Korupsi TIDAK Sama dengan Mencuri
By Konsultasi
Syariah -
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukuman untuk koruptor?
Apakah sama hukumannya dengan pencuri, yaitupotong tangan?
Terima
kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa korupsi adalah,
“Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat dipahami
bahwa harta yang diselewengkan oleh seorang pegawai koruptor adakalanya harta
milik sekelompok orang tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan
adakalanya harta milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai
sebuah perusahaan atau pegawai instansi pemerintahan, ketika dipilih untuk
mengemban sebuah tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas
yang telah dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang
dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan
mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya,
seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk
kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah
yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap
harta negara dikenal dengan ghulul.
Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang
menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah,
XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang
termasuk ghululadalah menggelapkan harta
rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari
Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah
(dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga
hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak
memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara).
(Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah
dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu
Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata,
“Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang
berasal dari baitul
maal (kas negara) dan
zakat termasuk ghulul“.
(Az
Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga disetujui
oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang berbunyi, “Ghulul,
yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagi oleh
pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat
(korupsi)”. (Fataawa
Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan takyiif fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk
kasus) tentang korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil Islami,
Hal. 99)
Hukum Potong Tangan untuk
Koruptor
Apakah koruptor dapat disamakan dengan
pencuri? Bila disamakan dengan pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong
tangan? Demikian pertanyaan mendasar yang patut kita jawab.
Allah berfirman, yang artinya,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا
نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan untuk
memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal
harga barang yang dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain
sebagainya. Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama menyaratkan beberapa
hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri. Di antaranya: Barang
yang dicuri berada dalam (hirz) tempat yang terjaga dari
jangkauan, seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk
barang berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan
seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh
memotong tangan pencuri.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki
dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri
buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus
membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah setelah
dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri seharga
perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan Ibnu
Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri seharga
1/4 dinar berdasarkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak
boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar
hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang
memerintahkan potong tangan, bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan
pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk
kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam
genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri
uang negara dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah
menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat
adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan.
Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang
mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya
tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang
yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“.
(HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara
hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya
dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang
sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan
dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk
menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan
menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi
perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah
dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati amanah
uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga
merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan
uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu
Qayyim, I’lamul
Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor
terbebas dari hukuman apapun juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum.
Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:
Pertama,
koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah
habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa
yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap
tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya
hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi.
Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua,
hukuman ta’zir.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan
terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah,
karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,
jilid XII, hal 276.)
Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri,
hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu
hukumannya berpindah menjadi ta’zir.
Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk
menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain
sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keingingan orang untuk berbuat
kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi
menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari
1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk
hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan
Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi
persyaratan potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari
nominal harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman
terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa
pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i
dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta
negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri
tidak berada dalam hirz(penjagaan
selayaknya).
Kesimpulan
dari tulisan di atas:
1.
Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi
amanah.
2. Pengkhianatan terhadap harta
masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta yang
menjadi amanah disebut ghulul.
4. Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang
negara.
5. Syarat hukuman potong tangan untuk
pencuri, antara lain:
Harus
mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas).
Harta
yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).
6. Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul),
termasuk tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena
pelaku mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya.
Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).
7. Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2:
*Hukuman
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, disebut hudud.
*Hukuman
yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan
kepada keputusan hakim, disebut ta’zir.
8. Hukuman yang diberikan untuk koruptor
adalah sebagai berikut:
Dipaksa
untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa
denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau
penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.
Penjelasan di atas merupakan sinopsis
dari salah satu artikel karya Dr. Erwandi Tarmidzi, yang diterbitkan di Majalah Pengusaha Muslim edisi 27.
Pada edisi ini, Majalah Pengusaha Muslim mengupas berbagai kasus dalam dunia
kerja, baik negeri maupun swasta.
Harta haram hanya akan mendatangkan derita
Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu. [al-Baqarah/2:168]
Melalui ayat ini dan
ayat-ayat lain yang senada, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk
mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik, makanan yang tidak membahayakan
badan juga akal. Juga melarang manusia mengikuti langkah-langkah syaithan
dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya,
termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram.[1]
Jika perintah Allâh
ini diperhatikan oleh seseorang, maka dia akan mudah melakukan amal shaleh,
namun jika sebaliknya, maka kecenderungan kepada haram pasti akan mendominasi
dirinya.
Sementara itu, empat
belas abad silam, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan
umatnya tentang kedatangan satu masa dimana banyak orang yang tidak peduli lagi
dengan sumber penghasilannya, apakah dari yang halal ataukah yang haram ?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى
النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ, أَمِنْ حَلاَلٍ
أَمْ مِنْ حَرَامٍ ؟
Akan datang suatu
masa, orang-orang sudah sudah tidak peduli lagi dengan apa dia mendapatkan
harta. Apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram ? [HR.
al-Bukhari][2]
Orang yang tidak
peduli dengan sumber penghasilannya ini bisa jadi karena memang dia tidak tahu
atau mungkin juga dia sudah tahu tetapi tetap dilanggar dengan berbagai macam
alasan, bahkan kemudian membuat rekayasa. Orang pertama lebih ringan dibandingkan
dengan orang kedua, karena bisa jadi dia akan meninggalkan yang haram itu dan
bertaubat jika dia mengetahuinya. Sedangkan orang kedua, gemerlapnya dunia
telah mempedayainya sehingga dia tidak bisa mengendalikan dan menundukkan
kerakusan nafsunya. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
mengingatkan :
تَعِسَ عَبْدُ
الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيْصَةِ
Celakalah hamba
dinar, hamba dirham dan celakalah hama pakaian (HR. al-Bukhari)
Inilah do’a
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam jika berdo’a maka pasti dikabulkan.
Jika ini dipahami
dengan baik, maka sesulit apapun keadaannya, dia tidak akan mengatakan
sebagaimana ungkapan banyak orang, “Jangankan yang halal yang haram juga susah”
terlepas dari ungkapan ini adalah sebuah gurauan ataukah gambaran dari fakta di
lapangan.
Akibat buruk lainnya
dari mengkonsumsi harta haram adalah do’anya tidak akan terkabul. Bukankah ini
bencana yang sangat besar ? Siapa yang tidak ingin doanya terkabul, pasti semua
ingin terkabul. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda menceritakan tentang seorang
laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya
dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua
tangannya ke langit dan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla : Wahai Rabb, Wahai
Rabb…, sementara laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak
halal, pakainnya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لَهُ
Maka bagaimana mungkin permohonannya akan
dikabulkan (oleh Allâh) ? [3]
Dalam hadits ini,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya
permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbutan maksiat yang dilakukannya,
yaitu mengkonsumsi harta yang haram, maka pengabulan doanya terhalangi.[4]
Efek buruk lainnya
adalah harta haram itu akan menjadi bala’ baginya meskipun dipergunakan untuk
jalan Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima
kecuali yang baik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu maha baik, tidak menerima kecuali
yang baik.
Inilah sebagian
diantara dampak buruk dari mengkonsumsi harta haram. Semoga Allâh Azza wa Jalla
melindungi kita semua dari tipu syaitan dan semoga Allâh Azza wa Jalla
mencukupkan kita dengan yang halal sehingga tidak terpikat dan tidak merasa
butuh dengan harta haram.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
Footnote
[1] Lihat Zâdul Masîr
1/172 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 80.
[2] Lihat Harta
Haram. DR. Erwandi Tarmidzi, hlm. 1
[3] HR. Muslim no. 1015.
[4] Lihat Jâmi’ul
‘Ulûmi wal Hikam hlm. 105-107.
Beratnya pertanggungjawaban koruptor di hadapan
Allah azza wa jalla
Sebagian orang
merasa tidak nyaman bila harus berurusan dengan birokrasi. Sementara ada juga
sebagian orang (baca: kaum berduit) yang jelas-jelas salah, namun kelihatan
tenang saja meski berurusan dengan aparat penegak hukum. Itulah dua kenyataan
yang sering kita dengar. Kesan bahwa
uang bisa memuluskan persoalan sulit ditampik. Yang benar divonis salah,
yang baik dijadikan tersangka, yang tidak berhak dimenangkan dalam meja peradilan.
Semua seakan bisa “diatur” asal ada uang.
Akibat buruk yang
ditimbulkan oleh ulah para koruptor sangat merugikan masyarakat. Betapa banyak
orang menjerit kecewa lalu mengutuk para pelaku koruptor karena merasa sangat
dirugikan. Betapa banyak orang meregang nyawa menunggu kedatangan bantuan,
namun bantuan yang ditunggu tak kunjung tiba karena habis digerogoti oleh
oknum-oknum petugas yang bermental korup. Itulah satu diantara sekian
penderitaan akibat perilaku buruk para koruptor.
Begitu tega hati
mereka melihat orang lain bergumul dengan penderitaan. Tidakkah mereka sadari
bahwa kenikmatan dunia yang mereka kejar-kejar itu hanyalah kenikmatan semu
yang akan mereka tinggal ketika ajal mendatangi mereka. Selanjutnya tinggallah
beban tanggung-jawab yang masih di atas pundaknya. Dia akan ditanya tentang
hartanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan :
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ
مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ
فِيهِ
Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba
pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara : Tentang umurnya,
untuk apa ia habiskan ? Tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ? Tentang
hartanya, darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia menafkahkannya ? Dan
tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan. [HR at-Tirmidzi dan ad-Dârimi,
dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ , no. 7300])
Lebih dari itu,
semakin banyak ia “menikmati” dan mengkonsumsi hasil korupsinya, itu berarti ia
semakin membuka dan memuluskan jalannya menuju siksa neraka. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya tidak
akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas
untuknya. [HR Ahmad dan ad-Dârimi, serta dishahihkan oleh al-Albâni dalam
Shahîhut Targhîb, no. 1728]
Itulah di antara
penderitaan panjang yang akan dialami oleh penikmat uang haram. Mungkin akan
ada orang yang menyanggah, ‘Itukan kalau dia mati dalam keadaa belum bertaubat,
atau tidak menginfakkan hartanya di jalan Allâh.’ Untuk menjawab ini, mari kita
merenungi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :
مَنْ كَانَتْ لَهُ
مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ
الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ
عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ
حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ.
Barangsiapa yang
memilki dosa kezhaliman pada saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan
dirinya atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari
ini, sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi uang dinar dan uang dirham
(yaitu hari Kiamat). (Jika pada hari Kiamat nanti kezhaliman belum terlepas,)
maka apabila ia memiliki amal shaleh, amal shalehnya akan diambil (diberikan
kepada saudaranya) sesuai dengan kezhaliman yang dilakukannya, dan apabila ia
tidak memiliki kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan
kepadanya. [HR. al-Bukhâri. Fathul Bâri, V/101, no. 2449]
Juga sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ جَمَعَ مَالاً
حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَ كَانَ إِصْرُهُ
عَلَيْهِ
Barangsiapa
mengumpulkan harta haram kemudian ia menyedekahkannya maka ia tidak memperoleh
pahala darinya dan dosanya terbeban atas dirinya. [Hadits riwayat Ibnu Hibbân
(3367) dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb no. 880]
Uang haram, meskipun
dalam jumlah yang tak seberapa tetap saja akan dapat berpotensi buruk bagi
seseorang yang memanfaatkannya. Seorang Muslim harus berhati-hati dan
menyeleksi ketat apa-apa yang masuk dalam perutnya. Semoga Allâh Azza wa Jalla
menyelamatkan kita dari fitnah harta di dunia ini.
Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
Dunia
yang Membuat Manusia
Gelap Mata
KENIKMATAN dunia seringkali
membuat manusia lupa. Syahwat yang membara kepada dunia memperparah keadaannya.
Hati menggebu-gebu, iri kepada dunia yang hadir diantara manusia lain, hasrat
ingin menguasai, ingin memiliki semua yang ada di dunia walaupun dengan jalan
yang tidak diridhai.
Ketika semua itu menjadikan
manusia penuh dengan kekejian dan mudah terjatuh kepada maksiat lain yang lebih
besar. Manusia menjadi barang jualan, jiwa manusia senilai dengan binatang
ternak, darahnya pun mudah ditumpahkan hanya untuk mendapatkan kesenangan
dunia.
Gelap mata mereka menjadikan
pembunuhan manusia menjadi proyek untuk mendapat kan pundi pundi uang. Senyuman
anak anak digadaikan hanya untuk uang recehan atas kerjaan mereka. Ini tidak
lain karena mereka mengira bahwa kebahagiaan dunia adalah kekal.
Di satu belahan dunia, di satu
sudut Indonesia masih banyak orang yang mengira bahwa dunia itu lebih berharga
dari akhirat. Dunia memang dijadikan indah oleh Allah zza wa jalla namun Allah
simpan kebahagiaan yang sebenarnya di sisiNya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
"Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga)."
[Ali-‘Imrân/3:14].
Dunia itu hijau dan
manis, maka hendaklah manusia berhati-hati dengan dunia. Jangan sampai
kesenangan dunia menjerumuskan ke dalam kemaksiatan dan melalaikan dari
ketaatan kepada Sang Pencipta. Seperti dalam Hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ
كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ
فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
"Dari Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
bersabda, 'Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh
menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana
kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu
dari (keburukan) wanita, karena sesungguhnya penyimpangan pertama kali pada
Bani Isrâil terjadi berkaitan dengan wanita'." [Riwayat Muslim, no. 2742].
Perbuatan seorang
manusia akan selalu Allah perhatikan. Meskipun ia dibalut dengan sutra dan
perak, tetap saja keburukan dan syahwat dunia itu akan membuatnya menjadi
makhluk yang terhinakan.* [Sendia/Syaf/voa-islam.com]
Ketika…. Pertanyaan
tersebut menghampiri….
Sanggupkah kita
menjawabnya????
Akankah lisan kita
yang saat ini lancar berorasi dan berargumen saat itu bisa menjawabnya????
Akankah bisa kita
hadapi saat yang dahsyat atas fitnah kubur tsb?????
—–
dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ،
وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ،
فَيَقُولاَنِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ
اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ
قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا،
قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي
هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ،
فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ
ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ
“Sesungguhnya seorang
hamba jika telah dimakamkan di kuburnya, dan sahabat-sahabatnya (yang mengiring
jenazahnya) telah pulang, maka sungguh dia akan mendengar suara langkah sandal
mereka. Kemudian dua orang malaikat mendatanginya dan mendudukkannya. Dua orang
malaikat tersebut berkata kepadanya,
‘Apa yang dulu Engkau
katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’
Adapun orang beriman,
maka dia akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah hamba dan
utusan-Nya.’
Maka dikatakan
kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka. Sungguh Allah telah menggantinya
dengan tempat duduk di surga.’ Maka dia melihat dua-duanya sekaligus.
Adapun orang munafik
dan orang kafir, maka ditanyakan kepada mereka, ‘Apa yang dulu Engkau katakan
tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’
Maka mereka berkata,
‘Aku tidak tahu. Aku dulu mengatakan apa yang dikatakan oleh kebanyakan
manusia.’
Malaikat berkata,
‘Engkau tidak tahu dan Engkau tidak mengikuti.’ Malaikat kemudian memukulnya
dengan palu dari besi, dia pun berteriak sampai-sampai didengar oleh makhluk
yang berada di atasnya, selain jin dan manusia” (HR. Bukhari no. 1374).
Dalam hadits shahih
riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari sahabat al-Barro bin ‘Azib Radhiyallahu
anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَيَأْتِيهِ
مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ:فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ ؟ فَيَقُولُ: رَبِّيَ
اللَّهُ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ ؟ فَيَقُولُ هُوَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولَانِ لَهُ : وَمَا
يُدْرِيْكَ ؟ فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ
فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ: أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِيفَأَفْرِشُوهُ مِنَ
الْجَنَّةِ (وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ) وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى
الْجَنَّةِ , قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي
قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ قَالَ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ
الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ : أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا
يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ , فَيَقُولُ لَهُ : مَنْ أَنْتَ , فَوَجْهُكَ
الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ, فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ, فَيَقُولُ:
رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي
Kemudian dua malaikat
mendatanginya dan mendudukannya, lalu keduanya bertanya, “Siapakah Rabbmu ?”
Dia (si mayyit) menjawab, “Rabbku adalah Allâh”. Kedua malaikat itu bertanya,
“Apa agamamu?”Dia menjawab: “Agamaku adalah al-Islam”.
Kedua malaikat itu
bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?” Dia menjawab,
“Beliau utusan Allâh”.
Kedua malaikat itu
bertanya, “Apakah ilmumu?” Dia menjawab, “Aku membaca kitab Allâh, aku
mengimaninya dan membenarkannya”.
Lalu seorang penyeru dari
langit berseru, “HambaKu telah (berkata) benar, berilah dia hamparan dari
surga, (dan berilah dia pakaian dari surga), bukakanlah sebuah pintu untuknya
ke surga.
Maka datanglah
kepadanya bau dan wangi surga. Dan diluaskan baginya di dalam kuburnya sejauh
mata memandang. Dan datanglah seorang laki-laki berwajah tampan kepadanya,
berpakaian bagus, beraroma wangi, lalu mengatakan, “Bergembiralah dengan apa
yang menyenangkanmu, inilah harimu yang engkau telah dijanjikan (kebaikan)”.
Maka ruh orang Mukmin itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wajahmu adalah
wajah yang membawa kebaikan?” Dia menjawab, “Aku adalah amalmu yang shalih”.
Maka ruh itu berkata, “Rabbku, tegakkanlah hari kiamat, sehingga aku akan
kembali kepada istriku dan hartaku”.
Pertanyaan ini juga
dilontarkan kepada orang kafir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَيَأْتِيهِ
مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ : هَاهْ
هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ : هَاهْ هَاهْ لَا
أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ ؟
فَيَقُولُ: هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ
كَذَبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ
فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى
تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ
الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوءُكَ هَذَا
يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ, فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ
يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ فَيَقُولُ رَبِّ لَا
تُقِمِ السَّاعَةَ
Kemudian ruhnya
dikembalikan di dalam jasadnya. Dan dua malaikat mendatanginya dan
mendudukannya. Kedua malaikat itu bertanya, “Sipakah Rabbmu?” Dia menjawab:
“Hah, hah, aku tidak tahu”.
Kedua malaikat itu
bertanya, “Apakah agamamu?” Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu”.
Kedua malaikat itu
bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?”Dia menjawab:
“Hah, hah, aku tidak tahu”.
Lalu penyeru dari
langit berseru, “HambaKu telah (berkata) dusta, berilah dia hamparan dari
neraka, dan bukakanlah sebuah pintu untuknya ke neraka.” Maka panas neraka dan
asapnya datang mendatanginya. Dan kuburnya disempitkan, sehingga tulang-tulang
rusuknya berhimpitan.
Dan datanglah seorang
laki-laki berwajah buruk kepadanya, berpakaian buruk, beraroma busuk, lalu
mengatakan, “Terimalah kabar yang menyusahkanmu ! Inilah harimu yang telah
dijanjikan (keburukan) kepadamu”. Maka ruh orang kafir itu bertanya kepadanya,
“Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan?” Dia menjawab,
“Aku adalah amalmu yang buruk”. Maka ruh itu berkata, “Rabbku, janganlah Engkau
tegakkan hari kiamat”. [Lihat Shahîhul Jâmi’ no: 1672]
Ya Rabb, kami
berlindung kepadaMu dari fitnah dan siksa kubur
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah,
Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam,
fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Abu Muhammad Naufal
Zaki
Iwan Permana
(nahimunkar.com)
Apa dan Siapa disebut Zalim (ظلم). [ IT ]
Al-Muflis ( Bangkrut )
Zuhud