Definisi
Aswaja Menurut Rumusan Muktamar NU
Fri 12 Februari 2016
NUGarisLurus.Com – Inilah
definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang di sepakati KH. Luthfi Bashori, KH.
Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya dan KH. Muhammad Idrus Ramli. Definisi ini
juga mengacu kepada Qonun Asasi Nahdlatul Ulama Hadhrotussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari.
DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH, UNTUK UMAT ISLAM DI WILAYAH NUSANTARA
DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH, UNTUK UMAT ISLAM DI WILAYAH NUSANTARA
ASWAJA, adalah istilah yang sangat masyhur di
kalangan umat Islam Indonesia, yaitu singkatan dari Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
Adapun Aswaja sebagai ajaran adalah suatu
madzhab dalam beraqidah tauhid, dan bersyariat ibadah maupun muamalah, serta
berakhlaq sopan santun yang merupakan pelestarian dari ajaran Rasulullah SAW,
sesuai pemahaman para Shahabat serta pemahaman para ulama Salaf.
Adapun yang dimaksud Madzhab adalah jalan yang
dilewati/dilalui atau tata cara untuk dijadikan pegangan atau sesuatu yang menjadi
tujuan seseorang.
Sesuatu itu dikatakan madzhab jika dapat menjadi
ciri khas bagi penganutnya.
Jadi Madzhab Aswaja adalah pilihan seseorang
untuk menjalani tata cara beragama Islam sesuai dengan ciri khas Aswaja
sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya
Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA
sebagai berikut;
“Yang dimaksudkan dengan Sunnah adalah apa yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau
SAW). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian Jamaah adalah sesuatu yang
telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa rmpat Al- Khulafa’
Al-Rasyidin yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.
Rasulullah SAW bersabda: Ketahuilah bahwa
orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab itu terpecah menjadi 72 golongan,
sedangkan umat(ku) ini akan terpecah menjadi 73 golongan, dan yang 72 golongan
itu akan masuk neraka, sedangkan yang 1 golongan akan masuk sorga, yaitu
Aljamaah. (HR. Abu Dawud dan lainnya, dan dishahihkan oleh Imam Hakim, Imam
Assyathibi dan Imam Al-Iraqi).
Dalam hadits riwayat Imam Attirmidzi disebutkan,
mereka (para shahabat) bertanya: Siapa (yang selamat) itu wahai Rasulallah
SAW?.
Beliau SAW menjawab: “Yaitu golongan yang
mengikuti aku dan para shahabatku”
Dari Sy. Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku kepada kebatilan
(kesesatan), dan (kekuasaan/keberkahan dari) Allah itu (diberikan) kepada
Jama’ah. Barangsiapa yang terpisah (dari golongan mayoritas), maka akan
perpisah (atau tersesat) ke neraka” (HR. Attirmidzi).
Secara praktek di lapangan, aqidah Aswaja desawa
ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakan dengan golongan lain, yaitiu di
dalam bermadzhab fiqih ibadah dan muamalat selalu beristiqamah mengikuti salah
satu Empat Madzhab Fiqih Mu’tabar, yaitu Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali.
Yang mana ke-empat Imam ini hidup antara tahun 80 H hingga 241 H.
Ajaran ke-empat imam mujtahid mutlaq dalam berfiqih inilah yang disepakati oleh para ulama dunia, sebagai ciri khas madzhab Aswaja, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Ajaran ke-empat imam mujtahid mutlaq dalam berfiqih inilah yang disepakati oleh para ulama dunia, sebagai ciri khas madzhab Aswaja, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang
menolak untuk mengikuti salah satu dari ke-empat madzhab ini, atau berusaha
menambah madzhab ke-lima, semisal kelompok yang mengklaim sebagai madzhab
Ja’fari (kelompok Syi’ah Imamiyah Jakfariyah Khomeiniyah), maka sudah dapat
dipastikan jika mereka itu bukan termasuk warga Aswaja.
Dengan batasan empat madzhab ini pula, maka
Aswaja secara otomatis akan menolak kelompok-kelompok yang tidak bermadzhab,
sekalipun mereka menamakan diri sebagai kelompok yang berpegang teguh dengan
Alquran dan Assunnah, semisal beberapa cabang dari kelompok Wahhabi Salafi,
atau kaum liberal yang hanya mengandalkan akal pikirannya saja karena mengikuti
metode kaum orientalis Barat.
Sedangkan khusus untuk umat Islam yang
berdomisili di Asia Tenggara (wilayah Nusantara), maka mayoritas warga Aswaja
lebih berpegangan kepada ajaran fiqih menurut madzhab Syafi’i, baik dalam tata
cara beramal ibadah kepada Allah, tata cara bermuamalah dengan sesama manusia,
maupun dalam menyampaikan dakwah islamiyah di tengah masyarakat.
Aswaja di dalam beraqidah tauhid, selalu
istiqamah mengikuti madzhab Asya’irah yang dirintis oleh Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari (260 – 330 H) dan madzhab Maturidiyah yang dirintis oleh Imam Abu
Mansur Al-Maturidi (238 – 333 H) sebagai landasan berpijak.
Untuk lebih mudah diingat adalah aqidah yang
mengajarkan 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1
sifat jaiz bagi allah. Serta mengajarkan 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat
mustahil bagi Rasul, dan 1 sifat jaiz bagi Rasul.
Dengan demikian, Aswaja menolak ajaran Trilogi
Tauhid ala Wahhabi Salafi yang mengajarkan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah
dan Tauhid Asma wa Shifat.
Termasuk ciri khas madzhab Aswaja yaitu bertumpu
pada al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Dalam mensitir ayat atau hadist yang akan
dijadikan argumentasi, maka warga Aswaja melakukannya secara bertahap,
sebagaimana yang selalu terapkan oleh Imam Asy’ari. Yaitu mengambil makna
dhahir dari Nash (teks al-Quran dan Hadist), namun dengan sangat berhati-hati
serta tidak menolak penakwilan terhadap nash tersebut, sebab memang ada
nash-nash tertentu yang memiliki pengertian sama, namun tidak dapat diambil
dari makna dhahirnya, tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang
dimaksud.
Aswaja juga tidak menolak penggunaan akal,
karena Allah menganjurkan agar ummat Islam selalu melakukan kajian rasional.
Pada prinsipnya warga Aswaja tidak memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan kaum mu’tazilah,
sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks
agama).
Jadi Aswaja itu menjadikan akal dan naql itu
saling membutuhkan dan melengkapi.
Naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana
mata yang sehat, dengan akal kita akan bisa meneguhkan Naql dalam membela
Islam.
Dalam ajaran Aswaja juga diperkenalkan Ilmu
Tasawwuf, yaitu ilmu akhlaq yang mengajarkan tata cara serta adab sopan santun
beribadah kepada Allah serta tata cara dan adab sopan santun dalam
bermasyarakat, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia”
Adapun warga Aswaja bersepakat mengikuti ilmu
Tasawwuf berbasis Syariat sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama Shufi
seperti madzhab Imam Junaid Albaghdadi, (210-298 H). Beliau sangat masyhur
sebagai penggagas utama teori Tasawwuf Berbasis Syariat, beliau mengatakan:
“Pengetahuan kami ini terikat dengan Alquran dan Assunnah”, (sumber: Ithaf
al-Dhaki. Oman Fathurrahman, 256).
Beliau juga mengatakan: “Apabila kami mengetahui
suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawwuf, tentu kami pergi mencarinya,
sekalipun harus merangkak” (sumber: Belajar Mudah Tasawwuf, Syeikh Fadhlullah
Haeri, 127)
Serta mengikuti Tasawwuf Imam Al-Ghazali
(450-505 H), pengarang kitab Ihya Ulumiddin. Termasuk juga mengikuti ajaran
Syekh Abdulqadir Aljailani (470-561 H), pengarang kitab Alghunyah. Serta
mengikuti ajaran Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad (1044-1132 H) pengarang
kitab Nashaihud Diniyah, sekaligus mengikuti para pemuka Shufi lainnya, yang
senafas dengan teori Imam Junaid Albaghdadi.
Tasawwuf Aswaja itu adalah Tasawwuf berdasarkan
syariat dan secara berjenjang sampai pada tingkat ma’rifat billah.
Jadi syari’ah dan tasawwuf Aswaja itu merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena corak tasawuf ini mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak
yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan
antar sesama manusia dan lingkungannya.
(2). Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan
ilmu syari’at.
(3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang
dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut para ulama syari’at.
(4). Ajarannya berdasarkan penafsiran dan
pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Hadis.
(5) Dalam ajaran tasawwuf Aswaja masih terlihat
jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk, sehingga
tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam ibadah.”
Keyakinan inilah yang pada akhirnya dilestarikan
oleh KH. Hasyim Asy’ari dan para pendiri NU lainnya, sehingga Aswaja dengan
pemahaman ini sudah menjadi trade merk bagi aqidah warga NU yang tidak dapat
diganggugugat.
Pada hakikatnya ajaran Tasawwuf berbasis Syariat
inilah yang sesuai dengan ajaran para Walisongo sebagai penyebar agama Islam pertama
kali di wilayah Nusantara yang wajib dilestarikan oleh segenap warga Aswaja
Garis Lurus.
Saat ini sudah ada pihak-pihak yang berusaha
membuat definisi Aswaja Gaya Baru, dengan cara mengbongkar-pasang definisi
Aswaja yang telah dirumuskan oleh para ulama Salaf dan dilestarikan oleh KH.
Hasyim Asy`ari sebagaimana tersebut di atas.
Pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab ini
sengaja membuat semacam kritikan sekalipun dengan istilah kajian ulang terhadap
definisi Aswaja, lantas mereka membuat rumusan Aswaja yang lebih inklusif,
dengan tujuan agar warga Aswaja dapat mengakomodir kelompok Syiah atau Liberal,
bahkan kelompok Wahhabi dalam definisi Aswaja Gaya Baru itu.
Untuk itu, perlu kiranya warga Aswaja, khususnya
warga Nahdliyyin untuk mewaspadai intrik-intrik dari pihak-pihak `perusak
aqidah` tersebut dan menolak segala bentuk `kebohongan publik` yang mereka
lakukan, sekalipun dikemas dengan bahasa ilmiah menurut standar mereka.
---------------------------
Dirangkum dari kajian Aswaja bersama:
– KH. Luthfi Bashori
– KH. Idrus Ramli
– Buya Yahya Ma`arif.
(Oleh: Tim Aswaja Garis Lurus).
– KH. Idrus Ramli
– Buya Yahya Ma`arif.
(Oleh: Tim Aswaja Garis Lurus).
Sumberwebsite resmi:http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=1153#.dpuf
Comments ( Disalin
dari situs yang sama,afwan )
Pengertian aswajanya kurang global, khusus nu
doang. Mengapa berislam harus terikat pada 4 mazhab saja? Imam Syafi'i dgn
tegas mengatakan: "apabila pendapatku salah, maka buanglah keluar pagar.
Apabila kamu menemukan hadis yg sahih maka ambillah karena itu
pendapatku". Logika kita mengatakan bahwa yg lebih baik tidak bermazhab
melainkan mengambil metodologi hukumnya bukan mengambil hukum jadi. Jika
terikat pada satu mazhab, kita tidak mungkin berislam secara baik karena
persoalan agama akan terus bermunculan setelah para ulama besar wafat. Dan....
Kita harus terus menjawab setiap persoalan yg muncul. ( islamic character
building: Dr. Asep Z Ausop, hal226). Terima kasih kepada 4 Ulama besar yang dgn
metodologinya memberikan kemudahan kepada kami utk memahami Al quran. Khalifah
Ali ibn bin Abi Thalib r.a menegaskan:" lihatlah apa yg diucapkan dan jgn
melihat siapa yg mengucapkan"