Benarkah Syaikh Nashirudin
Albani Itu Muhadits Tanpa Guru Dan Sanad?
Imam al-Albani : Muhadits Tanpa Guru dan Sanad?
Nama beliau sudah
sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang pro atau kontra
kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhadits zaman ini, penulis
yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah:
Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati al-Arnauth[1] al-Albani
–rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M.
Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhadits
tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia
seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta.
Para pembaca yang
budiman…
Dalam perjalanannya
menuntut ilmu, al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada
Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula,
Syaikh al-Albani mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu
banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi
Syaikh al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh
Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh
al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan,
beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya maupun
setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan,
Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah
cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani
sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang
bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama.
Sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ
شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya” (Qs. Ath-Thuur 21).
Ayah Syaikh al-Albani
hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari
cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang
menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya:
“Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah (ad-Din).
Para pembaca yang
budiman…
Pada tahun-tahun
berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad
Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi
yang sekaligus menjadi imam mesjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh al-Albani
sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul
‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya.
Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu.
Meskipun demikian, al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan
gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap
Syaikh al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.
Suatu ketika Syaikh
al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi
Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan
pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan.
Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu
kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa’id lalu berkata kepadanya, “Tulislah
segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh
al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman
kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan
jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan.
Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua
yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu
bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti
makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi
seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab
Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali
Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun
semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.
Kejumudan yang
melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk
mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian
ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran
merdeka seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir
pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w.
1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah
Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang
diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar
dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama
seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan lainnya,
termasuk pula al-Imam al-Albani.
Adakah al-Albani
Memiliki Sanad?
Tidak sebagaimana
dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa sanad, karena
sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4]
dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi
rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di
zamannya.[5] Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits
dan sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan
penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya
adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd ash-Shin: Man Huwa wa Aina
Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih
dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]
Syaikh at-Thabakh
mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar
al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan
beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani
rahimahullahu.[7]
Seorang mujiz kami,
Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh
Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan
langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu
terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani
sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan
hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته
الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan sungguh telah
memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil
Raghib at-Thabakh rahimahullahu…”.
Dalam Tsabat tersebut
disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu
diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif
Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga
Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin
Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan
Syaikh Nadzir Husein Muhadits ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam
Tsabat beliau ”Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah” .
Sanad melalui jalur
inilah yang akan kami uraikan berikut ini.
Silsilah Sanad
al-Albani
Berikut diantara
contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan
tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu
sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
Syaikh al-Albani
meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk
semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin
Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh
Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah al-Mujadid
ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) –
penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir
Ath-Taghlabi[10].
Al-Muhadits As-Salafi
Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari
Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad
Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari
Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11]
-penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani
dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.
Al-Muhadits As-Salafi
Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari
Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits
ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi,
dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits
ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]
Al-Allamah Muhammad
Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya
meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya,
Ibrahim Al-Kurani.[13]
Syaikh Abdulqadir
Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul
Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih
Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin
Muhammad al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin
al-Mardawi –penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn
al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul
Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya
al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi
al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari al-Imam Abi
al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi Ya’la Ibn al-Fara’
dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari al-Imam Abu Bakar Abdul
Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam
Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik
bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam.[14]
Murid Beliau dalam
Riwayah
Sangat ramai murid
al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari
beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam
persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata,
أنا لا أفتح على
نفسي هذا الباب
“Saya tidak membuka
pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]
Dan Syaikh Al-Albani
rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:
هي لا تعني لي
شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين
“Ijazah tersebut
tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk
membantah orang-orang yang dengki”.[16]
Diantara yang sedikit
itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami
dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani
ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]
Dikisahkan kepada
kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam
meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru
kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu:
Pertama, Beliau meriwayatkan
dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau
rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi
shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil
Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab
al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits
Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]
Photo 5 : Munawalah
al-Albani kepada Syaikh Muhammad Bu Khubzah, lalu ijazah Bu Khubzah kepada
Syaikh al-Hadutsi.
Kedua, beliau
meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip
dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di
Tathawan, Maghrib.
Ketiga, izin secara
lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna
Muhammad Ziyad Tuklah,
استأذنه شيخنا في
الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا
أشاء ذلك وأحبه
“Syaikhuna (Muhammad
Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam
al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku
jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku,
“Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”.
Perkataan singkat
dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum)
insyaallah Ta’ala.
Maka, dengan ketiga
cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah
meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
Diantara yang sedikit
lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna
al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944
M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]
Berkata Syaikhuna
at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad
halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali,
sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H,
di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad
berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan
ia juga berkata kepadaku dengan singkat,
أجزتك عن شيخي راغب
الطباخ
“Aku ijazahkan
kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,
Dan beliau (Syaikh
al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu
al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku
ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain
adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.
Syaikhuna Abu Hajaj
al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari
al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain,
telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya,
seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan
sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah
menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]
Tidak diketahui secara
pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah
Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah
ijazah riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi
ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi
menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman
sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun
tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.
Disini letak
kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim
al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan
Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58,
فليس العلم بكثرة
الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق ,
ويميز به بينه وبين الباطل
“Ilmu itu tidak
diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah
cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran,
membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji]
[1] Al-Arnauth ini
istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan
sekitarnya.
[2] Beliau adalah
Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id al-Burhani ad-Dagistani
al-Hanafi (1311 – 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan.
Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya.
Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah
kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani
ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin
al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan Syaikh
Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam
riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung
dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk
beberapa matan ringkas seperti Arbain an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3] Menurut beberapa
sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus
meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh
al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, karena Syaikh
al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.
[4] Syaikh al-Faqih
Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang
ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah
adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah
kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari
mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat
umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam –
Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa
Mufakkirun ‘araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau
lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9] Perlu diketahui
bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi
perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh Abdurrahman meriwayatkan
secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah,
atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas
menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah,
dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh
Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh
Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari
Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau
dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau
dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau
dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau
dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat
al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul
Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul
Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17] Beliau
meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay
al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur
al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.
[18] Syaikh at-Tuklah
meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan
dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak
sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu
riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul
Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20] Selain dari
al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh Umar al-Faqi, Syaikh
Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali
an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21] Syaikh Abu
al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh,
sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang
ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya
sendiri.
Apalah Artinya Sanadnya Bersambung Pada Nabi, Tapi
Amalannya Menyelisihi Ajaran Nabi..
Jangan Tertipu Dengan Tokoh Seperti Itu
Mengaku
Bersanad
Salah satu senjata
paling diandalkan (padahal senjata tumpul) oleh para penyeru bid’ah ialah
sanad, lebih tepatnya “mengaku ber-SANAD”. Bahkan tak jarang sampai mengatakan
bahwa Salafiy dan atau pihak lain yang dianggap tidak mempunyai sanad guru
sehingga pendapat ataupun fatwanya bathil. Beda dengan mereka, mereka yang
konon katanya mempunyai sanad guru nyambung sampai kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallaam yang ilmu
dan pendapatnya pasti benar.
Dan oleh karena itulah mereka pun sangat mengagungkan
kehebatan guru2nya yang konon bersanad.
Mereka pun sering
berkata :
“Jangan berguru pada
ustadz itu, karena ia tidak ‘ber-sanad’.
Mending ke guru ane aja, sanadnya nyambung sampek Rasulullah.”
Ada juga yang
berkata :
“Jangan dengerin
perkataan ustadz wahabi, meragukan, dia kan gak punya sanad. Mending ikuti apa
kata guru ane, pasti guru ane yang bener, karena guru ane sanadnya nyambung
sampek Rasulullah”
Dan
perkataan-perkataan yang semisal..
Demikianlah yang
mereka katakan, pokoknya bagi mereka orang yang dianggapnya bersanad pasti
benar dan harus diikuti, sedangkan yang dianggap gak punya sanad itu mesti
bathil..
Benarkah hal itu ??
Benarkah sanad
pembela bid’ah bener-bener nyambung hingga Rasulullaah shallallaahu alaihi wa
sallaam ????
Apakah ini sebuah
kebenaran atau hanya sebuah hayalan atau bahkan hanya tipuan belaka ??
Yuk kita renungkan,
renungkan dengan kepala dingin :
Saudaraku, jika
memang benar bahwa sanad guru mereka nyambung sampai ke Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.. Lantas mengapa cara ibadahnya, bahkan ada juga akidah nya
justru berbeda dengan yang diajarkan Rasulullah ?????
Beberapa contoh
(baca : fakta) :
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata bahwa setiap bid’ah itu sesat dan setiap
kesesatan tempatnya di Neraka, Beliau pun memerintahkan agar menjauhi bid’ah.
Namun mereka, para
pengaku sanad, justru mengatakan ada bid’ah yang baik, hanya sebagian saja yang
sesat, merekapun seolah kompak membela bid’ah.
Ini saja sudah tidak
klop. Artinya saling kontradiksi antara pengakuan dengan yang diakui.
Rasulullah
mengatakan Allah Ta’ala di atas langit.
Tapi ada yang ngaku
bersanad nyambung hingga Rasul malah berkata dan berkeyakinan bahwa Allah tidak
bertempat, Allah ada di mana-mana, Allah ada di hati setiap manusia, dan
keyakinan-keyakinan nyeleneh lainnya.
Tidak klop kan ??
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dan mengajarkan
ritual-ritual semisal tahlilan, maulidan, yasinan, tawassul dan istighotsah
kepada orang mati, dan amalan-amalan lainnya yang tidak ada tuntunanya dari
Rasulullah..
Tetapi mereka yang
mengaku mempunyai sanad guru nyambung hingga ke Rasulullah mengapa gemar
melakukan tahlilan, maulidan, yasinan, dst ????
Aneh nggak ?????
Ini amalan dan
akidah dapat nemu ya ???
Dan ini sanad
nyambung nya kemana ya ??
Sanadnya katanya
nyambung tapi kok tidak sama dengan yang diklaim, bahkan malah bertolak
belakang ???
Seharusnya, kalo
memang sanad gurunya nyambung, maka amalannya harus sama persis mulai dari guru
ke murid terus ke murid selanjutnya, dst, yang mana sumber dari sumber sanad
adalah Rasulullah.
Jadi, seharusnya,
amalan, tatacara ibadah, serta akidahnya, sama dengan Beliau shallallahu alaihi
wa sallam.
Seharusnya amalan
dan ajaran dari Rasulullah pastilah sama persis dengan orang-orang yang
bersanad nyambung hingga Beliau shallallahu alaihi wa sallam.. Ya khaaan ?????
Saudaraku, kita
semua sepakat, bahwa sanad dalam agama sangatlah penting, bahkan dikatakan jika
sebuah riwayat tanpa sanad maka ia tak perlu dianggap atau dilihat, karena
memang salah satu pondasi keshahihan sebuah riwayat adalah sanadnya.
Pun demikian sanad
keilmuan dan guru, ia pun sangat penting, tapi sanad guru bukanlah setempel
yang bisa menjadikan seseorang pasti benar, karena kebenaran dalam Islam adalah
kecocokan dengan dalil, dalil shahih.
Jadi tak ada gunanya
mengaku dan berbangga dengan sanad gurunya yang diklaim nyambung itu, tapi
ternyata justru tidak cocok dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Duhai saudaraku yang
mengaku bersanad, kalau memang benar kalian dan guru-guru kalian tersebut
bersanad nyambung hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka
contohlah Beliau, bukan justru menyelisihi Beliau shallallahu alaihi wa
sallam..
Duh celakanya engkau
wahai saudaraku dimana kalian “mengaku-ngaku dan berbangga-bangga” dengan sanad
tapi justru menyelisihi tuntunan..
Yakinlah, tidak akan
ada gunanya seseorang mengaku-ngaku bersanad, sementara kenyataannya justru
amalan bahkan akidahnya tidak sesuai dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam..
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِمَنِ اهْتَدَىٰ
”Sesungguhnya Rabb-mu
lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].
Siapakah mereka yang
mendapat petunjuk ????
Apakah mereka2 yang
mengaku bersanad ????
Mereka yang mendapat
petunjuk adalah orang-orang tunduk patuh terhadap syari’at, serta berpegang dan
istiqomah di atas Qur’an wa Sunnah menurut pemahaman para shahabat.
Wallahu Ta’ala A’lam
bish showaab..
Ihdinaash shiraathal
mustaqiim..
“Tunjukilah kami
jalan yang lurus”
Shiraathalladziina
an’amta’alayhim ghayril maghdhuubi ‘alayhim walaadhdhaalliin..
“(yaitu) Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Baraakallaahu fiikum.
sanad disini artinya bersambungnya silsilah seseorang
dalam belajar, bersambung kepada gurunya, demikian seterusnya hingga bersambung
ke rasulullah,.
Sanad keilmuan yang dimaksud,. yaitu ilmunya bersambung kepada Rasulullah,.
Konsekwensinya, apa yang didakwahkan oleh orang yang
ngaku bersanad tadi, maka wajib sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah,.
bukan malah berseberangan atau bertentangan,.
Jika yang didakwahkan itu bertentangan dengan ajaran
yang betul-betul diajarkan oleh Rasulullah, maka sanad dia tidak dianggap, itu
ngawur sanadnya,. atau dia saat belajar itu mungkin tidur,.. atau gagal paham,.
jazakumullahu khairan,.
Kalau bersanad ilmunya, maka tidak
tersesat, atau menyesatkan,..
Justru kenapa
bersanad tapi tersesat? karena bukan bersanad ilmunya,. cuma ngaku-ngaku
sanadnya nyambung doang,..
Kalau ngaku sanadnya bersambung pada Rasulullah, tapi
amalannya atau yang didakwahkan itu tidak diajarkan sama sekali oleh
Rasulullah, maka bisa dianggap dia telah berdusta atas nama Rasulullah, karena
orang-orang bisa menganggap yang dia dakwahkan itu ada ajaranya dari rasulullah,
lah wong punya sanad hingga bersambung ke rasulullah,..
Maka itu hanya semakin menambah dosa tokoh yang ngaku
bersanad tersebut,.. tentu ini mengerikan,..
kalo Imam Malik bin ‘Anas bilang : “Setiap orang bisa
diambil dan ditolak perkataannya, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam).”
beliau bilang “setiap orang” tanpa mengklasifikasi
bersanad atau tidak bersanad.
Beliau rahimahullah adalah
salah seorang imam Ahlus-Sunnah abad ini, yang mengorbankan seluruh hidupnya
demi mengabdikan diri kepada Allah, seorang laki-laki agung yang namanya telah
memenuhi cakrawala. Beliau rahimahullah tidak saja dikenal sebagai
seorang ulama ahli hadits, akan tetapi beliau rahimahullah juga salah
seorang diantara barisan para ulama yang mendapat predikat sebagai pembaharu
Islam (Mujaddid al-Islam).
Nama, Kelahiran dan
Pertumbuhan Syaikh al-Albanirahimahullah
Beliau adalah
Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengankuniah Abu 'Abdurrahman.
Beliau lahir tahun 1914 M di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan
sibuk dengan ilmu agama, di ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah
seorang ulama besar Albania kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul,
Turki, kemudian kembali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi.
Ketika Ahmad Zogo
menjadi raja Albania, dia mulai melancarkan berbagai perubahan aturan sosial
yang revolusioner bagaikan hantaman hebat yang menggoncangkan pondasi-pondasi
lingkungan Islami tersebut. Karena tindakan yang dilakukan oleh raja Ahmad Zogo
tersebut sama dengan apa yang dilakukan oleh thaghutTurki, Mustafa
Ataturk; dimana para wanita Albania diharuskan menanggalkan hijabnya, sehingga
rangkaian fitnah dan malapetaka pun tak terhindarkan. Sejak saat itu, mulailah
kaum muslimin yang mengkhawatirkan agama mereka, berhijrah ke berbagai negeri.
Termasuk diantara yang paling pertama hijrah adalah keluarga Syaikh Haji Nuh,
yang membawa agama dan keluarganya ke Suriah. Termasuk di dalamnya, sang Imam
kecil, Muhammad Nashiruddin al-Albani.
Al-Albani Mulai
Menuntut Ilmu
Di Damaskus, lelaki
kecil Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di
Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah
beliau rahimahullah mulai menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki
kemuliaan sebagai seorang alim.
Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu.
Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliaurahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam, dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.
Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu.
Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliaurahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam, dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.
Menjadi Guru Besar di
Universitas Islam Madinah
Berkat jerih payah
dan keuletan sang Imam -dan tentu saja karena taufik dari Allah-, sejumlah
karya tulis beliaurahimahullah mulai terbit dari tangan beliau dalam
berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam ilmu
hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau; yang menunjukkan kepada dunia
ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada
beliau rahimahullah; berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas, dan
kajian yang dalam tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah lagi dengan manhaj beliau
yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai tolok ukur dan
dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang Imam muncul sebagai sosok
yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan cepat keutamaan yang ada
pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka ketika Universitas Islam
Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu
adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung
menjadi pilihan untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana.
Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana.
Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullah sebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi, dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau.
Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana.
Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullah sebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi, dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau.
Menjadi Imam Para
Ulama Ahli Hadits Abad Ini
Begitu banyaknya
karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah dalam dsiplin
ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil dan cermat,
menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para
penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka berdatangan dari berbagai
penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu beliau.
Berikut ini beberapa hal yang menggambarkan kedudukan tinggi beliau:
Berikut ini beberapa hal yang menggambarkan kedudukan tinggi beliau:
1.Beliau rahimahullah terpilih
sebagai anggota pada dewan kajian hadits yang dibentuk oleh Mesir dan Suriah,
untuk memimpin komite publikasi kitab-kitab sunnah.
2.Menjadi guru besar bidang studi hadits di
Universitas Islam Madinah, sebagaimana yang telah disinggung. Bahkan kemudian
beliau dipilih sebagai anggota dewan rektor di universitas yang sama, periode
1381-1383 H.
3.
Beliau pernah diminta menjadi guru besar di
Universitas as-Salafiyah, India, tapi beliau tidak menyanggupi.
4.
Beliau juga pernah diminta oleh Menteri Wakaf
Saudi Arabia, Syaikh Hasan 'Abdullah Alu asy-Syaikh, untuk menjadi guru besar
ilmu hadits di Universitas Makkah al-Mukarramah.
5.Oleh Raja Khalid bin 'Abdul-Aziz, raja Saudi
Arabia, beliau terpilih kembali sebagai anggota dewan rektor Universitas Islam
Madinah periode 1395-1398 H.
6.Perpustakaan azh-Zhahiriyah, di Damaskus, mengkhususkan
satu ruang tersendiri untuk Syaikh, demi memudahkan studi dan penelitian
beliau. Dan ini tidak pernah terjadi bagi seorang pun sebelum beliau.
Pujian Para Ulama
1.Sikap hormat
Syaikh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah -yang dikenal
sebagai seorang ahli tafsir yang tidak ada bandingannya di zamannya- yang tidak
lazim kepada Syaikh al-Albanirahimahullah, dimana saat beliau melihat Syaikh
al-Albani berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawi, beliau
menyempatkan berdiri untuk mengucapkan salam kepada Syaikh al-Albani, demi
menghormatinya.
2.Pujian al-Allamah Muhibbuddin
al-Khathib rahimahullah; “Diantara para dai kepada as-Sunnah, yang
menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya, adalah saudara
kami Abu 'Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati al-Albani.”
3.Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
asy-Syaikh rahimahullah, pernah menyebut al-Albani dengan pujian; “Beliau
adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut
kebathilan.”
4.Pujian Syaikh 'Abdul-Aziz bin
Baz rahimahullah; “Saya tidak pernah melihat seorang ulama di bawah kolong
langit ini, di abad modern ini seperti al-Allamah Muhammad Nashiruddin
al-Albani.”
5.Pujian Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin rahimahullah; “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari
pertemuan saya dengan beliau -dan itu sangat sedikit- bahwa beliau sangat teguh
di dalam mengamalkan as-Sunnah dan memerangi bid'ah, baik dalam akidah maupun
amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui
bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwayat maupun dirayat.
Dan bahwasanya Allah memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau,
baik dari segi ilmu maupun metodologi…”
Dan begitu banyak
pujian yang beliau terima, yang tidak mungkin disebut seluruhnya dalam lembaran
biografi singkat ini.
Karya Tulis Sang Imam
Berkah hidup dan
sumbangsih sang Imam kepada dunia Islam, tidak saja berupa dakwah kepada
al-Qur'an dan as-Sunnah berdasarkan manhaj as-Salaf ash-Shalih, yang memenuhi
cakrawala dan menghentakkan para pengikut kesesatan. tapi juga meninggalkan
karya tulis yang di dalamnya tertuang hasil-hasil studi ilmiah yang tidak kita
dapatkan dalam karya tulis lain. Karya tulis beliau yang telah tercetak tidak
kurang dari 119 buah, baik yang berupa ta'lif atau takhrij.
Bahkan masih banyak yang berbentuk manuskrip.
Berikut ini diantara
karya tulis beliau:
1.
Adab az-Zafaf.
2.
Al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima'i al-Amwat.
3.
Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'An As'ilah Lajnah
Masjid al-Jami'ah.
4.
Ahkam al-Jana'iz.
5.
Irwa' al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar
as-Sabil.
6.
Tadzhir as-Sajid min Ittikhadz al-Qubur
Masajid.
7.
Tahrim Alat ath-Tharb.
8.Shifah Shalati an-Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam min at-Takbir Ila at-Taslim.
9.Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah.
10. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.
11.At-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu, dan
lain-lain.
Dan ketika menjelang
ajal, beliau berwasiat agar seluruh perpustakaan pribadinya dihibahkan ke
Universitas Islam Madinah.
Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil-Akhir 1420 H. Jenazah beliau dipersaksikan dengan iringan ribuan para pelayat dari berbagai negeri. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada sang Imam, yang telah berjasa besar menggaungkan kembali dakwah as-Salafiyah di abad ini.
Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil-Akhir 1420 H. Jenazah beliau dipersaksikan dengan iringan ribuan para pelayat dari berbagai negeri. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada sang Imam, yang telah berjasa besar menggaungkan kembali dakwah as-Salafiyah di abad ini.
Demikian biografi singkat ini kami tulis yang disadur dari
kitab al-Imam al-Mujaddid al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albani, oleh Umar Abu Bakar.
Pujian Ulama Dunia terhadap Syaikh Al-Albaniy
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan
Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. I)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan
Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. II)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan
Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. III)
Dialog antara al bani dan al buthi dibawah ini dusta
belaka !
Membantah Ustaz Abu Syafiq ( Tipikal Syiah ! ) Yang
Menghina Syaikh Al-Albani