Sodik
Mudjahid ( Anggota DPR ) : Tak Pernah Ada Titik Temu Antara Sunni dan Syi’ah.
Wakil Ketua Komisi VIII Fraksi Gerindra DPR RI Sodik
Mudjahid menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara Sunni dengan Syiah dalam
aspek akidah dan syariahnya.
“Saya pernah diskusi dengan seorang
puncak tokohnya di Syiah. Karena saya ingin dengar langsung dari orangnya dan
mungkin tadinya saya sedikit berharap bisa menjadi mediator, tetapi ketika mau
dibuka diskusi, langsung arahnya kepada pendeskreditkan maupun penghujatan
kepada sahabat-sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam,” jelas Sodik kepada hidayatullah.com, di
Jakarta, Selasa (02/02/2016) kemarin.
“Dari situlah, kemudian saya tutup
diskusinya, berhenti sampai situ saja,” imbuhnya.
Sodik mengatakan bahwa dirinya berpikir
tadinya tokoh utama di Syih itu tidak memulai pembicaraan (diskusi) dengan
langsung mendiskreditkan para sahabat, serta parakhulafaurrasyidin itu. Tapi,
justru ternyata tokoh utama Syiah membuka diskusi dengan menghujat para Sahabat
bahkan istri Rasulullah.
“Artinya apa, saya khawatir tidak akan
pernah ada titik temu. Ini yang kami pahami kenapa di bawah ada resistensi yang
tinggi. Dalam konteks itu, kami prihatin jika teman-teman Syiah masih membawa
isu sensitif seperti penghujatan kepada para sahabat Nabi,” ujar Sodik.
Tentu, dikatakan Sodik, umat Islam di
Indonesia agak susah menerima itu bahkan menolak meskipun dengan berbagai dalil
apapun. Apalagi dalil-dalil yang dianggap bertentangan dengan fakta-fakta yaitu
hadits yang dipahami dan dipercaya oleh kaum Muslimin.*
Rep: Achmad Fazeri
Editor: Cholis Akbar
Sejarah telah membuktikan bahwa
penyatuan Sunni dan Syiah mustahil adanya. Jalinan kerjasama keduanya pun penuh
resiko dan berbahaya. Sebab Syiah tidak dapat dipercaya.
Demikian
ditegaskan cendekiawan dan penulis buku-buku terkenal asal Mesir Dr Raghib
As-Sirjani saat berkunjung ke Indonesia baru-baru ini. Sejarah, kata Raghib,
mencatat bahwa Syiah telah melakukan pengelabuan terhadap umat Islam.
Di depan
para wartawan, Raghib mengungkap sejarah pengelabuan itu. Dia membeberkan
ketidakbenaran penisbatan nama Fathimiyyah kepada Daulah Syiah di Mesir.
Sebab,
menurutnya, Syiah ingin mengelabui umat Islam dengan mencatut nama Fathimah,
puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal sebenarnya, nama Daulah
Syiah tersebut adalah Daulah Ubaidiyyah, dinisbatkan kepada pendirinya,
Ubaidillah Mahdi, seorang Yahudi.
“Jadi
tidak ada yang namanya Daulah Fathimiyyah, yang ada Daulah Ubaidiyyah,”tegas
Raghib usai mengisi acara 13th Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta,
Sabtu, (01/03/2014).
Raghib
mengatakan, daulah tersebut kemudian mengklaim sebagai kekhalifahan.
Pengelabuan-pengelabuan itu disebutnya sebagai pemanis agar mereka dihormati.
“Sebenarnya itu adalah negara
(daulah. Red) yang sangat keji, sangat kotor,” tegas Raghib seperti dikatakan
penerjemahnya.
Penulis
buku ‘Kaifa Nabnil Ummah?’ ini mencontohkan kekejian Syiah yang terpampang di
Suriah saat ini. Menurutnya, Suriah kini dijajah oleh Syiah Nushairiyyah -yang
dinisbatkan kepada Muhammad bin Nusyair- dengan kedok Syiah Alawiyyah.
Adapun
penggunaan nama Alawiyyah, jelasnya, adalah penisbatan palsu. Pengelabuan ini
sama dengan kasus penisbatan Fathimiyyah di atas.
“Tapi
sebenarnya (Syiah di Suriah) itu adalah Nushairiyyah dan itu adalah sekte Syiah
yang paling keji, paling kotor, paling kriminal. Dan mereka sampai-sampai
menuhankan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Jadi bukan hanya sekedar
mensucikan (Ali),”ungkapnya.
Negosiasi Sunni-Syiah
Raghib
mengatakan, hujjah Ahlus Sunnah sesungguhnya sangat kuat. Tidak bisa
dibandingkan dengan hujjah lemah kaum Syiah. Sehingga, Syiah menempuh cara lain
untuk menarik minat umat Islam.
“Jadi
mereka menempuh cara lewat duit, lewat bantuan. Itu ditempuh di Mesir, di
Sudan, dan di Indonesia juga, dan juga di negara-negara lainnya,” jelasnya.
Raghib
meyakini, di Mesir saat ini tidak ada ulama Syiah, ataupun ulama Sunni yang
mendukung Syiah. Yang ada ulama yang menyerukan pendekatan Sunni-Syiah.
“Para
ulama ini dituduh seolah-olah dia condong pada Syiah,” imbuhnya.
Raghib
berpandangan tersendiri terkait mustahilnya pendekatan Sunni dan Syiah.
Menurutnya, yang mungkin dilakukan adalah dialog.
“Ataupun
bernegosiasi di mana mereka kita berharap agar orang Syiah itu menghentikan
kekejian mereka, kekerasan mereka terhadap Muslim,” tandasnya.
Kehadiran
Raghib di Jakarta memenuhi undangan penerbit Pustaka Al-Kautsar sebagai
pembicara dalam acara “Dialog Peradaban Islam”. Raghib mengupas buku karyanya
yang diterjemahkan berjudul “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”. (beritaislam.net)
DPR Minta Menag Beri
Penjelasan dan Jaminan Soal Kerjasama Dengan Iran
Bangsa Indonesia maupun
al-Qur’an, tidak ada larangan negara Indonesia bekerja sama dengan
negara-negara manapun di dunia.
Karena itu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memahami wacana kerjasama antara Kementerian Agama
(Kemenag) dengan Kedutaan Besar (Kedubes) Iran untuk Indonesia guna
pengembangan pendidikan, pariwisata, budaya dan agama.
Hanya saja, wacana
kerjasama Kemenag dengan Kedubes Iran untuk Indonesia harus dijelaskan
transparan pada masyarakat. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR
RI, Sodik Mudjahid.
“Tapi, sekarang kan sedang
agak sensitif soal Syiah di Indonesia makanya, Menag harus memberikan
penjelasan yang sejelas-jelasnya dan jaminan bahwa kerja sama ini tidak akan
masuk ke dalam wilayah yang sensitif itu, sehingga tidak memperkeruh suasana,” jelas Sodik mengimbau.
Ke depan, Sodik
berharap, Syiah dan Sunni perlu mengadakan diskusi yang ikhlas, jujur, dan
terbuka berdasarkan basis sejarah, syariah, dan undang-undang, serta bagaimana
implementasinya di Indonesia. Sebab, lanjutnya, selain singgungan aspek aqidah dan syari’ah
antara Sunni dan Syiah, ia juga khawatir akan bersinggungan dengan aspek
kenegaraan, penguasaan, pemerintahan dan sebagainya.
“Ini yang perlu
dibicarakan dengan terbuka antara Syiah dan Sunni dan juga pemerintah,” ujar Sodik kepada hidayatullah.com, di Jakarta, Selasa (02/02/2016) kemarin.
Kalau soal akidah dan
syariah, sepanjang itu tidak bertentangan dengan agama dan dasar negara
Pancasila biarkan saja saling berkompetisi, tapi pemerintah harus
mengadakan gentle agreement, pembicaraan tingkat tinggi supaya jangan sampai memindahkan
konflik yang terjadi di Timur Tengah ke Indonesia.
“Sudah seharusnya
pemerintah itu membuat langkah-langkah yang lebih cerdas,” tandas Sodik.
Sebagaimana
diketahui, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia H E Valiollah
Mohammadi bersilaturahim ke Kementerian Agama RI. Kedatangan Dubes Negeri
Mullah ini didampingi para Diplomat Kedutaan Iran, seperti Maktabifarah,
Famouri, dan Ali Pahlevani R.
Kedatangan
Dubes Iran ini diterima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang didampingi
Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Gunaryo, Direktur Pelayanan
Haji Luar Negeri Sri Ilham Lubis, dan Kasubdit Ketenagaan Dit Diktis Imam
Safei.
Valiollah mengajak
Kemenag untuk lebih pro aktif dalam menjalin kerja sama Indonesia – Iran.
Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dikerjasamakan. Di bidang Pendidikan
Islam, Valiollah mengajak kerjasama di bidang pertukaran mahasiswa, dosen, dan
lain sebagainya.
“Kami di Iran, mempunyai
intansi yang menjadi wadah Syiah, Sunni, dan Syiah-Sunni. Instansi ini dapat
dijadikan contoh bahwa Syiah dan Sunni bisa kerjasama,” terangnya, Senin
(01/02/2016) seperti dikutip laman kemenag.go.id.
Kerjasama lainnya di
bidang Ilmu Al-Quran dan Haji. Valiollah berharap dapat memperoleh
pengalaman dan ilmu dari Indonesia dalam menyelenggarakan ibadah haji.
Dubes Iran juga mengajak
kerjasama terkait dialog ulama dua negara. Menurutnya, Indonesia adalah negara
dengan Ideologi Sunni terbesar di dunia, sedang Iran adalah syiah terbesar.
“Kami berharap, para
ulama dua negara, mampu ketemu, duduk bersama dan berdialog. Hal ini untuk
mengurangi kesalahpahaman masyarakat kita,” urainya.
Kerjasama juga bisa
dilakukan di bidang seni dan pariwisata Islami. Valiollah menilai, Indonesia
dan Iran sangat kaya akan seni. “Sertifikasi makanan halal pun bisa kita kerja
samakan,” tuturnya.
Menag Lukman Hakim
Saifuddin menyatakan, Kemenag siap bekerja sama dengan Pemerintah Islam Iran.
Menurutnya, beberapa hal yang berhubungan dengan Kemenag, akan dipelajari
secara seksama. Sedangkan yang berhubungan dengan kementerian lainnya, akan
dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
Menag menjelaskan bahwa
Kemenag mempunyai proyek 5.000 Doktor di berbagai disiplin ilmu yang bisa
dikerjasamakan dengan Iran. Menag juga menyambut baik usulan Dubes tentang
dialog antarulama.
“Dialog Ulama Indonesia
dan Iran, antara Sunni-Syiah memang diperlukan untuk meminimalisir
kesalahpahaman di masyarakat. Perbedaan Sunni-Syiah adalah masalah klasik dan
telah terjadi ratusan tahun silam. Sering kali, masyarakat kita salah paham,”
katanya.*
Rep: Achmad Fazeri
Editor: Cholis Akbar