Belum lama ini,
sebuah acara diskusi ilmiah tentang Syiah diikuti mahasiwa dan mahasiswi Indonesia di International Islamic
University Malaysia (IIUM), Kualalumpur.
Dalam diskusi ilmiah bertema ”Memahami Kelainan Sy’iah” yang
diselenggarakan oleh IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor Cabang
Malaysia dan ISFI (Islamic
Studies Forum for Indonesia) menghadirkan Henri Shalahuddin,
MA, peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations).
Dalam makalahnya, Henri memaparkan beberapa bukti standar ganda
yang dilakukan kaum Syiah.
Di antara yang dipaparkan Henri adalah sebuah buku yang ditulis
Emilia Renita, seorang pendakwah Syi’ah berjudul “40 Masalah Syi’ah”.
Renita, dalam buku itu menyatakan, bahwa tujuan dia menulis
bukunya bukan untuk menghujat, menyerang dan mengkafirkan Ahlussunnah.
Pernyataannya ini diperkuat oleh suaminya, Jalaluddin Rakhmat. Dalam
pengantarnya, ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) ini
yang bertindak sebagai editor buku tersebut mengaku bahwa salah satu tujuan
ditulisnya buku istrinya itu adalah untuk menumbuhkan saling pengertian di
antara mazhab-mazhab dalam Islam.
Untuk menguatkan pendapatnya, Emilia bahkan memaparkan bahwa
penafsiran para ulama Syi’ah yang menulis kitab-kitab tafsir “Tafsir al-Shafi”, “Majma’ al-Bayan”, “al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an” dan “al-Bayan fi Tafsir” tehadap surat Al-Hijr ayat
9 yang artinya; “Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (al-Qur’an) dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” yang dinilai menguatkan jaminan
Allah dalam menjaga al-Qur’an.
Hanya saja masalahnya, menurut Henri, di satu sisi mereka
menyatakan demikian, namun di sisi lain banyak buku-buku Syiah secara aktif dan
provokatif menyebarkan paham kebencian kepada sahabat Nabi Shalallaahu ‘Alaihi
Wasallam (صلى
الله
عليه
و
سلم).
Soal Tahrif
Beragam penyesatan terhadap ajaran Ahlussunnah, termasuk menuduh
para ulama Sunni membenarkan adanya tahrif dalam al-Qur’an dengan
menjungkirbalikkan makna beberapa Hadits yang diyakini kesahihannya oleh kaum
Sunni, demikian ungkap Henri.
Dalamnya bukunya, Emilia juga membantah adanya tahrif
(penambahan dan pengurangan) al-Qur’an dalam aqidah Syi’ah dan menyatakan bahwa
pendapat tahrif di kalangan ulama Syiah adalah lemah. Namun pernyataan ini
ditampik Henri.
Padahal menurut Henri, “Sejak dulu sampai sekarang para ulama
Syi’ah menolak adanya tahrif dalam al-Qur’an.“
Namun Henri membuktikan bantahan dan pemaparan Emilia ini sangat
berbeda dengan kenyataan.
Dua kitab tafsir “Tafsir al-Shafi” karya al-Faidh al-Kasyani
dan “Majma’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an” karya Abu ‘Ali al-Thabarsi
ternyata di dalamnya terdapat penambahan lafadz asing dalam ayat Kursi.
Henri menemukan, setelah lafadz: “Lahu ma fi l-samawati wa ma fi
l-ardh”, ada penambahan lafadz: “Wa ma baynahuma wa ma tahta l-tsara ‘alim
al-ghayb wa l-syahadah al-rahman al-rahim.”
Standar ganda bukan hanya dilakukan Emilia yang sekadar
pendakwah, namun juga dilakukan ulama besar Syi’ah kebanggaan tokoh-tokoh
Syi’ah sedunia yang bernama Abul Qasim al-Khuiy (1317H/1899M-1984M) yang
menulis kitab tafsir “al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
Di dalam satu kitab yang sama tersebut beliau melakukan dua hal
yang bertolak belakang. Di satu tempat dia menolak tahrif dalam al-Qur’an
dengan menjelaskan dalam satu fasal khusus tentang keterjagaan al-Qur’an dari
tahrif (shiyanatul
Qur’an min al-tahrif) dengan menulis di bagian akhir:
“Seperti yang telah kami sebutkan (sebelumnya), sungguh menjadi jelaslah bagi
para pembaca bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang tahrif dalam al-Qur’an
adalah Hadits khurafat dan khayalan belaka yang hanya diucapkan oleh orang yang
lemah akalnya…”
Namun di bagian lain beliau meyakini adanya tahrif dengan
menulis; “Sesungguhnya banyaknya periwayatan yang menyebutkan adanya tahrif
dalam al-Qur’an diwarisi secara meyakinkan, yang sebagiannya muncul dari
orang-orang yang maksum (imam-imam Syiah, pen)… dan sebagiannya diriwayatkan
dengan jalan yang terpercaya”. (al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, hal. 226).
Henri menyimpulkan, standar ganda ini adalah bagian dari taqiyyah
kaum Syi’ah.
“Karena adanya taqiyyah, menghadapi kaum Syi’ah
lebih susah dari pada menghadapi Islam Liberal”, ujarnya.*/Abdullah al Mustofa, Lumpur, Malaysia
Rabu, 14 Maret 2012 Hidayatullah.com— dalam judul: Menghadapi Syiah Lebih Susah dari
Penganut Liberal