Monday, November 9, 2015

Membantah Syi’ah: Masalah Mereka Menjadikan Hari Asyura sebagai Hari Berkabung

 
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

Di antara keburukan orang-orang Rafidhah, mereka menjadikan hari kematian Al-Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai hari berkabung. Mereka tidak berhias, menampakkan kesedihan, mengumpulkan para wanita untuk meratap, menggambar kubur Al-Husainradhiyallahu ‘anhu, menghiasinya, dan berthawaf padanya di jalan-jalan sambil mengatakan, “Wahai Husain.” Mereka terlalu berlebihan dalam hal itu dengan keekstriman yang diharamkan.
Semua ini adalah bid’ah. Meninggalkan berhias merupakan sikap berkabung yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  sebagaimana hal itu datang dalam kitab Ash-Shahih.[189]
Adapun niyahah (meratapi mayit), termasuk kemungkaran jahiliyah terbesar dan akan berakibat dari apa yang mereka lakukan berbagai kemungkaran serta keharaman yang tidak terhitung banyaknya.
Semua ini adalah bid’ah dan kemungkaran. Orang yang melakukannya, ridha terhadapnya, yang membantunya, dan menjadi pegawainya, semuanya berserikat dalam bid’ah. Adapun orang yang berusaha untuk menghilangkannya, ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka diharapkan dia akan mendapat pahala yang besar.
Asy-Syaikh Ibnu Taimiyyah Al-Hambali Al-Harrani rahimahullah[190] berkata,
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadaku dan kepada engkau, bahwa kesyahidan yang menimpa Al-Husain radhiyallahu ‘anhu di hari Asyura merupakan karamah dari Allah ‘azza wa jalla yang dengannya Allah muliakan beliau, tambahan keberuntungan, pengangkatan derajat di sisi Rabbnya, menggabungkan beliau ke derajat ahli baitnya yang suci, serta agar menjadi hina orang yang menzhalimi dan berbuat aniaya kepada beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang orang yang paling keras cobaannya, beliau menjawab,
“Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang paling mirip dengan mereka, kemudian yang di bawahnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika ada kekokohan dalam agamanya, akan ditambah ujiannya dan jika ada kelunakan dalam agamanya, maka akan diringankan. Dan terus saja ujian itu menimpa seorang mukmin sampai dia berjalan di atas muka bumi dalam keadaan tidak punya kesalahan lagi.[191]
Sehingga seorang mukmin, jika telah tiba hari Asyura dan ingat peristiwa yang menimpa Al-Husain, hendaknya dia menyibukkan diri dengan bacaan istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un), tiada lain, sebagaimana Allah Al-Maula ‘azza wa jalla perintahkan ketika terjadi musibah, sehingga dia bisa meraih pahala yang dijanjikan dalam firman-Nya,
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang- orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 157)
(Hendaknya dia) memperhatikan buah dari ujian tersebut dan pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang bersabar, di mana Dia berfirman,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Dan bersaksi bahwa musibah itu dari Allah yang memberikan ujian, sehingga dengan penglihatan Dzat yang dicintainya, akan lekas terlupakan rasa pahit dan susah cobaan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan kalian, maka sesungguhnya kalian berada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur: 48)
Dikatakan kepada seorang penjahat yang keji lagi licik, “Kapan hukuman cambuk dan potong itu terasa ringan bagimu?” Dia menjawab, “Ketika kami dilihat oleh orang yang kami senangi, kami pun menilai musibah itu sebagai kelapangan, keengganan sebagai pemberian, dan musibah sebagai karunia.”
Sehingga, orang yang berakal akan selalu ingat dengan perkara yang semisal hal ini ketika keadaan seperti itu, akan menganggap kecil berbagai musibah, kesusahan dan cobaan dunia yang menimpanya, serta akan terhibur dan sabar menghadapi musibah-musibah yang menimpanya itu kemudian menyibukkan harinya dengan berbagai ketaatan dan amal shalih yang dimampuinya karena adanya motivasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan puasa di hari Asyura, sehingga dengan semua itu dia menggunakan waktunya untuk berbagai macam taqarrub, mudah-mudahan dia ditulis dari golongan orang-orang yang mencintai keluarga dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukannya dia menjadikan hari tersebut untuk berkabung, meratap, dan bersedih sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh itu, sebab yang seperti itu bukanlah akhlak dan jalan ahli bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Andaikan yang seperti ini merupakan jalan mereka, tentunya umat Islam akan menjadikan hari wafatnya Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hari berkabung tiap tahunnya. Ini semua tidak lain hanyalah penghiasan dan penyesatan syaithan.
Asy-Syaikh kemudian berkata setelah menyebutkan hal itu[192], “Demikianlah, sebagaimana juga dihiaskan kepada kaum yang lain lawan dari perbuatan Rafidhah. Mereka menjadikan hari Asyura ini sebagai ‘ied (hari raya), lantas mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita.”
Mungkin mereka dari golongan nawashib yang fanatik menancapkan permusuhan terhadap Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan ahli baitnya atau dari kalangan orang-orang bodoh yang hendak menghadapi kerusakan dengan kerusakan, menghadapi keburukan dengan keburukan dan bid’ah. Mereka menampakkan perbuatan berhias seperti mencat rambut, memakai pakaian baru, bercelak, membagi sedekah, memasak berbagai makanan dan biji-bijian yang tidak biasanya mereka lakukan dalam keseharian. Mereka melakukan di hari itu apa yang dilakukan di hari raya dan mereka sangka bahwa hal seperti itu bagian dari As-Sunnah dan kebiasaan yang baik.
Adapun sunnahnya adalah meninggalkan hal itu seluruhnya, sebab tidak datang satu hadits pun yang bisa dijadikan sandaran dalam hal itu dan tidak ada atsar shahih untuk menjadi rujukan.”
Sampai beliau berkata,
“Mereka, dengan kebodohannya itu menjadikan hari Asyura sebagai suatu hari yang layaknya pekan raya ‘ied dan kegembiraan. Adapun orang-orang Rafidhah menjadikannya sebagai hari berkabung, mereka tampakkan padanya berbagai kesedihan. Masing-masing dari kedua kelompok ini salah, keluar dari As-Sunnah, mencampakkan dirinya ke dalam perbuatan haram dan dosa.”
Ibnul Qayyim berkata[193],
“Adapun hadits-hadits tentang memakai celak, minyak rambut, dan wewangian di hari Asyura, maka termasuk pemalsuan para pendusta. Lantas, mereka dihadapi oleh kelompok yang lain yang menjadikan hari itu sebagai hari berkabung dan bersedih. Kedua kelompok ini sama-sama ahli bid’ah, keluar dari As-Sunnah. Adapun apa yang disebutkan dari orang-orang Rafidhah yang mengharamkan daging binatang yang halal dimakan di hari Asyura sampai mereka membacakan kitab tentang kematian Al-Husain radhiyallahu ‘anhu termasuk kebodohan dan bahan tertawaan, dalam membantahnya tidak butuh kepada satu dalil pun. Cukup bagi kami Allah dan Dialah sebaik-baik Dzat yang diserahi urusan.” Selesai ucapan Asy-Syaikh dengan sedikit diringkas.
Kejelekan-kejelekan kelompok ini terlalu banyak untuk disebutkan, aib-aib mereka terlalu tenar untuk diperkenalkan, sehingga dengan ini, kiranya cukup untuk mengetahui mazhab mereka yang tidak laku dan pendapat mereka yang rusak.
_________________________
188 Peletakan bab ini tambahan dari kami dan tidak terdapat dalam naskah Ar-Rasyid.
189 Riwayat Al-Bukhari no. 5774 dan Muslim no. 1486 dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, ‘Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkalung atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami selama 4 bulan sepuluh hari’.”
190 Majmu’ Al-Fatawa jilid 25 hal. 302,307 dan 308
191 Hadits dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2403, Ibnu Majah no. 4023 dan Ad-Darimi no. 2681. Hadits ini shahih.
192 Majmu’ Al-Fatawa jilid 25 no. 309-310
193 Dalam Al-Manar Al-Munif hal. 89 cet. Darul ‘Ashimah.
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu Bakr Abdur Razzaq bin Shalih bin Ali An-Nahmi; Judul Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]