Lukisan abad ke-14, tentang pembunuhan oleh
sekte assasin,
sebuah sekst pecahan Syiah
Oleh: Alwi Alatas
Kelompok
Assassin merupakan sebuah sekte pecahan Syiah Ismailiyah.Ia didirikan oleh
Hasan al-Sabbah, seorang keturunan Yaman yang lahir dan menghabiskan sebagian
besar masa hidupnya di wilayah Iran.
Sejak keberhasilannya membunuh Nizam al-Muluk, kaum
Assassin menggunakan metode yang sama meneror pemimpin Sunni. Belakangan aksi
membunuh dengan upah ditiru Eropa.
Ibnu Katsir dalam “Bidayah wa Nihayah” menyebutkan
bahwa saat Hasan al-Sabbah mulai menjadi ancaman di wilayah Iran
JIKA anak-anak
muda pada hari ini ditanya apa yang mereka ketahui tentang Assassin, mungkin
mereka serentak akan menjawab bahwa itu adalah nama sebuahgame
online. Jika pengetahuannya hanya berhenti sampai di situ,
tentu
sayang sekali.Karena Assassin sebenarnya bukan sebuah
cerita atau permainan fiktif. Ia adalah sebuah sekte keagamaan cukup
besaryang pernah muncul dalam sejarah. Kumpulan ini memang lahir di dunia
Islam, tetapi juga memberi kesan yang kuat di dalam imajinasi Barat, sayangnya
tidak dalam pengertian yang positif.
Kelompok
Assassin merupakan sebuah sekte pecahan Syiah Ismailiyah. Ia didirikan oleh
Hasan al-Sabbah, seorang keturunan Yaman yang lahir dan menghabiskan sebagian
besar masa hidupnya di wilayah Iran. Kajian tentang Assassin tak akan lengkap
tanpa membahas sosok yang satu ini.
Hasan
al-Sabbah lahir pada pertengahan abad ke-11 di kota Qum, Iran.Iakemudian
mengikuti orangtuanya pindah ke kota Rayy (Teheran). Mengikut keyakinan
keluarganya, Hasan menganut faham Syiah Itsna Asy’ariyah (Dua Belas Imam).Dalam
cuplikan biografinya, sebagaimana dikutip oleh Bernard Lewis dalam bukunya Assassin, Hasan
menulis bahwa, “sejak berusia tujuh tahun, aku sudah jatuh hati pada kepada
pelbagai cabang ilmu pengetahuan dan bercita-cita menjadi ulama.” Hingga
sepuluh tahun berikutnya, ia “menjadi pencari dan penuntut ilmu dengan tetap
mempertahankan keyakinan Syiah Dua Belas Imam” yang dianut oleh ayahnya.
Keadaan
berubah saat ia bertemu seorang dai Ismailiyah bernama Amira Darrab; seorang
rafiq (sahabat)mengikutistilahyang digunakan di kalangan Ismailiyah. Hasan pada
awalnya menolak pandangan-pandangan Amira Darrab.Namun kepribadiannyayang
menarik dan kepandaiannnya berargumen membuat keyakinan Hasan akhirnya goyah.
Ia pun berpindah keyakinan kepada Ismailiyah yang pada masa itu memang lebih
dominan dibandingkan Itsna Asy’ariyah. Pada pertengahan tahun 1072, Hasan
dibaiat oleh pimpinandai Ismailiyah di Persia Barat dan Irak, Abdul Malik bin
Attasy.
Sekitar
empat tahun kemudian, ia melakukan perjalanan dari Rayy menuju Isfahan. Setelah
itu ia ke Kairo, tempat bersemayam Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir (w. 1094),
sekaligus pusat pemerintahan Ismailiyah ketika itu. Ia tiba di Kairo pada
pertengahan tahun 1078. Hasan hanya menetap tiga tahun di kota itu dan juga
Aleksandria. Belakangan ia berseteru dengan wazir Badr al-Jamali yang
menyebabkan ia terpaksa pergi meninggalkan Mesir dan kembali ke Persia.
Tahun
kedatangan Hasan di Kairo, 1078, juga merupakan tahun kematian Mu’ayyad al-Din
al-Shirazi, pimpinan misionaris (Da’i al-Du’at) Ismailiyah sekaligus intelektual
penting yang membawa falsafah Ismailiyah kepada puncaknya.Kedudukannya
digantikan oleh Badr al-Jamali (w. 1094), seorang bekas budak Armenia yang
karirnya menanjak cepat di pemerintahan Fatimiyah. Badr al-Jamali juga
merupakan wazir dan kepala tentara Fatimiyah. Kuatnya pengaruh Badr al-Jamali
serta keturunannya pada masa berikutnya akan menyebabkan posisi Khalifah
Fatimiyah mulai tersandera dan kehilangan pengaruh, sebagaimana yang terjadi
pada Dinasti Abbasiyah.
Kelak Badr
al-Jamali dan anaknya yang meneruskan kedudukannya, al-Afdal,akan menyingkirkan
putra mahkota Fatimiyah yang memiliki dukungan luas, Nizar (w. 1095/1097), dan
menggantinya dengan putera Khalifah yang lain. Hal itu nantinya akan memicu
perpecahan di dunia Ismailiyah, antara pihak yang berkuasa di Kairo dan pihak
yang pro-Nizar di mana Hasan al-Sabbah menjadi salah satu pendukung utamanya.
Tapi hal ini baru terjadi sekitar dua dekade setelah keberadaan Hasan al-Sabbah
di Mesir.
Setelah
meninggalkan Mesir, Hasan al-Sabbah kembali ke wilayah Iran dan menyebarkan
dakwah Ismailiyah di sana. Pada akhir tahun 1080-an, ia memfokuskan dakwahnya
di wilayah Dailam di utara Iran. Masyarakat di wilayah itu tidak puas dengan
pemerintahan Abbasiyah dan Saljuk, mayoritasnya menganut Syiah, dan wilayah itu
tidak sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah karena lokasinya yang agak
jauh dari pusat pemerintahan.
Di wilayah
itu, tepatnya di pegunungan Alborz, ada sebuah benteng yang sangat strategis
dan sulit dijangkau.Benteng itu dibangun pada masa silam oleh seorang raja
Dailam yang menemukan lokasi tersebutketika burung elangnya terbang ke tempat
itu saat sedang berburu.Ia pun membangun benteng di sana dan memberinya nama
Aluh Amut yang menurut bahasa setempat bermakna ‘Petunjuk Elang’. Nama itu kemudian
berubah menjadi Alamut.
Secara
bertahap, Hassan menyusupkan orang-orangnya ke dalam benteng Alamut dan
menyebarkan pengaruh secara rahasia di dalam benteng. Pada tahun 1090, ia
sendiri menyusup dengan menyamar ke dalam benteng. Ketika penguasa benteng itu
akhirnya mengetahui apa yang terjadi, keadaannya sudah terlambat, karena
pengaruh Hasan al-Sabbah sudah terlalu kuat. Ia terpaksa menerima tawaran Hasan
agar menjual benteng itu kepadanya seharga 3000 dinar emas dan pergi
meninggalkan benteng itu setelahnya.
Penguasa
Saljuk berusaha merebut kembali Alamut setelah benteng itu dikuasai oleh Hasan,
tetapi mereka tidak berhasil.Alamut tetap berada di bawah kekuasaan Hasan dan
para pengikutnya hingga satu setengah abad berikutnya.
Dikuasainya
benteng Alamut oleh Hasan al-Sabbah menandai era baru gerakan Ismailiyah di
wilayah Persia, serta “meletakkan dasar bagi sebuah negara baru dan unik, di
atas prinsip yang sangat berbeda dengan masyarakat Sunni di sekitarnya,” tulis
Marshall Hodgson dalamThe Order of Assassin.
Hal ini juga
menandai kemunculan sebuah kelompok yang kemudian terkenal dengan penggunaan
cara-cara berdarah dalam menghabisi lawan-lawan politiknya.Seperti dikatakan
Steven Runciman dalam A
History of the Crusades, “Senjata
politik utama yang digunakannya (Hasan al-Sabbah, pen.)adalah apa yang
dengannya para pengikutnya melahirkan namanya, pembunuhan”.
Ya, para
pengikut al-Sabbah memang kelak dikenal, terutama di Barat, sebagai kaum
Assassin (Pembunuh).
Sejak menguasai Alamut, Hasan berusaha menguasai
benteng-benteng strategis lainnya di kawasan Iran Utara.Hal ini menjadi ciri
khas gerakan Assassin pada masa-masa berikutnya, yaitu menguasai kastil-kastil
yang sulit dijangkau di kawasan pegunungan yang agak jauh dari pusat-pusat
pemerintahan Saljuk.Selain itu, Hasan juga mengembangkan doktrin Ismailiyah
yang kemudian dikenal sebagai “dakwah baru” (al-da’wa al-jadida). Menurut
Farhad Daftary dalam artikelnya “Hasan Sabbah”, dakwah baru ini sebenarnya
merupakan formulasi ulang dari doktrin ta’lim (authoritative instruction) yang sudah
mapan di dalam ajaran Ismailiyah.
Hasan mampu membangun otoritas yang kuat
di kalangan pengikutnya sehingga dapat dikatakan mereka mentaatinya secara
mutlak.Para pengikutnya itu siap mati dalam menjalankan perintah Hasan dan para
pemimpin setelahnya.Hasan sendiri disebut oleh para pengikutnya dengan sebutan
Sayyidna (our Master).
Hasan melatih sebagian pengikutnya
secara khusus untuk melakukan penyamaran, penyusupan, dan pembunuhan.Para
pembunuh ini, biasanya disebut fida’i, ditugaskan untuk membunuh tokoh-tokoh
penting di kalangan Ahlu Sunnah. Para pembunuh terlatih ini harus siap mati,
karena biasanya mereka akan mati dalam menjalankan tugasnya, baik tugas itu
berhasil ataupun gagal.
Orang pertama yang menjadi sasaran pembunuhan kaum
Assassin adalah Nizam al-Muluk (w. 1092). Ia merupakan wazir paling penting
Dinasti Saljuk, sekaligus salah satu tokoh utama
kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada masa itu, selain Abu Hamid al-Ghazali (w.
1111) dari kalangan ulama. Nizam al-Muluk dibunuh saat melakukan perjalanan
haji pada tahun 1092.
Ketika ia tiba di daerah Nahawand,
seorang pemuda Dailam yang menyusup ke rombongannya dengan mengenakan pakaian
Sufi meminta izin untuk mendekat kepadanya. Saat ia diberi izin dan mendekat
kepada Nizam al-Muluk, ia langsung mengeluarkan belati dan menikam sang wazir
tepat di jantungnya. Nizam al-Muluk wafat tak lama kemudian.
Pemuda Dailam yang merupakan pengikut
Hasan al-Sabbah itu berhasil ditangkap dan dihukum mati.Namun perbuatannya itu
tidak hanya mengakhiri hidup satu orang, tetapi memberi dampak serius pada
Dinasti Saljuk secara keseluruhan, karena Nizam al-Muluk adalah arsitek
sesungguhnya dari Dinasti tersebut.
Beberapa waktu kemudian, masih pada
tahun yang sama, Sultan Turki Saljuk, Maliksyah, meninggal dunia. Setelah itu,
Dinasti Saljuk mengalami perpecahan dan kemunduran, dan tidak pernah bangkit
kembali setelahnya.
Dengan melemahnya Dinasti Saljuk, maka
kaum Assassin menjadi lebih leluasa dalam menyebarkan pengaruhnya di
wilayah-wilayah Sunni. Pecah dan melemahnya Dinasti Saljuk juga menjadi faktor
utama yang mendorong terjadinya Perang Salib I, karena Byzantium melihat
peluang di balik perpecahan itu dan ia mengajak orang-orang Frank (Eropa Barat)
untuk melakukan serangan ke Asia Minor dan Suriah. Saat pasukan salib masuk dan
menetap di wilayah Suriah dan Palestina nantinya kita akan menemukan kaum
Assassin dalam banyak kesempatan menjalin hubungan persahabatan dengan
orang-orang Frank. Karena musuh utama mereka adalah Ahlu Sunnah, bukan
orang-orang Kristen Eropa.
Menjelang atau bertepatan dengan
masuknya pasukan salib ke Asia Minor dan Suriah itu pula terjadi perpecahan di
dunia Syiah Ismailiyah. Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir, wafat pada tahun
1094. Nizar yang merupakan putera mahkota digulingkan dari kekuasaan oleh wazir
al-Afdal. Adik Nizar, al-Musta’li, diangkat oleh al-Afdal sebagai khalifah yang
baru. Nizar menolak menerima hal itu, tetapi akhirnya ia mati dibunuh.
Banyak kalangan Ismailiyah di luar Mesir
tidak bisa menerima hal itu, terutama yang berada di kawasan Iran dan
sekitarnya.Bagi mereka, Nizar merupakan putra mahkota yang sah. Hal ini juga
sejalan dengan doktrin Ismailiyah yang menetapkan anak pertama dari imam
sebelumnya sebagai imam penerus, sebagaimana penetapan mereka atas Ismail
sebagai imam Syiah ketujuh yang sah, dan bukan Musa al-Kadzim, karena Ismail
merupakan anak tertua Ja’far Shadiq.
Mereka yang mendukung Nizar selanjutnya
disebut sebagai Nizari, dan Hasan al-Sabbah merupakan pendukung
terkuatnya.Sejak itu mulai berkembang ide tentang ghaibnya Imam Nizar di
kalangan Nizari, atau dikatakan bahwa keturunannya telah melarikan diri dari
Kairo dan berlindung di benteng Alamut sebagaimana yang diklaim pihak
al-Sabbah.Pada intinya, para pendukung Nizar kini berseberangan dan bermusuhan
dengan pusat kekuasaan Fatimiyah di Mesir.Dengan begitu, Alamut dan
kastil-kastil pendukungnya menjadi sentral pemerintahan Ismailiyah (Nizari)
yang bergerak secara independen, terpisah dari pemerintahan Kairo.
Teror kaum Sunni
Sejak keberhasilannya dalam membunuh
Nizam al-Muluk, kaum Assassin menggunakan metode yang sama untuk meneror para
pemimpin Sunni. Beberapa pemimpin di dunia Sunni menjadi korban pembunuhan kaum
Assassin di sepanjang abad ke-12.Kaum Assassin menyamar dan menyusup ke tempat
yang biasa diakses calon korbannya.Kadang mereka mampu menyusup dan menjadi
orang-orang kepercayaan di lingkaran terdekat si calon korban, dan siap
menerima instruksi dari Tuan mereka untuk melakukan eksekusi.
Mereka menyamar sebagai tentara, sebagai
pelayan, sebagai pedagang, atau sebagai seorang Sufi yang berpakaian sederhana.
Ketika saatnya tiba, mereka melakukan
serangan mematikan tanpa diduga. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Maalouf
dalam bukunya “The Crusades through Arab Eyes“, walaupun persiapannya selalu
dijalankan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, eksekusinya dilaksanakan di
tempat terbuka, bahkan di depan kerumunan yang besar. Itulah sebabnya mengapa
lokasi (pembunuhan) yang disukai adalah masjid, hari favoritnya adalah Jum’at,
dan pada umumnya (dilakukan) pada tengah hari.”
Pada masa-masa berikutnya, “Semua
pemimpin Muslim Sunni belajar untuk takut kepada mereka, demikian pula dengan
kaum Salib (Crusaders) tak lama setelahnya …,” tulis Michael Paine dalam The
Crusades. “Rasa takut terhadap serangan mendadak yang tak diduga
di tengah kerumunan pasar atau di lapangan meningkat hingga ke level paranoia
di kalangan sebagian pemimpin.”
Aksi-aksi kaum Assassin (Batiniyah)
memakan banyak korban, bukan hanya para emir Muslim, tapi juga para
ulama.Bahkan Khalifah Fatimiyah, al-Amir Bi-Ahkamillah (w. 1130), dan Khalifah
Abbasiyah, al-Mustarsyid (w. 1135), termasuk yang menjadi korban pembunuhan
Assassin.Begitu banyak kasus pembunuhan, “sehingga memaksa beberapa pejabat
memakai baju pengaman dari besi yang dipasang di balik baju,” tulis al-Suyuthi
dalam Tarikh Khulafa’.Mereka
mengenakan baju besi itu pada hari-hari yang biasa, di luar masa-masa
peperangan.
Belakangan, pemimpin Frank pun ada yang
menjadi korban pembunuhan kelompok ini, di antaranya yang terkenal adalah Conrad
of Montferrat (w. 1192)
yang dibunuh pada akhir masa Perang Salib III.
“Keyakinan dan metode mereka (Assassin,
pen.) menjadikan mereka buah bibir dalam hal fanatisme dan terorisme di Suriah
dan Persia pada abad ke-11 dan 12, dan menjadi subyek mitos dan legenda yang
tumbuh dengan subur,” tulis Philippus Laurentinus, seorang Grand Master Elder
Brethren Rose and Cross, dalam Baphomet
Veneration among the Crusaders.
Sementara sebagian pemimpin merasa
khawatir dengan ancaman pembunuhan Assassin, sebagian lainnya justru menjalin
hubungan secara diam-diam dan memanfaatkan jasa dan keterampilan mereka yang
unik.
Kaum Assassin sendiri belakangan bersedia
melakukan aksi pembunuhan yang diminta oleh pihak lain dengan menerima bayaran
tertentu. Karakteristik inilah yang menemukan jalannya ke Eropa menjadi sebuah
kosa kata yang khas untuk menggambarkan perilaku yang sama. Assassin dalam
bahasa Inggris yang digunakan sekarang ini kurang lebih bermakna “seseorang
yang membunuh orang lainnya, biasanya orang penting atau terkenal, untuk alasan
politik atau uang.”
Kata Assassin sendiri sebenarnya tidak
begitu populer di tengah masyarakat Muslim Timur Tengah ketika itu.Mereka
biasanya menyebut kelompok ini, dan kalangan Ismailiyah pada umumnya, dengan
sebutan Batiniyah.Hal ini disebabkan, sebagaimana dijelaskan oleh Ali M.
Sallabi dalam bukuSalah ad-Deen al-Ayubi, mereka meyakini bahwa untuk
setiap yang tampak (zahir) terdapat manifestasi yang tersembunyi (batin) dan
bagi setiap wahyu ada interpretasinya (yang bersifat batin atau esoteris,
pen.). Selain itu, mereka juga cenderung menyembunyikan dakwah dan keyakinan
mereka saat berada di tengah komunitas Ahlu Sunnah
Kisah sejarah Hassan Ibn Sabbah
KATA yang menjadi asal usul
kata ‘Assassin’, yaitu kata ‘al-Hasyiyiyah’ sebenarnya muncul belakangan di
wilayah Suriah. Kata ini berasal dari kata ‘hasyisy’ yang merujuk
pada sejenis narkotika yang terdapat di wilayah Suriah. Digunakannya kata ini
membuat sebagian orang percaya bahwa para pemimpin Assassin menggunakan
obat-obatan terlarang untuk memberikan efek surgawi kepada para pengikutnya,
sehingga mereka berani melakukan aksi bunuh diri.
Namun mungkin juga kata ini digunakan sebagai kiasan
untuk menunjukkan penyimpangan kaum Assassin serta tindakan mereka yang
menjijikkan, bukan mengacu pada penggunaan obat-obatan terlarang yang
sesungguhnya.
Beberapa
kisah menceritakan metode yang digunakan oleh para pemimpin Assassin untuk
membangun ketaatan para pengikutnya sehingga mereka siap untuk mati.Dikatakan
bahwa para calon pembunuh ini telah diambil dari desa-desa di sekitar benteng
Assassin dan diasuh sejak kecil dengan doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh
para pemimpin Assassin.
Mereka
tumbuh dalam ketaatan penuh pada pemimpinnya.Menjelang diberikannya misi
pembunuhan, mereka diundang secara khusus dan diberi minuman yang membuat
mereka tertidur.Kemudian tubuh mereka dipindahkan ke sebuah tempat khusus yang
telah disiapkan.Tempat itu berisi berbagai kenikmatan, termasuk perempuan-perempuan
penyanyi yang mempesona, sehingga mereka merasa sedang berada di dalam
surga.Akhirnya mereka kembali diberi minuman yang membuat mereka tertidur dan
tubuh mereka dipindahkan lagi ke tempat semula.
Pengalaman
itu menjadikan mereka sangat bersemangat untuk menjalankan misi yang diberikan,
sehingga mereka mati dalam menjalankan misi tersebut.
Terlepas
dari kisah di atas, para fida’i Assassin memang mentaati Tuan (Master) mereka
sepenuhnya, bahkan jika mereka diperintahkan untuk membunuh diri mereka
sendiri.Seolah-olah mereka menyerahkan jiwa mereka sepenuhnya kepada pemimpin
mereka.
Kemampuan
pemimpin Assassin, yang di wilayah Suriah dikenal sebagai Orangtua (Syaikh/ Old
Man), di dalam membangun ketaatan ini menjadi kiasan di kalangan para penulis
dan penyair Eropa.
“Kau
menggenggamku lebih kuat,” kata seorang penyair Eropa kepada gadis
pujaannya,”ketimbang sang Orangtua menggenggam para Assassin yang pergi untuk
membunuh musuh-musuhnya.” Cuplikan syair di atas dapat ditemukan dalam buku
Bernard Lewis, “Assassin”.
Ibnu Katsir
dalam “Bidayah wa Nihayah” menyebutkan bahwa saat Hasan al-Sabbah mulai menjadi
ancaman di wilayah Iran, Sultan Maliksyah mengirim tentara dan utusan kepadanya
dengan membawa surat berisi ancaman agar ia menghentikan aksi-aksi
pembunuhannya.
Saat membaca
surat itu di hadapan utusan Maliksyah, Hasan memberi isyarat kepada para pemuda
di sekitarnya. Ia kemudian memerintahkan seorang pemuda untuk membunuh dirinya
sendiri. Pemuda itu pun langsung mengeluarkan sebilah belati dan menusuk bagian
bawah dagunya sendiri hingga mati.Lalu Hasan memerintahkan seorang pemuda
lainnya untuk menjatuhkan dirinya dari sebuah tempat yang tinggi. Hal itu
segera dilaksanakan sehingga ia jatuh dan mati. Kemudian Hasan berkata kepada
utusan Sultan, “Inilah jawabannya (dari surat itu, pen.).” Maka Sultan
Maliksyah pun menahan diri dari memerangi Hasan al-Sabbah.
Menariknya,
kita juga menemukan kisah yang mirip di buku yang ditulis oleh penulis Frank
sejaman pada masa Perang Salib III yang dihimpun oleh Peter W. Edbury dalam “The
Conquest of Jerusalem and the Third Crusade”.
Hanya saja
kisah ini terjadi sekitar satu abad kemudian di wilayah Suriah.Ketika itu
pemimpin Assassin di Suriah ingin membangun kembali hubungan mereka dengan
orang-orang Frank dan mengundang raja mereka, Henry II of Champagne (w. 1197),
ke kastil Assassin.
Saat berada
di tempat itu, pemimpin Assassin mendemonstrasikan ketaatan anak buahnya yang
satu demi satu diperintahkan untuk membunuh diri mereka sendiri.Henry tampaknya
sangat terkejut dengan aksi itu dan meminta agar hal itu dihentikan.
Walaupun
berhasil membangun sebuah organisasi teror yang menakutkan banyak orang pada
masa itu, keseharian Hasan al-Sabbah jauh dari kesan brutal.Ia merupakan
seorang yang ketat dalam menjalankan keyakinannya. Ia tidak pernah keluar dari
benteng Alamut sejak ia memasukinya pada tahun 1090 sehingga ia wafat pada
tahun 1124 dan dikuburkan di tempat yang sama.
Aktivitasnya
dihabiskan dengan membaca, menulis, dan mengendalikan organisasi yang
dibangunnya.Ia membangun sebuah perpustakaan di dalam benteng Alamut yang
koleksi bukunya kelak membuat takjub banyak orang.
Hasan al-Sabbah mengembangkan strategi penyusupan dan
pembunuhan dengan tujuan meruntuhkan sepenuhnya pemerintahan Saljuk dan
Abbasiyah serta menggantikannya dengan pemerintahan Ismailiyah.
Namun, seperti yang ditulis Farhad Daftary dalam buku “The
Isma’ilis: Their History and Doctrines”; “Ia tidak berhasil mewujudkan
tujuannya, tetapi pihak Saljuk juga tidak berhasil membersihkan kaum Nizari
dari benteng-benteng pertahanan mereka yang banyak di pegunungan.”
Selepas Hasan al-Sabbah, ada tujuh pemimpin Assassin
lainnya yang memimpin dari benteng Alamut.Tiga pemimpin pertama, mengklaim
dirinya sebagai da’i dan hujja, atau wakil dari Imam Nizar. Lima pemimpin
berikutnya, mengklaim dirinya sebagai Imam dari jalur Nizar. Di akhir
periodenya, Imam Alamut justru mendekat kepada Sunni dan Khalifah Abbasiyah,
serta meninggalkan permusuhan kerasnya selama ini.
Eksistensi kaum Assassin di Iran berakhir dengan
masuknya Mongol dan jatuhnya Alamut serta benteng-benteng lainnya di Iran pada
tahun 1256.Namun, cabang Assassin Suriah masih bertahan hingga dua dekade
berikutnya. Assassin Suriah yang sepak terjangnya cukup besar ini insya Allah
akan kami tuliskan pada kesempatan yang lain.*/Jakarta, 20 Rajab 1435 (19
Mei 2014)
Daftar Pustaka:
Daftary, Dr. Farhad. “Hasan Sabbah” (originally
published in The Encyclopaedia Iranica, Vol. XII, Columbia University, New
York, 1996. pp. 34- 37). http://archive.today/RGPe#selection-547.0-1187.31
Daftary, Farhad. The Isma’ilis: Their History
and Doctrines.Cambridge: Cambridge University Press. 2007.
Edbury, Peter W. The Conquest of Jerusalem and
the Third Crusade (diterjemahkan dari The Old French Continuation of
William of Tyre dan beberapa sumber lainnya). Aldershot: Scolar Press. 1996.
Hodgson, Marshall G.S. The Order of Assassins:
The Struggle of the Early Nizari Isma’ilis Against the Islamic World. Mouton
& Co. 1955.
Ibnu Katsir. Ringkasan Bidayah wa Nihayah.
Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Laurentinus, Philippus.Baphomet Veneration among
the Crusaders. Ghent: O.S.F.A.R. 2013.
Lewis, Bernard.Assassin: Kaum Pembunuh dari Lembah
Alamut(diterjemahkan dari The Assassins: A radical Sect in Islam).
Yogyakarta: Haura Pustaka. 2009.
Maalouf, Amin. The Crusades through Arab Eyes. London:
al-Saqi Books. 1984.
Paine, Michael. The Crusades. Harpenden:
Pocket Essentials. 2005.
Runciman, Steven. A History of the Crusades,
2: The Kingdom of Jerusalem. Cambridge: Cambridge University Press. 1987.
Sallabi, Dr. Ali M. Salah-ad-Deen al-Ayubi,
Vol. 1: Crusaders prior to the Rise of the Ayubid State (diterjemahkan
oleh Nasiruddin al-Khattab). Riyadh: International Islamic Publishing House.
2010.
Al-Suyuthi, Imam.Tarikh Khulafa’. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar. 2010.
Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin
Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”.
Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah
Alawiyah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis
Akbar
Antara Yahudi dan Syiah, Mana Lebih Berperan?