Posted on October 28,
2015 by tabayyunnews
Yang terparah “Duta Majusi
Syi’ah ini melancarkan misi Syi’ahisasinya dengan menawarkan program kota
kembar antara Pariaman dan kota Qum di Iran,” sebagaimana diprihatinkan
pengguna Facebook dengan akun Abu Sholeh Al-Anshary pada Rabu (13/11).
PARIAMAN– Apakah Anda
mengenal istilah tabuik? Di dalam Wikipedia, tabuik dijelaskan sebagai perayaan
lokal dalam rangka memperingati hari Asyura, yakni peristiwa gugurnya Imam
Husain, cucu Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam, yang dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota
Pariaman. Dengan demikian, Tabuik merupakan ritual dari ajaran syiah, namun
sayangnya ini tetap dilestarikan masyarkat awam, bahkan dianggap sebagai
kearifan lokal oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Padang, sebagaimana
perayaan yang diliputPadang Ekspres (PE), Selasa (12/11/2014).
Pada Festival Tabuik
masyarakat menampilkan kembali “drama” Pertempuran Karbala, dan memainkan
drum tassa juga dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan
jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut.
Maka sudah tidak diragukan
lagi bahwa budaya Tabuik hubungannya sangat erat dengan tradisi kaum syiah.
Terbukti dengan terus hadirnya wakil Duta Besar Iran dalam puncak perayaan
Tabuik di kota Pariaman kemarin (12/11), lansir PE. Yang terparah “Duta
Majusi Syi’ah ini melancarkan misi Syi’ahisasinya dengan menawarkan program
kota kembar antara Pariaman dan kota Qum di Iran,” sebagaimana diprihatinkan
pengguna Facebook dengan akun Abu Sholeh Al-Anshary pada Rabu
(13/11).
“Sebagai warga Pariaman,
tentu saja hal ini sangat berbahaya sekali bagi aqidah Ummat Islam khususnya
Pariaman,” ujar Abu Sholeh selaku warga Pariaman. Selain itu, hal ini seolah
menjadi pendukung dari semakin merajalelanya praktik-praktik kemusyrikan di
Pariaman, seperti mendatangi kuburan Syeikh Burhanudin demi mengharapkan berkah
serta berdoa di kuburannya, sebab ini juga ritual yang sangat didukung oleh
kaum syiah. Inilah peluang besar bagi majusi syiah untuk melancarkan misinya
menyebarkan agama syiah di Pariaman yang harus diwaspadai Kaum Muslimin.
Sangatlah mengherankan,
mengapa budaya-budaya seperti ini, yang tidak ada hubungannya dengan Islam
dilestarikan oleh pemerintah daerah? Bahkan sengaja mereka memberinya berbagai
macam istilah pengganti dengan sebutan wisata religius atau pun kearifan lokal.
Apakah iranisasi sudah sedemikian kuatnya di Pariaman?
“Tentu saja ini merupakan
kewajiban para ulama dan para da’i untuk menghadang semua makar kaum syiah di
Sumatera Barat khususnya Pariaman. Jangan sampai kita kecolongan dengan
serangan masif kaum syiah ini. Tidak ada sedikit pun keuntungannya bagi Kaum
Muslimin dengan keberadaan mereka di Ranah Minang,” pungkas Muslim Pariaman
itu.(adibahasan/arrahmah.com) Adiba HasanKamis,
20 Muharram 1436 H / 13 November 2014 10:02
*******
Tabot, Tabuik dan Nikah
Mut’ah
By nahimunkar.com on 15
August 2011
–Imbas Aliran Sesat Syi’ah
ini berlangsung bahkan dilestarikan karena manusianya tak peduli entah syirik
entah haram, entah mengancam aqidah entah menyebarkan bahaya penyakit; yang
penting fulus
Sebagian tokoh syi’ah ada
yang pernah mengklaim, bahwa sebenarnya ideologi syi’ah sudah diterima
masyarakat Indonesia sejak lama, dengan menunjuk kepada fenomena budaya
berupa Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Sumatera Barat,
juga maraknya praktek nikah mut’ah di sejumlah daerah di Indonesia.
Klaim seperti itu sebenarnya
tidak berdasar, karena meski sebagian (kecil) masyarakat
Indonesiamerayakan Tabot atauTabuik dan mempraktekkan nikah
mut’ah, namun landasannya bukan pemahaman keagamaan, tetapi semata-mata faktor fulus.
Tradisi Tabot atau Tabuik menjadi menarik diprogramkan
secara berkala karena anggarannya menggiurkan, mencapai milyaran.
Sedangkan nikah mut’ah dipraktekkan karena dijadikan solusi instan
untuk keluar dari kemiskinan turun temurun atau menyalurkan syahwat dengan cara
haram namun dibolehkan oleh aliran sesat syi’ah.
Tabot Bengkulu
Konon Tabot yang
merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, yang menikah
dengan gadis Bengkulu. Namun ada juga yang mengatakan, Tabot dibawa
oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham Syi’ah
pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh kolonialis Inggris
untuk membangun Benteng Marlborough.
Parapekerja asal Madrasdan
Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk setempat, termasuk dengan
keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak pinak, sehingga membentuk
komunitas Sipai. Orang-orang Sipai inilah yang melanjutkan
dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya, tradisi Tabot ini belum pernah
secara luas diterima sebagai tradisi lokal oleh masyarakat Bengkulu pada
umumnya. Dalam makna lain, sepenggal ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja
dari Madras dan Bengali hanya diterima oleh orang-orang Sipai saja.
Namun belakangan,
orang-orang Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran
syi’ah, namun masih mempraktekkan tradisi Tabot semata-mata untuk
mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang mereka. Akhirnya, seiring
perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dimaksudkan untuk
mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husein ra yang tewas di Padang
Karbala, kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang didanai pemerintah
setempat (pemprov maupun pemkot). Yang namanya pesta, lebih banyak menjurus
kepada hura-hura semata.
Pada tahun 2010,
tradisi Tabot di Bengkulu yang berlangsung 6-16 Desember 2010,
menelan biaya Rp 1,2 milyar.Sebesar Rp 500 juta berasal dari dana Pemprov
bengkulu, sedangkan sebesar Rp 640 juta lainnya berasal dari Pemkot Bengkulu.
Selebihnya diperoleh dari donatur. Biasanya, tradisi Tabot yang kini
diberi nama Festival Tabot ini berlangsung pada tanggal 01 hingga 10
Muharram setiap tahunnya.
Secara lebih tegas,
tradisi Tabot menjadi festival budaya lokal dengan nama Festival
Tabot, sudah berlangsung sejak 1990. Penyelenggaranya, tetap dari
komunitas Sipai yang menamakan diri Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu
(KTB). Pada tahun 2010 lalu, diselenggarakan di depan Tugu Thomas Parr,
Kelurahan Malabero, dan dihadiri oleh seluruh unsur Muspida provinsi Bengkulu.
Juga para bupati dan wakil bupati di seluruh kabupaten dankota.
Tabut konon berasal dari
bahasa Arab yaitu At-Tabut, yang berarti kotak atau peti mati sebagai
perlambang peti mati berisi jenazah Husein ra. Peti-peti tersebut kemudian akan
dibuang ke laut (dilarung), namun kini lebih sering dibuang ke rawa-rawa tak
jauh dari pemakaman umum Karbela yang diakui sebagai tempat
dimakamkannya jasad Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo. Di Bengkulu, Tabot yang
dilarung berjumlah 17 buah, untuk mengenang perintisTabot di daerah ini
yang berjumlah 17 orang. Isi Tabot antara lain aneka bendera berikut
tiang, tombak bermata ganda, tiruan pedang Zufikar dalam ukuran yang jauh lebih
kecil. Pedang Zulfikar adalah senjata perang yang biasa digunakan Rasulullah
SAW.
Sebelum melarung Tabot,
sejumlah ritual lebih dulu dilaksanakan selama 10 hari sebelumnya, antara lain
upacara pengambilan tanah, upacara sakral duduk penja, upacara menjara, upacara
arak jari-jari, hari Gam atau tidak ada bunyi-bunyian, Tabot naik pangke, malam
arak gedang dan arak-arakan Tabot terbuang. Itu semua tidak ada contohnya
dalam ajaran Islam.
Pada Festival Tabot 2010
lalu, Tabot yang diarak kemudian dibuang berjumlah 39 buah. Terdiri dari 17
Tabot ritual dan 16 tabot turutan serta 6 Tabot pembangunan. Dari sekitar Rp
1,2 milyar biaya Festival Tabot, ada sebagian (kecil) dari dana tersebut yang
dialokasikan untuk dibagi-bagikan kepada Kerukunan Keluarga Tabot (KKT).
Seiring perjalanan waktu,
tradisi Tabot yang semula dapat ditemukan di sejumlah kawasan di Aceh (Pidie,
Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil), dan Sumatera Barat (Painan, Padang,
Pariaman, Maninjau), Alhamdulillah kini sudah tiada kecuali di Pariaman selain
di Bengkulu. Di Pariaman, tradisi Tabot dinamakan Tabuik, yang bermakna sama,
peti.
Tabuik Pariaman
Pariaman bermakna daerah
yang aman, adalah sebuah kota yang pernah menjadi bagian dari Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat. Sejak 2002 Kotif Pariaman menjadi Kota Pariaman
dengan empat Kecamatan. Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal
sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei
(India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot, di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang
melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad SAW.
Bila di bengkulu
dinamakan Festival Tabot, di Pariaman dinamakan Pesta Budaya Tabuik
Piaman yang sejak 1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot
Pariaman. Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman juga diselenggarakan pada
tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas meninggalnya
Husein ra (cucu Nabi Muhammad SAW).
Menurut Uun Halimah
(uun-halimah.blogspot.com), prosesi panjang Tabuik diawali dengan membuat
tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik
subarang). Masing-masing terdiri dari dua bagian (atas dan bawah) yang
tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk
menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan,
bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia.
Bagian bawah ini menurut Uun
Halimah pula, mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein ra ke
langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya,
bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah.
Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan
terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik
biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian
tabuik (atas dan bawah) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua
tabuik tadi dipajang berhadap-hadapan dan merupakan personifikasi dari dua
pasukan yang akan berperang.
Ba’da Ashar, kedua tabuik
diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibopong oleh delapan orang
pria. Arak-arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua
tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang diPadangKarbala. Usai
diadu, kedua tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang tabuik ke laut ini
melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus,
melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.
Terkesan, tradisi tabuik ini
merupakan perpaduan antara tradisi syi’ah dan Hindu. Maka untuk memberi
kesan Islami, pada perayaan tabuik yang berlangsung selama 10 hari ini,
dibumbui pula dengan hal-hal yang berbau Islam, antara lain pengajian yang
melibatkan ibu-ibu serta murid-murid TPA dan Madrasah Kota Pariaman.
Tahapan Pesta Budaya Tabuik
di pariaman pada dasarnya sama saja dengan Festival Tabot di Bengkulu:
Membuat tabuik.
Menyatukan bagian atas dan
bawah tabuik (tabuik naik pangkat).
Mengambil tanah yang
dilakukan saat adzan Maghrib (maambiak tanah). Pengambilan tanah ini mengandung
pesan bahwa setiap manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.
Tanah yang sudah diambil tadi kemudian diarak dan disimpan di dalam daraga,
sebuah wadah berukuran 3 x 3 meter, dibalut kain putih, akhirnya dimasukkan ke
dalam tabuik (pelambang peti jenazah).
Mengambil batang pisang
(maambiak batang pisang), kemudian ditanamkan di dekat pusara.
Mengarak panja yang berisi
jejari tangan tiruan keliling kampung (maarak panja-jari). Makna simboliknya,
untuk memberitahukan kepada pengikut Husein ra bahwa jari-jari tangan Husein ra
yang tercecer saat Perang Karbala telah ditemukan.
Mengarak sorban (maarak
sorban), yang mengandung makana simbolik bahwa Husein ra telah tewas dipenggal
lawannya.
Membuang tabuik, yaitu
membawa tabuik ke pantai dan dibuang ke laut.
Pada tahun 2010 lalu, Pesta
Budaya Tabuik Piaman digelar pada tanggal 7 hingga 19 Desember 2010. Agar
terlihat Islami, pesta budaya ini diawali dengan Dzkir Bersama dan Tausiyah.
Menurut Mukhlis Rahman (Walikota Pariaman),pesta budaya tabuik tahun 2010
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena pada tahun 2010 ini juga
ditampilkan pagelaran Barongsai, yang merupakan budaya khas Cina.
Jadi, pesta budaya tabuik
pariaman ini campuran berbagai unsur, yaitu syi’ah, Hindu, Cina Konghucu dan
Islam. Boleh jadi, ini namanya sinkretisme yang mengandung kemusyrikan,
dan dibiayai pemerintah setempat.
Nampaknya, pemkot Pariaman cukup
serius menjadikan tradisi tabuik sebagai bagian dari objek wisata lokal yang
bisa dijual. Faktanya, pada tanggal 9 April 2011 lalu, pemkot Pariaman
meresmikan dua unit Rumah Tabuik, yang dimaksudkan sebagai pusat kebudayaan,
seni, dan tradisi Pariaman. Dana pembuatan rumah tabuik ini berasal dari
APBN sebesar Rp2,3 miliar dan dana APBD Pariaman Rp1,71 miliar. Rumah
tabuik terdiri dari Rumah Tabuik Pasayang berlokasi di Jl. Syech
Burhanuddin. Satu unit lainnya yaitu Rumah Tabuik Subarang terletak
di Jl. Imam Bonjol.
Menurut penjelasan pihak
terkait, Rumah Tabuik didirikan untuk menjalankan fungsi sebagai Museum Budaya,
agar masyarakat luas dapat memperoleh informasi lengkap tentang proses
pembuatan tabuik dan latar belakang sejarah yang menyertainya. Juga,
dimaksudkan sebagai pusat pembuatan seluruh prosesi Tabuik. Yang lebih penting,
dua unit rumah tabuik ini dimaksudkan sebagai alternatif tujuan wisata di
kawasan Sumatera Barat.
Nikah Mut’ah
Berbeda dengan Tabot atau
Tabuik yang dibiayai pemerintah, dan dijadikan salah satu kekayaan budaya
lokal, nikah mut’ah alias kawin kontrak justru dirazia aparat setempat. Namun,
meski sering dilakukan razia berkala, keberadaan nikah mut’at alias kawin
kontrak ini tetap saja eksis bahkan kian subur. Ada yang mengatakan,
pemerintah sendiri tidak terlalu serius memberantas kemunkaran model ini,
karena kedatangan wisatawan berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak menjadi
salah satu pendapatan daerah yang lumayan.
Bila di Bengkulu ada istilah
orang-orang Sipai, yaitu keturunan mantan serdadu Inggris asal India yang
mempromosikan tradisi tabot khas syi’ah, maka di kawasan Desa Tugu,
Cisarua, Bogor, Jawa Barat, ada sebuah pemukiman yang dinamakan kampung Sampay,
yang terkenal sebagai pemasok wanita calon pelaku nikah mut’ah alias kawin
kontrak. Nikah mut’ah alias kawin kontrak ini biasanya terjadi antara wanita
setempat dengan pria berwajah Timur Tengah.
Meksi sudah dinyatakan haram
oleh MUI Pusat dan MUI setempat, namun wanita lokal peminat nikah mut’ah dengan
pria berwajah Timur Tengah ini kian hari kian banyak saja. Bahkan tidak hanya
dari Kampung Sampay, namun sudah meluas ke berbagai daerah sekitar, seperti
Cianjur dan Sukabumi, bahkan dariJakarta. Namun demikian, praktik nikah
mut’ah alias kawin kontrak tetap terpusat di kawasan Cisarua, atau lebih
dikenal dengan kawasan Puncak yang terkenal berhawa sejuk dan banyak
ditemukan sejumlahvilauntuk disewakan.
Praktik nikah mut’ah alias
kawin kontrak di kawasan Puncak ini, bercampur baur dengan pelacuran yang
biasa menjamur di kawasan tujuan wisata berhawa sejuk ini. Keduanya
sama-sama perbuatan zina yang kadang diberantas, tapi apakah serius
atau tidak wallahu a’lam.
Pada tahun 2010 lalu, ketika
aparat setempat melakukan razia terhadap pelaku nikah mut’ah di kawasan
Cisarua, dari sejumlah pelaku terdapat dua diantaranya perempuan asal Jakarta,
yang berstatus mahasiswi. Mereka adalah Aida (saat itu 22 tahun) dan Sarah
(saat itu 20 tahun). Aida warga Semper, Jakarta Utara ini mengakui sebagai
mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Sedangkan Sarah warga Jakarta Timur ini mengaku berstatus sebagai mahasiswi di
salah satu perguruan tinggi swasta yang berlokasi di kawasan Kalibata, Jakarta
Selatan.
Aida memang sengaja terjun
menjadi pelacur dengan kedok nikah mut’ah, untuk membiayai kuliahnya. Sedangkan
Sarah, terjun ke kancah pelacuran dengan kedok nikah mut’ah karena berhasil diperdaya
seorang kaki tangan mucikari. Namun akhirnya Sarah pun larut sejak 2007, seolah
keenakan jadi pelacur dengan sebutan nikah mut’ah itu.
Saat itu aparat pun berhasil
membekuk sejumlah imigran berwajah Timur Tengah pelaku nikah mut’ah alias kawin
kontrak alias zina. Mereka berasal dari Irak danAfghanistan. Kedatangan
wisatawan asal Irak danAfghanistantersebut, melalui jalur tidak resmi alias
ilegal.
Pada tahun 2011, khususnya
bulan Juni lalu, aparat setempat kembali melakukan razia. Dari sejumlah perempuan
pelaku nikah mut’ah yang berhasil diamankan aparat, salah satunya bernama
Fitriasih yang saat itu belum genap berusia 18 tahun. Namun, Fitriasih sudah
menjalani praktik nikah mut’ah selama delapan bulan dengan 11 pria berwajah
Timur Tengah.
Fitriasih asal Cijantung
(Jakarta Timur) ini hanya lulusan SMP dan pernah menikah saat umurnya memasuki
usia 17 tahun. Perkawinan itu bubar dalam waktu singkat. Dengan sadar,
Fitriasih memasuki zona haram bernama kawin kontrak.
Menurut penuturan Fitriasih,
usia nikah mut’ah yang pernah dijalaninya paling singkat sekitar tiga minggu,
dan paling lama sekitar satu bulan, dan ada “sang mami” alias mucikarinya yang
menjalankan peran sebagai perantara.
***
Dari gambaran di atas, jelas
bagi kita bahwa nikah mut’ah alias kawin kontrak telah dijadikan sarana untuk
membungkus pelacuran dengan hal-hal yang berbau agamis, terutama ajaran syi’ah
yang membolehkan nikah mut’ah. Bahkan di Iran sendiri menurut republika.co.id
edisi Kamis 09 Juni 2011, praktik nikah mut’ah menjadi lebih digandrungi
ketimbang nikah permanen. Apalagi praktik yang haram menurut Islam ini justru
difasilitasi oleh pemerintah Iran. Yang lebih mengejutkan lagi, praktik nikah
mut’ah di Iranpaling menonjol terjadi di kotaQumyang dianggap sebagai kotasuci
dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama, yang sebagian besar lulusannya
menjadi ulama Syiah ternama.Astaghfirullah… (haji/tede – nahimunkar.com)
Foto: MelayuOnline
(nahimunkar.com)