Selasa, 21 April 2015 - 09:26 WIB
Seorang
Muslim, jika hatinya ke Makkah maka akalnya ke Madinah, bukan ke Amerika,
demikian Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, mengistilahkan
Oleh: Muhammad Saad
Kedua,
karena misi para liberalis dan Syiah terancam, mereka rupanya tidak segan-segan
melakukan berbagai macam fitnah terhadap pejuang ‘NU Garis Lurus’ ini guna
menjagal aktivitas dakwahnya.
Dari tuduhan bahwa ‘NU Garis Lurus’ kemasukan kelompok
Salafy, sebagaimana fitnahan dalam tulisan M. Alim yang dimuat dalam situs
resmi NU www.nu.or.id berjudul “Meluruskan “NU Garis Lurus”.
Dalam artikel yang ditulis dengan emosional dan tanpa
referensi ini, penulis mengatakan dua hal;
Pertama, ‘NU
Garis Lurus’ adalah mengesankan bahwa NU struktural adalah NU yang tidak lurus. Kedua, ‘NU Garis Lurus’
merupakan bentukan untuk menandingi aliran-aliran yang dianggap sesat semisal
liberalisme dan Syiah yang ada di dalam tubuh NU struktural.
Sangatlah tidak benar keberadaan ‘NU Garis Lurus’
menganggap NU struktural tidak lurus. Jika yang dimaksud adalah NU yang
dicita-citakan oleh KH Hasyim Asy’ari, yaitu NU yang tegas kepada
aliran-aliran sesat, sebagaimana hal itu tertorehkan ketegasan beliau
dalam kitabRisalah
Ahlusunnah wal-Jamaah, dimana di dalam kitab tersebut beliau
mengkritik kelompok yang suka mengkafirkan, penganut Syiah imamiyah, penganut
aliran kebatinan dan pengikut aliran tasawwuf menyimpang dengan konsep manunggaling kawulo gusti [Hasyim Asya’ri, “Risalah
ahlusunnah wal Jamaah”, baca Maktabah
al-Turats al-Islamy hal.
09), maka ‘NU Garis Lurus’ tidak akan ada keberadaanya.
Kenyataanya, tubuh NU saat ini mulai sakit terserang
faham-faham menyesatkan yaitu liberalisme [baca: “As’ad: Indonesia Sedang Alami
Liberalisasi”, http://www.nu.or.id/).
Bahkan kepemimpinan NU saat ini dipegang oleh oknum yang
ternjangkit virus paham Syiah sekaligus liberal.
Hal inilah yang kemudian membangkitakan ulama-ulama NU
yang masih murni akidahnya termasuk KH Lutfi Bashori agar bisa ‘mengobati’ NU
dan memberasihkan dari faham-faham merusak Aswaja.
Istilah ‘NU Garis Lurus’ sendiri menurut Kiai Lutfi
Bashori adalah untuk membedakan dengan NU yang terkena faham muhaddamah [rusak) dan yang masih murni.
Pengasuh Ribath al-Murtadha ini pernah menyatakan,
“Sedangkan kata Garis Lurus adalah untuk membedakan dari warga NU –bahkan
sebagian tokoh NU– yang sudah keluar dari ajaran akidah KH. Hasyim Asy’ari
sebagai pendiri NU.” [Lutfi Bashori Alwi, “Panduan Aswaja Garis Lurus”,
hal. 1-3).
Padahal KH. Hasyim Asy’ari menegaskan NU adalah
organisasi yang berhalauan akidah Aswaja, dan menjadikan salah satu madzhab
empat yang ada di aswaja [Madzhab Syafii) sebagai madzhabnya [Hasyim Asy’ari, Ziyadah ta’liqat, hal.
24). Sedangkan Aswaja menurut Syeikh Hasyim dengan mengutip pendapat Syeikh
Syihab al-Khafaji adalah firqatu
al-Najiyyahyang disebutkan dalam hadits. [ Dalam Risalah Ahlusuunnah wal-jamaah,
hal. 23)
Keberadaan “NU Garis Lurus” bukanlah untuk menandingi
faham-faham yang dianggap sesat yang menjadi benalu di tubuh NU. Justru
keberadaan “NU Garis Lurus” sebagaimana penulis sebutkan tadi, ialah, untuk
meneruskan misi KH Hasyim Asy’ari membersihakan faham-faham yang diyakini
kesesatan-nya.
Faham-faham semisal SePILIS dan Syiah, dalam pandangan Islam bukan
faham yang diduga kesesatannya sebagaimana yang ditulis oleh M. Alim.
Eksistensi Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (SePILIS)
benar-benar telah mendekonstruksi akidah dan syariah Islam serta mendegradasi
akhlak kaum Muslimin.
Jika sekulerisme bertujuan menghilangkan peran agama
dalam kehidupan masyarakat, pluralisme ingin menyamakan semua agama memiliki
kebenaran, maka liberalisme adalah memayungi kedua paham tersebut.
Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, peneliti INSISTS menyebut 5
tanda orang/golongan berpaham liberal;
“Mengatakan bahwa liberalisasi dalam dunia Islam ditandai
dengan, pertama, gugatan terhadap Al-Qur’an. Kedua, pembelaan aliran sesat
ketiga, mendahulukan akal manusia daripada Tuhan. Keempat, mendukung
relativisme yang berujung pada pluralisme agama. Kelima, mempromosikan
skeptisisme.” [Hamid Fahmi Zarkasy dalam Misykat, [sub judul “Evil of Liberalisme”, hal.
152).
Belum lagi Syiah dengan konsep imamahnya telah melahirkan
konsep takfir kepada para sahabat mulya Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi
Wassallam.
Konsep imamah yang berujung pada takfir sahabat,
berlanjut kepada pengkafiran kepada Aswaja atas pembelaannya kepada para
Sahabat. Hal ini yang kemudian menimbulkan chaos antar kelompok di level bawah,
bahkan sampai pembantaian.
Meminjam istilah KH Lutfi Bashori Alwi, bahwa okmum
NU yang geram dengan keberadaan “NU Garis Lurus”, adalah
warga nahdhiyin yang terindikasi penyakit liberal
tanpa sadar, karena fanatik buta.
Menurut murid dari Prof. Dr Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki ini, mereka sebenarnya secara amaliah dalam beriabadah adalah sama
dengan nahdhiyin lainnya. Namun mereka liberal dalam
berwacana. Hal ini yang bermasalah. Di mana akal dan hatinya berbeda
dalam beraktifitas. Doktrin demikian lahir dari aliran filsafat dualisme. Orang
yang demikian adalah orang yang liberal tanpa sadar.
Istilah Dr Adian Husaini, mereka adalah Golongan Bingung [Golbing) [Dr Adian Husaini, “Islam Ragu-ragu”
versi Rektor UIN Yogya –
Hidayatullah.com).
Padahal Islam adalah agama tauhid. Islam bukan saja
doktrin, tapi Islam adalah worldview.
Karena Islam ajaran tauhid, maka cara pandang [worldview) seorang Muslim
adalah tauhidi. Hati, alam pikiran dan amaliyah seorang Muslim selalu integral.
Seorang Muslim, jika hatinya ke Makkah maka akalnya ke
Madinah, bukan ke Amerika, demikian Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, mengistilahkan.
[Orasi Ilmiah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban
Islam” di http://kholilihasib.com). Wallahu a’alam Bishawwab.*
Penulis adalah warna
NU, alumni PP Aqdaamul Ulama’ Pandaan-Pasuruan, Anggota Pejuang Aswaja Garis
Lurus
ASWAJA Garis Lurus: Pemerintah Bisa Larang Aktivitas
Syiah
Ahad, 15 Februari 2015 - 13:27 WIB
Pemerintah
bisa melarang berkembangnya Syiah serta segera menutup segala aktifitas yang
berafiliasi kepada ajaran Syiah
Pejuang Ahlus Sunnah (ASWAJA) Garis Lurus, yang juga Pengasuh
Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang, KH. Luthfi
Bashori Alwi mengatakan peristiwa penyerangan gerombolan pembela Syiah terhadap
jama’ah majelis Az-Zikra adalah bukti Syiah merupakan berbeda dengan Ahlus
Sunnah.
“Islam Indonesia adalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah sesuai peninggalan Wali Songo,” kata KH Luthfi kepada hidayatullah.com,
Sabtu (14/02/2015).
Karena itu, menurutnya, karena Indonesia
adalah Negara Ahlu Sunnah, lebih baik penganut Syiah bisa bergabung dengan
Negara Syiah, di Iran.
“Di sanalah Syiah menjadi agama resmi bagi
negara Iran,” tegas KH Luthfi yang juga Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI
Malang.
Demi keutuhan NKRI sebagai Bumi Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berdaulat, maka kata KH Luthfi sudah seharusnya
pemerintah baik pusat maupun provinsi lebih mendahulukan kepentingan
ketentraman umat Islam mainstream.
“Langkah yang bisa dilakukan pemerintah
antara lain dengan cara melarang berkembangnya Syiah di Indonesia serta segera
menutup segala aktifitas yang berafiliasi kepada ajaran Syiah,” tutup murid
Syeikh Muhammad Alawi al-Maliki, Makkah al-Mukarrama ini.*
Perbedaan Sunni – Syiah Cukup Banyak, Sampai Tataran
Konsep Syariah
“Media-media mainstream
tidak banyak yang mengerti Syiah. Kita baca jika ada berita konflik
Sunni-Syiah, media mainstream tidak mencari sebab, tapi mereka manampilkan
akibanya saja.”
Orang Sunni yang mengatakan Ahlus Sunnah sama dengan Syiah
seharusnya melihat bagaimana Syiah itu menilai tentang Ahlus Sunnah.
Kenyataannya, mereka membenci Ahlus Sunnah.
Demikian salah satu pernyataan KH.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi pada acara bedah buku “Teologi dan Ajaran Syiah
Menurut Referensi Induknya”, Jum’at kemarin (30/01/2015) di Hotel Elmi
Surabaya.
“Dalam buku ini kita beberkan Syiah secara
ilmiah apa adanya dari syari’ah sampai akidah,” tegas putra pendiri Pesantren
Gontor tersebut.
Hamid menilai perbedaan Ahlus Sunnah dengan
Syiah cukup banyak. Tidak hanya akidah yang telah jelas itu, tetapi sampai pada
tataran konsep-konsep syariahnya berbeda.
“Syiah itu berbeda dari beberapa
sisi. Seperti tentang isu tahrif
al-Qur’an, Sahabat Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam dan syariat.
Mereka misalnya, mengkafirkan semua Sahabat kecuali tiga”, tambahnya.
Dalam keterangannya, Hamid mempertanyakan
kampanye Syiah yang mengajak bersatu dengan Ahlus Sunnah.
“Kenapa Syiah sekarang mau menyama-nyamakan
dengan Ahlus Sunnah. Sementara di sana (Iran – pen) mereka justru
membeda-bedakan. Jumlah Sinagog Yahudi lebih banyak dengan jumlah masjid
Sunni,” kata direktur INSISTS itu.
Bagi Hamid, buku-buku induk Syiah perlu
diungkap.
Katanya, semakin banyak ajaran Syiah yang
diungkap, masyarakat mulai memahami bahwa teologi Syiah menyimpan kebencian
terhadap pengikut Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam, yaitu Ahlus Sunnah.
Pernyataan Hamid itu ditegaskan oleh Idrus
Ramli dari Aswaja Center PWNU Jawa Timur itu.
“Kita menyampaikan apa adanya tentang
Syiah. Bahwa Syiah mengandung bid’ah. Dalam bid’ah Syiah itu ada yang dhalal (sesat) dan ada yang sampai pada
kekufuran,” ujar pakarnya.
“Jika kita baca kitab-kitab Syiah, akan
ditemukan mengaku sendiri bahwa Tuhan Syiah tidak sama dengan Tuhan yang
disembah orang Sunni. Itu seperti dikatakan sendiri oleh Ni’matullah
al-Jazairi,” ujar kiai alumni pesantren Sidogiri Pasuruan ini.
Idrus Ramli dalam kesempatan ini banyak
menerangkan tentang Ahlul Bait yang sering dijadikan Syiah sarana kampanye.
“Yang membela dan mencintai Ahlul Bait
adalah Ahlus Sunnah bukan Syiah. Ahlus Sunnah memasukkan istri nabi sebagai Ahlul Bait, sedangkan
Syiah meyakini istri nabi bukan Ahlul Bait. Syiah ini merusak Ahlul Bait,”
tambahnya.
Idrus menilai Syiah tidak layak mengaku
pengikut Ahlul Bait apalagi pecintanya. Sebab, Syiah sebenarnya tidak punya
sanad ke Ahlul Bait.
“Justru sebaliknya, semua imam madzhab
dalam Ahlus Sunnah pernah berguru kepada Ahlul Bait. Seperti imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i belajar ke ulama dari Ahlul Bait Sunni” tegas kiai asal Jember.
Sementara pemateri ketiga disampaikan oleh
Henri Shalahuddin, MA. Henri yang juga editor bukut tersebut berpendapat bahwa
ajaran Syiah itu banyak yang aneh-aneh dan tidak rasional.
“Memang, kalau baca fatwa-fatwa dan kitab
mereka, banyak sekali yang aneh”, ujarnya.
Dalam keterangannya ia menampilkan
gambar-gambar dan scan kitab dalam slide yang atraktif.
Dalam bedah buku ini juga dihadiri oleh Dr.
Adian Husaini dan Herry Mohammad, redaktur senior Majalah Gatra.
Menanggapi keterangan Henry, menurut Adian,
meski banyak ajaran yang aneh tapi yang lebih aneh di Indonesia banyak yang
suka keanehan.
Logika mereka juga terlalu rendah untuk
didebat.
“Jangan terlalu melayani mereka. Kita perlu
bentengi Sunni”, tegas Adian
Karena itu saran Adian, kita tidak hanya
sampai membeberkan keanehan-keanehan itu saja namun sudah saatnya harus
menyadarkan Syiah.
“Sekarang kita perlu bentuk dai-dai muda
yang bisa menyadarkan Syiah. Kita ajari mahasiswa misalnya untuk bisa
mensunnikan kembali Syiah,” ujarnya.
Herry Mohammad dalam kesempatan ini
mengapresiasi buku yang diterbitkan (Institute for Study of Islamic Thought and
Civilization) INSISTS itu.
“Ini satu-satunya buku di Indonesia tentang
Syiah yang disajikan secara ensiklopedis dengan bahasa ilmiah,” kata wartawan
senior ini.
Kata dia, kita mencari tema-tema pokok
Syiah apa saja bisa didapatkan di buku ini.
Secara khusus, buku ini kata Herry
diharapkan bisa menjadi rujukan utama memahami Syiah. Terutama untuk para insan
media.
“Media-media mainstream tidak banyak yang mengerti Syiah. Kita
baca jika ada berita konflik Sunni-Syiah, media mainstream tidak mencari sebab, tapi mereka
manampilkan akibanya saja.”
Padahal, baginya, media harus tahu penyebab
utama terjadinya gesekan Syiah tersebut.
Bedah buku ini diselenggarakan oleh
Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya bekerja sama dengan
INSISTS dan MIUMI Jawa Timur.
Buku Teologi dan Ajaran Syiah Menurut
Referensi Induknya merupakan kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh delapan
belas penulis. Mengupas seluk-beluk ajaran Syiah dengan merujuk kepada
referensi induk mereka.*
baca juga :