akhir tahun 2011, PP Muhammadiyah, lewat sidang plenonya
menyatakan sikap terhadap kelompok Syiah, yaitu:
a) Muhammadiyah
meyakini hanya Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wasallam yang ma’shum. Oleh
sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep kesucian imam-imam (‘Ismatul aimmah)
dalam ajaran Syiah;
b) Muhammadiyah
meyakini bahwa Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wasallam tidak menunjuk
siapapun pengganti beliau sebagai khalifah. Jadi kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali radiallhu ‘anhum adalah sah, oleh sebab itu, Muhammadiyah
menolak konsep rafidah-nya Syiah;
c) Muhammadiyah
menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi
Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya;
d) Syiah hanya
menerima hadits dari jalur ahlul bait, ini berakibat ribuan hadis shahih
–walaupun riwayat Bukhari dan Muslim- ditolak oleh Syiah. Dengan demikian
banyak sekali perbedaan antara Syiah dan Ahlussunnah, baik masalah akidah, ibadah,
munakahat, dan lainnya. Oleh karena itu umat Islam pada umumnya dan warga
Muhammadiyah pada khususnya agar mewaspadai ajaran Syiah tersebut.
Di samping itu
realitas, fakta, dan kenyataan menunjukkan kepada kita bahwa di mana suatu
negara yang terdapat kelompok Syiah, hampir dapat dipastikan akan terjadi
konflik horizontal. Hal tersebut harus menjadi perhatian kita semua jika kita
ingin NKRI tetap utuh dan ukhuwah Islamiyah tetap terjaga. (Majalah Tablig
Edisi.IX/Jumadal Akhir 1433 H).
Satu-satunya jalan
untuk melerai polemik Suni-Syiah dalam pandangan ulama kontemporer masa kini,
M. Qurasih Shihab sebagaimana yang tertuang dalam bukunya “Sunni-Syiah
Bergandengan Tangan Mungkinkah?” adalah melaksanakan Keputusan Muktamar Doha
tentang dialog antara mazhab-mazhab Islam pada tgl. 20-22 Januari 2007 yang
antara lain pada butir ke-7 tertulis: “Mengajak para pemimpin dan tokoh rujukan
agama dari kalangan Sunnah dan Syiah agar tidak mengizinkan adanya penyebaran
tasyayyu’ (paham-paham syiah) di negeri-negeri (penganut aliran) Sunnah, tidak
juga penyebaran tasannun (paham-paham khas Sunnah) di negeri-negeri (penganut
aliran) Syiah, demi menghindari kekacauan dan perpecahan antara putra-putri
umat yang satu (umat Islam).
Kita tidak bisa
pungkiri jika Syiah di Indonesia telah berkembang pesat pada satu dasawarsa
terakhir ini, dan merupakan hal yang naif jika melakukan kekerasan terhadap
mereka dengan dalih bahwa mereka bertentangan dengan Sunni sebagai anutan
mayoritas umat Islam Indonesia. Yang kita harus lakukan bersama-sama adalah
mencegah penyebaran paham Syiah yang telah ditetapkan oleh Depag dan MUI
sebagai aliran sesat dan harus diwaspadai dengan cara yang bijak (bil hikmah).
Wallahu A’lam. []