Friday, February 5, 2016

Sodik Mudjahid ( Anggota DPR ) : Tak Pernah Ada Titik Temu Antara Sunni Dan Syi’ah. Sejarah Membuktikan, Persatuan Sunni-Syiah Adalah Mustahil ! Beliau Minta Menag Beri Penjelasan Dan Jaminan Soal Kerjasama Dengan Iran.


Sodik Mudjahid ( Anggota DPR ) : Tak Pernah Ada Titik Temu Antara Sunni dan Syi’ah.

Wakil Ketua Komisi VIII Fraksi Gerindra DPR RI Sodik Mudjahid menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara Sunni dengan Syiah dalam aspek akidah dan syariahnya.
“Saya pernah diskusi dengan seorang puncak tokohnya di Syiah. Karena saya ingin dengar langsung dari orangnya dan mungkin tadinya saya sedikit berharap bisa menjadi mediator, tetapi ketika mau dibuka diskusi, langsung arahnya kepada pendeskreditkan maupun penghujatan kepada sahabat-sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam,” jelas Sodik kepada hidayatullah.com, di Jakarta, Selasa (02/02/2016) kemarin.
“Dari situlah, kemudian saya tutup diskusinya, berhenti sampai situ saja,” imbuhnya.
Sodik mengatakan bahwa dirinya berpikir tadinya tokoh utama di Syih itu tidak memulai pembicaraan (diskusi) dengan langsung mendiskreditkan para sahabat, serta parakhulafaurrasyidin itu. Tapi, justru ternyata tokoh utama Syiah membuka diskusi dengan menghujat para Sahabat bahkan istri Rasulullah.
“Artinya apa, saya khawatir tidak akan pernah ada titik temu. Ini yang kami pahami kenapa di bawah ada resistensi yang tinggi. Dalam konteks itu, kami prihatin jika teman-teman Syiah masih membawa isu sensitif seperti penghujatan kepada para sahabat Nabi,” ujar Sodik.
Tentu, dikatakan Sodik, umat Islam di Indonesia agak susah menerima itu bahkan menolak meskipun dengan berbagai dalil apapun. Apalagi dalil-dalil yang dianggap bertentangan dengan fakta-fakta yaitu hadits yang dipahami dan dipercaya oleh kaum Muslimin.*
Rep: Achmad Fazeri
Editor: Cholis Akbar


Sejarah telah membuktikan bahwa penyatuan Sunni dan Syiah mustahil adanya. Jalinan kerjasama keduanya pun penuh resiko dan berbahaya. Sebab Syiah tidak dapat dipercaya.


Demikian ditegaskan cendekiawan dan penulis buku-buku terkenal asal Mesir Dr Raghib As-Sirjani saat berkunjung ke Indonesia baru-baru ini. Sejarah, kata Raghib, mencatat bahwa Syiah telah melakukan pengelabuan terhadap umat Islam.

Di depan para wartawan, Raghib mengungkap sejarah pengelabuan itu. Dia membeberkan ketidakbenaran penisbatan nama Fathimiyyah kepada Daulah Syiah di Mesir.

Sebab, menurutnya, Syiah ingin mengelabui umat Islam dengan mencatut nama Fathimah, puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal sebenarnya, nama Daulah Syiah tersebut adalah Daulah Ubaidiyyah, dinisbatkan kepada pendirinya, Ubaidillah Mahdi, seorang Yahudi.

“Jadi tidak ada yang namanya Daulah Fathimiyyah, yang ada Daulah Ubaidiyyah,”tegas Raghib usai mengisi acara 13th Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu, (01/03/2014).

Raghib mengatakan, daulah tersebut kemudian mengklaim sebagai kekhalifahan. Pengelabuan-pengelabuan itu disebutnya sebagai pemanis agar mereka dihormati.

“Sebenarnya itu adalah negara (daulah. Red) yang sangat keji, sangat kotor,” tegas Raghib seperti dikatakan penerjemahnya.


Penulis buku ‘Kaifa Nabnil Ummah?’ ini mencontohkan kekejian Syiah yang terpampang di Suriah saat ini. Menurutnya, Suriah kini dijajah oleh Syiah Nushairiyyah -yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Nusyair- dengan kedok Syiah Alawiyyah.
Adapun penggunaan nama Alawiyyah, jelasnya, adalah penisbatan palsu. Pengelabuan ini sama dengan kasus penisbatan Fathimiyyah di atas.

“Tapi sebenarnya (Syiah di Suriah) itu adalah Nushairiyyah dan itu adalah sekte Syiah yang paling keji, paling kotor, paling kriminal. Dan mereka sampai-sampai menuhankan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Jadi bukan hanya sekedar mensucikan (Ali),”ungkapnya.

Negosiasi Sunni-Syiah

Raghib mengatakan, hujjah Ahlus Sunnah sesungguhnya sangat kuat. Tidak bisa dibandingkan dengan hujjah lemah kaum Syiah. Sehingga, Syiah menempuh cara lain untuk menarik minat umat Islam.
“Jadi mereka menempuh cara lewat duit, lewat bantuan. Itu ditempuh di Mesir, di Sudan, dan di Indonesia juga, dan juga di negara-negara lainnya,” jelasnya.

Raghib meyakini, di Mesir saat ini tidak ada ulama Syiah, ataupun ulama Sunni yang mendukung Syiah. Yang ada ulama yang menyerukan pendekatan Sunni-Syiah.

“Para ulama ini dituduh seolah-olah dia condong pada Syiah,” imbuhnya.
Raghib berpandangan tersendiri terkait mustahilnya pendekatan Sunni dan Syiah. Menurutnya, yang mungkin dilakukan adalah dialog.

“Ataupun bernegosiasi di mana mereka kita berharap agar orang Syiah itu menghentikan kekejian mereka, kekerasan mereka terhadap Muslim,” tandasnya.

Kehadiran Raghib di Jakarta memenuhi undangan penerbit Pustaka Al-Kautsar sebagai pembicara dalam acara “Dialog Peradaban Islam”. Raghib mengupas buku karyanya yang diterjemahkan berjudul “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”. (beritaislam.net)

DPR Minta Menag Beri Penjelasan dan Jaminan Soal Kerjasama Dengan Iran

Bangsa Indonesia maupun al-Qur’an, tidak ada larangan negara Indonesia bekerja sama dengan negara-negara manapun di dunia.
Karena itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memahami wacana kerjasama antara Kementerian Agama (Kemenag) dengan Kedutaan Besar (Kedubes) Iran untuk Indonesia guna pengembangan pendidikan, pariwisata, budaya dan agama.
Hanya saja, wacana kerjasama Kemenag dengan Kedubes Iran untuk Indonesia harus dijelaskan transparan pada masyarakat. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodik Mudjahid.
“Tapi, sekarang kan sedang agak sensitif soal Syiah di Indonesia makanya, Menag harus memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya dan jaminan bahwa kerja sama ini tidak akan masuk ke dalam wilayah yang sensitif itu, sehingga tidak memperkeruh suasana,” jelas Sodik mengimbau.
Ke depan, Sodik berharap, Syiah dan Sunni perlu mengadakan diskusi yang ikhlas, jujur, dan terbuka berdasarkan basis sejarah, syariah, dan undang-undang, serta bagaimana implementasinya di Indonesia. Sebab, lanjutnya, selain singgungan aspek aqidah dan syari’ah antara Sunni dan Syiah, ia juga khawatir akan bersinggungan dengan aspek kenegaraan, penguasaan, pemerintahan dan sebagainya.
“Ini yang perlu dibicarakan dengan terbuka antara Syiah dan Sunni dan juga pemerintah,” ujar Sodik kepada hidayatullah.com, di Jakarta, Selasa (02/02/2016) kemarin.
Kalau soal akidah dan syariah, sepanjang itu tidak bertentangan dengan agama dan dasar negara Pancasila biarkan saja saling berkompetisi, tapi pemerintah harus mengadakan gentle agreement, pembicaraan tingkat tinggi supaya jangan sampai memindahkan konflik yang terjadi di Timur Tengah ke Indonesia.
“Sudah seharusnya pemerintah itu membuat langkah-langkah yang lebih cerdas,” tandas Sodik.
Sebagaimana diketahui, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia H E Valiollah Mohammadi bersilaturahim ke Kementerian Agama RI. Kedatangan Dubes Negeri Mullah ini didampingi para Diplomat Kedutaan Iran, seperti Maktabifarah, Famouri, dan Ali Pahlevani R.
Kedatangan Dubes Iran ini diterima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang didampingi Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri  Gunaryo, Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Sri Ilham Lubis, dan Kasubdit Ketenagaan Dit Diktis Imam Safei.
Valiollah mengajak Kemenag untuk lebih pro aktif dalam menjalin kerja sama Indonesia – Iran. Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dikerjasamakan. Di bidang Pendidikan Islam, Valiollah mengajak kerjasama di bidang pertukaran mahasiswa, dosen, dan lain sebagainya.
“Kami di Iran, mempunyai intansi yang menjadi wadah Syiah, Sunni, dan Syiah-Sunni. Instansi ini dapat dijadikan contoh bahwa Syiah dan Sunni bisa kerjasama,” terangnya, Senin (01/02/2016) seperti dikutip laman kemenag.go.id.
Kerjasama lainnya di bidang Ilmu Al-Quran dan Haji. Valiollah berharap dapat  memperoleh pengalaman dan ilmu dari Indonesia  dalam menyelenggarakan ibadah haji.
Dubes Iran juga mengajak kerjasama terkait dialog ulama dua negara. Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan Ideologi Sunni terbesar di dunia, sedang Iran adalah syiah terbesar.
“Kami berharap, para ulama dua negara, mampu ketemu, duduk bersama dan berdialog. Hal ini untuk mengurangi kesalahpahaman masyarakat kita,” urainya.
Kerjasama juga bisa dilakukan di bidang seni dan pariwisata Islami. Valiollah menilai, Indonesia dan Iran sangat kaya akan seni. “Sertifikasi makanan halal pun bisa kita kerja samakan,” tuturnya.
Menag Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, Kemenag siap bekerja sama dengan Pemerintah Islam Iran. Menurutnya,  beberapa hal yang berhubungan dengan Kemenag, akan dipelajari secara seksama. Sedangkan yang berhubungan dengan kementerian lainnya, akan dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
Menag menjelaskan bahwa Kemenag mempunyai proyek 5.000 Doktor di berbagai disiplin ilmu yang bisa dikerjasamakan dengan Iran. Menag juga menyambut baik usulan Dubes tentang dialog antarulama.
“Dialog Ulama Indonesia dan Iran, antara Sunni-Syiah memang diperlukan untuk meminimalisir kesalahpahaman di masyarakat. Perbedaan Sunni-Syiah adalah masalah klasik dan telah terjadi ratusan tahun silam. Sering kali, masyarakat kita salah paham,” katanya.*
Rep: Achmad Fazeri
Editor: Cholis Akbar