Artikel sebelumnya :
Definisi
Aswaja Di Nusantara Yang Disepakati 3 Tokoh NU Garis Lurus
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/02/definisi-aswaja-di-nusantara-yang_64.html
Definisi
Aswaja Menurut Rumusan Muktamar NU
I.Siapakah Yang
Mengikuti Aqidah Imam Abu Hasan Al Asy'ari?
Orang kata, wahabi mengatakan Allah memerlukan tempat
kerana wahabi menetapkan sifat Allah istiwa’ di atas langit di ‘Arasy-Nya
padahal ‘wahabi’ (pinjam kata-kata mereka) hanya menetapkan sifat istiwa’ bagi
Allah dan tidak ada pun pernyataan ‘wahabi’ yang menyatakan Allah memerlukan
tempat. Sedangkan Asha’irah mengatakan mereka mengikut aqidah Imam Abul Hasan
Asy’ariy iaitu Allah wujud tanpa bertempat? Betulkah demikian? Haatu burhanakum
inkuntum shadiqiin (Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar).
Apa yang penting bukan perkataan ulama yang menjadi
neraca timbangan kebenaran, akan tetapi perkataan mereka (para ulama) yang
bertepatan dengan syariat yang telah Allah turunkan kepada umat ini melalui
lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah dicontohkan
oleh generasi terbaik umat ini yakni para sahabat ridhwanallah ‘alaihim
jami’an.
Posting sebelum ini saya membawakan tulisan dari
al-Ustadz Abul Jauzaa’ hafizhahullah berjudul -Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy,
Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an
Ushuulid-Diyaanah-, dan kali ini saya bawakan tulisan yang sama (yang telah
bahagikan kepada 2, untuk bagian pertama saya meletakkan judul “Wahabi Tipu
Al-Ibanah Lagi????“) untuk pembahasan Aqidah sebenar Imam Abul Hasan Asy’ari
rahimahullah. Semoga artikel ini memberi penjelasan kepada kita akan hakikat
kelompok asy’ariyah yang ada di zaman ini, apakah sama pegangan mereka dengan
sang imam, atau terbalik 180 darjah dari hakikat yang sebenar.
Ada beberapa tambahan dari saya seperti subtopik dan
ubahan pada format tulisannya, saya juga ubah bahasa tulisan ini kepada bahasa
melayu malaysia. Antara subtopik yang saya letakkan:
*Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai
Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
*Perkataan Para Muktazilah, Jahmiyah Dan Haruriyah
*Perkataan para ulama yang menukil pegangan Imam Abul
Hasan Asy’ariy
Silakan membaca:
Ustadz Abul Jauzaa’ menulis: Sebagaimana telah
diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah
Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan
Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187,
Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang
lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih
beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang
diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz
Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah
mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut
Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah
‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw
lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai Sifat
‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan
‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam
kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit
Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar
halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il
bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya
yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan
kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian
beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah)
:
جملة قولهم الإقرار
بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى
الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على
العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا
يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال:
(أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم
ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا
ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء
الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث
التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا
فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال :
(وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه
من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما
ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari
perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa
yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua
hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya
: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha :
5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang
telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya
nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan
Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah
dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana
firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan
tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan
dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits)
juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak
menafikannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikannya. Mereka
(Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan
dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki
Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya
ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau
(Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan
makhluk”.
Dan mereka
(Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit
dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’;
sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan
datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang
malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan
makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau
(Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari
apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan
mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka
adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang
memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam
Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu :
Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat
tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ;
maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على
سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء
وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله
بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى
سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت
المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري
بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama)
berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat.
Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan
(seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya).
Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami
tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami
mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan
bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang
telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya
Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau
(Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam
(istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka
menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan)
firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu :
dengan ilmu Kami”.[4]
3. Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat
:
رأيته بخط المحدث
أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد
ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan
Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal
dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan
penyebutan lafaznya karena khuatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal
maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii
Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما
تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال :
(الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله
إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب
أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله
فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات
فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال :
(أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات،
ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا،
[وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو
السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش
لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang
bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan
kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam
di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang
baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa
kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita
Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan
yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit,
supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang
pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan :
‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas
langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika
‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut
langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu
merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang
dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau
melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman :
‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah
yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh
langit”.
Beliau (Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin
mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka
berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas
semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak
akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
Perkataan Para Muktazilah,
Jahmiyah Dan Haruriyah
وقد قال قائلون من
المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل
مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة،
فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء،
والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا
على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند
أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون
الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata
orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) :
‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan
mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari
keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq
(Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan
(mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja
hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy
dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah
sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila
istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan
berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala
sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk
berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan
rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna
istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab
(Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
Perkataan para ulama
yang menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy
5. Al-Imam Abu Bakr
bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan
Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi
Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak.
Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر
ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما
أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
“Pasal Pertama : Penyebutan
Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab
Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan
di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian
menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من
ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu
penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan
dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits
dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata
Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca
kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang
menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal
tersebut :
ومن دعاء أهل
الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب
بسبع.
“Termasuk salah satu
doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang
penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan)
: ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata
Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي
الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته،
وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق
يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان
يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka
membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya
qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya,
ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya,
dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar
Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih
berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di
pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka
telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata
Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu
Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن
رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد،
يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل
والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته
في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز
الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له
مثل ولا نديد….)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن
قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية
والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل
له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه
صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك
معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله
مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور
الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير
مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah
seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab
yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab
mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan
orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin
menjelaskan i’tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran
‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan
dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha
Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang
terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan
tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam
Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan
Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan
jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah,
Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka
beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama
bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami
anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat,
tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu.
Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya –
semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya
(Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang
utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan
kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui
perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam
ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan
agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن
نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله
غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها،
وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على
العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل
يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم
الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة
البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب
القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما
جاء في الحديث، – إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه
كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان
قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج
لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan
perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya.
Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah,
serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut
sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung,
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad
adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat
akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia
dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana
firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’
(QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap
kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan
sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah :
64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana
firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan
barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah
orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan
(mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di
malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan
bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di
antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan
semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya
Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya
: ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16).
‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm :
8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan
pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan
berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab
secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir
berkata :
فتأملوا رحمكم الله
هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah –
semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah
terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam
ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya
(kepada kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata
Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam
kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا
في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في
إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا
معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق
أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك
وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة
أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis
satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara
dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat
berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta
istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada
mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali
Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling
menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits
menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami
tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju
dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar
(hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam
usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw
oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar
Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari
keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan
sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat
istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan
manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah
pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau
tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau
dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum
Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat
Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan
Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
Oleh: Abu Al-Jauzaa’
– Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
Dicopy dari:
abul-jauzaa.blogspot.com
Semoga Allah
memberikan taufiq kepada kita semua, kepada orang-orang yang ikhlas mencari
kebenaran dan orang-orang yang cinta kepada sunnah Nabi dan benci kepada
bid’ah. Dan semoga Allah memberikan ganjaran yang selayaknya kepada Ustadz Abul
Jauzaa’ atas ketekunannya menulis artikel untuk membela sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allahul musta’an.
Labels: Abu Syafiq,
Ahbash, Aqidah, Asy'ariyah
Wednesday, July 15,
2009
Antara Abu Syafiq
& Al-Jahmiyyah: Wujudkah Persamaannya?
Penulis artikel: Mohd
Hairi Nonchi
Pendidikan Dengan
Sains Sosial
Universiti Malaysia
Sabah
SMS sahaja:
019-5308036/014-5679652
Apakah al-Jahmiyyah?
Demikianlah persoalan
pertama yang ingin saya lontarkan kepada sidang pembaca sekalian terhadap salah
satu aliran yang telah "digazetkan" sebagai aliran yang sesat lagi
menyesatkan oleh para tokoh al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dilihat dari sudut
penamaannya, istilah al-Jahmiyyah adalah berasal daripada nama seseorang yang
bernama Jahm bin Shafwan yang telah dibunuh oleh Salm bin Ahwaz pada tahun
127H. Aliran ini sangat terkenal dengan dasar pemikiran mereka yang cenderung
menggunggulkan akal fikiran di atas al-Qur'an dan al-Sunnah yang sahih sehingga
yang demikian mereka telah mencipta pelbagai pemahaman yang sesat lagi
menyesatkan di dalam agama.
Antaranya ialah
mereka mendakwa bahawa al-Qur'an adalah makhluk Allah, Allah berada di merata
tempat (di mana-mana), di samping mereka juga menafikan (meniadakan) sebahagian
sifat-sifat Allah khususnya sifat Istiwa' (bersemayam) Allah di atas 'Arasy di
atas langit, Tangan (al-Yad) Allah dan lain-lainnya. Dilihat dari segi sejarah
asal-usul kelahiran aliran ini, al-Jahmiyyah dipercayai berasal daripada Ja'd
ibn Dirham, daripada Aban ibn Sam'an, daripada Thaluth iaitu anak kepada
saudara perempuan Lubaid ibn al-A'sham, seorang Yahudi yang pernah mensihir
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Berhubung dengan
aliran al-Jahmiyyah, saya (Mohd Hairi) rasa terpanggil untuk membuat ulasan yang
agak panjang mengenai aliran ini yang pada masa kini didapati telah pun begitu
berkembang dan mendapat sambutan yang meluas oleh segelintir umat Islam di
negara kita (Malaysia). Pertama sekali, apa yang ingin saya sentuh di sini
ialah sikap mereka yang begitu keras di dalam memusuhi Ahli Sunnah dan para
tokohnya. Telah berkata Abu Hatim al-Razi rahimahullah:
"Tanda-tanda
aliran al-Jahmiyyah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah
(menyerupakan Allah dengan makhluk –pen). Tanda-tanda aliran al-Qadariyyah
adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai berfahaman al-Jabariyyah.
Tanda-tanda al-Murji'ah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai
al-Mukalifah (suka menyimpang) dan al-Nuqshaniyyah (suka mengurangi).
Tanda-tanda aliran al-Rafidhah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai
al-Tsaniyyah." [Ashl al-Sunnah wa I'tiqad al-Din; dalam Pembongkaran
Jenayah Ilmiah Buku Salafiyah Wahabhiyah, Hafiz Firdaus Abdullah (Perniagaan
Jahabersa, Johor Bahru, 2003), ms. 34].
Sejalan dengan kenyataan
ini ialah Imam al-Barbahari rahimahullah dimana beliau berkata:
"Jika anda
mendengar seseorang berkata: "Si fulan adalah al-Musyabbihah atau si fulan
berbicara tentang masalah tasybih" maka ketahuilah bahawa dia seorang
al-Jahmiyyah." [Syarhus Sunnah; dalam Pembongkaran Jenayah Ilmiah Buku
Salafiyah Wahabhiyah, ms. 34].
Berdasarkan kepada
penjelasan kedua-dua tokoh Ahli Sunnah di atas, maka jelaslah bagi kita bahawa
kaedah yang paling mudah untuk kita mengenali ciri-ciri mereka yang berfahaman
al-Jahmiyyah adalah dengan cara melihat sendiri kepada sikap mereka yang begitu
mudah menggelari Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah (golongan menyerupakan
sifat Allah dengan sifat makhluk).
Antara contoh
individu yang boleh dikaitkan dengan ciri-ciri golongan yang berfahaman
al-Jahmiyyah ini ialah Abu Syafiq (menerusi web blognya di talian: www.abu-syafiq.blogspot.com), iaitu merupakan salah seorang "tokoh"
pendusta tanah air yang dilihat paling lantang dalam mentohmah dan menuduh para
pendukung Sunnah sebagai golongan yang berakidah al-Musyabbihah dan
al-Mujassimah.
Tidak syak lagi
bahawa antara faktor terpenting yang menyebabkan "tokoh" pendusta ini
begitu mudah melontarkan pelbagai fitnah ke atas Ahli Sunnah adalah disebabkan
oleh kejahilan beliau sendiri di dalam memahami manhaj dan akidah yang dibawa
oleh para pendukung al-Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Contoh
mudah bagi menggambarkan fenomena kejahilan beliau ini terhadap manhaj Ahli
Sunnah berhubung dengan subjek al-Asma' wa al-Sifat Allah ialah berkaitan
dengan persoalan "di manakah Allah".
Memahami manhaj Ahli
Sunnah berhubung persoalan "Di Manakah Allah".
Menurut manhaj Ahli
Sunnah, apabila seseorang itu ditanya tentang keberadaan Allah, maka dia
hendaklah menjawabnya sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah
yang sahih, iaitu dengan menetapkan bahawa "Allah beristiwa' di atas
'Arasy di atas langit-Nya" dengan disertai keyakinan bahawa penetapan
sifat al-Istawa' bagi Allah di atas 'Arasy di atas langit itu tidaklah
bermaksud bahawa di sana (di atas 'Arasy di atas langit) adanya sesuatu keadaan
yang meliputi-Nya sebagaimana yang sering disalah-fahami oleh Ahli Bid'ah,
khususnya oleh kedua-dua "tokoh" pendusta di atas serta golongan yang
sealiran dengan mereka berdua.
Oleh kerana
"tokoh" pendusta ini tidak pernah berhenti dari
"menyalakkan" isu Ahli Sunnah sebagai golongan yang berakidah
al-Musyabbihah dan al-Mujassimah, maka saya ingin mengambil kesempatan ini
untuk memberi sedikit pencerahan (clarification) terhadap fitnah yang
dilontarkan oleh mereka berdua tersebut. Diharap dengan penjelasan ini sedikit
sebanyak ianya dapat memberi kesedaran kepada beliau dan sesiapa jua yang telah
terpengaruh dengan fitnah yang beliau lontarkan selama ini.
Sebelum kita mengorak
langkah dengan lebih jauh untuk membahaskan persoalan ini, maka terlebih dahulu
akan saya kemukakan beberapa buah hadis berkaitan persoalan "di manakah
Allah", disusuli dengan komentar para ulamak Ahli Sunnah yang bermanhaj al-Salaf
al-Shalih terhadapnya serta pernyataan para imam muktabar Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah dari kalangan imam empat mazhab:
Hadis pertama.
Muawiyah bin al-Hakam
radhiallahu'anhu meriwayatkan bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah bertanya kepada seorang hamba wanita:
"Dimanakah
Allah?" Hamba itu menjawab: "Di atas langit". Baginda bertanya
lagi: "Siapakah saya?" Hamba itu menjawab: "Anda
Rasulullah". Maka bersabda baginda: "Bebaskanlah dia kerana
sesungguhnya dia adalah seorang yang beriman" [Hadis riwayat Muslim dalam
Shahih Muslim – hadis no: 537]
Ketika mengomentari
hadis tersebut, Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
"Demikian kita
melihat setiap orang yang ditanya: Di mana Allah? Nescaya dia akan menjawab
dengan fitrahnya: Allah di atas langit. Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Di mana Allah?.
Kedua, jawapan orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit.
Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka bererti dia mengingkari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam." [Al-'Uluw lil 'Aliyil Azhim (ms. 81,
Mukhtasar al-'Uluw, al-Albani); dinukil dengan sedikit suntingan bahasa
daripada buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, Abu Ubaidah
As-Sidawi (Media Tarbiyah, Jawa Barat, Indonesia, 2008), ms. 14-15].
Sehubungan dengan
ini, Imam Utsman ad-Darimi rahimahullah berkata:
"Dalam hadis ini
terdapat dalil bahawa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas
langit bukan dibumi, maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu
bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan tanda keimanan budak wanita
tersebut adalah pengetahuannya bahawa Allah di atas langit?!!!" [Ar-Radd
ala Jahmiyyah, ms. 46-47; dalam buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang
Terabaikan!, ms. 14-15].
Hadis kedua.
Dari Abu Hurairah
bahawasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Rabb (Tuhan)
kita turun ke langit dunia pada setiap malam iaitu ketika sepertiga malam
terakhir. Dia (Allah) berfirman: "Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan
Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan sesiapa
yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni" [Hadis riwayat
al-Bukhari, hadis no: 1145 dan Muslim, hadis no: 758].
Berhubung dengan
hadis di atas, Imam 'Utsman bin Sa'id ad-Darimi rahimahullah berkata:
"Hadis ini
sangat pahit bagi kelompok al-Jahmiyyah dan mematahkan fahaman mereka bahawa
Allah tidak di atas 'Arasy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit.
Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah (berada)
di atas bumi?!! Sungguh lafaz hadis ini membantah fahaman mereka dan mematahkan
hujah mereka." [Naqdhu 'Utsman bin Sa'id 'alal Marisi al-Jahmi al-Anid,
ms. 285; dinukil dengan sedikit suntingan bahasa daripada buku Di Mana Alloh?
Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, ms. 18].
Sekian dua buah hadis
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan "di manakah
Allah?". Ternyata, jawapan yang paling tepat bagi seseorang Muslim yang
apabila diajukan pertanyaan kepadanya tentang di manakah Allah, maka dia
hendaklah menjawabnya sebagaimana zahir lafaz jawapan wanita dalam hadis di
atas, iaitu "Allah di atas langit".
Sebagaimana yang
telah diterangkan sebelum ini, sikap Ahli Sunnah ketika berinteraksi dengan
Asma' wal al-Sifat Allah adalah dengan menetapkan apa-apa yang Allah sifatkan
ke atas diri-Nya, baik menerusi al-Qur'an mahupun al-Sunnah Rasul-Nya yang
sahih, memahami maknanya secara zahir sesuai dengan kaedah bahasa Arab itu
sendiri, serta menyerahkanya (al-Tafwidh) ciri-ciri, cara dan bentuk
sifat-sifat tersebut kepada pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
disertai keyakinan bahawa tidak ada sesuatu jua dari kalangan makhluk Allah
baik yang berada di langit mahupun yang di bumi yang semisal atau sebanding
dengan-Nya, baik dari segi sifat mahupun dari segi Dzat-Nya.
Demikian betapa
mudahnya untuk kita memahami manhaj Ahli Sunnah di dalam berinteraksi dengan
al-Asma' wa al-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amatlah malang apabila manhaj
Ahli Sunnah yang amat mudah difahami hatta oleh seorang budak hamba wanita ini
tidak begitu difahami oleh Ahli Bid'ah sehingga yang demikian menyebabkan
mereka begitu mudah mengaitkan Ahli Sunnah dengan akidah al-Musyabbihah dan
al-Mujassimah sebagaimana yang sering ditemui dalam banyak penulisan mereka.
Bagi melengkapkan
kefahaman kita terhadap persoalan "di manakah Allah?", maka marilah
kita meninjau pula apakah penjelasan para tokoh Ahli Sunnah terhadap persoalan
ini, dimulai dengan pernyataan Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah
rahimahullah sebagaimana katanya:
"Sudah tetap
lagi kukuh bahawa Allah, adalah Dia Maha Tinggi, paling Tinggi (tiada apa-apa
yang lebih Tinggi daripada-Nya). Difahami dari kata-kata "Dia di
langit", bahawa Dia pada sifat ketinggian-Nya, bahawa Dia di atas setiap
sesuatu yang lain. Oleh kerana itulah apabila seorang hamba ditanya (oleh
Rasulullah): "Di mana Allah?" Hamba itu menjawab: "Di
langit". Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh hamba tersebut ketika menjawab
"Allah di langit" ialah sifat Maha Tinggi (al-'Uluw) bagi Allah di
samping tidak mengkhususkan Allah dengan jisim-jisim atau keberadaan Allah
dalam sesuatu jisim. Apabila dikatakan: Maha Tinggi (al-'Uluw), maka ia
mencakupi apa yang di atas sekalian makhluk. Namun ini bukan bermaksud bahawa
di sana terdapat satu keadaan yang meliputi Dia kerana di atas alam ini tidak
ada sesuatu pun yang wujud kecuali Allah....
Seterusnya sesiapa
yang menimbulkan keraguan berkenaan keadaan Allah di langit dengan makna bahawa
langit melingkungi-Nya atau meliputi-Nya, maka dia dikira berdusta dan sesat.
Seandainya begitulah iktiqad dia terhadap Tuhannya. Tidaklah kami mendengar
bahawa ada seorang juga yang memiliki kefahaman sedemikian dengan lafaz
sedemikian. Dan tidak juga kami melihat ada seorang jua yang menaqalkan
daripada seseorang yang lain." [Bayan Talbis al-Jahmiyyah, jld. 1, ms.
559; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Syaikh
Murad Syukri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2008), ms. 87-88, lihat nota
kaki no: 77-78].
Dalam keterangannya
yang lain, Syakhul Islam menjelaskan:
"Semua ucapan
yang disebut oleh Allah (dalam al-Qur'an dan al-Sunnah Nabi-Nya yang sahih
–pen) yang mengatakan bahawa Dia di atas 'Arasy mengandungi makna yang benar
seperti apa adanya, tidak memerlukan tahrif (dialihkan kepada pengertian lain).
Tetapi ia terpelihara dari sangkaan yang tidak benar, umpamanya sangkaan bahawa
langit mengangkat atau menaungi-Nya. Pendapat ini adalah batil menurut ijmak
(kesepakatan) ahli ilmu dan iman.
Sesungguhnya kursy
Allah itu benar-benar meliputi langit dan bumi (sila lihat surah al-Baqarah
ayat 255 –pen) agar perjalanan kedua-duanya tidak tergelincir dan Dia menahan
langit dan bumi agar tidak meleburkan bumi dengan Izin-Nya. Allah berfirman
sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur'an, surah ar-Rahman ayat 25 (yang
bermaksud) : Dan sebahagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdiri
(terbinanya) langit dan bumi dengan perintah-Nya." [Al-Asilatu Wa
Ajwibatul Usuliyyah 'Alal Aqidatil Wasathiyyah, Dr. Abd Aziz Muhammad
As-Salman; dalam edisi terjemahan oleh Akmal Hj Mhd. Zain di atas judul Soal
Jawab Aqidah Islam Menurut AhluS Sunnah Wal Jama'ah (Darul Nu'man, Kuala
Lumpur, 1996), ms. 189-190].
Syaikh Muhammad bin
Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Di antara
(sifat) yang tidak ditetapkan dan juga tidak dinafikan (dalam al-Qur'an dan
al-Hadis adalah) lafaz Arah (al-Jihhah). Jika ada yang bertanya: "Apakah
ditetapkan (sifat) Arah bagi Allah?" Kami akan menjawab, lafaz Arah tidak
disebut dalam al-Qur'an mahu pun al-Hadis, sama ada penetapan atau penafian.
Cukuplah kita menggunakan perkataan (lafaz) yang terdapat dalam al-Qur'an dan
al-Hadis, iaitu "Allah berada di langit".
Ada pun maknanya,
maka ia mungkin bermakna Arah ke bawah, Arah ke atas yang meliputi Allah atau
Arah ke atas yang tiada meliputi-Nya. Maka makna yang pertama adalah batil
kerana bertentangan dengan sifat ketinggian Allah yang telah ditetapkan
beradasarkan al-Qur'an, al-Hadis, akal, fitrah dan ijmak para ilmuan. Makna
yang kedua adalah batil juga kerana Allah Ta'ala Maha Agung dari diliputi oleh
sesuatu daripada makhluk-Nya. Makna yang ketiga adalah benar kerana Allah jauh
Maha Tinggi daripada makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu daripada makhluk-Nya
yang dapat meliputi-Nya." [Al-Mujalla fi Syarh al-Qawaid al-Mustla fi
Shifatillah wa Asmai al-Husna li al-'Allamah Muhammad Shalih al-'Utsaimin,
Kamil al-Kawari, ms. 216-218; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam
Ibn Taimiyah, ms. 87-88, sila lihat nota kaki no: 67].
Selanjutnya, ketika mengomentari
hadis berkenaan pertanyaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada hamba
wanita sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam
radhiallahu 'anhu yang telah lalu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin
rahimahullah sekali lagi berkata:
"Jika mereka
menolak bahawa Allah di atas alam semesta kerana akan memberi maksud "arah
tertentu" (al-Jihhah), maka mereka salah kerana tiada seorang pun dari
alam semesta yang pernah naik menemui Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, namun baginda menegaskan bahawa Dia Subhanahu wa
Ta'ala berada di atas langit lalu menunjuk ke atas kerana itu adalah arah
ketinggian (al-'Uluw). Arah 'al-'Uluw' ini tidak terbatas, mengandungi atau
meliputi Allah yang Maha Besar. Tiada sesuatu yang (dapat) mengatasi-Nya, yang
Maha Tinggi.
Apakah mereka
(menafikan sifat ketinggian bagi Allah ini) lebih fasih ucapannya daripada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam? Apakah mereka lebih lurus terhadap ajaran-ajaran
agama ini daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Sudah tentu mereka tidak
demikian sama sekali. Dan Nabi tidak berniat hendak membingungkan umatnya.
Seandainya ada kedustaan ketika baginda mengesahkan tentang (sifat) ketinggian
Allah, pasti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya. Namun teks
(dalil) tidak memerlukan kesimpulan-kesimpulan dusta yang dibuat oleh mereka
yang menafikan ketinggian (al-'Uluw) Dzat Allah di atas alam semesta.
Tidak ada dalil dari
al-Qur'an dan al-Sunnah yang mengesahkan bahawa (sifat) ketinggian (Allah di
atas 'Arasy di atas langit itu) membayangkan bahawa Allah terkandung pada suatu
tempat atau Dia merupakan sebatian tubuh (jisim) atau dalam dalam batas-batas
tertentu', kerana Dia di atas segala sesuatu dan tiada makhluk mengatasi alam
semesta (kecuali) hanya Allah mengatasi segala sesuatu." [Dinukil daripada
buku Tafsiru Ayatil Kursi oleh Syaikh Muhammad Shalil al-'Utsaimin; dalam edisi
terjemahan oleh Siti Sujinah Sarnap al-Faqir Ibnu Hussin di atas judul Tafsir
Ayat al-Kursi, (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2005), ms. 65-66, sila lihat
notakaki no: 76].
Demikian huraian para
tokoh Ahli Sunnah dari generasi awal Islam mengenai persoalan
"keberadaan" Allah di atas langit. Kembali kepada syubhat
(kekeliruan) yang sering ditimbulkan oleh Ahli Bid'ah di atas, bahawa dengan
menetapkan sifat Allah "beristiwa di atas langit di atas 'Arasy-Nya di
langit" - sebagaimana yang menjadi manhaj Ahli Sunnah - hanyalah akan
membawa kepada tasybih dan tajsim, iaitu Allah sebagai Tuhan yang "bertempat",
maka saya (Mohd Hairi) berkata:
· Pertama: Lafaz
"Allah beristiwa' di atas 'Arasy-Nya di atas langit" itu bukanlah
lafaz yang sengaja diada-adakan oleh Ahli Sunnah melainkan ianya merupakan
lafaz yang didatangkan oleh Allah sendiri secara berulang kali baik menerusi
al-Qur'an mahupun lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Sila lihat ayat-ayat berikut: [1] Surah Taha, ayat 5, [2] Surah al-A'raf, ayat
54, [3] Surah Yunus, ayat 3, [4] Surah al-Furqan, ayat 59, [5] Surah ar-Rad'd, ayat
2 dan [6] Surah As-Sajadah, ayat 4.
Manakala bagi hadis
pula, cukuplah saya bawakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin
al-Hakam radhiallahu'anhu (Shahih Muslim – hadis no. 537) sebagaimana yang saya
telah kemukakakan pada lembaran yang lalu. Justeru, siapakah kita yang berlagak
lebih alim daripada Dzat yang menurunkan lafaz itu dan menetapkannya sebagai
salah satu sifat-Nya untuk mempersoalkan lafaz wahyu itu, lalu mendakwa ianya
perlu digantikan kepada perkataan dan lafaz yang lain demi mengikuti kehendak
hawa nafsu dan andaian logik akal manusiawi kononnya bagi mengelakkan tasybih
dan tajsim bagi Allah?
Ketahuilah bahawa
para tokoh generasi awal Islam (al-Salaf al-Shalih) tidak ada seorang pun jua
yang mendakwa adanya keperluan untuk menggantikan/menghapuskan lafaz-lafaz
wahyu mengenai sifat-sifat Allah yang sedia ada itu kepada lafaz yang lain bagi
mengelakkan tasybih dan tajsim, walhal merekalah golongan yang paling arif lagi
mendalam ilmunya mengenai sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala serta mendapat
pengiktirafan yang langsung dari lidah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sebagai
khairul qurun atau sebaik-baik generasi sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik
generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'in) dan
kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'ut at tabi'in)” [Dikeluarkan oleh
al-Bukhari dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith
al-Sahihah – hadis no: 700].
Perhatikan firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini: "Hanya milik Allah al-Asma’
al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma’ al-Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan. [Surah al-A’raaf :180]
Tidak syak lagi
bahawa dakwaan Ahli Takwil akan wajibnya menggantikan sebahagian lafaz nas
al-Sifat Allah kepada lafaz yang lain dengan alasan bagi mengelakkan tasybih
dan tajsim ke atas Allah adalah menyerupai manhaj kaum Yahudi sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keterangan Imam Ibn Khuzaimah rahimahullah, iaitu
salah seorang ulamak Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang mengikutinya seperti
berikut: "Iaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan
dari tempat-tempatnya..." [Surah an-Nisa': 46]
Berkata Imam Ibn
Khuzaimah rahimahullah dari kalangan ulamak asy-Syafi'iyah:
"Kami beriman
dengan khabar dari Allah Jalla wa 'Ala, sesungguhnya Pencipta kami Dia
beristiwa' di atas 'Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman)
Allah dan kami tidak akan mengcuapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan
(Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat
Allah seperti golongan al-Jahmiyyah yang pernah berkata: "Sesungguhnya Dia
(Allah) Istaula' (menguasai) 'Arasy-Nya bukan Istiwa'! Maka mereka telah
mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (oleh Allah dan Rasul-Nya)
kepada mereka.
(Tindakan mereka ini)
menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintahkan (oleh Allah) mengucapkan
(lafaz) "Hithtatun" (yang bermaksud: Ampunkanlah dosa-dosa kami),
tetapi mereka mengucapkan (mengubah) "Hinthah" (yang bermaksud:
makanlah gandum)!. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang
Maha Agung dan Maha Tinggi, maka seperti itulah (juga perbuatan kaum)
al-Jahmiyyah" [Ibn Khuzaimah, Kitab at-Tauhid fi Ithbat as-Sifat, ms. 10;
dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf
As-Soleh, Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), ms.
41-42].
· Kedua: Menetapkan
sifat Allah sebagai Tuhan yang beristiwa' di 'Arasy di atas langit tidaklah
bermaksud menggambarkan bahawa Dia (Allah) memerlukan kepada suatu tempat atau
ruang yang dapat meliputi dan melingkungi-Nya. Ini sudah dijelaskan
berkali-kali dalam huraian yang lalu. Dakwaan bahawa dengan menetapkan sifat
Istiwa' bagi Allah di atas 'Arasy-Nya di atas langit sebagai mensifati-Nya
dengan sifat "bertempat" hanyalah merupakan rumusan yang berasal dari
Ahli Bid'ah itu sendiri berdasarkan logik akal mereka, bukannya Ahli Sunnah.
Tidak dapat
dibayangkan bagaimana mungkin manhaj menetapkan sifat Istiwa' Allah di atas
'Arasy-Nya di atas langit itu yang menjadi dasar akidah Ahli Sunnah sejak zaman
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat radhiallahu 'anhum itu boleh
membawa Ahli Sunnah kepada keyakinan bahawa Allah sebagai Tuhan yang diliputi
oleh suatu ruangan/tempat seperti langit-Nya, sedangkan Ahli Sunnah sendiri
telah maklmum lagi arif akan firman-Nya yang bermaksud "Luasnya kursy-Nya
meliputi langit dan bumi" [Surah al-Baqarah: 255]. Justeru, bagaimana
mungkin Ahli Sunnah boleh beriktikad bahwa Allah itu dilitupi atau dilingkungi
oleh langit-Nya sedangkan yang meliputi langit itu sendiri adalah Kursy-Nya,
manakala Dia, iaitu Allah, berada di atas segala-galanya dan terpisah dari
segala makhluk-Nya (termasuk langit kerana langit itu adalah makhluk-Nya juga)
?
Kesimpulannya, dalam
hal ini kesalahan tidak terletak kepada pihak Ahli Sunnah. Sebaliknya yang
bersalah ialah Ahli Bid'ah itu sendiri yang sememangnya sering dalam
kebingungan dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah sehingga mengaitkan
sifat Istiwa' Allah di atas 'Arasy-Nya di atas langit dengan sifat
"bertempat". Lucunya, natijah dari kebingungan mereka mengenai
sifat-sifat Allah ini pula mereka letakkan kepada Ahli Sunnah, lalu dengan
penuh angkuh mereka mendakwa merekalah Ahli Sunnah yang "sejati" dan
berakidah murni, manakala Ahli Sunnah yang secara terang-terangan berpegang
teguh kepada manhaj al-Salaf al-Shalih pula mereka gelar sebagai golongan
al-Mujassimah dan al-Musyabbihah. Subhanallah!
Sebagaimana yang
telah saya nyatakan sebelum ini, menetapkan sifat Istawa' Allah di atas 'Arasy
di atas langit-Nya itu bukanlah manhaj golongan Ahli Sunnah yang dimasyhurkan
dengan gelaran "wahabi" semata-mata sepertimana dakwaan Ahli Bid'ah,
malah manhaj ini juga merupakan manhaj yang menjadi pegangan seluruh para tokoh
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dari kalangan generasi awal umat Islam (al-Salaf
al-Shalih). Bagi membuktikan kenyataan ini, berikut akan saya paparkan beberapa
pernyataan dari para tokoh Ahli Sunnah yang saya maksudkan, dimulai dengan
pengakuan para imam mazhab sebagai pembuktian mengenai kesepakatan (ijmak)
mereka terhadap manhaj tersebut:
Imam al-Auza'i
rahimahullah yang dianggap Imam ahli Syam di zamannya. Beliau menegaskan:
"Kami dan para
tabi'in semuanya menetapkan dengan kesepakatan (ijmak) qaul kami bahawa:
Sesungguhnya Allah di atas 'Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah
dinyatakan oleh al-Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta'ala." [Fathul
Bari, Ibn Hajar al-'Asqalani; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah
Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf As-Soleh (Jilid 1), Ustaz Rasul Dahri
(Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), ms. 14].
Berkata Imam Abu
Hanifah rahimahullah:
"Sesiapa yang
mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia
telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku
tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata Imam Abu Hanifah:
Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas
'Arasy al-Istiwa.'" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 137, tahqiq al-Albani. Dalam
Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah ...., ms. 38-39].
Berkata Imam Malik
rahimahullah:
"Allah berada di
atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak
tersembunyi sesuatu pun daripada-Nya." [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 140; dalam
Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].
Berkata Imam
asy-Syafi'e rahimahullah:
"Sesungguhnya
Allah di atas 'Arasy-Nya dan 'Arasy-Nya di atas langit." [Mukhtasar
al-'Ulum, ms. 179; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal
Jamaah...., ms. 39].
Ibn Abi Hatim
meriwayatkan daripada Yunus Ibn 'Abd Al-'Ala, katanya :
"Aku mendengar
asy-Syafi'e berkata: "Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat (al-Asma'
wa al-Sifat) yang tidak boleh sesiapa pun menolaknya, dan sesiapa yang
menyalahinya setelah nyata hujah ke atasnya, maka sesungguhnya dia telah kufur.
Adapun sebelum tertegaknya hujah, maka sesungguhnya dia dimaafkan di atas
kejahilan itu kerana ilmu yang demikian itu tidak boleh dicapai melalui akal,
mimpi, atau fikiran. Maka kita menetapkan (ithbat) sifat-sifat ini dan kita
juga menafikan tasybih (penyerupaan) dari-Nya sebagaimana dia menafikan dari
diri-Nya" [Fathul Bari Bi Sharh Shahih al-Bukhari, Ibn Hajar al-'Asqalani;
jld. 13, ms. 407; dalam Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, Dr. Azwira Abdul
Aziz (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2006), ms. 77-68].
Berkata Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah:
"Benar! Allah di
atas 'Arasy-Nya dan tidak sesiapa pun yang tersembunyi daripada
pengetahuan-Nya" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 188; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah
Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].
Atsar Imam Ibnu Khuzaimah
rahimahullah menjelaskan:
"Barangsiapa
tidak menetapkan Allah Ta'ala di atas 'Arasy-Nya dan Allah Istiwa' di atas
tujuh langit-Nya, maka dia telah kafir dengan Tuhannya" [Ma'rifah 'Ulum
al-Hadits, ms. 84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal
Jamaah...., ms. 39-40].
Atsar Syaikhul Islam
Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan:
"Tidak boleh
mensifatkan-Nya bahawa Dia berada di tiap-tiap tempat, bahkan (wajib)
mengatakan: Sesungguhnya Dia di atas langit (yakni) di atas 'Arasy sebagaimana
Dia telah berfirman: "(Allah) Ar-Rahman di atas 'Arasy, Dia beristiwa'.
Dan patutlah memutlakkan sifat Istiwa' dengan Dzat-Nya di atas 'Arasy.
Keadaan-Nya di atas 'Arasy disebut pada Nabi yang Dia utus tanpa (bertanya):
Bagaimana caranya (Allah al-Istiwa' di atas 'Arasy-Nya)." [Fatwa Hamwiyah
Kubra, ms. 84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah....,
ms. 40].
Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ari rahimahullah:
"Di atas
langit-langit itulah 'Arasy, maka tatkala 'Arasy berada di atas langit-langit
Allah berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas
langit? Sesungguhnya Dia Istiwa' di atas 'Arasy yang berada di atas langit dan
tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan 'As-Sama' (langit), maka 'Arasy berada di
atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman
terhadap Dzat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi
'Arasy-Nya yang berada di atas langit." [Al-Ibanah an Ushul ad Diyanah,
ms. 48; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms.
40-41].
Penutup.
Sebagai mengakhiri
perbahasan ini, berikut saya paparkan pula beberapa lagi pernyataan para ulamak
muktabar Ahli Sunnah berkenaan manhaj mereka di dalam menetapkan sifat Istawa'
Allah di atas 'Arasy di atas langit :
Imam adz-Dzahabi
rahimahullah telah berkata:
"Ucapan para
al-Salaf dan Imam-Imam Sunnah bahkan para sahabat, Allah, Nabi dan seluruh kaum
muslimin bahawasanya Allah di atas langit dan di atas 'Arasy, dan bahawa Allah
turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan atsar-atsar
yang sangat banyak." [Al-'Uluw, ms. 143; dalam buku Di Mana Alloh?
Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, ms. 18].
Abdullah bin
al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana untuk kita mengetahui di
mana Allah? Beliau menyatakan:
"Ketika ditanya
kepada Abdullah bin al-Mubarak: Bagaimana kita boleh mengetahui di mana Tuhan
kita? Beliau menjawab: Dengan mengetahui bahawa Dia di atas langit ketujuh di
atas 'Arasy-Nya." [As-Sunnah, Abdullah bin al-Imam Ahmad, ms. 5; dalam
Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 18].
Berkata Syaikh Abu
Nashr al-Sijzi rahimahullah dalam kitabnya al-Ibanah:
"Para imam kami
seperti Sufyan al-Tsauri, Malik (bin Anas), Sufyan bin 'Uyainah, Hammad bin Salamah,
Hammad bin Zaid, 'Abd Allah bin al-Mubarak, Fudhail bin 'Iyadh, Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahuyah semuanya bersepakat mengatakan bahawa Allah pada
Dzat-Nya di atas 'Arasy." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 250; dalam Menjawab
17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 83].
Berkata Syaikh Abu
'Umar al-Thalamanki rahimahullah dalam kitabnya al-Wushul ila Ma'rifat
al-Ushul:
"Telah
bersepakat umat Islam daripada kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah atas firman
Allah: "Dan Allah tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada"
[surah al-Hadid: 4] dan ayat yang seumpama, bahawa ia bermaksud (kebersamaan
dari sudut) ilmu-Nya (dan bukan Dzat-Nya). Allah di atas langit dengan
Dzat-Nya, Istawa' di atas 'Arasy dengan cara yang layak bagi-Nya. Dan berkata
para tokoh Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap friman-Nya: "(Allah) Ar-Rahman
yang bersemayam di atas 'Arasy" [surah Taha: 5], bahawa Allah Istawa' di
atas 'Arasy secara hakikat dan bukan kiasan." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms.
250; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84]
Berkata Syaikh Nashr
al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Hujjah 'ala Taraka al-Mahajjah,
sekiranya ada orang bertanya:
"Sesungguhnya
anda telah menyebut bahawa yang wajib ke atas umat Islam ialah mengiktui
al-Qur'an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta apa yang
menjad kesepakatan para imam dan ulamak sehingga menjadi dasar Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah. Maka sebutlah mazhab mereka umat Islam dan apa yang telah mereka
sepakati dalam perkara akidah dan apa yang patut kita ikut berdasarkan
kesepakatan mereka" Maka jawapannya: "Apa yang telah saya terima
daripada para ilmuan dan orang yang saya temui dan orang yang saya ambil
(riwayat) daripada mereka ialah (maka dia menyebut sejumlah dasar Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah ... di antaranya) sesungguhnya Allah Istawa' di atas 'Arasy-Nya,
terpisah daripada makhluk-Nya." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 251; dalam
Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84-85].