Rabu, 15 Muharram 1437 H / 28 Oktober 2015
23:24
Kasus Syiah dalam kehidupan
umat Islam bukan soal kebebasan keyakinan tapi penistaan kaum syiah terhadap
keyakinan kaum muslimin. Hal ini ditegaskan oleh Harits Abu Ulya, Direktur
CIIA.
Isu HAM dimainkan gerombolan
liberal pro syiah dalam menyikapi surat edaran walikota Bogor yang melarang
kegiatan Asyura Syiah di wilayahnya. Namun gerombolan liberal bungkam saat
bersamaan syiah telah menista Al Quran dan agama Islam,
Oleh karena itu, kata Harits,
dalam kasus penistaan agama yang dilakukan entitas tertentu tidak bisa diklaim
sebagai tindakan legal hanya karena berpijak pada asumsi HAM.Atau sebaliknya,
ketika ada upaya untuk menutup pintu-pintu penistaan terhadap agama juga
divonis sebagai tindakan melanggar HAM seseorang atau entitas tertentu.”
“Isu HAM dalam masyarakat
yang beradab dan agamis tidak bisa dijadikan tameng dan godam untuk mereduksi
keadaban dan mencemari religiusitas masyarakat yang ada,” terang Harits.
Menurutnya mengambil contoh
kasus pelarangan rencana kegiatan sekelompok orang Syiah di wilayah Bogor oleh
Walikotanya dianggap melanggar HAM, maka para pengusung HAM dan ide liberalisme
itu sejatinya sama saja mengajak untuk bebas melecehkan, menghina, menistakan
dan mendiskriditkan keyakinan orang lain.
“Dalam kehidupan masyarakat
yang beradab dan agamis tidak ada satupun anjuran dan ajaran untuk saling
melecehkan dan menistakan keyakinan antar sesama mereka.
Dan dalam masyarakat yang beradab, tidak logis dan naif jika setiap individunya
harus memikul hak untuk dihina dan menghina orang lain,” paparnya.
Dia mengungkapkan, kehidupan
harmonis dalam masyarakat hanya menjadi imajinasi jika budaya yang tumbuh di
masyarakat adalah bebas dihina dan bebas menghina. Keadaan ini tabiatnya hanya
pada komunitas binatang bukan manusia yang berakal apalagi beragama.
“Oleh karena itu, isu HAM
ketika diangkat untuk menilai kasus penistaan agama sejatinya sarat dengan
motif untuk merusak kehidupan masyarakat khususnya umat Islam,” jelasnya.
Sudah selayaknya, imbuh
Harits, negara melindungi keyakinan warga negaranya dari setiap bentuk
penistaan. Baik melalui usaha preventif edukatif maupun penindakan dan
penegakan hukum terhadap setiap individu atau entitas yang melakukan penistaan.
“Dalam hidup seseorang bisa
memiliki keyakinan tertentu tapi tidak logis kemudian ia boleh menistakan
keyakinan yang dimiliki apalagi keyakinan orang lain,” tukasnya.
(azmuttaqin/arrahmah.com)
Dukung Bima Arya Larang Syiah, Hakim MK: “Kalau
Mau buat Ajaran Sendiri, Jangan Numpang pada Islam”
Kamis, 15 Muharram 1437 H / 29 Oktober 2015
07:59
Munculnya protes yang
dilakukan oleh kelompok liberal atas nama HAM terhadap keluarnya surat edaran
dari Wali Kota Bogor Bima Arya yang melarang adanya perayaan Asyuro Syiah di
Kota Bogor ditanggapi oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Patrialis Akbar.
“Saya mendukung penuh salah
satu tokoh kebanggaan kita itu (Bima Arya, red). Kalau kita berbicara hak asasi
manusia bukan berarti penyelenggaraan hak asasi manusia itu bebas
sebebas-bebasnya,”ujar Hakim MK Patrialis Akbar di depan peserta Perkumpulan
Lembaga Dakwah dan Pendidikan Islam Indonesia (PULDAPII) di
Resto Al Jazeera, Polonia, Jakarta Timur, Rabu (28/10) malam.
Patrialis menjelaskan bahwa
di dalam sila pertama sudah jelas disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Ketika kita berbicara
Ketuhanan Yang Maha Esa, semua kegiatan apapun yang bertentangan dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa itu patut dilarang,” tegasnya.
Bahkan, ia menambahkan, di
dalam sila kedua kembali dipertegas bahwa Kemanusiaan yang adil dan beradab
menjelaskan kemanusiaan.
“Kalau orang mengadakan
acara, memotong-motong tangannya, kemudiaan ia menyiksa diri, itu bukan
kemanusiaan, korelasinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa,” terangnya.
Berbicara mengenai HAM,
lanjutnya, itu dibatasi di negara ini, antara lain, tidak boleh melanggar HAM
orang lain.
“Merokok hak asasi manusia,
tapi kalau orang lain terganggu, ya tidak boleh, makanya orang merokok
tempatnya sudah dikucilkan sekarang ini,” ujarnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM
ini menegaskan, jika ingin melanggar moral dan hukum agama yang sudah disahkan,
maka itu sudah termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat.
“Kalau sesama pelanggar HAM
orang lain ya silakan, tidak boleh melanggar moral dan hukum agama. Kebebasan
dalam pasal 28 A UUD itu dibatasi juga oleh UUD yang tidak bisa bebas
sebebas-bebasnya,” tandas Patrialis.
Ia mengatakan, pelanggaran
HAM kepada manusia saja dilarang, apalagi kalau ada satu kelompok yang mengaku
sebagai pemeluk Islam, agama mayoritas, lalu melakukan penyimpangan dan
penistaan terhadap Islam yang dipeluk oleh mayoritas bangsa ini.
“Di dalam UUD sudah
dijelaskan, ada undang-undangnya. Kalau mau buat ajaran sendiri
jangan numpang pada Islam,” tegasnya. (EZ/salam-online)