ilustrasi: proses eksekusi pemberontak Kurdi di
Iran tahun 1979
Ada Banyak ‘Al-Nimr’ Di Iran
Oleh: Alwi
Alatas
PADA Sabtu 2 Januari 2016, pemerintah Saudi
Arabia mengeksekusi mati 47 tahanan, kebanyakan Sunni yang dituduh melakukan
aksi terorisme, tetapi di antaranya ada seorang tokoh Syiah bernama Nimr Baqir
al-Nimr.
Nimr, yang sempat beberapa tahun
belajar di Iran, berulang kali ditangkap pemerintah Saudi karena sering
mengritik dan juga karena keterlibatannya dalam demonstrasi terhadap pemerintah
yang dianggap telah melakukan diskriminasi terhadap komunitas Syiah di selatan
negeri itu. Saudi Arabia dikatakan memiliki sekitar 10-15% populasi Syiah.
Eksekusi al-Nimr menimbulkan reaksi
keras di kalangan komunitas Syiah di beberapa negara, tetapi reaksi terbesar
datang dari Iran.
Pada hari yang sama dengan eksekusi
al-Nimr, sejumlah orang menyerang kedutaan Saudi di Teheran, dan juga konsulat
di Masyhad, dan melemparinya dengan molotov, walaupun kemudian dihalau dan
ditangkap oleh polisi Iran (Sergie, Mohammed. “Saudi
Arabia Executes 47, Including Prominent Shiite Cleric” dalam
Bloomberg.com, 2 Januari 2016.; IRNA, 4 Januari 2016).
Kritik secara langsung juga datang dari
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, yang mengatakan Saudi akan
menerima pembalasan Tuhan atas apa yang telah dilakukannya (Nasseri, Ladane. “Who Was the Cleric Saudis
Executed and Why His Death Matters” dalam Bloomberg.com. 3 Januari
2016).
Saudi menyikapi Teheran dengan
memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, langkah yang diikuti oleh beberapa
negara teluk lainnya.
Saudi dan Iran sejauh ini merupakan dua
pihak yang paling bertanggung jawab di balik terjadinya perang proksi di
beberapa wilayah di Timur Tengah seperti Suriah dan Yaman. Ketegangan di antara
kedua negara ini kini mencapai puncaknya dan boleh jadi akan semakin memanas
dalam beberapa waktu ke depan. Apa yang dilakukan Saudi pada hari-hari
belakangan ini mungkin dapat dikatakan terlalu percaya diri dan akan mendorong
terjadinya konflik sektarian lebih jauh di dunia Islam. Tetapi protes keras
yang dilakukan Teheran juga menarik untuk dicermati.
Apa sebenarnya yang menjadi alasan Iran
dalam mengecam keras eksekusi terhadap al-Nimr? Apakah hal ini dilandasi oleh
alasan yang bersifat sektarian, yaitu karena al-Nimr seorang Syiah? Atau karena
“ini adalah kejahatan kemanusiaan”, sejalan dengan apa yang diteriakkan oleh
sekumpulan demonstran di depan kedutaan Saudi di Jakarta baru-baru ini? (Indonesia
didesak putuskan hubungan diplomatik dengan Arab Saudi,
nbcindonesia.com, 4 Januari 2016)
Jika yang terakhir ini yang menjadi
alasannya, yaitu al-Nimr merupakan korban pelanggaran kemanusiaan, maka kita
perlu melihat juga file-file kemanusiaan di Iran. Karena sebenarnya ada banyak
“al-Nimr” di negara itu.
Sejak Revolusi 1979, pemerintah Iran
telah melakukan banyak penangkapan, penyiksaan di penjara, dan eksekusi tahanan
tanpa proses pengadilan yang memadai; terlalu banyak untuk dituliskan
seluruhnya bahkan di dalam sebuah buku. Korbannya bukan hanya warga negaranya
yang Ahlus Sunnah atau kelompok minoritas lainnya di negeri itu, tetapi juga
kalangan Syiah sendiri. Diskriminasi juga dilakukan oleh pemerintah Iran,
terutama di wilayah-wilayah berpenduduk non-Persia seperti Baluchistan, Ahwaz,
dan daerah berpenduduk Kurdi.
Kalau dulu di Indonesia dikenal adanya
“pasal karet”, Iran pasca revolusi juga memiliki pasal semacam itu. Orang-orang
yang dianggap berseberangan dengan pemerintah seringkali ditahan dengan tuduhan “moharebeh”, diambil
dari kata haraba, yang kurang
lebih bermakna “musuh Tuhan” atau “melakukan perang terhadap Tuhan”. Mereka
yang melakukan tindakan yang dinilai memusuhi pemerintah Iran dapat dikenai
tuduhan sebagai “musuh Tuhan”.
Tuduhan ini sudah digunakan sejak awal
revolusi untuk membungkam mereka yang berseberangan dengan pemerintah Iran,
bersama dengan beberapa bentuk tuduhan lainnya: “murtad”, “mengacaukan
pemikiran masyarakat”, “propaganda melawan pemerintah”, “menantang pandangan
Khomeini”, “menghina otoritas”, dan “menghina kesucian agama” (Mir-Hosseini
& Tapper, 2006: 32). Sebagian yang ditahan dan dieksekusi mungkin
benar-benar melakukan apa yang dituduhkan, tetapi tidak sedikit yang menjadi
korban, atau dijadikan target oleh pemerintah Iran, disebabkan sifat lentur
dari tuduhan-tuduhan ini.
Sedikit contoh akan diberikan di sini.
Pada bulan Oktober 2015, Iran
Human Rights (29
Oktober 2015) melaporkan bahwa seorang pemuda Sunni bernama Shahram Ahmadi
telah ditetapkan hukuman mati melalui proses pengadilan yang cepat dan tertutup
di Iran. Ia tidak sendirian, ada sekitar 40 tahanan politik Sunni lainnya di
penjara Rajai Shahr, atau disebut juga penjara Gohardasht, yang telah ditetapkan
hukuman mati oleh pengadilan Iran dan sedang menunggu saat-saat eksekusi. Di
antaranya terdapat seorang pemuda bernama Barzan Nasrollahzadeh yang diduga
telah ditahan ketika ia masih di bawah umur. Kebanyakan mereka dituduh memiliki
hubungan dengan kelompok Salafi, dan kemungkinan telah mengalami penyiksaan
fisik dan psikologis selama berada di dalam tahanan, hal yang biasa terjadi di
penjara-penjara Iran (lihat Abrahamian, Ervand. Tortured Confessions: prison and
Public Recantations in Modern Iran. Berkeley: University of
California Press. 1999).
Foto Shahram Ahmadi dan
ibunya. Menjadi salafi atau berhubungan dengan kalangan salafi tampaknya di
Iran dianggap sebagai suatu kejahatan, satu bentuk moharebeh. [iranhr.net]
Menjadi salafi atau berhubungan dengan kalangan salafi
tampaknya di Iran dianggap sebagai suatu kejahatan, satu bentuk moharebeh, tetapi masalahnya tuduhan ini juga dapat dilontarkan
kepada mereka yang sebenarnya tidak memiliki kaitan apa-apa dengan kelompok
salafi.
Shahram
ditembak dan ditangkap pada tahun 2009 di Sanandaj, sebuah kota di Barat Laut
Iran yang mayoritas penduduknya Kurdi. Ia diinterogasi dan dimasukkan ke
penjara setempat, sebelum dipindahkan ke Rajai Shahr.
Shahram ditembak dan ditangkap pada tahun 2009
di Sanandaj, sebuah kota di Barat Laut Iran yang mayoritas penduduknya Kurdi.
Ia diinterogasi dan dimasukkan ke penjara setempat, sebelum dipindahkan ke
Rajai Shahr.
Tuduhan yang dikenakan kepadanya adalah
memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok Salafi dan membunuh imam solat
Jum’at di Sanandaj. Shahram menolak tuduhan-tuduhan itu dan, melalui
surat-suratnya yang diselundupkan keluar penjara, menganggap bahwa alasan
dirinya ditangkap adalah semata karena ia seorang Sunni yang aktif berdakwah.
Saudaranya yang bernama Bahram Ahmadi juga ditangkap pada tahun 2009 ketika
umurnya masih di bawah 18 tahun. Pada akhir Desember 2012, Bahram dan sembilan
pemuda Sunni lainnya telah dieksekusi mati oleh pemerintah Iran (Iran Human
Rights, 29 Oktober 2015; HRANA, 8 November 2015).
Telah kehilangan satu anaknya dan akan
segera kehilangan satu anak lainnya, ibu Bahram dan Shahram meratapi keadaan
itu dan menulis sebuah surat. Ia tak mengerti mengapa anaknya dikenai tuduhan moharebeh dan mesti dihukum mati hanya karena
biasa melakukan aktivitas keagamaan di masjid. Dalam surat itu ia antara lain
menulis:
“Apa yang dapat saya lakukan sebagai
seorang ibu yang sudah lumpuh? Bahram, saudaranya, juga digantung. Seberapa
jauh seorang ibu dapat sabar menghadapinya? Setiap hari dan malam saya menangis
pada Tuhan meminta kepada-Nya agar saya diwafatkan saja. Sebagai seorang Muslim
Sunni, kami tidak didengar [di Iran]…. Gantung saja saya daripada anak saya dan
selesaikan semuanya. Mati lebih baik daripada kamu biarkan saya tetap hidup.
Anak saya [Shahram] belum lagi berusia 30 tahun, atas dosa apa kamu membunuh
anak-anak kami? Saya bersumpah pada Allah, satu hari nanti, kamu harus menjawab
atas darah-darah tak berdosa [yang telah kamu tumpahkan ini].” (Taheri, Kaveh. “Iran: Yet another Sunni prisoner
of conscience, Shahram Ahmadi, to be ganged” dalam theoslotimes.com. 31 Oktober
2015.)
Ini baru sedikit contoh kasus
pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di Iran yang kebetulan terjadi pada
komunitas Sunni. Korban kemanusiaan dari kalangan Syiah bahkan lebih banyak
lagi, bukan hanya orang-orang biasa, tetapi juga dari kalangan ayatollah dan grand
ayatollah. Ayatollah Kazem Shariatmadari, ayatollah Khagani, sekedar menyebut
contoh, masing-masing meninggal didalam tahanan rumah karena berseberangan
paham dengan Khomeini, begitu pula dengan ayatollah Rastegari yang berkali-kali
ditangkap dan dikenai tahanan rumah di bawah pemerintahan Khamenei. Mereka
mengalami semua itu karena sikap oposisinya terhadap pemerintah.
Ada ribuan “al-Nimr” yang menjadi
korban di Iran sejak revolusi tahun 1979. Tapi mungkin semua itu tidak dianggap
sebagai suatu masalah kemanusiaan oleh the
Supreme Leader dan
para pengikutinya, dan dipandang tak lebih dari sekadar “pembalasan Tuhan” yang
dijalankan oleh pemerintah Iran.
Terlepas dari tepat tidaknya eksekusi
yang dilakukan pemerintah Saudi, saya hanya mampu tertegun saat membaca
komentar-komentar Khamenei terkait hukuman mati al-Nimr. “The Almighty God shall not ignore
the innocents’ blood and the unjustly spilled blood will backfire on the
politicians and the executives of this regime very quickly,” kata
pemimpin tertinggi Iran itu, dan “The Muslim world and the entire
world must feel responsible towards this issue,” ujarnya lagi pada
kesempatan yang lain (The Office of the Supreme Leader, 3 Januari 2016).
Satu pikiran pun terlintas di dalam
benak, “Tuan Khamena’i, apakah Anda tidak merasa bertanggung jawab atas
tumpahnya ribuan ‘darah tak berdosa’ di Iran, di bawah pemerintahan Anda
sendiri? Darah-darah itu pada satu hari nanti akan memercik juga ke wajah Anda,
di dunia ini, di dalam lembaran-lembaran Sejarah, atau di negeri yang
berikutnya.”*
Penulis
buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III
Daftar Pustaka
Abrahamian, Ervand. Tortured
Confessions: prison and Public Recantations in Modern Iran.
Berkeley: University of California Press. 1999.
HRANA. “Shahram Ahmadi at the Imminent
Risk of execution” dalam hra-news.org. 8 November 2015.
Iran Human Rights. “Sunni Man in Danger of Imminent
Execution in Rajai Shahr Prison” dalam iranhr.net. 29 Oktober 2015.
IRNA. “UN Envoy: Iran doing best to
arrest attackers of Saudi Embassy” dalam irna.ir/en/. 4 Januari
2016.
Mir-Hosseini, Ziba & Tapper, Richard. Islam and Democracy in Iran:
Eshkevari and the Quest for Reform. London: I.B. Tauris. 2006.
Nasseri, Ladane. “Who Was the Cleric Saudis Executed
and Why His Death Matters” dalam
Bloomberg.com. 3 Januari 2016.
NBC Indonesia. “Indonesia didesak putuskan
hubungan diplomatik dengan Arab Saudi” dalam nbcindonesia.com. 4
Januari 2016.
Sergie, Mohammed. “Saudi
Arabia Executes 47, Including Prominent Shiite Cleric” dalam Bloomberg.com. 2 Januari 2016.
Taheri, Kaveh. “Iran:
Yet another Sunni prisoner of conscience, Shahram Ahmadi, to be ganged” dalam theoslotimes.com. 31 Oktober
2015.
The Office of the Supreme Leader. “Ayatollah Khamenei strongly
condemns the execution of Sheikh Nimr Baqir al-Nimr by Saudi Arabia” dalam leader.ir. 3 Januari 2016.
LOGIKA YANG JUNGKIR BALIK
5 January 2016
Di awal tahun 2015 pemerintah iran
membunuh dengan menggantung hampir 700 aktifis yg kebanyakan para ulama
ahlussunnah SEPERTI yang ada dalam gambar
Lalu ketika 2 januari saudi mengeksekuti mati penjahat
Syiah di Saudi yang bernama Namer al-Namir (fotonya di pojok kiri bawah)
beserta tertusuh teroris lainnya syiah marah dan menduduki dan menjarah
kedutaan Saudi di iran
benar kata penyair Syiah asal Irak yang dikabarkan dihukum mati oleh Syiah
sendiri karena membongkar aib Syiah dan menulis syair berjudul “kami (orang
syiah) bangsa yang tidak tahu malu”
http://www.gensyiah.com/7000-sunni-irak-divonis-mati-pemerintah-syiah-irak.html
http://www.gensyiah.com/7000-sunni-irak-divonis-mati-pemerintah-syiah-irak.html
http://www.gensyiah.com/marja-syiah-membongkar-rencana-hitam-iran-terhadap-arab-saudi.html
http://www.gensyiah.com/sejarah-ahwaz-dan-upayanya-bebas-dari-penjajah-iran.html
http://www.gensyiah.com/pertanyaan-untuk-presiden-iran-mengapa-tidak-ada-menteri-atau-gubernur-sunni-di-iran.html
http://www.gensyiah.com/syiah-iran-bahrain-dan-yaman-akan-membasmi-ahlussunnah-hijaz-dalam-10-tahun.html
http://www.gensyiah.com/logika-yang-jungkir-balik.html
http://www.gensyiah.com/logika-yang-jungkir-balik.html