Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa'
: di 09.04
Pembahasan Ahlul-Bait menjadi
pembahasan yang cukup penting untuk dikupas, karena ada di antara kaum muslimin
yang berlebih-lebihan dalam mencintai seperti Syi’ah Rafidlah, dan di antara
mereka ada yang berlebih-lebihan dalam membenci dan memusuhi seperti Nawaashib.
Adapun golongan pertengahan di antara dua sisi ekstrim tersebut adalah
Ahlus-Sunnah. Ahlus-Sunnah adalah ahlul-wasath. Mereka mencintai
Ahlul-Bait menurut apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Terjadi silang pendapat di kalangan ‘ulama
dalam hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
1. Ahlul-Bait adalah istri-istri dan
keturunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama yang memegang pendapat ini
membawakan dalil firman Allah ta’ala :
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا
مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا * وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي
بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah
Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui” [QS.
Al-Ahzaab : 32-34].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah membawakan
satu riwayat dalam tafsirnya :
من
طريق عكرمة رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله : { إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ } قال : نزلت في نساء
النبي صلى الله عليه وسلم خاصة. وقال عكرمة رضي الله عنه : من شاء بأهلته أنها
نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم.
Dari jalan ‘Ikrimah radliyallaahu
‘anhu, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, tentang firman Allah
: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
ahlul bait” ; ia berkata : “Ayat ini turun kepada istri-istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara khusus”. ‘Ikrimah berkata
: “Barangsiapa yang mau, aku tantang dia mubahalah, ayat ini turun tentang
istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam (saja)” [Tafsir Ibni Abi
Haatim hal. 3132 no. 17675; tahqiq : As’ad Muhammad Thayyib; Maktabah
Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].
Pada awal ayat,
Allah ta’ala berfirman mengenai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Begitu juga pada akhir ayat. Pada pertengahan ayat, Allah berfirman
:“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Maka, tidak ada alasan bagi
mereka yang mengatakan bahwa keluarga atau ahlul-bait yang dimaksudkan bukan istri-istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada yang mengatakan istri-istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan yang dimaksud oleh ayat,
maka itu menyelisihi siyaq (susunan) ayat sebagaimana dhahirnya.
(-) Lantas bagaimana dengan
kalimat yuthahhirakum dan ‘ankum pada ayat di atas yang
menunjukkan jama’ mudzakkar (laki-laki) ?
(+) Maka dijawab : Sesungguhnya perkara
yang disebutkan di awal ayat tertuju kepada para wanita secara khusus. Kemudian
datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita
tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita,
maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim
jama’ (mudzakkar). Hal ini adalah sesuatu hal
yang ma’lum (diketahui) dalam ilmu nahwu.
إذا
اجتمع المذكر مع المؤنث غلب المذكر
“Apabila mudzakkar (laki-laki)
dan muannats (wanita) berkumpul (dalam satu kalimat), maka
dimenangkan mudzakkar”.
Selain itu, dalil yang dibawakan ulama
yang merajihkan pendapat ini adalah hadits yang menyebutkan bacaan shalawat
dalam tasyahud :
اللهم!
صل على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما صليت على آل إبراهيم. وبارك على محمد وعلى
أزواجه وذريته. كما باركت على آل إبراهيم. إنك حميد مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada
Muhammad dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana
Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Dan berikanlah
barakah kepada Muhammad, dan kepada istri-istrinya serta keturunannya,
sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia”[HR. Al-Bukhari no. 3369 dan Muslim no. 407].
Lafadh “wa ‘alaa
azwaajihi wa dzurriyyaatihi” (dan kepada istri-istrinya serta
keturunannya) merupakan penafsir dari lafadh “wa ‘alaa aali Muhammad” (dan
kepada keluarga Muhammad) sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang
dibawakan oleh Al-Bukhari :
اللهم
صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد
مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan
kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3370].
2. Ahlul-Bait
adalah orang-orang yang diharamkan padanya menerima zakat.
Para ulama yang memegang
pendapat ini membawakan dalil sebagai berikut :
عن
يزيد بن حيان. قال: قال زيد بن أرقم: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا
خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال
"أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا
تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا
به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل
بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن
أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته
من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس.
قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan ia berkata :
Telah berkata Zaid bin Arqam : “Pada satu hari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang
disebut Khumm. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan
peringatan kepada kami : “Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia,
bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama seperti kalian. Sebentar lagi
utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan datang dan dia diperkenankan. Aku
akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang berat, yaitu : 1) Al-Qur’an yang
berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan
berpegangteguhlah kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan
Al-Qur’an - ; 2) Ahlul-Baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah
tentang Ahlul-Bait-ku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Hushain berkata kepada
Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin
Arqam menjawab : “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang
ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan
menerima zakat sepeninggal beliau”. Hushain berkata : “Siapakah mereka itu ?”.
Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far,
dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata : “Apakah mereka semua itu diharamkan
menerima zakat ?”. Zaid menjawab : “Ya” [HR. Muslim no. 2408 dan Ibnu Khuzaimah
no. 2357].
عن أبي
هريرة يقول: أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة. فجعلها في فيه. فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : " كخ كخ. ارم بها. أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
".
وفي
رواية البخاري : أما علمت أن آل محمد لا يأكلون الصدقة
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Al-Hasan bin ‘Aliy pernah mengambil sebutir kurma dari
kurma shadaqah yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kikh,
kikh, muntahkan ! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta
shadaqah (zakat) ?”.
Dan pada riwayat Al-Bukhari
: “Tidakkah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan harta
shadaqah (zakat) ?” [HR. Al-Bukhari no. 1485 dan Muslim no. 1069].
عن ابن
أبي مُلَيكة: ((أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من الصَّدقةِ فردَّتْها،
وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا تَحلُّ لنا الصَّدقة)).
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya
Khaalid bin Sa’iid pernah diutus untuk memberikan seekor sapi shadaqah (zakat)
kepada ‘Aisyah, namun ia menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak dihalalkan menerima shadaqah
(zakat)“ [HR. Ibnu Abi Syaibah3/214 dengan sanad shahih].
Juga hadits ‘Abdul-Muthallib atau
Muthallib bin Rabi’ah – terdapat perbedaan pendapat atas namanya – dan Al-Fadhl
bin Al-‘Abbas, bahwasannya mereka berdua memohon kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar ditugasi menarik
zakat. Ketika mereka meminta bagian dari harta zakat, maka beliau bersabda :
إن
الصدقة لاتنبغي لآل محمد. إنما هي أوساخ الناس
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak
diperkenankan bagi keluarga Muhammad, sebab ia hanyalah kotoran
manusia” [HR. Muslim no. 1072].
Dapat dipahami dari larangan beliau di
atas bahwa ‘Abdul-Muthallib bin Rabi’ah dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas – keduanya
berasal dari Bani Haasyim bin ‘Abdil-Manaaf – termasuk keluarga Muhammad
(Ahlul-Bait) yang terlarang menerima harta shadaqah/zakat.
Selain Bani Haasyim, sebagian ulama
(seperti Asy-Syafi’iy dan Ahmadrahimahumallah) juga menambahkan Bani
Al-Muthallib bin ‘Abdil-Manaaf sebagai Ahlul-Bait, karena
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganggap keduanya adalah satu
:
عن
جبير بن مطعم قال: مشيت أنا وعثمان بن عفان إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم،
فقلنا: يا رسول الله، أعطيت بني المطلب وتركتنا، ونحن وهم منك بمنزلة واحدة؟ فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنما بنو المطلب وبنو هاشم شيء واحد).
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata : “Aku
dan ‘Utsman bin ‘Affaan berjalan menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kami berkata : “wahai Rasulullah, Anda memberi
bagian khumus kepada Bani Al-Muthallib, namun tidak memberikannya
kepada kami. Padahal kedudukan kami dan mereka terhadapmu adalah sama”. Maka
beliau menjawab : “Sesungguhnya Bani Al-Muthallib dan Bani Haasyim adalah
satu (sama kedudukannya)” [HR. Al-Bukhari no. 3140].
Namun yang shahih, Bani Al-Muthallib
bukan termasuk orang-orang yang diharamkan menerima zakat, karena hadits di
atas hanyalah penyamaan dalam masalah khumus saja. Wallaahu
a’lam.
3. Ahlul Bait adalah ‘Ali, Fathimah,
Al-Hasan, dan Al-Husain; tanpa selain mereka.
Dalil yang mereka bawakan adalah
hadits kisaa’ :
عن عمر
بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله
عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم
سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف
ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا.
قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير".
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam” di rumah Ummu Salamah. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa
sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau
menyelimuti mereka dengan kisaa’ (kain/baju), dan beliau pun
menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’.
Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku.
Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”.
Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”.
Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas
kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah menjelaskan berkaitan
hadits kisa’ di atas :
و أهل
بيته في الأصل هم " نساؤه صلى الله عليه وسلم و فيهن الصديقة عائشة رضي الله
عنهن جميعا كما هو صريح قوله تعالى في (الأحزاب ) : *( إنما يريد الله ليذهب عنكم
الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا )*
بدليل
الآية التي قبلها و التي بعدها : *( يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن
فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا . و قرن في بيوتكن و
لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى و أقمن الصلاة و آتين الزكاة و أطعن الله و رسوله
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا . و
اذكرن
ما يتلى في بيوتكن من آيات الله و الحكمة إن الله كان لطيفا خبيرا )* , و تخصيص
الشيعة ( أهل البيت ) في الآية بعلي و فاطمة و الحسن و الحسين رضي الله عنهم دون
نسائه صلى الله عليه وسلم من تحريفهم لآيات الله تعالى انتصارا لأهوائهم كما هو
مشروح في موضعه , و حديث الكساء و ما في معناه غاية ما فيه
توسيع
دلالة الآية .
“Ahlul-Bait Nabi pada asalnya adalah
istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk pula di
dalamnya Ash-Shiddiqah ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiqradliyallaahu ‘anhum
jamii’an sebagaimana yang jelas dinashkan dalam firman Allahta’ala : “Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Bukti bila Ahlul-Bait di sini adalah
istri-istri Nabi adalah ayat sebelum dan sesudahnya : “Hai istri-istri
Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah
Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”. Sedangkan
anggapan Syi’ah (Rafidlah) bahwa Ahlul-Bait dalam ayat ini hanyalah ‘Ali,
Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum, tanpa
mengikutsertakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal
itu adalah bagian dari tahrif mereka terhadap ayat-ayat Allah yang
mereka lakukan untuk menolong, membantu, serta membela hawa nafsu dan
kebid’ahan mereka. Adapun hadits kisaa’ dan yang semakna dengan itu,
kemungkinan terbesar yang dimaksud adalah penunjukan perluasan ayat (yaitu ayat
ini umum mencakup istri-istri Nabi, berikut ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan
Al-Husain)” [Silsilah Ash-Shahiihah, 4/359-360 no. 1761].
Adapun yang paling kuat di antara ketiga
pendapat tersebut mengenai makna Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan
menerima shadaqah/zakat, yang terdiri dari : istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan keturunannya serta seluruh muslim dan muslimah
keturunan Bani Haasyim (termasuk di dalamnya keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil,
keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas). Ini adalah pendapat paling ‘adil yang
mengambil semua hadits shahih yang berkaitan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Adapun klaim Syi’ah Rafidlah bahwa Ahlul-Bait itu hanyalah
khusus pada keluarga dan keturunan ‘Ali saja - itupun mengeluarkan keturunan
Al-Hasan bin ‘Ali dan sebagian keturunan Al-Husain - tentu saja ini tidak
benar. Mereka mengambil satu hadits yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan
namun membuang hadits-hadits yang lain yang bertentangan
dengannya. Allaahul-Musta’aan.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
ketika menjelaskan ‘aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait :
ويحبون
أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث
قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد
اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى
يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل
كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم).
ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه
في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على
أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي
قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر
الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai
Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka,
serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum)
: “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau juga
berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh
bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda
: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman
sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dank arena mereka itu sanak
kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari
Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy,
dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani
Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka
adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah
istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu
‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya,
serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti
Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas
seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai
- Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan berkata :
“…kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul-Bait), menghormati, dan
memuliakan mereka selama mereka ber-ittiba’ kepada sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah,
dan istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama.
Adapun jika mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan
menjalankan syari’at agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka,
sekalipun mereka Ahlul-Bait Rasul…” [Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, hal.
148].
Oleh karena itu, orang-orang yang mengaku
punya nasab dengan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata
mereka termasuk golongan penyeru bid’ah dan penggalak kesyirikan (seperti
banyak habaaib di tanah air); kita tidak perlu mencintai mereka.
Bahkan, mereka menjadi ‘musuh’ kita dalam agama, karena pada hakekatnya mereka
merongrong dan ingin merubuhkan sendi-sendi agama dari dalam.
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbad hafidhahullah berkata :
ويَرَون
أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له
بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه
شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}،
وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي
هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa
ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan
baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan
barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak
bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling
bertaqwa” (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang
yang diriwayatkan oleh Muslim dalamShahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa
dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu
Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
Demikianlah tulisan singkat mengenai
ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy
Direvisi tanggal 25 Nopember 2009 –
[editing kalimat dan kata-kata yang salah dalam pengetikan].
elfizonanwar mengatakan...
Bani Hasyim apakah semua warganya Ahlul
Bait? Saya kira, juga tidak, apa lagi jika mereka itu tidak mempercayai Islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Saya sependapat dengan uraian pada angka 1.
Kalau Fatimahnya jelas adalah Ahlul Bait, tapi apakah Ali bin Abi Thalib dan anak-anak-nya juga Ahlul Bait?. Karena, sistem nasab dalam Islam, ya diambil dari garis keturunan bapak bukan isterinya.
Salah satu hikmat terbesar dari Allah SWY mengapa Nabi Muhammad SAW tidak diberikan-Nya anak laki-lakinya yang sempat dewasa, adalah menjaga agar 'umat'-nya tidak ada yang mengkultuskan dinasti dari Nabi Muhammad SAW. Jadi Ahlul Baitnya putus sampai kepada anak beliau yang perempuan saja!.
Kalau Fatimahnya jelas adalah Ahlul Bait, tapi apakah Ali bin Abi Thalib dan anak-anak-nya juga Ahlul Bait?. Karena, sistem nasab dalam Islam, ya diambil dari garis keturunan bapak bukan isterinya.
Salah satu hikmat terbesar dari Allah SWY mengapa Nabi Muhammad SAW tidak diberikan-Nya anak laki-lakinya yang sempat dewasa, adalah menjaga agar 'umat'-nya tidak ada yang mengkultuskan dinasti dari Nabi Muhammad SAW. Jadi Ahlul Baitnya putus sampai kepada anak beliau yang perempuan saja!.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bani Hasyim adalah Ahlul-Bait. Dan
sebagai tambahan keterangan, Bani Hasyim ini tidaklah meninggalkan keturunan
kecuali berasal 'Abdul-Muthallib.
Namun sayangnya akh,... pernyataan antum di atas menyelisihi nash dan penjelasan banyak ulama salaf sebagaimana telah dituliskan di atas....
Namun sayangnya akh,... pernyataan antum di atas menyelisihi nash dan penjelasan banyak ulama salaf sebagaimana telah dituliskan di atas....
elfizonanwar mengatakan...
Assalamualaikum WW
Apakahh benar bahwa setiap 100 (seratus) tahun akan lahir seorang mujaddid?. Lalu, siapakah mujaddid dari Ahlus Sunnah yang hidup di abad sekarang ini?. Apakah Imam Khomaini yang telah berhasil menciptakan sistem negara dan pemerintahan yang mengacu ke prinsip-prinsip ajaran Islam di Iran dapat dimasukkan sebagai seorang mujaddid Islam abad ini?
Wassalamualaikum WW
Apakahh benar bahwa setiap 100 (seratus) tahun akan lahir seorang mujaddid?. Lalu, siapakah mujaddid dari Ahlus Sunnah yang hidup di abad sekarang ini?. Apakah Imam Khomaini yang telah berhasil menciptakan sistem negara dan pemerintahan yang mengacu ke prinsip-prinsip ajaran Islam di Iran dapat dimasukkan sebagai seorang mujaddid Islam abad ini?
Wassalamualaikum WW
elfizonanwar mengatakan...
Putri Khadijah ini adalah satu-satunya
yang menurunkan garis keturunan Muhammad. Menjelang wafatnya, hanya Fathimahlah
anak Muhammad yang masih hidup. Katanya: "Siapa yang menyakiti Fathimah,
berarti menyakiti diriku". Dari Fathimahlah lahirnya keturunan yang
dinamakan "ahl al-bayt" (Sirah Muhammad Rasulullah, Fuad Hashem,
halaman 276).
Pendapat ini bisa dirujuk dengan QS. Al Ahzab: 4)
Pendapat ini bisa dirujuk dengan QS. Al Ahzab: 4)
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
telah bersabda :
إن الله يبعث لهذه الأمة في رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini setiap 100 tahun sekali orang yang akan melakukan pembaharuan (tajdiid) dalam agama" [HR. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya; shahih].
Makna tajdiid di sini secara ringkas adalah : "menghidupkan amal perbuatan yang telah lenyap dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menghidupkan kembali perkara-perkara yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah; serta menghancurkan/memberantas bid'ah dan sesuatu yang diada-adakan yang telah nampak menyebar [lihat Aunul-Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, 11/91].
Dari hadits di atas serta penjelasan mengenai tajdid, maka Al-Khomeini bukan merupakan mujaddid, karena ia adalah orang yang merobohkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta menghidupkan bid'ah-bid'ah. Bagaimana bisa disebut mujaddid jika ia mengkafirkan para shahabat yang mulia (terutama Abu Bakr dan 'Umar) ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang melecehkan dan menghina Ummul-Mukminin 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang mengklaim bahwa Al-Qur'an sekarang ini tidak asli lagi ?
Adapun komentar Anda tentang pernyataan Fathimah - jika itu Anda kaitkan dengan Ahlul-Bait - , maka memang benar bahwa ia merupakan ahlul-bait. Namun sekali lagi, hal itu bukan khusus kepadanya saja. Namun juga kepada istri-istri beliau, keluarga 'Ali, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, dan yang lainnya.
Saya kira, kita harus memperhatikan keseluruhan nash hadits jika hendak menyimpulkan satu perkataan. Jangan hanya melihat kepada satu nash saja, namun kemudian meninggalkan yang lainnya.
Abul-Jauzaa'
إن الله يبعث لهذه الأمة في رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini setiap 100 tahun sekali orang yang akan melakukan pembaharuan (tajdiid) dalam agama" [HR. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya; shahih].
Makna tajdiid di sini secara ringkas adalah : "menghidupkan amal perbuatan yang telah lenyap dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menghidupkan kembali perkara-perkara yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah; serta menghancurkan/memberantas bid'ah dan sesuatu yang diada-adakan yang telah nampak menyebar [lihat Aunul-Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, 11/91].
Dari hadits di atas serta penjelasan mengenai tajdid, maka Al-Khomeini bukan merupakan mujaddid, karena ia adalah orang yang merobohkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta menghidupkan bid'ah-bid'ah. Bagaimana bisa disebut mujaddid jika ia mengkafirkan para shahabat yang mulia (terutama Abu Bakr dan 'Umar) ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang melecehkan dan menghina Ummul-Mukminin 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang mengklaim bahwa Al-Qur'an sekarang ini tidak asli lagi ?
Adapun komentar Anda tentang pernyataan Fathimah - jika itu Anda kaitkan dengan Ahlul-Bait - , maka memang benar bahwa ia merupakan ahlul-bait. Namun sekali lagi, hal itu bukan khusus kepadanya saja. Namun juga kepada istri-istri beliau, keluarga 'Ali, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, dan yang lainnya.
Saya kira, kita harus memperhatikan keseluruhan nash hadits jika hendak menyimpulkan satu perkataan. Jangan hanya melihat kepada satu nash saja, namun kemudian meninggalkan yang lainnya.
Abul-Jauzaa'
Berpendapat ayat tersebut khusus buat
Ali, Fatimah, Hassan, Husain..saya rasa tidak menjadikan seseorang Syiah...
Jangan karena kebencian terhadap syiah semua yg meninggikan Ali, Fatimah,
Hassan dan Hussain harus di jegal...dengan membuatnya seolah2 tidak ada
kelebihan..... Saya baca tentang Sejarah pembukuan alquran....
Bagai mana sahabat-sahabat lain menolak Mushaf yg disusun oleh Ali....Kemudian di zaman Ustman mereka meninggalkan Mushaf Inbu Masud (hanya karena mushafnya menta'wilkan tentang Ali diayat rukuk)....
Bagai mana sahabat-sahabat lain menolak Mushaf yg disusun oleh Ali....Kemudian di zaman Ustman mereka meninggalkan Mushaf Inbu Masud (hanya karena mushafnya menta'wilkan tentang Ali diayat rukuk)....
elfizonanwar mengatakan...
dan Kami lebihkan (pula) derajat
sebahagian dari BAPAK-BAPAK mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara
mereka. Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul)
dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS. 6:87).
dari ayat ini jelas, nasab itu hanya dari garis bapak BUKAN DARI IBU atau PEREMPUAN. Jadi nasab dari keturunan Bunda Fatimah (anak-anaknya) ya bernasab pada Saidina Ali, Ali bukan rasul dan bukan pula nabi.
jadi 'ahlulbait' dari Nabi Muhammad SAW ya 'hanya' Bunda Fatimah, tapi Bunda Fatimah tidak ada kewenangan bernasab. krn itulah, mukjizat Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW pada Islam dan umatnya, Nabi SAW tidak diberikan anak laki-laki yang sampai dewasa apalagi mempunyai keturunan.
dari ayat ini jelas, nasab itu hanya dari garis bapak BUKAN DARI IBU atau PEREMPUAN. Jadi nasab dari keturunan Bunda Fatimah (anak-anaknya) ya bernasab pada Saidina Ali, Ali bukan rasul dan bukan pula nabi.
jadi 'ahlulbait' dari Nabi Muhammad SAW ya 'hanya' Bunda Fatimah, tapi Bunda Fatimah tidak ada kewenangan bernasab. krn itulah, mukjizat Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW pada Islam dan umatnya, Nabi SAW tidak diberikan anak laki-laki yang sampai dewasa apalagi mempunyai keturunan.
elfizonanwar mengatakan...
Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait',
rasa ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.
Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu KELUARGA RUMAHTANGGA RASULULLAH SAW. Berarti, anak Nabi SAW terakhir yang berkedudukan sebagai halulbait ya Bunda Fatimah, lalu apakah bunda Fatimah ini mempunyai hak bernasab sebagaimana dimaksud dlm QS. 33:4-5 dimana nasab keturunan itu diambul dari nasab bapaknya? Dengan demikian, anak-anak dari Bunda Fatimah tetap saja bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib bukan pada Nabi Muhammad SAW.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.
Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu KELUARGA RUMAHTANGGA RASULULLAH SAW. Berarti, anak Nabi SAW terakhir yang berkedudukan sebagai halulbait ya Bunda Fatimah, lalu apakah bunda Fatimah ini mempunyai hak bernasab sebagaimana dimaksud dlm QS. 33:4-5 dimana nasab keturunan itu diambul dari nasab bapaknya? Dengan demikian, anak-anak dari Bunda Fatimah tetap saja bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib bukan pada Nabi Muhammad SAW.
Anda cuma berkutat
pada sebagian dalil saja dan berlebihan dalam logika.
"Hai
orang-orang yang beriman. Janganlah kamu HARAM-kan apa-apa yang baik yang telah
Allah HALAL-kan bagi kamu, dan JANGANLAH KAMU MELAMPAUI BATAS. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang MELAMPAUI BATAS" (QS. 5:87)
lalu, apakah ada
anak keturunan 'nabi'???
presiden jabatan buah karya manusia, nabi jabatan anugerah Tuhan, Allah SWT
anak keturunan yang ada, bukan anak presiden atau anak nabi,
tetapi ya ada anak keturunan Bung Karno atau Pak SBY atau anak keturunan Saidina Muhammad bin Abdullah
dlm Islan yg termuat dlam Al Quran, nasab itu diambil dari keturunan bapak krn itu kita tidak boleh menutupi, menghilangkan atau mengganti nasab seseorang, ya mengganti nasab dari bapak ke ibu dsb. Allah SWT saja memuliakan 'nasab' seorang anak angkat (QS. 33:4-5). Krn itu, nasab Saidina Hasan dan Saidina Husein ya bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib.
presiden jabatan buah karya manusia, nabi jabatan anugerah Tuhan, Allah SWT
anak keturunan yang ada, bukan anak presiden atau anak nabi,
tetapi ya ada anak keturunan Bung Karno atau Pak SBY atau anak keturunan Saidina Muhammad bin Abdullah
dlm Islan yg termuat dlam Al Quran, nasab itu diambil dari keturunan bapak krn itu kita tidak boleh menutupi, menghilangkan atau mengganti nasab seseorang, ya mengganti nasab dari bapak ke ibu dsb. Allah SWT saja memuliakan 'nasab' seorang anak angkat (QS. 33:4-5). Krn itu, nasab Saidina Hasan dan Saidina Husein ya bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib.
Permasalahan
ahlul-bait adalah permasalahan yang didasarkan pada nash. Bukan pada akal saya atau akal Anda.
'Umar saat akan menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy bin Abi Thaalib berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Keinginan 'Umar untuk menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy adalah karena keinginannya agar nasab dan keturunan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ada pada (anak keturunan)-nya. Apakah Anda akan mengatakan 'Umar telah keliru karena bertentangan dengan logika yang Anda sebutkan ?
'Umar saat akan menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy bin Abi Thaalib berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Keinginan 'Umar untuk menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy adalah karena keinginannya agar nasab dan keturunan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ada pada (anak keturunan)-nya. Apakah Anda akan mengatakan 'Umar telah keliru karena bertentangan dengan logika yang Anda sebutkan ?
Sdr.Elfizonanwar , kelihatan sekali kalau
saudara tidak paham tentang yang saudara tanyakan maka sangat tepat kalau akhi
Abul Jazaa mengatakan " Anda cuma berkutat pada sebagian dalil saja dan
berlebihan dalam logika " .
Maka sebaiknya saudara baca dengan seksama isi bloq ini , kalau tidak jelas tanyakan dengan sopan maka insya Allah saudara akan memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Kalaupun memang tidak sama dalam pemahaman , memang qadarrallah tidak akan pernah bersatu antara ahlus sunnah dengan ahlu bidah .
Maka sebaiknya saudara baca dengan seksama isi bloq ini , kalau tidak jelas tanyakan dengan sopan maka insya Allah saudara akan memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Kalaupun memang tidak sama dalam pemahaman , memang qadarrallah tidak akan pernah bersatu antara ahlus sunnah dengan ahlu bidah .
elfizonanwar mengatakan...
Alhamdulillah, yang penting saya sudah
sampaikan ayat Al Quran, bahwa nasab itu tegas dari bapak dan jika ada dari
garis ibu, ya itu hanyalah Nabi Isa As. bin Maryam. Terima kasih dan Insya
Allah saya tak akan komentar ini lagi dlm blog ini.
Alhamdulillah
Alhamdulillah
1syahadat mengatakan...
Ya Ustadz,
Saya ingin bertanya ttg hadith Al Baihaqi sebagaimana yg Anda sebutkan diatas, yg kalau tidak salah kelanjutannya adalah sbb:
"Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah; akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka". Hadithnya seingat saya dari Aisyah ra. Sejauh yg saya pahami, hadith dari Thabrani juga ada yg meriwayatkan demikian.
Jadi anak dari Fatimah ra bernasab kepada Nabi saw, bukan kepada Ali ra. Kemudian Hasan dan Husain tetap dituliskan "bin Ali (bin Abu Thalib)", bukan "bin Muhammad (bin Abdullah)".
Mohon tanggapan/penjelasannya, bagaimana sebaiknya kita memahami hadith ini.
Terima kasih sebelumnya.
Saya ingin bertanya ttg hadith Al Baihaqi sebagaimana yg Anda sebutkan diatas, yg kalau tidak salah kelanjutannya adalah sbb:
"Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah; akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka". Hadithnya seingat saya dari Aisyah ra. Sejauh yg saya pahami, hadith dari Thabrani juga ada yg meriwayatkan demikian.
Jadi anak dari Fatimah ra bernasab kepada Nabi saw, bukan kepada Ali ra. Kemudian Hasan dan Husain tetap dituliskan "bin Ali (bin Abu Thalib)", bukan "bin Muhammad (bin Abdullah)".
Mohon tanggapan/penjelasannya, bagaimana sebaiknya kita memahami hadith ini.
Terima kasih sebelumnya.
mhn maaf, soal
hadits tsb. saya kira sebaiknya kita tanyakan pada ahli hadits, apakah ada
kesan bertentangan dengan QS. 33:4-5 tsb.?
Menurut hemat saya, QS. 33:4-5 jelas dan terang benderang, cobalah mhn petunjuk pada Allah SWT dimalam hari, smg Allah SWT memberi petunjuk-Nya pada kita.
Menurut hemat saya, QS. 33:4-5 jelas dan terang benderang, cobalah mhn petunjuk pada Allah SWT dimalam hari, smg Allah SWT memberi petunjuk-Nya pada kita.
"Hai
orang-orang yang beriman. Janganlah kamu HARAM-kan apa-apa yang baik yang telah
Allah HALAL-kan bagi kamu, dan JANGANLAH KAMU MELAMPAUI BATAS. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang MELAMPAUI BATAS" (QS. 5:87)
tidak apa2 jika
pertanyaan itu dilontarkan kepada ustadz abul jauza, karena jika kita tanyakan
langsung pada ulama ahli hadits akan kesulitan.
toh, nantinya ustadz abul jauza akan menjawabnya dengan membawa penukilan kitab2nya ulama ahli hadits, bukan dari ijtihad beliau sendiri.
sepengetahuan ana, begitulah metode penulisan artikel2 beliau yang pernah ana baca. setahu ana, beliau bukan seorang yang sok pintar yang memaksakan diri menjawab pertanyaan yang diluar kapasitas ilmunya. wallohu 'alam.
toh, nantinya ustadz abul jauza akan menjawabnya dengan membawa penukilan kitab2nya ulama ahli hadits, bukan dari ijtihad beliau sendiri.
sepengetahuan ana, begitulah metode penulisan artikel2 beliau yang pernah ana baca. setahu ana, beliau bukan seorang yang sok pintar yang memaksakan diri menjawab pertanyaan yang diluar kapasitas ilmunya. wallohu 'alam.
@elfizonanwar,......
tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan ayat yang Anda sebutkan
selama Anda menempatkan hadits shahih sebagai bayaan dari Al-Qur'an. Anda
bukanlah nabi atau rasul yang diutus. Oleh karena itu, pemahaman Anda harus
tunduk dengan pemahaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an. Beliau lebih tahu tentang Al-Qur'an dibandingkan saya
ataupun Anda.
Hadits tersebut shahih. Apa yang beliau katakan merupakan kekhususan beliau yang tidak dipunyai oleh selain beliau. Tidakkah Anda perhatikan lafadh hadits tentang ucapan beliau tersebut ? Hadits tersebut mengandung takhshish.
Cobalah mohon petunjuk pada Allah ta'ala di malam hari. Semoga Allah ta'ala memberikan petunjuk-Nya pada kita semua.
Hadits tersebut shahih. Apa yang beliau katakan merupakan kekhususan beliau yang tidak dipunyai oleh selain beliau. Tidakkah Anda perhatikan lafadh hadits tentang ucapan beliau tersebut ? Hadits tersebut mengandung takhshish.
Cobalah mohon petunjuk pada Allah ta'ala di malam hari. Semoga Allah ta'ala memberikan petunjuk-Nya pada kita semua.
elfizonanwar mengatakan...
Jika tidak bertentangan, Alhamdulillah
Tapi jika terjadi perbedaan, saya kira Ustad juga harus mohon kehadirat Allah SWT petunjuk, sehingga dapat yang lebih benar lagi.
Alhamdulillah, mohon maaf sudah menggangu Anda dll.
Tapi jika terjadi perbedaan, saya kira Ustad juga harus mohon kehadirat Allah SWT petunjuk, sehingga dapat yang lebih benar lagi.
Alhamdulillah, mohon maaf sudah menggangu Anda dll.
dewa mengatakan...
@elfizonanwar >> spertinya anda
perlu belajar lagi tentang agama,,atau anda belajar dengan para habaib yang
sering mengajarkan bidah-bidah dan syubhat-syubhat,,,banyak orang shalat tapi
tidak diberi petunjuk contohnya seperti anda ini,,dibilangin masih aja
ngeyel,,belajar sama ustadz yang sesuai Al Quran dan Sunnah,,biar terbuka
syubhatnya...
elfizonanwar mengatakan...
@dewa terima kasih, slmt
apakah kaum Nawaashib itu bagian dari
Syi'ah?
sebab saya kok baca, katakanya yang membunuh Al Husain adalah Nawaashib? siapakah mereka itu?
Ibnu Taimyah berkata:
“Pasal: Si Rafidhi berkata, “Dan mereka menamakan Aisyah Ummul Mukimin dan tidak menamai selainnya dengan nama itu. Mereka juga tidak menggelari Muhammad putra Abu Bakar dengan gelar Paman kaum Muslimin padahal ia sangat mulia dan dekat kedudukannya di sisi ayah dan saudarinya; Aisyah Ummul Mukminin. Sementara itu mereka mengelari Mu’awiyah dengan gelar Paman kaum Mukminin dengan alasan karena Ummu Habibah bintu Abu Sufyan saudarinya adalah seorang dari istri Nabi saw. Saudarinya Muhammad ibn Abu Bakar dan ayahnya lebih agung dari saudarinya Mu’awiyah dan ayahnya.
Jawab: Dikatakan di sini bahwa perkataannya bahwa mereka (Ahlusunnah) menamakan Aisyah ra. dengan sebutan Ummul Mukminin dan tidak menggelari istri-istri lainnya dengan gelar itu adalah sebuah kepalsuan nyata yang tampak bagi setiap orang. Aku tidak mengerti apakah orang itu dan yang semisalnya menyengaja berdusta atau Allah membutakan mata mereka karena hawa nafsu yang berlebihan sampai-sampai samar bagi mereka bahwa yang demikian itu adalah dusta?! Sementara itu mereka mengingkari terhadap sebagian orang Nawâshib bahwa ketika Husain berkata kepada mereka, “Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku ini adalah putra Fatimah putri Rasulullah saw.?!” Lalu mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak mengetahuinya!” yang demikian itu tidak mungkin mengatakannya dan tidak mungkin mengingkari nasab Husain kecuali orang yang menyengaja berdusta dan mengada-ngada. Dan barang sispa yang dibutakan Allah mata hatinya karena mengikuti hawa nafsunya, sehingga ia mengingkari yang demikian. Dan mata hawa nafsu itu buta!
Dan kaum Rafidhah lebih dahsyat pengingkarannya terhadap kebenaran dan lebih buta dibandingkan mereka (yang mengingkari nasab Husain). Di antara mereka (Rafidhah) adalah kaum Nushairiyah daan selainnya yang berpendapat bahwa Hasan dan Husain bukan putra-putra Ali, akan tetapi anak Salman al Farisi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Ali tidak mati… dan demikianlah pendapat-pendapat lain.
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak dikebumikan di samping Nabi saw.”
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Ruqayyah dan Ummu Kultsum istri Utsman itu bukan putri Nabi saw. tetapi putri Khadijah dari suami lain.
Dan kaum Syi’ah punya sikap ngeyel dan menentang kebenaran pasti lebih dahsyat dari apa yang dilakukan kaum Nawâshib yang telah membunuh Husain. Dan ini adalah bukti bahwa mereka adalah paling pembohong, paling zalim dan lebih jahil dari para pembunuh Husain.”
(Baca: Minhâj as Sunnah,4/366-368)
Ibnu Jakfari Berkata:
Jadi jelaslah bagi kita semua sesuai apa yang dikatakan Syeikhul Islamnya kaum Salafi/Wahhâbi bahwa para pembunuh Imam Husain itu adalah kaum Nawâshib… bukan kaum Syi’ah seperti yang selama ini dilontarkan mulut kaum pembenci kebenaran dari kalangan Nawâshib dan antek-antek bani Umayyah, asy Syajarah al Mal’unah fil Qur’ân/pohon terkutuk dalam Al Qur’an!
Dan segala puji bagi Allah yang telah membukakan mulut Ibnu Taimiyah untuk mengucap kebenaran walaupun tidak ia kehendaki!
Atau jangan-jangan apa yang ditegaskan Ibnu Taimyah itu digolongkan para pemujanya sebagai ijtihad yang salah?!
Atau mungkin mereka akan menuduhnya sebagai menggigau, yahjuru?!
SUmber : jakfari.wordpress.com
sebab saya kok baca, katakanya yang membunuh Al Husain adalah Nawaashib? siapakah mereka itu?
Ibnu Taimyah berkata:
“Pasal: Si Rafidhi berkata, “Dan mereka menamakan Aisyah Ummul Mukimin dan tidak menamai selainnya dengan nama itu. Mereka juga tidak menggelari Muhammad putra Abu Bakar dengan gelar Paman kaum Muslimin padahal ia sangat mulia dan dekat kedudukannya di sisi ayah dan saudarinya; Aisyah Ummul Mukminin. Sementara itu mereka mengelari Mu’awiyah dengan gelar Paman kaum Mukminin dengan alasan karena Ummu Habibah bintu Abu Sufyan saudarinya adalah seorang dari istri Nabi saw. Saudarinya Muhammad ibn Abu Bakar dan ayahnya lebih agung dari saudarinya Mu’awiyah dan ayahnya.
Jawab: Dikatakan di sini bahwa perkataannya bahwa mereka (Ahlusunnah) menamakan Aisyah ra. dengan sebutan Ummul Mukminin dan tidak menggelari istri-istri lainnya dengan gelar itu adalah sebuah kepalsuan nyata yang tampak bagi setiap orang. Aku tidak mengerti apakah orang itu dan yang semisalnya menyengaja berdusta atau Allah membutakan mata mereka karena hawa nafsu yang berlebihan sampai-sampai samar bagi mereka bahwa yang demikian itu adalah dusta?! Sementara itu mereka mengingkari terhadap sebagian orang Nawâshib bahwa ketika Husain berkata kepada mereka, “Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku ini adalah putra Fatimah putri Rasulullah saw.?!” Lalu mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak mengetahuinya!” yang demikian itu tidak mungkin mengatakannya dan tidak mungkin mengingkari nasab Husain kecuali orang yang menyengaja berdusta dan mengada-ngada. Dan barang sispa yang dibutakan Allah mata hatinya karena mengikuti hawa nafsunya, sehingga ia mengingkari yang demikian. Dan mata hawa nafsu itu buta!
Dan kaum Rafidhah lebih dahsyat pengingkarannya terhadap kebenaran dan lebih buta dibandingkan mereka (yang mengingkari nasab Husain). Di antara mereka (Rafidhah) adalah kaum Nushairiyah daan selainnya yang berpendapat bahwa Hasan dan Husain bukan putra-putra Ali, akan tetapi anak Salman al Farisi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Ali tidak mati… dan demikianlah pendapat-pendapat lain.
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak dikebumikan di samping Nabi saw.”
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Ruqayyah dan Ummu Kultsum istri Utsman itu bukan putri Nabi saw. tetapi putri Khadijah dari suami lain.
Dan kaum Syi’ah punya sikap ngeyel dan menentang kebenaran pasti lebih dahsyat dari apa yang dilakukan kaum Nawâshib yang telah membunuh Husain. Dan ini adalah bukti bahwa mereka adalah paling pembohong, paling zalim dan lebih jahil dari para pembunuh Husain.”
(Baca: Minhâj as Sunnah,4/366-368)
Ibnu Jakfari Berkata:
Jadi jelaslah bagi kita semua sesuai apa yang dikatakan Syeikhul Islamnya kaum Salafi/Wahhâbi bahwa para pembunuh Imam Husain itu adalah kaum Nawâshib… bukan kaum Syi’ah seperti yang selama ini dilontarkan mulut kaum pembenci kebenaran dari kalangan Nawâshib dan antek-antek bani Umayyah, asy Syajarah al Mal’unah fil Qur’ân/pohon terkutuk dalam Al Qur’an!
Dan segala puji bagi Allah yang telah membukakan mulut Ibnu Taimiyah untuk mengucap kebenaran walaupun tidak ia kehendaki!
Atau jangan-jangan apa yang ditegaskan Ibnu Taimyah itu digolongkan para pemujanya sebagai ijtihad yang salah?!
Atau mungkin mereka akan menuduhnya sebagai menggigau, yahjuru?!
SUmber : jakfari.wordpress.com
mohon penjelasan tentang kaum
Nawaashib...
apakah benar mereka kaum Nawaashib yang membunuh
Al Husain?
Nawaashib adalah
kaum yang membenci ahlul-bait. Dalam persepsi teologi Syi'ah, Nawaashib itu
diidentikkan dengan Ahlus-Sunnah. Ya, kita-kita ini telah menjadi bagian
Nawaashib karena tidak beragama dengan agama Syi'ah.
Adapun Ahlus-Sunnah memandang bahwa Nawaashib itu adalah kelompok ekstrim yang berlebihan dalam membenci Ahlul-Bait; kebalikan dari Syi'ah yang ekstrim dalam mencintai Ahlul-Bait.
Menilik penjelasan Ibnu Taimiyyah, maka yang membunuh adalah kelompok Nawaashib. Ini dalam pengertian,yang membunuh Al-Husain adalah orang-orang yang sangat membencinyasehingga tega membunuhnya. Dalam pengertian ini, maka itu benar. Namun kalau mengglobalkan bahwa Nawaashib itu adalah Bani Umayyah sebagaimana dapat tersimpulkan dari perkataan Ibnu ja'fariy itu, tentu saja tidak benar.
Ibnu Ja'fariy Asy-Syi'iy itu mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah dan mengartikannya sesuai dengan yang dimauinya, bukan dengan pengertian yang dimaui Ibnu Taimiyyah.
Adapun Ahlus-Sunnah memandang bahwa Nawaashib itu adalah kelompok ekstrim yang berlebihan dalam membenci Ahlul-Bait; kebalikan dari Syi'ah yang ekstrim dalam mencintai Ahlul-Bait.
Menilik penjelasan Ibnu Taimiyyah, maka yang membunuh adalah kelompok Nawaashib. Ini dalam pengertian,yang membunuh Al-Husain adalah orang-orang yang sangat membencinyasehingga tega membunuhnya. Dalam pengertian ini, maka itu benar. Namun kalau mengglobalkan bahwa Nawaashib itu adalah Bani Umayyah sebagaimana dapat tersimpulkan dari perkataan Ibnu ja'fariy itu, tentu saja tidak benar.
Ibnu Ja'fariy Asy-Syi'iy itu mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah dan mengartikannya sesuai dengan yang dimauinya, bukan dengan pengertian yang dimaui Ibnu Taimiyyah.
akar permasalahannya
bukan karena membenci 'keturunan' ahlul bait, krn setiap kita shalat selalu
kita baca shalawat pada Nabi Muhammad SAW dan ahlinya.
lalu, ahlinya siapa? lalu apakah ada 'keturunan' dari ahlul baitnya? lalu, jika ada yg merasa 'keturunan' ahlul bait, apakah tepat dasarnya, misal dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5?
krn dari beberapa artikel, kita tak temukan kajian 'keturunan' ahlul bait itu dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5.
kalau tdk mau dikaitkan dengan QS. 33:4-5, lalu apakah kita berani mengatakan bahwa Saidina Hasan dan Saidina Husein kita sebut 'bin Fatimah'? atau apakah kita berani menghilangkan identitas nasab dari Saidina Ali bin Abi Thalib atas keturunannya?
jadi masalah tersebut tidak ada kaitannya dengan pembunuhan atas Saidina Husein dsb. lalu dituding dan difitnahlah suatu kelompok tertentu.
lalu, ahlinya siapa? lalu apakah ada 'keturunan' dari ahlul baitnya? lalu, jika ada yg merasa 'keturunan' ahlul bait, apakah tepat dasarnya, misal dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5?
krn dari beberapa artikel, kita tak temukan kajian 'keturunan' ahlul bait itu dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5.
kalau tdk mau dikaitkan dengan QS. 33:4-5, lalu apakah kita berani mengatakan bahwa Saidina Hasan dan Saidina Husein kita sebut 'bin Fatimah'? atau apakah kita berani menghilangkan identitas nasab dari Saidina Ali bin Abi Thalib atas keturunannya?
jadi masalah tersebut tidak ada kaitannya dengan pembunuhan atas Saidina Husein dsb. lalu dituding dan difitnahlah suatu kelompok tertentu.
Bicara dengan Anda
memang 'susah'. Anda cuma mengulang-ulang propaganda pemahaman Anda sebagaimana
komentar sebelumnya. Pemahaman Anda terhadap ayat Al-Qur'an hanyalah menurut
standar akal Anda semata dengan menafikkan sunnah (al-hadits). Bagi saya,
pemahaman model Anda ini jelas sekalitertolak, alias tidak terpakai. Maaf.
jika anda 'menolak'
dasar QS. 33:4-5 silahkan saja, tp tolong anda cari artikel ttg seputar 'ahlul
bait' yang di dlm artikel itu ada memuat kaitannya dengan QS. 33:4-5.
Ayat tsb. dan ayat-ayat ttg 'ahlul bait' seperti yg pernah sy kemukan terdahulu adalah kunci untuk kita menjawab masalah pengertian 'keturunan'. kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
terima kasih atas kesedian anda untuk berdialog dng saya, jika ada tulisan sy yang tdk berkenan ya saya mhn maaf. dan jika ada sy salah menafsirkan makna dan hakikat al Quran tsb. hanya kehadirat Allah SWT sy mohon ampunan-Nya. yang jelas, ayat-ayat tsb. sudah hamba sampaikan ya Allah, termasuk para pembaca web ini. smg Allah SWT memberkahi dean memberi kita petunjuk-Nya.
Ayat tsb. dan ayat-ayat ttg 'ahlul bait' seperti yg pernah sy kemukan terdahulu adalah kunci untuk kita menjawab masalah pengertian 'keturunan'. kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
terima kasih atas kesedian anda untuk berdialog dng saya, jika ada tulisan sy yang tdk berkenan ya saya mhn maaf. dan jika ada sy salah menafsirkan makna dan hakikat al Quran tsb. hanya kehadirat Allah SWT sy mohon ampunan-Nya. yang jelas, ayat-ayat tsb. sudah hamba sampaikan ya Allah, termasuk para pembaca web ini. smg Allah SWT memberkahi dean memberi kita petunjuk-Nya.
Saya menolak logika
aneh Anda dalam memahami ayat. Dan Anda nyuruh saya nyari artikel yang
'membela' pendapat Anda itu ? ya, paling-paling saya akan menemui artikel yang
Anda tulis yang inti pokoknya sebagaimana telah Anda tulis di atas.
Dalam QS. 33 ayat 4-5 (ayat 5 khususnya) adalah perintah untuk memanggil anak dengan memakai bapak-bapak mereka. Saya sepakat bahwa seorang anak itu pada asalnya dinasabkan kepada bapaknya. Namun itu bukan sebagai batasan mas... Bukankah seorang anak yang dihasilkan dari hubungan zina itu dinasabkan kepada ibunya ? Itu kita peroleh dari mana ? Ya dari hadits. Dan ingat, bahasan Ahlul-Bait ini bukan sekedar dalam sekup ini saja. Dan dari mana saya menolak bahwa cucu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tidak dinasabkan kepada 'Aliy ? Aneh Anda ini. Al-Hasan dan Al-Husain itu ya dinasabkan kepada 'Aliy. Riwayat hadits menjadi saksi. 'Aliy bin Abi Thaalib pun kunyahnya Abul-Hasan. Tapi di sini, ta'rif Ahlul-Bait bukan sekedar itu ? Saya rasa saya tidak perlu mengulangnya....
Perkataan Anda :
kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
adalah kesalahan fatal. Kalau tidak dengan hadits, lantas dengan apa ? Dengan pemahaman Anda ?
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Anda (dan kita semua) yang telah berupaya 'menyampaikan' apa yang Anda anggap benar, padahal hakekatnya adalah kekeliruan.
Baarakallaahu fiikum.
Dalam QS. 33 ayat 4-5 (ayat 5 khususnya) adalah perintah untuk memanggil anak dengan memakai bapak-bapak mereka. Saya sepakat bahwa seorang anak itu pada asalnya dinasabkan kepada bapaknya. Namun itu bukan sebagai batasan mas... Bukankah seorang anak yang dihasilkan dari hubungan zina itu dinasabkan kepada ibunya ? Itu kita peroleh dari mana ? Ya dari hadits. Dan ingat, bahasan Ahlul-Bait ini bukan sekedar dalam sekup ini saja. Dan dari mana saya menolak bahwa cucu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tidak dinasabkan kepada 'Aliy ? Aneh Anda ini. Al-Hasan dan Al-Husain itu ya dinasabkan kepada 'Aliy. Riwayat hadits menjadi saksi. 'Aliy bin Abi Thaalib pun kunyahnya Abul-Hasan. Tapi di sini, ta'rif Ahlul-Bait bukan sekedar itu ? Saya rasa saya tidak perlu mengulangnya....
Perkataan Anda :
kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
adalah kesalahan fatal. Kalau tidak dengan hadits, lantas dengan apa ? Dengan pemahaman Anda ?
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Anda (dan kita semua) yang telah berupaya 'menyampaikan' apa yang Anda anggap benar, padahal hakekatnya adalah kekeliruan.
Baarakallaahu fiikum.
@elfizonanwar,
anda ga fair, harusny anda bawakan artikel yg anda maksud dan dpt mendukung pendapat anda, kok anda malah menyuruh ustadz abul jauzaa untuk mencarinya?? Aneh anda ini...
anda ga fair, harusny anda bawakan artikel yg anda maksud dan dpt mendukung pendapat anda, kok anda malah menyuruh ustadz abul jauzaa untuk mencarinya?? Aneh anda ini...
Yang menyanggah,
yang membantah, bawalah dalil bantahannya
@anonim, sy kira sy
fair, krn sy memakai nama lengkap, dan @ al ikhlas sy yakin dng makna yang
tegas dan jelas bahwa dlm prinsip ajaran Islam khususnya Al Quran, maka QS.
33:4-5 sdh merupakan 'penegasan' Allah SWT bahwa jalur nasab itu hanya dari
kaum lelaki, kecuali terhadap Nabi Isa As. yg berhak menggunakan 'bin'-nya adalah
Maryam. Silahkan anda banding dengan dalil lainnya, monggo.
Mhn maaf, jika yang sy kemukakan ini salah, maka itu tanggungjawab saya kehadirat Allah SWT, maka dihadapan para pembaca ini 'saya mohon ampunan-Mu Ya Allah'. sebaliknya, jika ini 'benar'. maka 'memang' pasti ayat-ayat Allah SWT Maha Benar, kita aja yang menafsirkan 'salah'. seandainya tafsiran kita salah ya sportif dan fair kita mohon ampuan-Nya saja.
Mhn maaf, jika yang sy kemukakan ini salah, maka itu tanggungjawab saya kehadirat Allah SWT, maka dihadapan para pembaca ini 'saya mohon ampunan-Mu Ya Allah'. sebaliknya, jika ini 'benar'. maka 'memang' pasti ayat-ayat Allah SWT Maha Benar, kita aja yang menafsirkan 'salah'. seandainya tafsiran kita salah ya sportif dan fair kita mohon ampuan-Nya saja.
Ya, Anda memang akan
bertanggung jawab dengan penafsiran Anda itu. Semoga Allah ta'ala mengampuni
Anda....
terima kasih, semoga
Allah SWT mengampuni saya, dan semoga tafsiran sy membela QS. 33:4-5 'benar'.
Sy mhn kiranya disampaikan kebenaran ini karena ini ayat Al Quran.
...Katakanlah (Wahai
Rasul): "Aku tidak meminta kepadamu (umatku) sesuatu upahpun atas seruanku
(ajaranku) kecuali Mawaddah fiil Qurba (kecintaan pada Ahlul Baitku)...
(42:23). Orang2 kafir (hatinya tertutup), sama saja bagi mereka, apakah engkau
beri peringatan kpd mereka atw tidak, mereka tak akan beriman. (2:6). Orang2 yg
mmprdebatkan ayat2 Allah tanpa alasan yg sampai kpd mereka. Amat besar
kemurkaan (bagi mereka) di sisi ALLAH Dan Di Sisi ORANG-ORANG yg BERIMAN (kata
majemuk). Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yg sombong dan sewenang-wenang.
(40:35)
Sholawat (Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'alii Muhammad)
Sholawat (Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'alii Muhammad)
Orang yang tak cinta
pada Ahlul Bait itu, adalah mereka yang tak mau mengucapkan sholat pada nabi
Muhammad SAW dan keluarganya, siapa keluarganya, ya sampai (terakhir) ya pada
Bunda Fatimah.
Sholawat yang benar itu, ya yang sesuai dengan ajaran nabi kita sendiri, bukan yg dibuat-buat oleh 'orang' bukan nabi. Sholawat yang dibuat oleh manusia bukan nabi, silahkan tapi jangan berlebihan yang akhir punye kecendrungan pengkultusan melampaui batas.
Mengapa Ahlul Baitnya sampai Bunda Fatimah, ya itulah mukjizat Allah SWT sehingga dipertegas dengan prinsip-prinsip nasab sebagaimana termuat dalam QS. 33:4-5 tsb.
Kalau tidak dibatasi masalah Ahlul Bait, maka terbukti sampai saat ini sangat banyak yang 'ngaku' keturunan Ahlul Bait, kerennya 'ngaku keturunan nabi' ada yg dari Sunni, ada yang dari Syiah, ada yang dr Yaman,Indonesia dsb. ya kapan selesainya, missi Islam yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW itu sampai kiamat.
Sholawat yang benar itu, ya yang sesuai dengan ajaran nabi kita sendiri, bukan yg dibuat-buat oleh 'orang' bukan nabi. Sholawat yang dibuat oleh manusia bukan nabi, silahkan tapi jangan berlebihan yang akhir punye kecendrungan pengkultusan melampaui batas.
Mengapa Ahlul Baitnya sampai Bunda Fatimah, ya itulah mukjizat Allah SWT sehingga dipertegas dengan prinsip-prinsip nasab sebagaimana termuat dalam QS. 33:4-5 tsb.
Kalau tidak dibatasi masalah Ahlul Bait, maka terbukti sampai saat ini sangat banyak yang 'ngaku' keturunan Ahlul Bait, kerennya 'ngaku keturunan nabi' ada yg dari Sunni, ada yang dari Syiah, ada yang dr Yaman,Indonesia dsb. ya kapan selesainya, missi Islam yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW itu sampai kiamat.
Cyclic : Tidak perlu
Anda mengulang-ulang statement Anda di sini. Di atas sudah penuh itu akan
komentar Anda yang nadanya sama. Tidak ada yang baru.
Intinya, itu hanyalah deskripsi ilusi Anda atas pemahaman terhadap ayat, tanpa mau menengok hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Walhasil : Tertolak.
Intinya, itu hanyalah deskripsi ilusi Anda atas pemahaman terhadap ayat, tanpa mau menengok hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Walhasil : Tertolak.
Mr. elfizonanwar,
Biarkan mereka mnafsirkan dalil versi mereka sendiri. Anda sdh brusaha, sebagian yg mmbaca dialog trbuka ini sdh melihat dr awal akan sadar mana yg hak, mana yg doktrinasi.
Kebenaran adl Hak dg cahaya yg terangnya melebihi sinar matahari, kecintaan pd ahlul bayt adl Kebenaran.
Hak itu milik Muhammad saaw, dan beliau Milik Allah swt.
Wasalam, Doni
Biarkan mereka mnafsirkan dalil versi mereka sendiri. Anda sdh brusaha, sebagian yg mmbaca dialog trbuka ini sdh melihat dr awal akan sadar mana yg hak, mana yg doktrinasi.
Kebenaran adl Hak dg cahaya yg terangnya melebihi sinar matahari, kecintaan pd ahlul bayt adl Kebenaran.
Hak itu milik Muhammad saaw, dan beliau Milik Allah swt.
Wasalam, Doni
Fredy mengatakan...
Assalamu'alaykum.
Maaf, bila yang punya blog berkenan, saya mau urun pendapat. =)
Sebetulnya ada kesamaan tujuan antara pendapat ust. Abul Jauzaa, dengan ust. elfizonanwar.
yaitu pengingkaran beliau berdua terhadap pengkultusan individu, khususnya dari kalangan ahl bayt.
Ust. elfizonanwar membatasi ahl bayt Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam hanya smpai fatimah r.a. (tanpa menerima nash yang lain),
sebab di khawatirkan akan banyak yang mengaku-aku sebagai ahl bayt, kemudian mengkultuskan mereka, baik ahl bayt yang masih hidup, maupun ahl bayt yang sudah berganti status menjadi ahl qubr.
*dan pengkultusan yang beliau khawatirkan memang terbukti.
Sementara, ust. Abul Jauzaa memakai pendapat Ahl as-Sunnah di dalam perkara ini, dengan menerima semua nash yang berkaitan dengan perkara tsb.
dan hasilnya ahl bayt tidak hanya sampai sayyidah fatimah saja, tetapi masih ada ahl bayt sampai hari kiamat.
Namun begitu, ustadz berdua sama2 mengingkari perbuatan sebagian kaum muslimin yang ghuluw terhadap ahl bayt.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk ust. elfizonanwar ::
Saya mau nyumbang pendapat neyh tadz, siapa tau bisa jadi pertimbangan. =)
Ust. tentunya beriman dengan hari akhir/kiamat kan?
kalo iya, ust. tentunya faham tanda2 hari kiamat, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi.
Nah, salah satu tanda datangnya hari akhir yang belum/akan datang ialah :
Turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam
Untuk apa?
Salah satu tujuan turunnya Beliau -'alaihis salaam- selain menghancurkan salib, yaitu untuk membunuh al-Masih Dajjal.
Lalu apa yangg di lakukan oleh Nabi Isa 'alaihis salaam pertama kali?
Beliau -'alaihis salaam- mengikuti syariat Rasulullah Shallallahu 'alaihiy wasallam, dengan sholat di belakang Imam Mahdi.
Lantas, siapakah Imam Mahdi itu?
Imam Mahdi adalah ahl bayt Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, yang namanya sama dengan nama Rasulullah, yaitu Muhammad bin 'Abdullah.
Jadi kesimpulannnya, ahl bayt masih ada sampai hari kiamat, tidak terbatas sampai fatimah r.a. saja.
Kecuali antum tidak mengimani turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam, atau munculnya Imam Mahdi pada akhir zaman. ;)
*untuk nash yang berkaitan dengan Nabi Isa 'alaihis salaam dan Imam Mahdi saya serahkan urusannya kepada Ust. Abul Jauzaa, agar dapat me-rely informasinya (kalo sempat)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk Ust. Abul Jauzaa ::
di posting atau tidaknya komentar ini, saya ucapkan Jazakallahu khayr atas ilmu yang sudah dibagikan kepada kaum muslimin.
*khususnya saya =)
Maaf, bila yang punya blog berkenan, saya mau urun pendapat. =)
Sebetulnya ada kesamaan tujuan antara pendapat ust. Abul Jauzaa, dengan ust. elfizonanwar.
yaitu pengingkaran beliau berdua terhadap pengkultusan individu, khususnya dari kalangan ahl bayt.
Ust. elfizonanwar membatasi ahl bayt Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam hanya smpai fatimah r.a. (tanpa menerima nash yang lain),
sebab di khawatirkan akan banyak yang mengaku-aku sebagai ahl bayt, kemudian mengkultuskan mereka, baik ahl bayt yang masih hidup, maupun ahl bayt yang sudah berganti status menjadi ahl qubr.
*dan pengkultusan yang beliau khawatirkan memang terbukti.
Sementara, ust. Abul Jauzaa memakai pendapat Ahl as-Sunnah di dalam perkara ini, dengan menerima semua nash yang berkaitan dengan perkara tsb.
dan hasilnya ahl bayt tidak hanya sampai sayyidah fatimah saja, tetapi masih ada ahl bayt sampai hari kiamat.
Namun begitu, ustadz berdua sama2 mengingkari perbuatan sebagian kaum muslimin yang ghuluw terhadap ahl bayt.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk ust. elfizonanwar ::
Saya mau nyumbang pendapat neyh tadz, siapa tau bisa jadi pertimbangan. =)
Ust. tentunya beriman dengan hari akhir/kiamat kan?
kalo iya, ust. tentunya faham tanda2 hari kiamat, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi.
Nah, salah satu tanda datangnya hari akhir yang belum/akan datang ialah :
Turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam
Untuk apa?
Salah satu tujuan turunnya Beliau -'alaihis salaam- selain menghancurkan salib, yaitu untuk membunuh al-Masih Dajjal.
Lalu apa yangg di lakukan oleh Nabi Isa 'alaihis salaam pertama kali?
Beliau -'alaihis salaam- mengikuti syariat Rasulullah Shallallahu 'alaihiy wasallam, dengan sholat di belakang Imam Mahdi.
Lantas, siapakah Imam Mahdi itu?
Imam Mahdi adalah ahl bayt Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, yang namanya sama dengan nama Rasulullah, yaitu Muhammad bin 'Abdullah.
Jadi kesimpulannnya, ahl bayt masih ada sampai hari kiamat, tidak terbatas sampai fatimah r.a. saja.
Kecuali antum tidak mengimani turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam, atau munculnya Imam Mahdi pada akhir zaman. ;)
*untuk nash yang berkaitan dengan Nabi Isa 'alaihis salaam dan Imam Mahdi saya serahkan urusannya kepada Ust. Abul Jauzaa, agar dapat me-rely informasinya (kalo sempat)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk Ust. Abul Jauzaa ::
di posting atau tidaknya komentar ini, saya ucapkan Jazakallahu khayr atas ilmu yang sudah dibagikan kepada kaum muslimin.
*khususnya saya =)
Fredy mengatakan...
@ Anonim, 22 April 2011 16:59
a.k.a Doni.
Maaf mas, antum keliru jika mengira kaum muslimin yang menerima eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat (tidak membatasi sampai fatimah r.a. ) telah terdoktrinasi. =)
Kalo boleh tau, terdoktrinasi dalam hal apa ?
Ust. Abul Jauzaa, dan kaum muslimin yang lain meyakini eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat di karenakan adanya petunjuk dari al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits).
dengan kata lain pendapat mereka (termasuk saya) ada dalilnya, ada dasarnya. =)
Sementara pendapat ust. elfozonanwar diatas hanya berdasarkan pada sebagian dalil saja.
Beliau ndak menerima dalil yang lain (hadits).
Kalo kaum muslimin yang menerima HADITS tentang keberadaan ahl bayt antum anggap terdoktrinasi.
saya mau nanya neyh,,,
antum sholat kan ?
kalo iya -alkhamdulillah-, dari mana antum dapatkan gerakan-gerakan sholat (bersedekap, ruku', sujud, salam, dsb)..?
bukankah semua gerakan tersebut dari hadits Nabi ?
Apakah orang yang mengimani sesuatu atau melakukan sesuatu, di karenakan adanya informasi dari HADITS shahih di anggap terdoktrinasi ?
al-Qur'an maupun Hadits berasal dari satu sumber, yaitu dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
Keduanya sama-sama di bukukan, hanya saja untuk hadits harus di teliti (sanad.nya) karena tidak semua kitab hadits berisikan hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, melainkan ada yang lemah atau palsu.
Salah satu penyebab munculnya hadits palsu yaa itu ...pengkultusan terhadap mazhab maupun individu.
al-Qur'an dan hadits shahih adalah hujjah, yang terangnya melebihi matahari di siang bolong. =)
Wallahu ta'ala a'lam
a.k.a Doni.
Maaf mas, antum keliru jika mengira kaum muslimin yang menerima eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat (tidak membatasi sampai fatimah r.a. ) telah terdoktrinasi. =)
Kalo boleh tau, terdoktrinasi dalam hal apa ?
Ust. Abul Jauzaa, dan kaum muslimin yang lain meyakini eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat di karenakan adanya petunjuk dari al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits).
dengan kata lain pendapat mereka (termasuk saya) ada dalilnya, ada dasarnya. =)
Sementara pendapat ust. elfozonanwar diatas hanya berdasarkan pada sebagian dalil saja.
Beliau ndak menerima dalil yang lain (hadits).
Kalo kaum muslimin yang menerima HADITS tentang keberadaan ahl bayt antum anggap terdoktrinasi.
saya mau nanya neyh,,,
antum sholat kan ?
kalo iya -alkhamdulillah-, dari mana antum dapatkan gerakan-gerakan sholat (bersedekap, ruku', sujud, salam, dsb)..?
bukankah semua gerakan tersebut dari hadits Nabi ?
Apakah orang yang mengimani sesuatu atau melakukan sesuatu, di karenakan adanya informasi dari HADITS shahih di anggap terdoktrinasi ?
al-Qur'an maupun Hadits berasal dari satu sumber, yaitu dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
Keduanya sama-sama di bukukan, hanya saja untuk hadits harus di teliti (sanad.nya) karena tidak semua kitab hadits berisikan hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, melainkan ada yang lemah atau palsu.
Salah satu penyebab munculnya hadits palsu yaa itu ...pengkultusan terhadap mazhab maupun individu.
al-Qur'an dan hadits shahih adalah hujjah, yang terangnya melebihi matahari di siang bolong. =)
Wallahu ta'ala a'lam
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Telah banyak bahasan tentang Ahlul-Bait
dalam Blog ini, baik dengan judul khusus atau include dalam bahasan lain.
Barangkali ada yang mau baca-baca :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/04/berlepas-dirinya-imam-ahlul-bait.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/hadits-tsaqalain-ahlul-bait-jaminan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/hak-hak-ahlul-bait-menurut-ahlus-sunnah.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/imam-mahdi-mu-bukan-imam-mahdi-ku.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/konsisten-dalam-inkonsisten.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/al-husain-bin-ali-bin-abi-thalib.html
dan yang lainnya.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/04/berlepas-dirinya-imam-ahlul-bait.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/hadits-tsaqalain-ahlul-bait-jaminan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/hak-hak-ahlul-bait-menurut-ahlus-sunnah.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/imam-mahdi-mu-bukan-imam-mahdi-ku.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/konsisten-dalam-inkonsisten.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/al-husain-bin-ali-bin-abi-thalib.html
dan yang lainnya.
اصبر
ياأستاذ..فعليك أن تكون ملما بمفاتيحه هذه النفس البشرية، لتسبر أغوارها ولتغلغل
إلى أعماقها....لأن فيها الإقبال والإحجام وفيها الحير والشر، فيها الطاعة
المعصية، وفيها الفجور والتقوى....hehe,,walaupun sebenernya ana juga bacanya
uagak kuesel... kepada mas elfizonanwar yang terhormat... Al Qur'an dan Hadits
itu sama2 menjadi sumber hukum, dan tidak bertentangan, karena sama2 dari
Allah... makanya kalo ada hadits dan qur'an,kedua-duanya di ambil.. bukan
Qur'an di ambil hadits di buang... nanti kalo kita comot sebagian tinggalin
sebagian, jangan2 kita mbaca al maidah 44,,bisa jadi tukang ngebom kita...
seraya dengan penuh keyakinan bilang, "ini lho jelas yang tidak berhukum
dengan hukum Allah maka dia....!" wal'iyadzubillah...
Ane Nyimak
Gan... mengatakan...
antara Syaikh. elfizonanwar dan Ust. Abul
Jauzaa....kelihatannya akan sulit menemui titik temu.
(maaf sekedar bertanya bukan menghukumi)untuk syaikh elfizonanwar...apakah anda salah satu anggota penganut faham "inkarussunnah"..? kalau benar anda penganut paham tersebut maka jelaslah sudah sampai kapanpun diskusi ini tidak akan menemui titik temu...
apabila bukan demikian lalu dimanakah letak hadits terhadap alqur'an bagi anda...?
maaf (lagi) mungkin penyebab tidak di dapatinya titik temu antara Syaikh. elfizonanwar dan Ust. Abul Jauzaa adalah karena yang di inginkan Syaikh. elfizonanwar adalah pengertian ahlul bait secara BAHASA sedangkan yang di inginkan Ust. Abul Jauzaa adalah pengertian ahlul bait secara ISTILAH/SYAR'I...jadi ya...ga nyambung2...
sama halnya dengan orang yang mengartikan makna shalat yang satunya mengingikan arti secara bahasa yang satunya lagi mengartikannya secara ISTILAH /SYAR'I...
tapi tetap saja di sini yang saya anggap pendapatnya kurang tepat ialah pendapatnya Syaikh. elfizonanwar ...semoga anda kembali kejalan yang benar.
(maaf sekedar bertanya bukan menghukumi)untuk syaikh elfizonanwar...apakah anda salah satu anggota penganut faham "inkarussunnah"..? kalau benar anda penganut paham tersebut maka jelaslah sudah sampai kapanpun diskusi ini tidak akan menemui titik temu...
apabila bukan demikian lalu dimanakah letak hadits terhadap alqur'an bagi anda...?
maaf (lagi) mungkin penyebab tidak di dapatinya titik temu antara Syaikh. elfizonanwar dan Ust. Abul Jauzaa adalah karena yang di inginkan Syaikh. elfizonanwar adalah pengertian ahlul bait secara BAHASA sedangkan yang di inginkan Ust. Abul Jauzaa adalah pengertian ahlul bait secara ISTILAH/SYAR'I...jadi ya...ga nyambung2...
sama halnya dengan orang yang mengartikan makna shalat yang satunya mengingikan arti secara bahasa yang satunya lagi mengartikannya secara ISTILAH /SYAR'I...
tapi tetap saja di sini yang saya anggap pendapatnya kurang tepat ialah pendapatnya Syaikh. elfizonanwar ...semoga anda kembali kejalan yang benar.
elfizonanwar mengatakan...
aneh ya jika sy dituding inkarsunnah,
tapi ya terserah anda, yang pasti Allah SWT Maha Mengetahui.
satu kata yang kita lontarkan atau tulis di sini ya samahalnya dengan satu ucapan yang kita ucapkan. Allah SWT Maha Mengetahui dan malaikat dikanan kiri kita akan mencatat ucapan/kata kita ini.
soal 'keturunan' nabi atau ahlul bait (baca keturunan) ya monggo saja, yang penting temuan dalam Al Quran ini sudah saya sampaikan. soal percaya atau tidak ya tanyakan langsung pada Al Quran itu sendiri.
semoga Allah SWT memberkahi dan memberikan petunjuk dan yang penting ampunan-Nya pada saya yang penuh dosa ini.
satu kata yang kita lontarkan atau tulis di sini ya samahalnya dengan satu ucapan yang kita ucapkan. Allah SWT Maha Mengetahui dan malaikat dikanan kiri kita akan mencatat ucapan/kata kita ini.
soal 'keturunan' nabi atau ahlul bait (baca keturunan) ya monggo saja, yang penting temuan dalam Al Quran ini sudah saya sampaikan. soal percaya atau tidak ya tanyakan langsung pada Al Quran itu sendiri.
semoga Allah SWT memberkahi dan memberikan petunjuk dan yang penting ampunan-Nya pada saya yang penuh dosa ini.
ahmad nugroho mengatakan...
mohon ijin posting atas sedikit
pengetahuan saya..
Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan.
Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan.
Maaf atas ketidaktahuan saya
Apa nggak sebaiknya dibedakan antara "ahlul bait" dengan "keturunan nabi".
Dengan demikian maka "keturunan ahlul bait masih ada (dari jalur Ali ra), dan keturunan nabi Muhammad SAW sudah terputus, karena nabi tidak mempunyai anak laki-laki(?)
Apa nggak sebaiknya dibedakan antara "ahlul bait" dengan "keturunan nabi".
Dengan demikian maka "keturunan ahlul bait masih ada (dari jalur Ali ra), dan keturunan nabi Muhammad SAW sudah terputus, karena nabi tidak mempunyai anak laki-laki(?)
greats_brother@yahoo.co.id mengatakan...
buat ente nih,, @@elfizonanwar yang
mengedapankan akal dalam memahami nash. apalagi cuma pake terjemahan.
saya ambil contoh: keluarga besar presiden... di situ disebutkan menantu (padahal bukan keturunan)dari laki2, keponakan (padahal bukan keturunan, saudara kandung padahal bukan keturunan laki2 si bpk presiden), cucu presiden dari anaknya yang perempuan, dll kenapa disebut sebagai bagian dari keluarga (AHLUL BAIT) si bpk presiden??????? Ente ngerti gak sih maksud ahlul bait??
kalau ente merasa paling benar jawab deh pertanyaan ane,, sebelum islam datang keluarga besar sudah familiar di kalangan kerajaan di indonesia sampai sekarang berbentuk REPUBLIK.
saya ambil contoh: keluarga besar presiden... di situ disebutkan menantu (padahal bukan keturunan)dari laki2, keponakan (padahal bukan keturunan, saudara kandung padahal bukan keturunan laki2 si bpk presiden), cucu presiden dari anaknya yang perempuan, dll kenapa disebut sebagai bagian dari keluarga (AHLUL BAIT) si bpk presiden??????? Ente ngerti gak sih maksud ahlul bait??
kalau ente merasa paling benar jawab deh pertanyaan ane,, sebelum islam datang keluarga besar sudah familiar di kalangan kerajaan di indonesia sampai sekarang berbentuk REPUBLIK.
elfizonanwar mengatakan...
pada sahabatku yang kurang sependapat
atau kurang senang dng pendapat sy di atas, ya silahkan saja, Insya Allah yang
benar itu akan dinampakkan pada kita. kini yang ngaku keturunan Ahl;ul Bait ada
yg versi agama syiah, ada versi agama Islam, ada versi lainnya, lalu mana yang
benar dan berhak itu???
Salah satu doktrin teologis
primer bagi kaum Syi’ah menyatakan bahwa agama ini hanya akan tegak dengan wasilah (perantaraan)
Ahlul-Bait. (Saat lawan bicara mereka adalah Ahlus-Sunnah), salah satu dalil
penting yang mereka kemukakan adalah :
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا
جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه
وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي
وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami
Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin
‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah
bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku
tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian
tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan ‘itrahku ahlul-baitku.
Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Diriwayatkan
oleh Ya’qub bin Sufyaan Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh,
1/536].
Yahya, menurut pen-tahqiq kitab Al-Ma’rifah (Dr.
Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy hafidhahullah) adalah Ibnu Yahyaa bin Bakiir, seorang perawi tsiqah.
Sedangkan menurut jalan sanad Al-Haakim, ia adalah Ibnul-Mughiirah As-Sa’diy
Ar-Raaziy. Abu Haatim mengatakan ia perawi shaduuq [Al-Jarh
wat-Ta’diil, 9/191 no. 798]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [9/no.
16357]. Adapun perawi lain adalah perawi Shahihain, kecuali Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, ia hanya dipakai oleh Muslim
saja.
Al-Haakim (sebagaimana
diisyaratkan sebelumnya) juga meriwayatkan dengan sanad dari Abu Bakr Muhammad
bin Al-Husain bin Mushlih Al-Faqiih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Yahyaa bin
Al-Mughiirah As-Sa’diy, dan seterusnya sama dengan sanad seperti di atas; akan
tetapi dengan lafadh :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله
وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض هذا حديث صحيح الإسناد على شرط
الشيخين ولم يخرجاه
“Sesungguhnya aku tinggalkan
kepada kalian Ats-Tsaqalain, (yaitu) : Kitabullah dan
ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di
Al-Haudl” [Al-Mustadrak – bersama At-Tatabbu’ –
3/173-174 no. 4774. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sanadnya berdasarkan
persyaratan Al-Bukhariy dan Muslim, namun keduanya tidak
mengeluarkannya/meriwayatkannya”].
Atas dasar hadits ini, maka
mereka menanamkan satu pemahaman bahwa Ahlul-Bait haruslahma’shum,
terbebas dari kesalahan besar maupun kecil. Jaminan keselamatan (sebagaimana
dalam hadits Zaid bin Arqam di atas) – menurut mereka – hanya ada pada
pribadi-pribadi yang mendapat jaminan perlindungan Allah dari melakukan dosa
dan kesalahan (baik sengaja ataupun tidak sengaja). Inilah secara ringkas
‘maunya’ mereka.
Apabila kita tengok cara
pendalilan mereka (Syi’ah), sangat aneh rasanya jika mereka bersusah payah
memakai dalil-dalil Ahlus-Sunnah (dalam kitab-kitab yang dipakai Ahlus-Sunnah).
Mungkin mereka tahu jika mereka memakai nash-nash dari kitab-kitab Syi’ah akan
menimbulkan reaksi penolakan dari Ahlus-Sunnah atas jajanan ‘aqidah yang coba
mereka tawarkan, karena para imam/ulama telah menjelaskan pondasi dasar agama
Syi’ah adalah kedustaan.
Sehubungan pendalilan berasal
dari sumber Ahlus-Sunnah, tentu kita pun akan memahami, menyikapi, (mencoba)
mengkritisnya, dan mengkomparasikannya dengan dalil-dalil lain yang diakui
eksistensinya oleh Ahlus-Sunnah.
Pemahaman ala mereka
menimbulkan banyak ke-musykil-an bagi Ahlus-Sunnah, di antaranya adalah
:
Definisi Ahlul-Bait.
Dalam blog ini telah ada
pembahasan sebelumnya mengenai Ahlul-Bait [silakan baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html]. Jika mereka menggunakan dalil-dalil Ahlus-Sunnah, apakah mereka
sepakat untuk mengambil keseluruhan dalil, atau sebagian dalil saja yang
kebetulan sesuai dengan ‘aqidah dan ‘selera’ mereka ? Kita lihat. Dalil-dalil
Ahlus-Sunnah menunjukkan bahwa Ahlul-Bait meliputi istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan keturunannya, keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil,
keluarga Ja’far, serta keluarga ‘Abbas. Sebagian ulama lain menambahkan :
seluruh keturunan Bani Hasyim, baik muslim dan muslimah. Merekalah golongan
yang diharamkan menerima harta zakat. Apakah Syi’ah sepakat dengan dalil-dalil
Ahlus-Sunnah ini ? Ternyata tidak. Mereka telah bersepakat bahwa para istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk bagian
Ahlul-Bait [lihat Tafsir Al-Qummiy 2/293, Shawaarimul-Muhriqah oleh
At-Tustariy hal. 146, dan Siyarul-Aimmatil-Itsnay ‘Asyar hal. 13].
Ath-Thabaathabaa’iy berkata :
فالآية لم تكن بحسب النزول جزء
اً من آيات نساء النبي ولا متَّصلة بها و إنما وضعت بينها إمّا بأمرٍ من النبي أو
عند التأليف بعد الرحلة
“Ayat tersebut (QS. Al-Ahzaab :
33 atau ayat tahthiir kepada alul-bait)[1] bukan merupakan bagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang
istri-istri Nabi dan tidak ada kaitan dengannya. Hanya saja, ia ditaruh di
antara ayat-ayat tersebut, mungkin dengan dasar perintah Nabi atau (ditaruh)
pada waktu Al-Qur’an dituliskan setelah beliau wafat (oleh para shahabat)”
[Al-Miizaan, 16/321 - http://www.ahl-ul-bait.com/newlib/Quran/almizan/almizan16/f7-16.htm].
Al-Majlisiy berkata :
فقد ظهر من تلك الأخبار
المتواترة من الجانبين بطلان القول بأن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم داخلة في
الآية، وكذا القول بعمومها لجميع الأقراب، ولا عبرة بما قاله زيد بن أرقم من نفسه
مع معارضته بالأخبار المتواترة.
“Sungguh telah jelas/nyata dari
khabar-khabar mutawatir tersebut sisi kebathilan pendapat yang mengatakan istri-istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam cakupan ayat
(QS. Al-Ahzaab : 33). Begitu pula dengan perkataan/pendapat yang menyatakan
keumumannya bagi seluruh keluarga dekat. Tidak ada ‘ibrah (yang dapat diambil) dari perkataan Zaid bin Arqam atas dirinya
karena bertentangan dengan khabar-khabar mutawatir” [Bihaarul-Anwaar, 35/333].[2]
Bahkan dalam Tafsir
Farman ‘Aliy (tafsir yang dipakai kaum Syi’ah kontemporer – pada
komentar QS. Al-Ahzaab : 33) dikatakan bahwa jika kita menghilangkan ayattahthir (penyucian
terhadap ahlul-bait) dari tengah ayat, maka ayat yang berbicara tentang
istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih
baik dan lebih pas dibanding jika ada ayat tahthir tersebut.[3]
Padahal secara bahasa dan
syari’at, kata ahlun (أَهْلٌ) dari
seorang laki-laki itu termasuk istri-istrinya. Ayatullah Al-Khuu’iy – seorang
ulama Syi’ah dari ‘Iraq – sendiri menjelaskan bahwa kata ahlun dari
seseorang itu mencakup istri-istrinya.[4] Tapi entah kenapa jika dihubungkan
dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikeluarkan dari cakupan
maknanya. Mengherankan !
Inilah wujud-wujud pengingkaran
kaum Syi’ah tentang eksistensi istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa
sallam sebagai bagian dari Ahlul-Bait beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Aasyuur rahimahullah (w.
1393 H) – ulama Ahlus-Sunnah – berkata :
أهل البيت : أزواج النبي صلى
الله عليه وسلم، والخطاب موجه إليهن، وكذلك ما قبله وما بعده. لا يخالط أحداً
شك.وقد تلقف الشيعة حديث الكساء، فغصبوا وصف أهل البيت، وقصروه على فاطمة وزوجها
وابنيها عليهم رضوان، وزعموا أنَّ أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لسن من أهل
البيت.وهذه مصادمة للقرآن؛ بجعل هذه الآية حشواً بين ما خوطب به أزواج النبي صلى
الله عليه وسلم، وليس في لفظ حديث الكساء ما يقتضي قصر هذا الوصف على أهل الكساء؛
إذ ليس في قوله : (هؤلاء أهل بيتي) صيغة قصر، وهو كقوله تعالى عن إبراهيم أنَّه
قال : ((إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيْفِي)) [الحجر : ٦٨]. ليس معناه : ليس لي ضيف غيرهم.وهو
يقتضي أن تكون الآية مبتورة عمَّا قبلها وما بعدها.
“Ahlul-Bait adalah para istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembicaraan tersebut
diarahkan kepada mereka. Demikian pula apa yang sebelum dan setelahnya, tidak
ada keraguan menyelubungi seorang pun. Kalangan Syi’ah telah menelan hadits kisaa’ (kain),
lalu merampas kriteria ahlul-bait dengan membatasinya pada Faathimah, suami
(‘Aliy bin Abi Thaalib), dan kedua puteranya (Al-Hasan dan Al-Husain)
ridlwanullahu ‘alihim, lalu mereka mengklaim bahwa para istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah termasuk
ahlul-bait. Dan ini berbenturan dengan Al-Qur’an, dengan menjadikan ayat ini
sebagai ‘sesuatu yang sia-sia’ di tengah nasihat-nasihat yang diarahkan kepada
para istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara di dalam lafadh
hadits kisaa’ itu tidak terdapat hal yang menuntut pembatasan
kriteria ini pada orang-orang yang berada di dalam kisaa’ itu. Sebab di dalam
sabda beliau : ‘Mereka adalah ahlul-bait-ku’ ; tidak
terdapat shighah qashr (pembatasan). Ia seperti firman-Nya tentang
Ibrahim ‘alaihis-salaam, bahwa ia berkata : ‘Sesungguhnya
mereka adalah tamuku’(QS. Al-Hijr : 68). Maknanya bukan : ‘Aku tidak
memiliki tamu selain mereka’. Dan ia berkonsekuensi pada terpenggalnya ayat
tersebut dari apa yang sebelum dan setelahnya” [At-Tahriir wat-Tanwiir,
21/247-248].
Ketika mereka menggunakan
hadits Zaid bin Arqam (yang diriwayatkan oleh Al-Fasawiy rahimahullah di
atas) untuk berpegang teguh pada ahlul-bait yang jika kita berpegang-teguh
dengannya, maka kita tidak akan tersesat; ternyata pada waktu yang bersamaan
orang Syi’ah menolak hadits Zaid bin Arqam[5] yang mengatakan bahwa istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul-Bait Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam !! Pilih-pilih hadits ?!!?!….
Tidak istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tidak keluarga ‘Aqil, tidak keluarga Ja’far, tidak pula
keluarga ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Yang diakui hanyalah
keluarga ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu saja.
Tentang shahabat mulia
Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu – paman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam – kaum Syi’ah berkata melalui riwayat dusta yang
mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي بن الحسين أنه قرأ: إن
قول الله عز وجل: ((وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى
وَأَضَلُّ سَبِيلاً)) ، وقول الله عز وجل: ((وَلا يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ
أَرَدْتُ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ)) نزلتا فيه
Dari ‘Aliy bin Al-Husain,
bahwasanya ia membaca : “Sesungguhnya firman Allah‘azza wa jalla : ‘Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)’ (QS.
Al-Israa’ : 72) dan ‘Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku
hendak memberi nasihat kepada kamu’ (QS. Huud : 34); keduanya turun
mengenainya (‘Al-‘Abbas)” [Rijaalul-Kasysyiy hal. 52-53].
Al-Maamiqaaniy Asy-Syi’iy
menambahkan kedustaannya :
وأقول : الأخبار في حقه مختلفة
جداً، والذامة منها أقوى دلالة.
“Aku katakan : Khabar-khabar
mengenainya sangat bertentangan. Dan khabar yang mencelanya lebih kuat
penunjukannya” [Tanqiihul-Maqaal, 2/126-128].
Mengenai Turjumanul-Qur’an,
‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu, Syi’ah berkata tentangnya
melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي أنه قال: (اللهم العن
ابني فلان وأعم أبصارهما كما أعميت قلوبهما).
Dari ‘Aliy bahwasannya ia
berkata : “Ya Allah, laknatlah dua anak dari si Fulan dan butakanlah mata
keduanya sebagaimana telah Engkau butakan hati keduanya” [Rijaalul-Kasysyiy,
hal. 52]. Muhaqqiq kitab ini berkata dalam hasyiyah-nya
:
ابني فلان كناية عن عبد الله
وعبيد الله ابني العباس عم النبي صلى الله عليه وسلم
“Dua anak dari si Fulan itu adalah
kinayah dari ‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbas paman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam”.
Itulah perkataan keji mereka
pada ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sisi pandang ‘aqidah Ahlus-Sunnah !!
Mereka membatasi cakupan
Ahlul-Bait berdasarkan pandangan sempit mereka akan hadits kisaa’ :
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي
صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد
الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى
الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم
قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا
معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير“.
Dari ‘Umar bin Abi Salamah,
anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat
ini (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu
beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun
menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’.
Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah
Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka
sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka
wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu,[6] dan kamu
di atas kebaikan” [HR.
At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Jumhur Syi’ah menyatakan bahwa
yang dimaksud ahlul-bait adalah orang-orang yang diselubungi kisaa’ oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits di
atas.[7]
Namun ternyata jika kita pahami
sesuai dengan kemauan mereka, maka keluarga dan/atau keturunan ‘Aliy, Al-Hasan
ataupun Al-Husain pun juga masih dipilih-pilih. Tidak semua diakui sebagai
Ahlul-Bait. Dalam praktek,…. sebagian di antara mereka pun diliputi oleh
celaan-celaan. Otomatis ditendang dari ahlul-bait Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Sedikit di antara banyak yang bisa dicontohkan :
Isma’il bin Ja’far Ash-Shaadiq – saudara Musa Al-Kadhiim
– rahimahumallaah; ada riwayat yang disandarkan pada Ja’far Ash-Shaadiq
bahwa ia pernah berkata tentangnya :
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه
أحداً من آبائي
“Sesungguhnya ia telah durhaka.
Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku”
[Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Al-Hasan bin Al-Hasan (Al-Mutsannaa)
dalam kitab Tanqiihul-Maqaal (1/35 & 273) ditemukan
riwayat yang berbeda-beda apakah ia kafir atau fasik. Coba kita perhatikan
pilihan antara kafir dan fasiq; dua-duanya tidak ada yang enak untuk
diambil/dipilih. Semuanya tercela.
Muhammad bin ‘Abdillah bin
Al-Hasan bin Al-Hasan yang dijuluki An-Nafsuz-Zakiyyahdisebut
sebagai pendusta yang mengaku sebagai imam [Tanqiihul-Maqaal, tarjamah
no. 10953].
Dan saya tutup sedikit contoh ini dengan perkataan
Al-Maamiqaaniy :
إِنَّ سائر بني الحسن بن علي
كانت لهم أفعال شنيعة، لا تحمل على التقية؛ باستثناء زيد فإنَّه يمكن أن تحمل
أفعاله الشنيعة على التقية.
“Sesungguhnya seluruh Bani
Al-Hasan bin Al-Hasan bin ‘Aliy melakukan perbuatan-perbuatan keji, yang tidak
dapat dibenarkan dengan alasan taqiyyah, kecuali Zaid. Sebab
perbuatan-perbuatan kejinya (?!!!) bisa dibenarkan dengan alasan taqiyyah”
[Tanqiihul-Maqaal, 3/142].
Kita meyakini bahwa
riwayat-riwayat yang dibawakan kaum Syi’ah itu adalah dusta yang diatasnamakan
ahlul-bait. Mereka (ahlul-bait) telah memperingatkan lebih dari satu kesempatan
terhadap riwayat para pendusta. Al-Kasysyiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah
bahwa ia berkata :
إِنَّا أهل البيت صادقون، لا
نخلو من كذاب يكذب علينا، ويسقط صدقنا بِكَذبه علينا عند الناس…..
“Sesungguhnya kami, ahlul-bait,
adalah orang-orang yang jujur, tidak terhindar dari pendusta yang berdusta atas
nama kami, lantas jatuhlah kejujuran kami di mata manusia dengan kedustaannya
atas kami”.
Kemudian ia (Al-Kasysyiy)
menyebutkan para pendusta terhadap ahlul-bait, yaitu Maslamah, ‘Abdullah bin
Saba’, Al-Mukhtar, Al-Haarits Asy-Syaamiy, Banaan, Al-Mughiirah bin Sa’iid,
Buzaigh, As-Sariy, Abul-Khaththaab, Ma’mar, Basysyaar Asy-Sya’iiriy, Hamzah
Al-Barbariy, dan Shaayid An-Nahdiy [selengkapnya lihat Majma’ur-Rijaal,
5/113].
Jadi, siapa sebenarnya yang
mereka masukkan dalam Ahlul-Bait ? Jika kita lihat praktek Syi’ah, maka tidak
ada dalil-dalil dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah yang dapat menjangkau
pendefinisian mereka. Sebab, mereka memasukkan siapa saja yang mereka inginkan
dan mengeluarkan siapa saja yang mereka inginkan berdasarkan riwayat-riwayat
dusta yang mereka sandarkan kepada ahlul-bait. Diperparah lagi sikap taqlid pada marja’-marja’ mereka
yang menjadi penentu arah kemana agama Syi’ah ini akan berjalan.
Al-Bahraaniy Asy-Syi’iy
menjelaskan definisi ahlul-bait dalam konteks al-‘itrah :
أما باعتبار العرف الشرعي فإن
العترة هم أمير المؤمنين عليه السلام وفاطمة وولداها الحسن والحسين والأئمة من
ذرية الحسين عليهم السلام
“Adapun yang
dipertimbangkan/dianggap dalam ‘urf
syar’iy, maka ‘itrah itu
adalah Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu), Faathimah, dan dua anaknya
Al-Hasan dan Al-Husain; serta para imam dari keturunan Al-Husain ‘alaihis-salaam”
[Manaarul-Hudaa, hal. 571-572].
Al-Majlisiy meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari Al-Husain ‘alaihis-salaam,
ia berkata : “Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib) ‘alaihis-salaam pernah
ditanya tentang makna sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya
aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, yaitu Kitabullah dan ‘itrahku’.
Siapakah yang dimaksud al-’itrah itu ?’. Maka ia menjawab :
أنا والحسن والحسين، والأئمة
التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم
“Aku, Al-Hasan, Al-Husain, para imam yang sembilan dari
anak turun Al-Husain.[8] Yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi mereka dan penopang
mereka” [Bihaarul-Anwaar, 23/147].
Ternyata definisi
ahlul-bait (‘itrah) telah mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliyradliyallaahu
‘anhuma dalam cakupan ini !!
Teori Kema’shuman Ahlul-Bait
Dilihat dari sub judulnya saja,
kita sudah tahu bahwa ini sudah di luar konteks ‘aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah. Tidak ada dalil atau nash yang menunjukkan adanya orang yang ma’shum setelah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi, definisima’shum/’ishmah yang mereka pakai sangat berbeda jauh dengan Ahlus-Sunnah.
Muhammad Ridlaa Al-Mudlaffar
menjelaskan tentang doktrin ‘ishmah dalam teologi Syi’ah sebagai berikut :
“Al-‘Ishmah itu
pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun
yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari
perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan,
tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh
masyarakat.Al-‘Ishmah seperti ini ada pada para Nabi dan para Imam dari
kalangan Ahlul-Bait” [‘Aqiidatul-Imaamah 'Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridla Al-Mudlaffar, hal. 53-54; Al-Maktabah
Al-Islamiyyah Al-Kubraa, tanpa tahun].
Muhammad Al-Husain
Kaasyiful-Ghithaa’ menyatakan :
“…..dan para imam itu
disyaratkan pula harus sebagai orang-orang yang ma’shum seperti Nabi, yaitu
terjaga dari kesalahan dan terjaga pula dari berbuat salah….” [Ashlusy-Syii’ah
wa Ushuuluhaa oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Ghithaa’, hal. 102;
Manshurat Maktabah Al-Irfan, Beirut, Cet. 9].
Ia menambahkan :
“….. dan bahwasannya Muhammad itu adalah penutup para
Nabi dan junjungan para Rasul. Dan bahwasannya ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan dan perbuatan salah). Dan bahwasannya ia tidak pernah berbuat
kemaksiatan sepanjang umurnya dan tidaklah berbuat suatu apapun kecuali yang
sesuai dengan ridla Allah subhaanahu wa ta’alaa sehingga Allah
mewafatkannya” [idem, hal. 106].
Definisi yang kelihatannya baik, namun keliru lagi salah
besar karena bertolak belakang dengan nash. Dengan definisi ini, mereka pun
menolak keberadaan beberapa riwayat shahih dalam kitab hadits standar
Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
berbuat salah dan/atau lupa. Al-‘Ishmah dalam pemahaman
Ahlus-Sunnah sama sekali tidak pernah menafikkan adanya kesalahan dan lupa.
Hanya saja ‘ishmah itu menafikkan adanya dosa-dosa besar dan
kesalahan-kesalahan yang menyangkut penyampaian risalah. Oleh karena itu, para
Nabi dan Rasul tidak akan pernah lupa dari apa-apa yang Allah wahyukan kepada
mereka kecuali sesuatu yang dihapuskan oleh Allah ta’ala.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
فإن القول بأن الأنبياء معصومون
عن الكبائر دون الصغائر، هو قول أكثر علماء الإسلام وجميع الطوائف، حتى إنه قول
أكثر أهل الكلام، كما ذكر أبو الحسن الآمدي …….. أن هذا قول أكثر الأشعرية، وهو ـ
أيضًا ـ قول أكثر أهل التفسير والحديث والفقهاء، بل هو لم ينقل عن السلف والأئمة
والصحابة والتابعين وتابعيهم إلا ما يوافق هذا القول
“Sesungguhnya pendapat yang
mengatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa-dosa besar,
bukan dari dosa-dosa kecil, merupakan pendapat kebanyakan ulama Islam dan
seluruh kelompok (dalam Islam), hingga ia merupakan pendapat kebanyakan
ahlul-kalaam sebagaimana disebutkan oleh Abul-Hasan Al-Aamidiy…. Ini juga
merupakan pendapat dari Asy’ariyyah, ahli tafsir, ahli hadits, dan fuqahaa’.
Bahkan, tidak ternukil dari salaf, para imam, para shahabat, tabi’in,
dan tabi’ut-tabi’in kecuali menyepakati pendapat ini….” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 4/319].
Oleh karena itu kaum Syi’ah
Raafidlah menolak secara tegas hadits-hadits yang menerangkan beliau pernah
lupa dalam raka’at shalat.[9] Juga
hadits tentang asbaabun-nuzuul QS. ‘Abasa : 1-10[10] bahwa beliau pernah mendapat teguran dari Allah ta’alakarena
berpaling dari Ibnu Ummi Maktuum,[11] dan hadits-hadits lain yang
semisal.
Dalam Al-Qur’an pun banyak
ditegaskan bagaimana para Nabi dan Rasul bertaubat dari dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan – dan mereka adalah orang yang
paling banyak bertaubat kepada Allah ta’ala.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ
كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 37].
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ
رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ
الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ
غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ
أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ
أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya
sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang
seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya)
perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu
yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan
kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari
memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan
sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas
kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” [QS. Huud : 45-47].
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ
مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ
لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ *
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun
(Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami
tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang
sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami
telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan
demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” [QS. Al-Anbiyaa’ : 87-88].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ
تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. At-Tahriim : 1].
Kesalahan yang mereka (para
Nabi dan Rasul) lakukan tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai
hamba-hamba Allah yang paling mulia dan mempunyai kedudukan tertinggi di
sisi-Nya ta’ala. Karena salah satu kemuliaan yang diberikan oleh
Allah kepada manusia adalah taubat dari dosa-dosa, sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
Para Nabi dan Rasul ‘alaihimus-salaam adalah
manusia terdepan dalam bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jika permasalahannya demikian,
maka sungguh aneh jika ahlul-bait – dalam teologi Syi’ah – bisa bersih dari
segala kesalahan (baik besar dan kecil) dan juga lupa. Apakah kedudukan mereka
bisa lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul ? Tanyakan saja pada rumput yang
bergoyang…..
Pendalilan dengan hadits tsaqalain dalam
riwayat Ahlus-Sunnah (sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan) seringkali
diarahkan (baik secara eksplisit maupun implisit) ke arah kemaksuman – untuk
mendukung paham mereka. Dan mohon maaf sebesar-besarnya jika kita katakan pada
mereka : Pendalilan Anda ngawur dan tidak nyambung. Bahkan
dalil-dalil yang ada (tentu saja dalil yang termaktub dalam kitab Ahlus-Sunnah,
bukan dari kitab Syi’ah) tidak ada yang menunjukkan kemaksuman imam-imam
mereka. Beberapa hadits shahih telah mencatat sejumlah kekeliruan ijtihad dari
penghulu imam mereka, yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Saya akan sebut beberapa di antaranya :
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu pernah keliru dalam ijtihadnya saat ia membakar satu kaum yang
murtad dari Islam.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه
حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم:
(من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah
berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi
padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan
siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana
disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa
yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no.
3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy
disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu
pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87,
‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah
10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud
no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu
Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
Ketika ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu berniat mempoligami Faathimahradliyallaahu
‘anhaa, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah
atas perbuatannya.
عن المسور بن مخرمة : أن علي بن
أبي طالب خطب بنت أبي جهل. وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم. فلما
سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت له: إن قومك يتحدثون أنك لا
تغضب لبناتك. وهذا علي، ناكحا ابنة أبي جهل.قال المسور: فقام النبي صلى الله عليه
وسلم فسمعته حين تشهد. ثم قال “أما بعد. فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني
فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا
تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا”.قال، فترك علي الخطبة.
Dari Al-Miswar bin Makhramah :
Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah melamar anak perempuan Abu Jahl yang
ketika itu ia masih beristri Faathimah binti Rasulullah. Ketika hal itu
didengar oleh Fathimah, ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
lalu mengatakan kepada beliau : ‘Sesungguhnya kaummu mengatakan bahwa engkau
tidak marah karena perlakukan terhadap anak-anak perempuanmu. Sekarang ini
‘Aliy akan menikahi anak perempuan Abu Jahl”. Al-Miswar berkata : “Kemudian
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk berkhutbah)
dan aku mendengar beliau saat beliau membaca syahadat. Setelah itu beliau
bersabda : ‘Sesungguhnya akutelah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’,
lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad
adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya.
Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan
Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami’. Miswar
berkata : ‘Maka ‘Aliy membatalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
2449].
Ini menunjukkan bahwa perbuatan
‘Aliy melamar anak perempuan Abu Jahl adalah satu kekeliruan.
عن علي بن أبي طالب أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان).
فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا
ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان
أكثر شيء جدلا}.
Dari ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengetuk pintu kamar ‘Aliy bin Abi Thaalib
untuk membangunkannya beserta Fathimah, putri Nabi ‘alaihis-salaam.
Kemudian Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Mengapa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (tahajjud) ?”.
Aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, diri kami dalam genggaman tangan
Allah. Apabila Ia berkehendak untuk membangunkan kami, Ia pasti membuat kami
terbangun”. Ketika aku mengatakannya, beliau kembali tanpa berkata apa-apa.
Kemudian ketika beliau berpaling, aku mendengar beliau membaca ayat Al-Qur’an
sambil menepuk pahanya : “…Manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah” (QS. Al-Kahfiy : 54) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1127
dan Muslim no. 775].
Dan yang lainnya yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Beberapa contoh di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib
bukanlah seorang pribadi yang ma’shum yang terjaga dari
kesalahan dan kelalaian seperti yang dipahami Syi’ah dari para imamnya. Hal
yang sama juga terjadi pada diri shahabat besar lainnya seperti Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum.
Lagi pula, teori kemaksuman Syi’ah itu jelas-jelas
bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين
التوابون
“Setiap anak Adam pasti pernah
bersalah, dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah orang-orang yang
bertaubat”.[12]
Oleh karena itu, sangat tidak
nyambung jika mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan pemahaman mereka.
Sangat tidak laku (useless) di hadapan Ahlus-Sunnah, tidak lain karena
pemahaman mereka sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kecuali….. jika mereka memakai riwayat-riwayat Syi’ah,… nah ini kita tidak
terlalu ambil pusing. Iya to ?
Sekedar informasi saja (dan ini
bukan hujjah primer), dalam Nahjul-Balaaghah ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu dicatat oleh pengarangnya pernah
berkata :
فلا تكفروا عن مقالة بحق، أو
مشورة بعدل، فإنِّي لست في نفسي بفوق أن أخطئ، ولا آمن ذلك من فعلي، إلَّا أن يكفي
الله من نفسي ما هو أملك به منِّي.
“Janganlah kamu berhenti dari
mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku
tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku,
kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya
daripadaku” [Nahjul-Balaaghah, hal 485; Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun,
Beirut].
اللهم اغفر لي ما تقربت به إليك
بلساني ثم خالفه قلبي، اللهم اغفر لي روزات الألحاظ، وسقطات الألفاظ، وشهوات
الجنان، وهفوات اللسان.
“Ya Allah, ampunilah aku atas
apa yang aku persembahkan kepada-Mu dengan lisanku, kemudian hatiku
menyelisihinya. Ya Allah ampunilah aku dari isyarat pandangan, kesalahan
lafadh, hawa nafsu yang dibuat anggota badan dan ketergelinciran lisan” [Nahjul-Balaaghah,
hal. 183].
Makna perkataan di atas adalah
benar bahwa ia (‘Ali bin Abi Thaalib) bukanlah pribadi yang ma’shum yang tentu
saja tidak akan luput dari perbuatan salah, lupa, dan dosa.
Kembali pada riwayat Zaid bin
Arqam di awal pembahasan. Ada riwayat lain yang dibawakan oleh Zaid bin Arqam
dengan lafadh berbeda (disertai kisah di dalamnya) :
عن يزيد بن حيان. قال : انطلقت
أنا وحصين بن سبرة وعمر بن مسلم إلى زيد بن أرقم. فلما جلسنا إليه قال له حصين:
لقد لقيت، يا زيد! خيرا كثيرا. رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم. وسمعت حديثه.
وغزوت معه. وصليت خلفه. لقد لقيت، يا زيد خيرا كثيرا. حدثنا، يا زيد! ما سمعت من
رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: يا ابن أخي! والله! لقد كبرت سني. وقدم عهدي.
ونسيت بعض الذي كنت أعي من رسول الله صلى الله عليه وسلم. فما حدثتكم فاقبلوا. وما
لا، فلا تكلفونيه. ثم قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا.
بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال “أما
بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم
ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به” فحث
على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال “وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله
في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي”. فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس
نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده.
قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم
الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan, ia
berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin
Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai
Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda
beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang
beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh
karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata :
‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin
dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa
yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa
yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku
sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian
Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi
wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama
Kumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian
menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d.
Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti
kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan
datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian
Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya
berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan
kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau
menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘
(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ –
beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin
Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya
?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah
orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata
: ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga
‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka
semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2408].
Dalam riwayat lain :
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما
كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه
كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan
meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya
berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan
mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas
petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada
dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan
Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali
[Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih][13].
Dalam riwayat
lain, hanya disebutkan Kitabullah saja :
إني تارك فيكم
كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Sesungguhnya aku akan
meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya,
maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia
berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; shahih li-ghairihi, dan sanad
hadits ini hasan].[14]
Lafadh ini (terutama lafadh yang dibawakan oleh Muslim
dalam Shahih-nya) lebih shahih dan lebih kuat dibandingkan lafadh yang dibawakan
oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah pada awal tulisan. Apalagi di dalamnya disebutkan kisah
(latar belakang), dimana sudah menjadi satu hal yang ma’ruf dalam hal ilmu
hadits bahwa hadits yang disertai kisah lebih kuat (penunjukkannya)
dibandingkan hadits semisal tanpa disertai kisah. Sementara itu kita mengetahui
bahwa tempat keluarnya perkataan ini adalah satu dan dalam peristiwa yang satu
(Ghadir Khum). Apa yang disebutkan ini tentu saja bukan dalam rangka menolak
hadits shahih, namun untuk mencoba memahami apa yang terkandung dalam hadits.
Kisah yang disebutkan oleh Zaid bin Arqam tersebut sama sekali tidak nampak
sesuatu yang dimaui oleh Syi’ah bahwa ahlul-bait itu setara dengan Al-Qur’an
dalam jaminan keselamatan dunia dan akhirat. Apalagi dihubungkan dengan teori
ke-ma’shum-an. Jauh sekali lah !… Kemutlakan adanya cahaya dan petunjuk beliaushallallaahu
‘alaihi wa sallam ucapkan untuk Kitabullah. Adapun ahlul-bait, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dan memerintahkan kita untuk menjaganya
serta memenuhi hak-haknya. Perintah untuk berpegang teguh kepada ‘itrah (ahlul-bait)
bukan bersifat mutlak. Namun ia muqayyad mengikuti pada Al-Qur’an (dan As-Sunnah), sebagaimana
sabdanya :
من اتبعه كان
على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Barangsiapa yang mengikutinya
(Al-Qur’an), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang
meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan”
Apabila di
antara mereka (ahlul-bait) yang berkesesuaian dengan keduanya, maka ia wajib
untuk diikuti; dan melalui perantaranya, insya Allah, ia akan
menjadi petunjuk bagi manusia di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat.
Ahlul-bait semacam inilah yang nantinya kelak akan berkumpul bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Haudl. Dan mungkin inilah sebab ‘Umar bin Al-Khaththab
radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma. ‘Umar berkata :
سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن
يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah
mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat,
kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan
nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Kebalikan dari
hal tersebut di atas, jika ia (ahlul-bait) melenceng dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka wajib untuk tidak diterima dan ditolak. Betapa banyak orang
yang mengaku punya kaitan dengan ahlul-bait, namun dalam sebagian perkataan dan
perbuatannya bertentangan dengan syari’at yang suci. Nasab yang mulia bukan
jaminan keselamatan jika lambat beramal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
ومَن بطَّأ به
عملُه لَم يُسرع به نسبُه
“Barangsiapa yang lambat
amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699].
Muhammad bin
Ya’quub Al-Kulainiy Asy-Syii’iy membuat bab dalam kitabnya Al-Kaafiy : Baab
Al-Akhdzi bis-Sunnah wa Syawaahidil-Kitaab, padanya terdapat riwayat : Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari
Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Ibnu Abi Nahjaan (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Abu Jamiilah (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Jaabir, dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa aalihi :
يا معاشر قراء
القرآن اتقوا الله عز وجل فيما حملكم من كتابه فإني مسؤول وإنكم مسؤولون إني مسؤول
عن تبليغ الرسالة وأما أنتم فتسألون عما حملتم من كتاب الله وسنتي .
“Wahai pembaca Al-Qur’an
sekalian, bertaqwalah kepada Allah ‘azza wa jalla pada apa yang dibebankan
kepadamu dari Kitab-Nya. Aku bertanggung jawab, dan kalian pun bertanggung
jawab pula. Adapun aku bertanggung jawab untk menyampaikan risalah, dan kalian
kelak akan dimintai pertanggungjawaban apa yang dibebankan kepadamu dari
Kitabullah dan Sunnahku” [Al-Kaafiy, 2/606].
Kata riwayat
di atas, kita akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dibebankan oleh
Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Bukan sunnah para imam dua belas….
Dan inilah
keyakinan dan pemahaman tentang hadits berpegang teguh pada ‘itrah (ahlul-bait)
Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Al-Munawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Ats-Tsaqalain :
قوله أولاً إني
تارك فيكم تلويح بل تصريح بأنهما كتوأمين خلفهما ووصى أمته بحسن معاملتهما وإيثار
حقهما على أنفسهما واستمساك بهما في الدين أما الكتاب فلأنه معدن العلوم الدينية
والأسرار والحكم الشرعية وكنوز الحقائق وخفايا الدقائق وأما العترة فلأن العنصر
إذا طاب أعان على فهم الدين فطيب العنصر يؤدي إلى حسن الأخلاق ومحاسنها تؤدي إلى
صفاء القلب ونزاهته وطهارته قال الحكيم: والمراد بعترته هنا العلماء العاملون إذ
هم الذين لا يفارقون القرآن أما نحو جاهل وعالم مخلط فأجنبي من هذا المقام وإنما
ينظر للأصل والعنصر عند التحلي بالفضائل والتخلي عن الرذائل فإذا كان العلم النافع
في غير عنصرهم لزمنا اتباعه كائناً ما كان ولا يعارض حثه هنا على اتباع عترته حثه
في خبر على اتباع قريش لأن الحكم على فرد من أفراد العام بحكم العام لا يوجب قصر
العام على ذلك الفرد على الأصح …
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama : ‘Sesunguhnya
akan aku tinggalkan kepada kalian’; merupakan
isyarat, bahkan pernyataan jelas bahwa keduanya seperti saudara kembar yang beliau
tinggalkan. Beliau berwasiat kepada umatnya agar memperlakukannya dengan baik,
mendahulukan hak keduanya atas diri mereka dan berpegang kepada keduanya di
dalam agama. Adapun Kitabullah, maka karena
ia adalah sumber ilmu-ilmu agama, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah syari’at,
pusaka-pusaka, dan kekayaan-kekayaan terpendam dari dokumen-dokumen terpercaya.
Adapun ‘itrah, maka karena kebaikan unsur yang dapat membantu memahami
agama. Baiknya unsur menyebabkan baiknya akhlak, dan baiknya akhlak menyebabkan
beningnya hati, kebersihan, dan kesuciannya. Al-Hakiim berkata : ‘Dan yang
dimaksud dengan ’itrah di sini adalah pada ulama ‘amilun (yang beramal), sebab
merekalah yang tidak akan berpisah dengan Al-Qur’an. Sedangkan orang jahil dan
orang ‘alim yang mencampur-aduk, maka dia asing dari kedudukan ini. Asal-usul
dan unsur seseorang hanya dipandang ketika ia berhias dengan akhlak-akhlak
mulia dan menghindar dari perbuatan-perbuatan keji. Bila ilmu yang bermanfaat
itu ada pada selain unsur mereka, maka kita harus mengikutinya, siapapun ia,
dan anjuran Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam agar mengikuti ‘itrah-nya di sini
tidak bertentangan dengan anjuran beliau agar mengikuti Quraisy dalam sebuah
hadits (yang lain) karena pemberian hukum ‘aam (umum) kepada
salah satu anggotanya tidak mengharuskan pembatasan dalil ‘aam tersebut hanya
pada anggota tersebut menurut pendapat yang paling shahih…” [Faidlul-Qadiir no. 2631][15]
Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah
tentang ahlul-bait Nabi :
ويحبون أهل بيت رسول الله
ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم)
: (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش
يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال)
إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً
واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله
عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله
عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية
والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل
عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah)
mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum)
: “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau
juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas)
mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda
: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman
sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dan karena mereka itu sanak
kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah
memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu
suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku
dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada
istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka
adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri
beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa,
ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau,
mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah
binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallambersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas
seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai
- Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Begitu pula Asy-Syaikh
‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah yang berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب
تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن،
ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله
عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه
وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه:
((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa
ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan
baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan
barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak
bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa”(QS.
Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim
dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa
yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu
Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh
‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad –www.dorar.net].
Inilah yang kita yakini dari
hadits Ats-Tsaqalain. Kita mencintai ahlul-bait dengan
ukuran-ukuran syari’at, bukan dengan ‘selera’ dan hawa nafsu. Tidak bersikap
berlebih-lebihan, juga tidak meremehkan. Semoga Allah ta’ala mengumpulkan
kita bersama ahlul-bait (yang shaalih) kelak di jannah-Nya. Dan semoga yang dituliskan di sini ada
manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’, 12 Dzulhijjah
1430 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Diedit tanggal : 22 Desember
2009
Catatan kaki :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya” [QS.
Al-Ahzaab : 33].
[2] Baca pula perkataan Al-Majlisiy yang mirip dengan
Ath-Thabathaba’iy yang mengatakan bahwa kemungkinan ayat tahthiir (QS.
Al-Ahzaab : 33 yang berbicara tentang Ahlul-Bait) diletakkan/ditambahkan oleh
para shahabat agar ia disangka berhubungan dengan istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam di :http://www.yazahra.net/ara/html/4/behar43/index.html (sumber : Bihaarul-Anwaar hal. 234-235).
Sungguh keji tuduhan ini.
Sekaligus menguatkan pandangan Syi’ah bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini
tidak asli dan merupakan hasil rekayasa para shahabat Nabishallallaahu
‘alaihi wa sallam. Allaahul-Musta’aan [silakan baca
artikel terkait : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/aqidah-syiah-tentang-al-quran.html].
“Telah ada penekanan perintah
untuk beramar ma’ruf nahi munkar terhadap ‘ahl’ (أَهْلٌ). Siapakah yang dimaksud ‘ahl’ (أَهْلٌ) itu ? Apakah istri seseorang dianggap ‘ahl’
dan masuk cakupan dalam penekanan perintah tersebut ?”.
Ia (Al-Khuu’iy) menjawab :
“Benar, istri termasuk bagian
dari ‘ahl’. Dan penekanan perintah tersebut ada pada mereka. Wallaahu a’lam” [Shiraathun-Najaah oleh
Al-Khuu’iy, hal. 426].
Berikut scan kitab
dimaksud :
فقال له حصين:
ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل
بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل
عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah
ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah
orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata
: ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali,
keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah
mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Shahih Muslim no. 2408. Juga dalam Shahih Ibni Khuzaimah no. 2357].
[6] Syi’ah mengeluarkan cakupan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari ahlul-bait dengan hadits ini berdasar perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radliyallaahu
‘anhaa : “Tetaplah
kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan”. Mereka – dengan kepicikan akal mereka – beranggapan
perbuatan Nabi tidak memasukkan Ummu Salamah ke dalam kisaa’ (kain) sebagai
alasan ia bukan termasuk Ahlul-Bait !!
Jika kita
ikuti logika pemikiran mereka, seharusnya mereka mengeluarkan ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu dari ahlul-bait berdasarkan hadits ini juga !! Perhatikan
penggalan hadits ini :
فدعا النبي صلى
الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء
“…Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau
menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang
berada di belakang punggungnya dengan kisaa’”.
Di sini ‘Aliy
berada di belakang punggung Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan tidak
berada dalam satu kisaa’ dengan Faathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain. Namun ia
berada dalam kisaa’ yang lain. Dalam bahasan Arab, kata isyarat yang
menggunakan هَؤُلاءِ hanya mencakup
orang-orang yang berada di depan/di hadapan orang yang berbicara saja, tidak
mencakup orang yang ada di belakangnya.
Oleh karena
itu, cara pendalilan mereka justru kembali pada mereka sendiri…….
Sebagai
tambahan : Saat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengatakan
pada Ummu Salamah : “Engkau berada di atas
kebaikan” ; apakah mereka juga mengatakan bahwa ia (Ummu
Salamah) berada di atas kebaikan ? Tanyalah mereka untuk mengatakan berdasarkan
‘aqidah yang diajarkan para ulama mereka tentang Ummahaatul-Mukminiin !
[7] Jumhur ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah menetapkan
cakupan ahlul-bait adalah ashhaabul-kisaa’ yang menjadi objek diturunkannya ayat tathhiir (QS. Al-Ahzaab
: 33) yang berjumlah lima orang, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Faathimah, ‘Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum ajma’iin [lihat As-Saqiifah oleh Sulaim bin Qais Al-Hilaaliy hal. 59 & 95, Tafsiir Al-‘Askariy hal 161, Tafsiir
Furaat Al-Kuufiyhal. 123, Ath-Tharaaifiy oleh Ibnu Thaawus hal. 123 & 128, Al-Amaaliy oleh
Ath-Thuusiy 2/20, Minhaajul-Karaamah oleh Al-Hulliy 151-152, dan yang lainnya].
[8] Dalam riwayat ini ‘Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu seakan-akan berbicara memprediksi masa depan dengan
mengatakan anak turunnya yang sembilan yang menjadi imam dari anak turun
Al-Husain. Apakah ia mendapat wahyu (dari Allah) tentang masalah ini ? Tentu
saja ini hanya ada dalam kamus ‘aqidah Syi’ah.
عن عبد الله
قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم – قال إبراهيم: لا أدري – زاد أو نقص، فلما
سلم قيل له: يا رسول الله، أحدث في الصلاة شيء؟ قال: (وما ذاك). قالوا: صليت كذا
وكذا، فثنى رجليه، واستقبل القبلة، وسجد سجدتين، ثم سلم. فلما أقبل علينا بوجهه
قال: (إنه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به، ولكن، إنما أنا بشر مثلكم، أنسى كما
تنسون، فإذا نسيت فذكروني، وإذا شك أحدكم في صلاته، فليتحر الصواب فليتم عليه، ثم
ليسلم، ثم يسجد سجدتين).
Dari ‘Abdullah
(bin Mas’ud) ia berkata : “Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat
– Ibrahim (perawi) berkata : ‘Aku tidak tahu – apakah beliau menambah atau
mengurangi shalatnya. Setelah selesai salam, beliau ditanya : ‘Wahai
Rasulullah, apakah ada ketentuan baru mengenai shalat ?’. Beliau bertanya :
‘Apa maksudnya ?’. Para shahabat mengatakan : ‘Tadi engkau shalat begini dan
begitu, tidak seperti biasanya’. Kemudian beliau menekuk kedua kakinya dengan
menghadap ke kiblat, lalu beliau sujud (sahwi) dua kali, setelah itu salam.
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menghadapkan wajahnya ke arah kami setelah salam,
beliau bersabda : ‘Apabila ada ketentuan
baru dalam shalat, niscaya telah aku beritahukan kepada kalian. Tetapi aku ini
manusia seperti kalian. Aku juga pernah lupa sebagaimana kalian. Oleh karena
itu, jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Apabila seorang ragu-ragu (tentang
hitungan raka’at atau yang lainnya) dalam shalat, hendaklah ia memastikan apa
yang ia anggap benar, lalu hendaklah ia menyempurnakan apa yang ia anggap
kurang, kemudian melakukan salam dan sujud (sahwi) dua kali” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 401 & 404 & 667
& 7249, Muslim no. 572, Abu Dawud no. 1019-1022, At-Tirmidziy no. 392-393,
dan An-Nasa’iy 3/28-33].
الترمذي ج4
ص209 حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي قال حدثني أبي قال: هذا ما عرضنا على هشام
بن عروة عن أبيه عن عائشة أنزلت {عَبَسَ وَتَوَلَّى} في ابن أم مكتوم الأعمى أتى
رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم رجل من عظماء المشركين، فجعل رسول الله صلى
الله عليه وعلى آله وسلم يعرض عنه، ويقبل على الآخر. ويقول: “ترى بما أقول بأسا”
ففي هذا نزل.. هذا حديث حسن غريب وروى بعضهم هذا الحديث عن هشام بن عروة عن أبيه
قال أنزل عبس وتولى في ابن أم مكتوم ولم يذكر عائشة.
“At-Tirmidzi
(4/209) berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid
Al-Umawiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Inilah
yang kami paparkan kepada Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, ia
berkata : “Telah turun (ayat) : ‘Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling’ mengenai Ibnu Ummi Maktuum, seorang buta yang datang kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku’.
Padahal saat itu di sisi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ada seorang
dari pembesar kaum musyrikin. Sehingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berpaling darinya (Ibnu Ummi Maktuum) dan menghadap kepada
pembesar kaum musyrikin dan Ibnu Ummi Maktuum berkata : ‘Apakah kamu keberatan
dengan apa yang aku katakan ?’. Maka mengenai hal ini turun (ayat) ini” [lihat Ash-Shahiihul-Musnad
min Asbaabin-Nuzuul oleh Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy, hal. 230].
[11] Hingga mereka (Syi’ah) perlu bersusah payah menyusun buku –
yang katanya ingin membela Nabi, tapi pada kenyataannya malah mengingkari Nabi
karena menolak hadits shahih – yang berjudul : ‘Nabi SAWW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam’ karangan Husein Al-Habsyiy, terbitan Al-Kautsar (Cet.
1/September 1992).
Diriwayatkan
oleh Ahmad 3/198, Abu Ya’laa no. 2922, ‘Abd bin Humaid no. 1195, At-Tirmidziy
no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Al-Haakim 4/272, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan
Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal21/131; dari jalan Zaid bin Hubbaab, dari ‘Aliy
bin Mas’adah, dari Qatadah, dari Anas bin Maalik secara marfu’. Diriwayatkan
pula oleh Ibnu ‘Adiy 5/1850, Ad-Daarimiy no. 2727, dan Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iman no. 6725; dari Muslim bin Ibraahim, dari ‘Aliy bin Mas’adah,
selanjutnya seperti sanad di atas.
‘Aliy bin
Mas’adah dalam poros sanad ini diperbincangkan. Abu Dawud Ath-Thayaalisiy
berkata : “Ia tsiqah”. Al-Bukhariy berkata : “Fiihi nadhar” (ada
beberapa pembahasan dari para muhaqqiqiin mengenai peristilahan Al-Bukhariy ini). Ibnu Ma’in (riwayat
Sa’id bin Manshuur) berkata : “Shaalih”. Dalam riwayat lain (Ad-Duuriy) : “Laisa bihi ba’s” – dantautsiq Ibnu Ma’iin
ini disepakati oleh Ibnul-Qaththaan. Abu Haatim berkata : “Laa ba’sa bihi”. Disebutkan
oleh Ibnul-Khalfuun dalam kitabnya Ats-Tsiqaat. An-Nasa’iy berkata : “Laisa bil-qawiy (tidak kuat)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Hadits-haditsnya tidak mahfuudh”. Ibnu
Hibbaan berkata : “Tidak dijadikan hujjah pada apa yang tidak berkesesuaian dengan
para perawi tsiqah”. Adz-Dzahabiy saat berkomentar tentang tashhih Ibnu Hibban :
“’Aliy adalah layyin (lemah)”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lahu auhaam“.
Para ulama
berselisih pendapat mengenai hadits ini. Ada yang men-dla’if-kan, ada pula yang menghasankan. Anyway, makna hadits
ini adalah shahih.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan tahdits dari Yuusuf
bin Musa, dengantahdits dari Jariir (bin ‘Abdil-Hamiid) dan Muhammad bin
Fudlail, dari Abu Hayyaan Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy, dari Yaziid bin
Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1. Yusuf bin Musa Al-Qaththaan; menurut Yahyaa biun
Ma’iin, shaduuq – Abu Haatim,shaaduq – An-Nasaa’iy, laa ba’sa bihi – Abu Bakr Al-Khathiib, tsiqah.
2. Jariir bin ‘Abdil-Hamiid; menurut
Ad-Daaruquthniy, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah.
3. Muhammad bin Fudlail; menurut Ahmad, hasanul-hadiits – Ibnu Ma’iin, tsiqah – Abu Zur’ah, shaduuq – Abu Haatim, syaikh – An-Nasa’iy, laisa
bihi ba’s – Ibnu Hibban, tsiqah.
4. Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy/Abu Hayyaan
At-Tamimiy; menurut Sufyan, tsiqah – Muhammad bin Fudlail, shaduuq – Yahya bin
Ma’iin, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah – Abu Haatim, shaalih – Ibnu Hibbaan, tsiqah.
5. Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu
Hibbaan, tsiqaah.
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dengan tahdits dari Al-Hasan
bin Sufyaan, dengan tahdits dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dengan tahdits dari ‘Affaan,
dengan tahdits dari Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq dari
Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1. Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq – Ibnu Ma’iin
dan Al-‘Uqailiy, majhuul.
2. Abu Bakr bin Abi Syaibah, pengarang kitab
Al-Mushannaf, imam masyhur.
3. ‘Affaan (bin Muslim bin ‘Abdillah); Al-‘Ijliy, tsabt shaahibus-sunnah – Ibnu Ma’in, tsabt– Ibnu Hajar, tsiqah
tsabt.
4. Hassaan bin Ibraahiim; menurut Ahmad, tsiqah – Ibnu Ma’iin, laisa bihi ba’s (di lain riwayat : tsiqah) – Abu Zur’ah, laa
ba’sa bihi - Al-Bazzaar, tsiqah –
Ibnul-Madiiniy, tsiqah – An-Nasa’iy, laisa
bil-qawiy (tidak kuat) – Ibnu ‘Adiy, laa ba’sa bihi.
5. Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy (ayah Sufyaan Ats-Tsauriy, imam
masyhur); menurut Ibnu Ma’iin, Abu Haatim, Al-‘Ijliy, dan An-Nasa’iy adalah tsiqah.
6. Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu
Hibbaan, tsiqaah.
[15] Sebenarnya di sini Al-Munawiy sedang menjelaskan salah satu
hadits dla’if tentangAts-Tsaqalain (dengan lafadh : إني تارك فيكم
خليفتين ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian dua
khalifah…dst.). Namun di sini saya hanya ingin mencuplik
penjelasannya yang bermanfaat dimana kaum Syi’ah seringkali mengutipnya secara
terpotong hanya di awal-awal kalimat bahwa Kitabullah dan ‘itrah adalah
bagaikan dua saudara kembar.
http://salafy.or.id/blog/tag/ahlul-bait/
September 20, 2012Kajian KhususAhlul Bait, ahlus
sunnah, al qur, arqam, berdiri, dalil, depa, dosa, hadits, jahiliyah, jelas, kalian, keliru,khum, melahirkan, muslimin, rasul, rasulullah, realita, shalat, telinga, ulama, zakatwebadmin
ditulis oleh:
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak
asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi, mengingat keadaan kaum
muslimin yang memang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal ketika
seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia
sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realita menunjukkan, pemahaman yang
keliru terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan demikian banyak kelompok
menyimpang.
Seluruh Ulama Ahlus Sunnah mengakui
keutamaan Ahlul Bait Rasulullah, karena telah jelas dalil-dalil yang
menunjukkan keutamaan mereka dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Di antaranya adalah
apa yang Allah Subhanahuwata’ala katakan tentang mereka dalam ayatnya:
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kalian tetap di
rumahmu, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian
sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kemudian dalam hadits Ghadir Khum sebagai
berikut:
“Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah pada
suatu hari pernah berdiri di depan kami sebagai khatib di daerah mata air yang
bernama Khum1–daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan
menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian
berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya
aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat
maut) dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara
yang berat. Pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya”.
Zaid berkata: Maka Rasulullah
menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian
beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan
kalian tentang Ahlul Baitku, aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku
peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan
syarah Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175)
Siapakah Ahlul Bait?
Alangkah baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Ahlul Bait sebagaimana dimaksud dalam ayat dan hadits di atas. Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau n dan anak-anak mereka. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam :
Alangkah baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Ahlul Bait sebagaimana dimaksud dalam ayat dan hadits di atas. Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau n dan anak-anak mereka. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam :
Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah
pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air
yang bernama Khum –daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan
menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian
berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya
aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat
maut), dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara
yang berat.
Pertama kitab Allah, di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya’.
Berkata Zaid, maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang
dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan
kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku
peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” Maka Hushain berkata kepada Zaid:
“Siapakah Ahlul Baitnya, ya Zaid?
Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?”
Zaid menjawab: “Istri-istri beliau
termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima
shadaqah setelah beliau.”
Hushain berkata: “Siapakah (lagi)
mereka?”
Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga
Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.” Hushain
bertanya lagi: “Apakah semua mereka diharamkan menerima shadaqah?” Zaid
menjawab:”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh An-Nawawi juz
15/174-175 no. 6175)
Dalam hadits ini dapat dipahami beberapa
kaidah, di antaranya:
Pertama, menunjukkan tentang keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi. Nabi mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Pertama, menunjukkan tentang keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi. Nabi mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Kedua, kita dapat mengetahui bahwa Ahlul
Bait Nabi adalah semua yang tidak boleh menerima shadaqah (zakat). Mereka
terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga
‘Abbas.
Ketiga, istri-istri Nabi termasuk Ahlul
Bait yang harus kita hormati pula. Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait Dengan
hadits di atas kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk
Ahlul Bait, yang juga diwasiatkan oleh Rasulullah untuk kita hormati dan kita
muliakan. Oleh karena itu jika kaum Syi’ah konsekuen dalam menghormati Ahlul
Bait, maka mereka harus menghormati pula semua turunan Ja’far, Aqil dan Abbas
serta para istri Nabi n terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah
dan Khadijah.
Hanya saja istri-istri Nabi tidak
termasuk yang diharamkan untuk menerima shadaqah. Keterangannya sebagai
berikut:
Pada hadits di atas Zaid bin Arqam
ketika ditanya tentang istri-istri Nabi beliau menjawab:
“Istri-istri beliau
termasuk Ahli Baitnya tetapi…”. Sedangkan dalam hadits berikutnya dalam Shahih
Muslim, Zaid bin Arqam ketika ditanya siapakah yang dimaksud Ahlul Baitnya,
apakah istri-istri Nabi?
Beliau menjawab:
“Tidak…, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima shadaqah setelahnya.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh Nawawi juz 15/174-175 no. 6178)
Maka Al-Imam
An-Nawawi mengomentari dua lafadz hadits yang kelihatannya bertentangan ini
sebagai berikut:
“Ucapan Zaid dalam
riwayat di atas: “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya” bermakna bahwa
istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau, yang tinggal di rumah beliau, yang
diperintahkan untuk kita hormati dan kita muliakan, yang Rasulullah
menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat dan penting, pen.). Dan yang Nabi
menasihati dan memperingatkan manusia untuk memenuhi hak-hak mereka.
Maka istri-istri
Nabi masuk dalam semua itu. Namun mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk
memakan shadaqah. Inilah yang diisyaratkan pada riwayat pertama: “Istri-istri
Nabi termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima
shadaqah.” (Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175 no.
6178)
Namun, kaum Syi’ah
justru mengeluarkan istri-istri Nabi dari Ahlul Bait kemudian melecehkannya.
Dalil terkuat yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah hadits yang
diriwayatkan dari ‘Umar bin Abi Salamah, sebagai berikut:
Ketika turun kepada Nabi ayat Allah:
(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya) di rumah Ummu
Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan
Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali
berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut,
beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran
dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah
berkata : “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”Rasulullah n
menjawab: “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.”
(HR. At-Tirmidzi no. 3205)
Kaum Syi’ah menganggap ditolaknya Ummu
Salamah untuk masuk dalam selimut menunjukkan bahwa para istri Nabi n tidak
termasuk Ahlul Bait. Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai
berikut:
Pertama, disebutkan dalam Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam
selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram
Ummu Salamah, pen.), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul
Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Kedua, konteks ayat dalam surat
Al-Ahzab sangat jelas sekali, yakni menunjukkan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait
adalah istri-istri Nabi. Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain.…” (Al-Ahzab: 32)
Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa
ayat ini tentang istri-istri Nabi adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah,
‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas
mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:
“Barangsiapa yang mau, aku akan
bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun
tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz
9 hal. 48)
Keempat, memang diriwayatkan dari
beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan
dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula
dalam hadits di atas bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang
sama)
Kelima, alasan lain kaum Syi’ah adalah
ucapan mereka: “Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan antara
ayat tath-hir ( ) dengan ayat lastunna () yang ditujukan kepada
istri-istri Nabi, dalam penggunaan dhamir (kata ganti). Dalam ayat tath-hir
digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan kepada istri-istri Nabi
digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun ta`nits ().
Maka pensucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi .”
Kita jawab, bahwasanya dhamir jamak untuk
laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena kembalinya kepada kalimat Ahlul
Bait. Sedangkan kalimat ahli dapat dipakai untuk mu’anats dan mudzakar.
Seperti ucapan seseorang: “Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah: “Bagaimana
istrimu?” Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan
dzauqul ‘Arabi. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Al-Imam
Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim Al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 48-49).
Keenam, baik sekali pendapat para Ulama
Ahlus Sunnah seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa ucapan
yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri Nabi
dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi
karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah
Nabi.
Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan
dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa
yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan
kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’
At-Tirmidzi, juz 9 hal. 49)
Karena telah jelas bahwa ayat ini tentang
istri-istri Nabi, maka Rasulullah mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan
Husain dan menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun tidak
disebut secara jelas dalam ayat di atas. Keutamaan Al-Hasan dan Al-Husain
Al-Hasan dan Al-Husain adalah putera dari Ali bin Abi Thalib , cucu Rasulullah dari anak perempuannya Fathimah.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah n yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian-pujian Rasulullah . Diantaranya beliau n bersabda:
Al-Hasan dan Al-Husain adalah putera dari Ali bin Abi Thalib , cucu Rasulullah dari anak perempuannya Fathimah.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah n yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian-pujian Rasulullah . Diantaranya beliau n bersabda:
“Sesungguhnya
Al-Hasan dan Al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.” (HR. Al-Bukhari,
At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar )
Beliau n juga bersabda:
Beliau n juga bersabda:
“Al-Hasan dan
Al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” (HR. Tirmidzi,
Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abu Sa’id Al-Khudri; Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Albani t dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah, hal. 423, hadits no.
796)
Keutamaan Al-Hasan
di atas Keutamaan Al-Husain
Sedangkan khusus tentang keutamaan Al-Hasan, diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
Sedangkan khusus tentang keutamaan Al-Hasan, diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Al-Hasan dariku dan
Al-Husain dari Ali.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ath-Thabrani dari Miqdam Ibnu
Ma’dikarib; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Ahadits
Ash-Shahihah, hal. 450, hadits no. 711)
“Dari Al-Bara` bin
‘Azib, dia berkata: Aku melihat Al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi n dan
beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.”
(HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim
dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 189, hadits no. 6208)
“Ya Allah,
sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang
mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no.
6206)
Dan dari Anas bin Malik z, ia berkata:
Dan dari Anas bin Malik z, ia berkata:
“Tidaklah seorang
pun yang lebih mirip dengan Nabi daripada Al-Hasan bin ‘Ali .” (HR.
Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan , dia
mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas
mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau sesekali melihat kepada
manusia dan sesekali kepada Al-Hasan, dan bersabda:
“Anakku ini adalah
sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan
muslimin.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata bahwa diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz ke-1 hal. 130 –setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh – mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah n…” (Lihat ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, ha. 198-199). Akan tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyyah untuk mencegah pertum
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata bahwa diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz ke-1 hal. 130 –setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh – mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah n…” (Lihat ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, ha. 198-199). Akan tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyyah untuk mencegah pertum
pahan darah di
antara kalangan muslimin.
Kisah tersebut
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dari Imam Al-Hasan
Al-Bashri. Di akhir hadits, Al-Hasan z meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah
bahwa ia berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas mimbar, sedangkan
Al-Hasan berada di sampingnya, beliau melihat kepada manusia sesekali dan
kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:
“Anakku ini adalah
sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan
muslimin.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Demikianlah
keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah. Beliau
berhasil mempersatukan kaum muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun
jama’ah. Kaum muslimin selamat dari pertumpahan darah antara sesamanya. Dan
kekhalifahan Mu’wiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin,
dengan keutamaan dari Allah, kemudian sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali yang
besar.
Namun yang
mengherankan adalah kaum Syi’ah Rafidhah –yang mengaku pencinta Ahlul
Bait– justru menyesali kejadian ini, hingga menjuluki Al-Hasan z sebagai
‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka menganggap
beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
Asy-Syaikh
Muhibbudin Al-Khatib berkata mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah ini sebagai
berikut:
“Padahal termasuk
dari dasar-dasar keimanan Rafidhah –bahkan dasar keimanan yang paling utama–
adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan
ketu-runannya adalah ma’shum. Dan dari konsekuensi kema’shuman mereka, tentu
mereka tidak akan berbuat kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang
bersumber dari mereka berarti benar dan tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa
yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali yang paling besar adalah pembai’atan
terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka mestinya merekapun masuk dalam baiat
ini dan beriman bahwa ini adalah hak, karena ini adalah amalan seorang yang
ma’shum menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim,
hal. 197-198)
Demikianlah
keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka –yang mereka
anggap ma’shum– menyalahkan, memfasikkan bahkan mengkafirkannya. Maka hanya
terdapat dua kemungkinan bagi mereka:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kema’shuman dua belas imam mereka, maka hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
Kedua, jika mereka meyakini kema’shuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam –yang mereka anggap ma’shum– dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan dan berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at Al-Hasan z kepada Mu’awiyah z adalah salah satu bukti kenabian beliau n dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya. Beliau mengganggap Al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah, pent.).(lihat sumber yang sama).
Wallahu a’lam.
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kema’shuman dua belas imam mereka, maka hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
Kedua, jika mereka meyakini kema’shuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam –yang mereka anggap ma’shum– dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan dan berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at Al-Hasan z kepada Mu’awiyah z adalah salah satu bukti kenabian beliau n dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya. Beliau mengganggap Al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah, pent.).(lihat sumber yang sama).
Wallahu a’lam.
1 Riwayat tentang wasiat Rasululah n di
Ghadir Khum yang shahih hanya ini, dan tidak disebutkan adanya wasiat agar ‘Ali
menjadi khalifah.
sumber
http://asysyariah.com/keutamaan-ahlul-bait.html
September 19, 2012Kajian
KhususAhlul Bait, akidah, al quran, artikel agama, masuk islam, syiahwebadmin
DITULIS OLEH:
AL-USTADZ ABU KARIMAH ASKARI BIN JAMAL AL-BUGISI
إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah hanya bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Sesungguhnya hanya, maknanya menunjukkan
batasan. Yaitu menetapkan hukum yang disebutkan dan meniadakan yang lainnya.
Batasan di sini adalah batasan secara idhafi, yang maknanya sesuatu yang
dibatasi tersebut sesuai dengan keadaannya. Seperti halnya firman Allah:
إِنَّمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah
permainan dan melalaikan.” (Muhammad: 36)
Bukan berarti kehidupan dunia hanya itu saja, namun juga bisa menjadi wasilah dalam mengamalkan kebaikan. (lihat Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hal. 28, dan Tafsir Surat Al-Ahzab oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin )
Bukan berarti kehidupan dunia hanya itu saja, namun juga bisa menjadi wasilah dalam mengamalkan kebaikan. (lihat Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hal. 28, dan Tafsir Surat Al-Ahzab oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin )
Allah bermaksud hendak, yang dimaksud di
sini adalah kehendak kauniyyah,yang maknanya Allah telah menghendaki hal
tersebut secara taqdir. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin, namun dalam
masalah ini terdapat khilaf.
Menghilangkan.
Kotoran atau najis, yang dimaksud dalam
ayat ini adalah kotoran atau najis secara makna, berupa akhlak dan amalan buruk
dan rendah. (Lihat Tafsir Surat Al-Ahzab, Ibnu Utsaimin )
Pada Siapa Ayat ini Diturunkan?
Bagi yang memperhatikan konteks ayat-ayat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ini, sebelum dan sesudah ayat at-tath-hir –pensucian– ini, nampak jelas bahwa ayat ini
Bagi yang memperhatikan konteks ayat-ayat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ini, sebelum dan sesudah ayat at-tath-hir –pensucian– ini, nampak jelas bahwa ayat ini
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا
الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
وَمَن
يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا أَجْرَهَا
مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ
قَوْلًا مَّعْرُوفًا
وَاذْكُرْنَ
مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang
mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan
kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan
barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat pada Allah
dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shalih, niscaya Kami memberikan
kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia. Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berke-inginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat
Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi
Maha Mengetahui.” (Al-Ahzab: 30-34)
Dari ayat ini, sangat meyakinkan bahwa
ayat-ayat ini diturunkan khusus berkenaan tentang para istri Nabi n. Bahkan
pada ayat at-tathhir itu pun juga berkenaan tentang istri Nabi. Dalam hal ini,
memang terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang termasuk
ke dalam Ahlul Bait dalam ayat ini:
Pendapat pertama mengatakan, yang
dimaksud Ahlul Bait adalah istri Nabi secara khusus. Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Atha`, Sa’id bin Jubair, dan yang
lainnya.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan Hasan serta Husain secara khusus. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menggabungkan kedua pendapat tersebut, bahwa ayat ini mencakup mereka semua. Adapun para istri beliau tercakup dalam ayat ini karena mereka yang dimaksud dalam konteks ayat-ayat ini sebelum dan sesudahnya dan mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah Rasulullah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan Hasan serta Husain secara khusus. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menggabungkan kedua pendapat tersebut, bahwa ayat ini mencakup mereka semua. Adapun para istri beliau tercakup dalam ayat ini karena mereka yang dimaksud dalam konteks ayat-ayat ini sebelum dan sesudahnya dan mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah Rasulullah.
Adapun masuknya ‘Ali bin Abi Thalib,
Fathimah, Hasan dan Husain g ke dalam Ahlul Bait, disebabkan hadits-hadits
shahih yang datang dari Rasulullah . Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat
ini untuk salah satunya dan mengeluarkan yang lain, maka sungguh dia telah
mengamalkan sebagian nash dan menelantarkan yang lain. Pendapat terakhir inilah
yang paling kuat dan dibenarkan keba-nyakan ahli tahqiq, seperti Al-Qurthubi,
Ibnu Katsir, dan yang lainnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 9/48-49)
Oleh karena itu, Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya:
Oleh karena itu, Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya:
“(Ayat ini) merupakan nash yang
menunjukkan bahwa para istri Nabi termasuk Ahlul Bait (keluarga Nabi ),
karena merekalah yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Penyebab turunnya suatu
ayat termasuk dalam ayat itu, (hal ini) merupakan pendapat yang disepakati.
Boleh jadi ayat ini hanya berkenaan tentang mereka menurut satu pendapat atau
ada yang lain yang masuk bersama mereka, berdasarkan pendapat yang shahih.”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/484)
Adapun tercakupnya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain ke dalam ayat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari ‘Aisyah , ia berkata: Nabi keluar di pagi hari dalam keadaan beliau memakai kain bercorak dari warna hitam. Lalu datanglah Hasan bin ‘Ali lalu beliau masukkan ke dalamnya. Lalu datanglah Husain dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Datanglah Fathimah dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Kemudian ‘Ali datang lalu beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian beliau membaca firman-Nya:
Adapun tercakupnya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain ke dalam ayat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari ‘Aisyah , ia berkata: Nabi keluar di pagi hari dalam keadaan beliau memakai kain bercorak dari warna hitam. Lalu datanglah Hasan bin ‘Ali lalu beliau masukkan ke dalamnya. Lalu datanglah Husain dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Datanglah Fathimah dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Kemudian ‘Ali datang lalu beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian beliau membaca firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (HR.Muslim, kitab Fadha`il Ash-Shahabah, bab Fadha`il
Hasan wal Husain, 15/195)
Kalau ada yang mengatakan: Kalau yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat ini para istri Nabi, lalu mengapa Allah menyebut dengan dhamir (kata ganti) “kum” yang menunjukkan jamak untuk mudzakkar (laki-laki) dan tidak menyebut “kunna” (bentuk jamak untuk perempuan) seperti ketika menyebut para istri Nabi ?
Kalau ada yang mengatakan: Kalau yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat ini para istri Nabi, lalu mengapa Allah menyebut dengan dhamir (kata ganti) “kum” yang menunjukkan jamak untuk mudzakkar (laki-laki) dan tidak menyebut “kunna” (bentuk jamak untuk perempuan) seperti ketika menyebut para istri Nabi ?
Maka jawabannya adalah: Karena Allah
ingin memasukkan selain dari istri Rasulullah ke dalam seluruh yang
termasuk lafadz “Ahlul Bait,” yang mencakup ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah,
Hasan dan Husain. Ini adalah hal yang biasa digunakan dalam bahasa Arab.
Seperti halnya firman Allah I, ketika para malaikat menjawab keheranan istri
Khalilullah Ibrahim:
قَالُوا
أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
“(Mereka menjawab): Apakah engkau heran
dari ketetapan Allah? Rahmat Allah dan barakahnya atas kalian wahai Ahlul Bait,
sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Hud: 73)
Demikian pula ketika Allah mengkisahkan
perkataan Musa kepada istrinya:
فَقَالَ
لِأَهْلِهِ امْكُثُوا
“Musa berkata kepada keluarganya
(istrinya): Tetaplah engkau.” (Thaha: 10)
Ayat ini juga menggunakan bentuk jamak
mudzakkar, padahal yang dimaksud adalah istri beliau. (lihat kitab Mukhtashar
At-Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariah, hal. 150-151) Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi dari ‘Umar bin Abi Salimah bahwa ia berkata: Ketika turun ayat
tersebut kepada Nabi di rumah Ummu
Salamah, maka Nabi memanggil Fathimah, Hasan,
dan Husain lalu menutupinya dengan selembar kain, dan Ali berada di belakang
punggungnya, maka beliau pun memasukkannya ke dalam kain tersebut, lalu beliau
berkata: “Ya Allah, mereka adalah keluargaku, maka hilangkanlah dari mereka
kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”
Ummu Salamah berkata: “Aku bersama mereka, wahai Nabi Allah.” Beliau menjawab: “Engkau tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Bab Tafsir Surat Al-ahzab,no. 3129)
Ummu Salamah berkata: “Aku bersama mereka, wahai Nabi Allah.” Beliau menjawab: “Engkau tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Bab Tafsir Surat Al-ahzab,no. 3129)
Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa
Ummu Salamah tidak termasuk ke dalam ayat tersebut. Sebab ayat tersebut sangat
jelas dalam konteks yang berkenaan tentang istri Nabi. Namun ketika Nabi hendak
memasukkan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain g, maka beliau membungkusnya dengan
kain dan mengikutsertakan bersama istri Nabi dalam ayat tersebut. Sehingga Nabi
tidak perlu menyertakannya dalam kain tersebut. Apalagi di dalam kain tersebut
terdapat ‘Ali bin Abi Thalib -bukan mahram Ummu Salamah, red- Maka
perhatikanlah hal ini. (lihat Tuhfatul Ahwadzi tentang syarah hadits ini)
Namun kaum Syi’ah Rafidhah tidak akan
pernah berhenti dalam kedustaan mereka terhadap Ahlus Sunnah. Sehingga mereka
menuduh bahwa Ahlus Sunnah telah mengubah ayat tersebut. Sebagaimana yang disebutkan
salah seorang tokoh mereka yang bernama Al-Majlisi:
“Jangan-jangan pada ayat at-tath-hir
tersebut mereka (para shahabat, pen.) meletakkannya pada tempat yang mereka
sangka itu sesuai, lalu mereka pun memasukkannya dalam konteks pembicaraan yang
ditujukan kepada para istrinya, untuk mendapatkan sebagian kemaslahatan dunia.
Padahal telah nampak dari hadits bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan
mereka.” (Al-Burhan, Abdullah bin Abdil Aziz An-Nashir: 1/2)
Kema’shuman Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan Allah berkenaan tentang Ashabul Kisaa` (mereka yang diselimuti Nabi dalam hadits yang lalu), dan bukan untuk istri Nabi. Lalu mereka membangun di atas keyakinan ini bahwa Ashabul Kisaa` adalah orang-orang yang terpelihara (ma’shum) dari dosa dan kesalahan, bahkan terpelihara dari kelalaian serta lupa. Sebab semua itu – menurut anggapan mereka– adalah rijs yang harus dihilangkan dari Ahlul Bait. Setelah itu mereka menyertakan para imam-imam sembilan yang lainnya sebagai para imam yang terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, kesalahan dan kekeliruan.
Kaum Syi’ah Rafidhah telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan Allah berkenaan tentang Ashabul Kisaa` (mereka yang diselimuti Nabi dalam hadits yang lalu), dan bukan untuk istri Nabi. Lalu mereka membangun di atas keyakinan ini bahwa Ashabul Kisaa` adalah orang-orang yang terpelihara (ma’shum) dari dosa dan kesalahan, bahkan terpelihara dari kelalaian serta lupa. Sebab semua itu – menurut anggapan mereka– adalah rijs yang harus dihilangkan dari Ahlul Bait. Setelah itu mereka menyertakan para imam-imam sembilan yang lainnya sebagai para imam yang terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, kesalahan dan kekeliruan.
Ini adalah anggapan yang batil, ditinjau
dari beberapa sisi:
1. Para Nabi adalah orang-orang yang jauh lebih mulia dari para Imam 12 tersebut. Bahkan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri dalam kitab mereka. Seperti apa yang diriwayatkan Al-Kulaini dari Hisyam Al-Ahwal dari Zaid bin ‘Ali: “Bahwa para nabi lebih mulia dari para imam.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Babuyah dari Ja’far Ash-Shadiq , menyatakan bahwa para nabi lebih dicintai Allah daripada ‘Ali.” (lihat Mukhtashar Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 100)
1. Para Nabi adalah orang-orang yang jauh lebih mulia dari para Imam 12 tersebut. Bahkan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri dalam kitab mereka. Seperti apa yang diriwayatkan Al-Kulaini dari Hisyam Al-Ahwal dari Zaid bin ‘Ali: “Bahwa para nabi lebih mulia dari para imam.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Babuyah dari Ja’far Ash-Shadiq , menyatakan bahwa para nabi lebih dicintai Allah daripada ‘Ali.” (lihat Mukhtashar Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 100)
Namun para nabi juga sebagai manusia
biasa terkadang jatuh dalam kesalahan, lupa, dan lalai, sebagaimana yang telah
diterangkan Allah dalam berbagai tempat dalam Al Qur`anul Karim. Bagaimana
mungkin makhluk yang lebih rendah kedudukannya bisa terpelihara dari sesuatu
yang menimpa orang yang lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya?
2. Apabila ayat ini menunjukkan
kema’shuman Ahlul Bait, lalu Fathimah bintu Rasulillah termasuk dalam kedudukan yang mana? Nabi ataukah imam?
Bukankah diapun termasuk yang ma’shum? Jika beliau tidak termasuk ke dalam
salah satu dari keduanya, lalu mengapa beliau dijadikan sebagai wanita yang
ma’shum, setingkat para nabi dan para imam menurut anggapan mereka?
3. Apabila ayat ini hanya diturunkan
kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, maka ayat ini bukanlah dalil yang
menunjukkan kema’shuman para imam yang lainnya. Sebab ayat ini hanya ditujukan
kepada Ashabul Kisaa` secara khusus. Namun apabila diambil keumuman kata “Ahlul
Bait” untuk menetapkan kema’shuman para imam tersebut, maka ayat ini mencakup
secara keseluruhan dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan
Husain g, maka kema’shuman tersebut tidak hanya terkhusus untuk para imam saja,
namun keturunan Ahlul Bait yang lainnya pula.
4. Bahwa Allah tidaklah memerintahkan
untuk merujuk dalam perkara-perkara yang diperselisihkan kecuali kepada Al
Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kalaulah di sana ada yang ma’shum selain
Rasulullah dalam menyampaikan perkara agama, tentunya akan dijelaskan oleh
Allah.
5. Riwayat-riwayat yang dinukil dalam
kitab-kitab Syi’ah sendiri dari para imam mereka menetapkan bahwa para imam
tersebut juga terjatuh dalam kesalahan, kelalaian, kelupaan, dan yang
semisalnya. Seperti apa yang mereka nukilkan sendiri dari ‘Ali bin Abi Thalib
bahwa beliau berkata dalam salah satu khutbahnya:
“Maka janganlah kalian menahan diri dari
berkata yang benar, atau bermusyawarah dengan cara adil, maka sesungguhnya aku
tidak merasa pada diriku lebih daripada aku melakukan kesalahan,dan aku tidak
merasa aman itu terjadi dari perbuatanku.” (Nahjul Balaghah, hal. 335)
Demikian pula –sebagaimana yang mereka riwayatkan– yang diucapkan oleh Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq :
Demikian pula –sebagaimana yang mereka riwayatkan– yang diucapkan oleh Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq :
“Sesungguhnya kami berdosa,kemudian kami
bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)
Dan banyak lagi hal-hal yang seperti ini
yang dinukil dalam kitab mereka sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa keyakinan
tentang kema’shuman para imam tersebut mulai muncul pada zaman Ja’far
Ash-Shadiq, yang berasal dari para pendusta dan ahlul bid’ah seperti Hisyam
bin Al-Hakam, dan Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal. Disebutkan oleh Muhibbuddin
Al-Khathib ketika menjelaskan awal munculnya aqidah tentang kema’shuman Ahlul
Bait:
“Orang yang paling awal memunculkan
akidah sesat ini adalah seorang yang jahat, yang kaum muslimin menggelarinya
setan atthaaq –syetan yang kuat– kaum Syi’ah menamainya ‘Orang yang beriman
kepada keluarga Muhammad,’ dia bernama Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal.” (Ushul
Madzhab Asy-Syi’ah, hal. 777)
Wallahul hadi ila sawaa`ish shirath (Allah-lah sang Pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus).
Wallahul hadi ila sawaa`ish shirath (Allah-lah sang Pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus).
sumber http://asysyariah.com/ahlul-bait-dalam-al-quran-al-karim.html
September 18, 2012Kajian
Khususabu bakr, Ahlul Bait, akidah, alawiyyin, artikel agama, dibai, emosi, ilmu agama, kalimat, kaset,kesesatan syiah, khilafah, khutbah, kisah, mana mana, masuk islam, muslimin, musyawarah, nabi, nahjul balaghah, nyata, pembela, penulis buku,rahmati, sesat, sikap, ucapanwebadmin
ditulis oleh:
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Kaum muslimin (baca:
para shahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah
adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai
muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai pecinta
Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah
dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang Syi’ah. Uraian
berikut mencoba membongkar berbagai kebohongan yang menjadi pijakan sikap
mereka.
Ahlul Bait Mengakui
Keabsahan Khilafah Abu Bakr Ash-Shiddiq
Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari
orang-orang Persia ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap
pemahamannya sebagai “madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa
dengan pemahaman Syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali
atau Alawiyyin, kecuali yang Allah rahmati. Ketika disampaikan kepada mereka
bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang
disampaikan oleh kaum Syi’ah -yang merupakan jelmaan kaum Majusi Persia- adalah
kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Biasanya mereka
mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan
mereka yaitu Nahjul Balaghah, yang berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan
sya’ir-sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib. Penulis buku
tesebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali tidak terima dengan keputusan para
shahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca
Abu Bakr, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak
membawakan ucapan-ucapan Ali tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi)
sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu
hadits.
Kitab ini -yang di
kalangan kaum Syi’ah sejajar dengan Al-Qur’an- ternyata disusun dan dikarang
oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyyah Rafidah yang bernama
Al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi (meninggal th. 436
Hijriyah). Yang telah dinyatakan oleh para Ulama Ahlus Sunnah sebagai
pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib . Al-Imam Adz-Dzahabi berkata ketika
membahas biografi orang ini sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab
Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini
kepada Imam Ali tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian kalimat itu batil,
meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang
terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Al-Imam Ali.” (Siyar A’lamin
Nubala`, 17/589-590)
Beliau juga berkata:
“…Barangsiapa melihat buku Nahjul Balaghah, maka ia akan yakin bahwa
ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali, karena di
dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar
shahabat yaitu Abu Bakr dan Umar. Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut
kaidah sastra Arab, pen.) bagi orang yang kenal jiwa bangsa Quraisy (dan
tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat. Dan orang-orang
setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut
adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan, 4/223)
Ibnu Sirin menilai
bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali
Radhiyallahu’anhu adalah kedustaan. (Al-‘Alamus Syamikh, hal. 237). Juga
Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’
(juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang kedustaan kandungan kitab
ini.
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)
Sedangkan para ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad dan sanad tersebut
telah diteliti keshahihannya secara ilmiah ucapan-ucapan Ali
Radhiyallahu’anhu yang bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan 180
derajat. Di antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:
“Putuskanlah
sebagaimana kalian putuskan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga
manusia berada dalam satu jamaah atau lebih baik aku mati seperti para
sahabat-sahabatku.” (HR. Al-Bukhari kitab Fadha`il Shahabah bab Manaqib Ali z
dengan Fathul Bari juz 7 hal 424 no 2707)
Kedua, diriwayatkan
pula secara mustafidh (dalam jumlah banyak) dari Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu’anhu sendiri, sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dengan
menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah :
“Aku bertanya kepada
bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu): Siapakah manusia yang
terbaik setelah Rasulullah ? Ia menjawab: “Abu Bakr”. Aku bertanya (lagi):
“Kemudian siapa?” Ia menjawab: “Umar.” Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman,
maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali
seorang dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari, kitab Fadha`ilus Shahabah,
bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Ketiga, Ibnu
Taimiyah berkata bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah
diriwayatkan dari Al-Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya Ali ibnu
Abi Thalib Radhiyallahu’anhu pernah berbicara di mimbar Kufah, mengancam
orang-orang yang mengutamakan beliau di atas Abu Bakr dan Umar dengan cambukan
seorang pendusta.
“Tidak didatangkan
kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakr dan Umar kecuali akan
aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.”
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)
Keempat, Al-Imam
Al-Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai
kepada Ibnu Abbas bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu’anhu, dia berkata yang artinya:
“Sungguh aku pernah
berdiri di kerumunan orang yang bersama-sama mendoakan Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu yang telah diletakkan di atas
pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan sikunya di
kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu (Umar), dan aku berharap agar
Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan
Abu Bakr) karena aku sering mendengar Rasulullah bersabda: ‘Waktu itu aku
bersama Abu Bakr dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakr dan Umar…’,
‘aku pergi dengan Abu Bakr dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah
menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata
ia adalah Ali bin Abi Thalib.” (HR. Al-Bukhari dalam Fadha`ilus Shahabah bab
Manaqib Umar bin Al-Khaththab, 7/3685, 3677, dengan Fathul Bari)
Syarat Pemimpin
adalah Quraisy, Bukan Ahlul Bait
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:
Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah
telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Juga harus ada pada
seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah I akan mewarisi
bumi ini untuk orang-orang yang shalih:
“Sungguh telah Kami
tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya
bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya`: 105)
Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Oleh karena itu
ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya
juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan
diberikan kepada orang-orang dzalim dari keturunannya.
“Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku.”
Allah berfirman:
“Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang-orang yang dzalim.” (Al-Baqarah: 124)
Ibnu Katsir t
berkata mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Artinya adalah:
Adapun orang-orang yang shalih dari mereka maka Aku (Allah) akan jadikan mereka
sebagai pemimpin. Adapun orang yang dzalim dari mereka, maka Kami tidak akan
menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz
I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
“Kami jadikan di
antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(As-Sajdah: 24)
Sedangkan syarat
terakhir dari seorang pemimpin adalah Qurasyiyah (turunan Quraisy). Tentunya
syarat ini adalah setelah syarat-syarat tadi di atas. Maka kalaupun turunan
Quraisy, jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya
juga tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun jika ada beberapa orang
yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan
Quraisy , maka tentu saja yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah
dari turunan Quraisy .
Rasulullah menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:
Rasulullah menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:
“Dari Jabir bin
Samurah z, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah n, maka aku
mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga
berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan
ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang
dikatakan oleh beliau?” Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan riwayat yang
shahih ini jelaslah bahwa pemimpin tidak harus dari kalangan Ahlul Bait.
Tetapi Rasulullah hanya mengatakan Quraisy. Maka setelah itu para ulama
semuanya sepakat bahwa syaratnya hanya Qurasyiyah, baik dari Ahlul Bait ataupun
tidak.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.
Al-Imam Malik t
berkata: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy.” (Ahkamul
Qur’an, Ibnul ‘Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Orang-orang Syi’ah
Rafidhah dari sekte Imamiyah atau Itsna Atsariyyah meyakini bahwa kepemimpinan
setelah Rasulullah harus dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali bin Abi
Thalib, kemudian kepada Al-Hasan, kemudian Al-Husain kemudian terus kepada
turunan Al-Husain hingga berakhir dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar (Al-Mahdi yang
ditunggu) yang dianggapnya Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari yang sudah lahir dan
masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. Padahal sekian banyak
hadits seluruhnya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang
menyatakan dari Ahlul Bait.
Tidak Ada Wasiat
Khilafah untuk Ali bin Abi Thalib
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:
Aku bertanya kepada
Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi memberikan wasiat? Beliau menjawab:
“Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia
pesan-pesannya atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan
dengan Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari; Fathul Bari juz 5 hal. 356, hadits 2340;
dan Muslim dalam Kitabul Washiyyah juz 3 hal. 1256, hadits ke-16)
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
“Rasulullah n
tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula
seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul
Washiyyah, juz 3, hal. 256, hadits ke 18)
Dalam riwayat
Al-Bukhari dan Muslim lainnya dari Aswad bin Yazid, dia berkata:
“Mereka menyebutkan
di sisi ‘Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau
(Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah berwasiat kepadanya, padahal aku
adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia
berkata: pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba
beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah
meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas berkata:
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas berkata:
“Sesungguhnya
kerugian dari segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah untuk menulis
wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR.
Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal.
132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman
Laisa Lahu Syai`un Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.
Sebaliknya, kaum
Syi’ah Rafidhah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian
terhadap para shahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para shahabat adalah
untuk menghalangi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan untuk merebut tampuk
kepemimpinan, untuk kemudian diberikan kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Ucapan
mereka jelas batil dan dusta, karena Abu Bakr sendiri ketika itu tidak ada di
sana, beliau berada di daerah Sunh -di pinggiran kota Madinah- yaitu di rumah
salah satu istrinya. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela
Ahlul Bait sendiri, karena yang berkumpul di sana ketika itu kebanyakan adalah
keluarga dekat beliau. Maka mereka tidak pantas disebut pecinta Ahlul Bait.
Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas ,
bahwasanya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu keluar dari sisi
Rasulullah ketika sakitnya beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata:
“Wahai Abal Hasan (yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah ?” Beliau menjawab:
“Alhamdulillah, baik.” Maka Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah )
memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau demi
Allah setelah tiga hari menjadi orang yang dipimpin. Sungguh aku mengerti bahwa
Rasulullah akan wafat dalam sakitnya ini, karena aku mengenali
wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib ketika akan wafatnya. Mari kita menemui
Rasulullah untuk menanyakannya, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau
diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain
kita maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.” Maka Ali
bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada
Rasulullah kemudian tidak beliau berikan kepada kita, maka manusia tidak akan
memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak
akan memintanya kepada Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Maghazi, bab
Maradhun Nabiyyi wa wafatihi; Fathul Bari, 8/142, no. 4447)
Dr. Ali bin Muhammad
Nashir Al-Faqihi berkata: “Tidak cukupkah nash ini untuk membantah
Rafidhah yang mengatakan bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi
Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa
sisi:
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Sungguh sangat jelas
sekali dengan riwayat ini, bahwa yang menolak untuk meminta wasiat justru Ali
bin Abi Thalib sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain
tentang kejadian ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara
sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah dengan
tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
“Dari ‘Aisyah, ia
berkata; Rasulullah berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan
saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan
ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), kemudian seseorang
berkata: “Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang
beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144);
Lihat Ash-Shahihah, juz 2, hal. 304, hadits no. 690)
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Diriwayatkan dari
Abu Thufail bahwa Ali z ditanya apakah Rasulullah n mengkhususkanmu dengan
sesuatu? Maka Ali berkata: “Rasulullah n tidak menghususkan aku
dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa
yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari
sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih
untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
1 Ahlul bid’ah biasa mencampurkan
kebenaran dengan kebatilan untuk menipu kaum muslimin. Maka kebenaran yang ada
dalam buku tersebut merupakan umpan agar diterima kedustaan-kedustaan yang ada
di dalamnya, pen.
sumber
http://asysyariah.com/khilafah-tidak-mesti-pada-ahlul-bait.html