Ikhlas dalam Beribadah
( IT : Interlude of Topics )
Senin, 21 Desember 2015 -
12:54 WIB
Jika seseorang ingin kondisinya diketahui orang lain,
berarti ia telah tertipu.
Jauhilah perasaan bangga dan ingin
dilihat orang. Sebab, nafsu sangat senang bila amal disebut-sebut dan dipuji
SIAPA menghendaki
akhir yang baik, ia perlu menyiapkan awal yang baik. Siapa menghendaki surga,
ia pun harus ikhlas dalam beramal. Siapa yang bersungguh-sungguh menuju AllahSubhanahu
wa Ta’ala, pasti Allah menjauhkannya dari gangguan para musuh,
melindunginya dari kejahatan, membantu kehidupannya, menunjukinya pada amal
yang baik dan benar.
Allah
berfirman, “Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan
petunjuk dan diberi sifat takwa.” (Muhammad: 17).
Jadi
janganlah sekali-kali iri hati, kecuali pada seorang hamba yang telah diberi
pakaian takwa dan telah mencicipi lezatnya ikhlas.
Betapa
indahnya bila seseorang tinggal bersama kekasihnya tanpa ada yang mendampingi.
Jika kemudian ia ingin diketahui dan disaksikan orang, berarti cintanya tidak
tulus.
Jika
seseorang ingin kondisinya diketahui orang lain, berarti ia telah tertipu.
Syaddad ibn Aws mendengar Rasulullah Shalallaahu
‘Alahi Wasallam bersabda,
“Siapa berpuasa karena riya berarti telah berbuat syirik. Siapa melaksanakan
shalat karena riya berarti telah berbuat syirik. Dan siapa bersedekah karena
riya berarti telah berbuat syirik.” (HR al-Bayhaqi).
Namun,
ibadah yang disertai hawa nafsu memang akan menjadi ringan dilakukan, sementara
ibadah yang tidak disertai hawa nafsu menjadi sangat berat. BETAPA BERAT IBADAH
YANG DIKERJAKAN TANPA DILIHAT ORANG. SEBALIKNYA, BETAPA RINGANNYA IBADAH
DILAKUKAN BILA DILIHAT, DIPUJI, DAN DISANJUNG OLEH ORANG.
Contoh yang
paling jelas adalah ketika kita melakukan haji sunah –sesudah yang wajib–sekian
puluh kali, itu takkan memberatkan kita. Tetapi, kalau ada yang menganjurkan
kita untuk bersedekah sebanyak ongkos haji tersebut kepada para fakir miskin
atau untuk pembangunan masjid, kita akan menjadi bakhil dan merasa berat.
Sebab, berhaji bisa disaksikan dan diketahui banyak orang.
Di sinilah
hawa nafsu bermain. Lantaran sering berhaji, kita bisa menjadi orang terkenal.
Sementara bersedekah adalah perbuatan rahasia dan tak diketahui banyak orang
sehingga tiada yang bisa dibanggakan.
Demikian
pula ketika kita menuntut ilmu tidak karena Allah, dalam kondisi tersebut kita
mampu belajar semalam suntuk. Nafsu dan hasrat menjadi terpuaskan. Tapi, kalau
kita disuruh untuk shalat malam dua rakaat, itu akan terasa berat sebab dalam
dua rakaat yang kita lakukan itu nafsu tidak mendapat tempat. Sementara dengan
membaca dan belajar, nafsu mendapat tempat karena bisa membanggakan ilmu yang
kita miliki di hadapan orang. Oleh karena itu, aktivitas membaca dan belajar
itu pun menjadi ringan. Hal-hal seperti itu tentu saja adalah kerugian yang
nyata.
Dari Mahmud
ibn Labid diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Yang paling aku
takutkan atas kalian adalah syirik yang paling kecil.” Para sahabat pun
bertanya, “Apa syirik terkecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.”
Ketika
membalas semua amal perbuatan manusia, Allah berkata, “Pergilah ke orang-orang
yang kalian ingin agar amal kalian dilihat mereka di dunia. Apakah mereka mampu
memberikan balasan?” (HR Ahmad)
WAHAI saudaraku, lakukanlah amal-amal saleh secara
rahasia, sehingga hanya kita dan Allah yang mengetahuinya. Upayakan agar jangan
ada yang melihatnya. Jadikan amal tersebut sebagai amal yang tulus hanya untuk
Allah, sehingga kita bisa mendapatkan dalam timbangan amal kebaikan di hari
kiamat kelak.
Allah
berfirman, “Pada hari ketika tiap-tiap jiwa mendapati hasil segala perbuatan
baiknya berada di hadapannya.” (Al `Imran: 30).
Jauhilah
perasaan bangga dan ingin dilihat orang. Sebab, nafsu sangat senang bila amal
disebut-sebut dan dipuji. Jangan sampai menghapus pahala amal yang dengan susah
payah dilakukan. Juga, jangan pergunakan diri kita pada suatu maksiat.
Rasulullah
bersabda, “Siapa memakai pakaian ketenaran, Allah akan memakaikan kepadanya
pakaian kehinaan pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah).
Abaikanlah
nafsu rendahan dan hasrat yang rapuh. Sebaliknya, perhatikanlah kadar, pahala,
dan imbalan yang Allah berikan atas suatu perbuatan. Jiwa merupakan permata
berharga yang harus kita pergunakan untuk melakukan amal yang terbaik.
Mungkinkah orang melemparkan permata berharga ke tempat sampah? Mengapa kita
berjuang memperbaiki aspek lahiriah dengan mengabaikan rusaknya batin? Kita
persis seperti orang berpenyakit kusta. Ia memakai baju baru dari sutera,
tetapi dari dalam tetap tercium bau busuk yang tidak enak. Apabila melihat
penampilan lahiriahnya kita akan terpesona. Namun, apabila menyingkap apa yang
ada di baliknya, pasti kita merasa jijik.
Kita hanya
sibuk membenahi apa yang terlihat oleh orang, tidak membenahi kalbu yang
menjadi milik Tuhan. Allah berfirman, “Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan
Tuhannya, lakukanlah amal saleh dan jangan menyekutukan Tuhan dengan siapa pun.” (al-Kahfi:
110).
Wahai
manusia yang hanya mau memakan nasi dari beras yang sudah disaring bersih,
saringlah amalmu dari segala jenis ria, dan bersihkan dari perasaan ingin
dikenal orang. Dengan demikian, yang tersisa dari amalmu adalah yang
betul-betul ikhlas. Sedangkan lainnya mesti dibuang.
Saudaraku,
kita harus memperbagus amal, bukan memperbanyaknya. Sebab, AMAL YANG BANYAK
TANPA DIBARENGI KUALITAS DAN KEIKHLASAN SEPERTI BAJU YANG BANYAK TAPI MURAH
HARGANYA. SEMENTARA AMAL YANG SEDIKIT JIKA BERKUALITAS DAN SEMPURNA SEPERTI
SEDIKIT BAJU YANG MAHAL HARGANYA.
Amal yang
ikhlas laksana mutiara. Bentuknya kecil, tetapi mahal nilainya. Orang yang
kalbunya sibuk bersama Allah lalu ia bisa mengalahkan hawa nafsu dan ujian yang
muncul secara tepat, maka orang tersebut lebih baik daripada mereka yang banyak
melakukan shalat dan puasa sementara kalbunya sakit, terisi oleh keinginan
untuk dikenal dan keinginan mendapat kesenangan.
Ada yang
berpendapat bahwa yang menjadi perhatian orang zuhud adalah bagaimana
memperbanyak amal, sedangkan perhatian orang arif (yang mengenal Allah) adalah
bagaimana memperbaiki keadaan jiwa dan mengarahkan kalbu hanya kepada Allah
semata.*/Syekh
Ibn ‘Atha’illah (Izza Rohman Nahrowi, Ed.), dari buku Ikhlas Tanpa Batas.
Rep: Admin Hidcom
Editor:
Syaiful Irwan
Pelengkap :
(Buletin Dakwah Islam, No. 2, 2
Rabiul Akhir 1436/23 Januari 2015)
Keikhlasan adalah hal yang paling pokok dalam
amal ibadah kita. Bahkan, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan
di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk
beribadah dengan mengikhlaskan agama untukNya.”(QS. Al Bayyinah: 5)
Tidaklah satu amalan kecuali diiringi dengan
keinginan dan niat yang niat ini wajib kita murnikan untuk Allah ta’ala semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap – tiap
orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhori nomor 1, Muslim
nomor 155 & 1907)
Niat adalah perkara yang dapat membedakan
antara amalan ibadah dengan kebiasaan. Contoh, seseorang mandi dengan niatan
hanya untuk membuat tubuhnya segar, maka ini dianggap sebagai amalan kebiasaan.
Berbeda halnya dengan orang yang mandi wajib dengan niatan ibadah dikarenakan
dia junub, maka ini termasuk amalan ibadah. Oleh karena itu,
seandainya seseorang mandi karenajunub, kemudian dia mandi hanya dengan
niatan menyegarkan tubuhnya maka mandi wajibnya tidak sah dan dia harus
mengulangi mandinya dengan niatan ibadah untuk mengangkat hadats.
Dengan niat pula dapat dibedakan ibadah satu
dengan ibadah yang lainnya. Sebagai contoh, ada dua orang yang sedang
melaksanakan shalat dua rakaat. Keduanya berbeda. Yang satu melaksanakan shalat sunnah dan
lainnya shalat wajib, maka dengan niatlah dibedakan dua amalan ibadah mereka,
walaupun tata caranya sama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim
hendaklah kita senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan segala amalan ibadah
karena Allah ta’ala, mengharapkan ridhoNya, dan kehidupan akhirat,
sehingga apa-apa yang kita lakukan dari amalan ibadah tersebut diterima oleh
Allah ta’ala yang akan memberatkan timbangan amalan dan pahala
di sisiNya.
Keikhlasan menjadi ukuran (barometer) akan
nilai besar kecilnya amalan yang kita lakukan. Seseorang yang shalat dengan
penuh kekhusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat dari hal-hal yang wajib
atau sunnah-nya, takut dengan azab Allah ta’ala, dan
mengharapkan rahmatNya. Tentunya, ibadah ini akan bernilai sangat besar di sisi
Allah ta’ala. Berbeda dengan orang yang melaksanakan shalat yang
meski dilaksanakan dengan penuh kehusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat,
tetapi ia melakukannya agar dilihat orang lain atau menginginkan sanjungan
orang lain atau takut pada seseorang, sehingga amalan seperti ini akan sia-sia
dan tidak bernilai disisi Allah ta’ala sedikit pun. Bahkan
amalan ini akan mendatangkan azab bagi pelakunya, sebagaimana hal ini
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau
bersabda,
“Sesungguhnya. manusia yang pertama kali
dihisab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan
kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas Allah bertanya,
‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hambaKu?’. Ia menjawab, ‘Saya
berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid.’ Allah
berkata, ‘Dusta kamu! Sebenarnya kamu berperang bukan karenaKu, melainkan agar
kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar
tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan
ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al Qur’an dan
mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia
mengetahuinya dengan jelas. Allah ta’ala bertanya, ‘Apa yang
telah kamu perbuat?’. Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu dan
mengajarkannya. Saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah ta’alaberkata,
‘Kamu dusta! Akan tetapi, kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al
Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca dan kini kamu telah
dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan
dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seorang laki-laki yang
diberi keluasan rejeki oleh Allah. Lalu, ia menginfakkan hartanya semua.
Setelah itu, diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya
dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’. Ia menjawab,
‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda
tersebut dijalan yang Engkau ridhoi.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Akan tetapi,
kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini
kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia
dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Wahai kaum muslimin jangan sampai kita menjadi
seperti orang-orang yang Allah ta’ala gambarkan dalam Al Quran
Al Karim,
O تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً O عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ O وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ Oهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةO
“Sudah datangkah kepadamu (berita) hari
pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi
kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al Ghasyiyah: 1
– 4)
Dalam ayat yang lain,
O الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاًO
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
“Katakanlah, apakah akan kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al
Kahfi 103-104)
Semoga Allah ta’ala memberikan
taufik kepada kita semua untuk terus berada di atas keikhlasan dalam seluruh
amalan ibadah dan istiqomah di atasnya. Serta kita memohon
kepada-Nya agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan kepada Allah ta’ala seperti riya’
(ingin dilihat orang lain) dansum’ah (ingin di dengar orang lain).
Dialah Allah yang maha pemberi taufik dan maha
berkuasa atas segala sesuatu.
Wallahu a’lam bish shawab
Tinggalkan Syubhat & Yang Haram Karena Allah,
Niscahya Gantinya Jauh Lebih Indah
23 Desember 2015
Seorang salafusholih yang bergelar Al-Miski karena tubuhnya
yang wangi, Abu Bakar Al-Miski pernah ditanya, "Kami selalu mencium aroma wangi ketika
bertemu dengan anda, apa rahasianya?"
Al-Miski
menjawab, "Demi Allah, aku tidak pernah memakai wewangian seumur
hidupku. Adapun sebab tubuhku selalu wangi adalah; dulu ada seorang wanita yang
menggodaku, hingga ia mampu mengajakku ke dalam rumahnya lalu mengunci
pintunya, kemudian ia memaksaku agar aku mau melayani nafsunya, sehingga aku
rasakan dunia terasa begitu sempit saat itu."
Maka aku
berkata kepadanya; "aku ingin membersihkan diriku dulu, lalu
ia menyuruh pembantunya mengantarkanku ke kamar kecil. Ketika aku berada di
sana, akupun langsung mengambil kotoran yang berada di dalam kamar kecil itu
dan melumurkannya ke seluruh tubuhku, kemudian aku kembali menemui wanita
tersebut dengan tubuh yang berlumuran kotoran dan sangat bau."
Ketika ia
melihatku, iapun terkejut dan menyuruh pembantunya untuk mengusirku dari
rumahnya.
Aku
segera pulang, kemudian mandi dan membersihkan diriku. Ketika aku tidur di
malam harinya, aku bermimpi ada seseorang yang berkata kepadaku; Engkau telah
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapapun, sungguh kami akan
mengharumkan tubuhmu di dunia dan di akhirat. Ketika aku bangun maka aroma
wangi menyelimuti diriku dan hal itu berlangsung sampai saat ini.? (Kitab
Al-Jaza' min Jinsil 'Amal, Al-?Affani.
Fatamorgana
yang Haram dan Syubhat
Dalam
menghambakan diri kepada Rab,terkadang jalan yang dilalui oleh seorang hamba
penuh dengan berbagai macam perkara syubhat,haram yang menguji kualitas
ibadahnya kepada Alloh Menjadi lebih berat,ketika nafsu juga mensuplai tubuh
untuk berhasrat memenuhi keinginan-keinginan haram dan syubhat,karena
fatamorgana kenikmatan yang ditawarkan
Dan sang iblis-pun tidak pernah mengenal lelah untuk
senantiasa menarik setiap bani adam tenggelam dengan perkara haram dan syubhat
tersebut,dan membuat pelakunya senantiasa merasa berat untuk meninggalkan
karena janji-janji kosong sang iblis,padahal muara dari yang haram serta
syubhat hanyalah kegetiran hidup
Tinggalkan
Yang Haram dan Syubhat, Pasti Indah Gantinya dari Alloh
Sebagaimana
Yusuf `alaihis salam yang meninggalkan isteri raja karena Allah dan lebih
memilih penjara daripada berbuat keji, maka Allah menggantinya dengan kekuasaan
di muka bumi, di mana saja ia kehendaki. Lalu, datanglah kepadanya wanita (yang
dulu menggodanya) dengan segala kerelaan dan memelas, memintanya dengan penuh
cinta untuk membina hubungan yang halal, lalu ia pun menikahinya.
Ketika
malam pertama, Yusuf berkata kepadanya, "Ini lebih baik daripada apa yang dulu
kamu kehendaki."
Dan pula
ketika orang-orang Muhajirin meninggalkan kampung halaman dan tanah air yang
paling mereka cintai karena Allah maka Allah memberikan ganti untuk mereka
berupa penaklukan dunia dan Allah menjadikan mereka berkuasa di Timur dan Barat.
Dan ini
adalah sunnatullah untuk segenap hamba-Nya pada zaman dahulu dan sekarang
bahkan hingga datang hari Pembalasan.
Ubay bin
Ka'ab radhiallahu `anhu berkata, "Tidaklah seorang hamba meninggalkan
sesuatu karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik
daripadanya dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan tidaklah seorang hamba
menganggap remeh hal yang diharamkan, sehingga ia mengambil yang tidak baik
kecuali Allah memberinya sesuatu yang lebih berat daripadanya."
(Diriwayatkan
oleh Waki' dalam Az-Zuhd, 2/635; Hanad, no.851; Atsar ini juga dikuatkan oleh
hadits Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya secara marfu: "Tidaklah seorang hamba meninggalkan
sesuatu karena Allah, tidak ia tinggalkan kecuali karenaNya, niscaya Allah
menggantinya dengan yang lebih baik daripada-Nya dalam hal agama maupun
dunianya." (Dikeluarkan oleh Abu Nu?aim dalam
Al-Hilyah, 2/196).
Tidaklah
Allah mengharamkan sesuatu kepada hamba-hambaNya melainkan Allah
menggantikannya dengan yang lebih baik.
Sebagaimana
Allah mengharamkan riba atas mereka dan Allah menggantikannya dengan
perdagangan yang menguntungkan, Allah mengharamkan sutera (untuk
laki-laki) dan menggantinya dengan berbagai macam pakaian. Allah
mengharamkan zina dan homoseksual lalu menggantinya dengan pernikahan.
Allah
mengharamkan minuman keras dan menggantinya dengan minuman-minuman lezat. Allah
mengharamkan mendengarkan alat-alat musik dan menggantinya dengan mendengarkan
Al-Qur?anul Karim. Dan Allah mengharamkan berbagai makanan yang buruk lalu
menggantinya dengan makanan-makanan yang baik.
Karena
sungguh Alloh adalah sebaik-baik dzat yang memelihara kehidupan bagi hamba-Nya
yang taat. (nisyi/jurnalmuslim.com)
Ditulis
ulang dari Telegram Channel @OeMita_Syameela