Saturday, March 26, 2016

Korupsi TIDAK Sama Dengan Mencuri, Beratnya Pertanggung Jawaban Koruptor Di Hadapan Allah Azza Wa Jalla. Harta Haram Hanya Akan Mendatangkan Derita. Begitu Dikubur, Inilah Yang Dihadapi Sang Mayat

Hasil gambar untuk koruptor

Korupsi TIDAK Sama dengan Mencuri

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukuman untuk koruptor? Apakah sama hukumannya dengan pencuri, yaitupotong tangan?
Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Korupsi dan Sanksi Terhadap Pelakunya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi adalah, “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa harta yang diselewengkan oleh seorang pegawai koruptor adakalanya harta milik sekelompok orang tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai instansi pemerintahan, ketika  dipilih untuk mengemban sebuah tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya, seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang termasuk ghululadalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara). (Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang berbunyi, “Ghulul, yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat (korupsi)”. (Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan takyiif fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99)
Hukum Potong Tangan untuk Koruptor
Apakah koruptor dapat disamakan dengan pencuri? Bila disamakan dengan pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong tangan? Demikian pertanyaan mendasar yang patut kita jawab.
Allah berfirman, yang artinya,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama menyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri. Di antaranya: Barang yang dicuri berada dalam (hirz) tempat yang terjaga dari jangkauan, seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh memotong tangan pencuri.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar berdasarkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan, bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim,  I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman apapun juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:
Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir.

Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,  jilid XII, hal 276.)

Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah menjadi ta’zir.
Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri tidak berada dalam hirz(penjagaan selayaknya).
Kesimpulan dari tulisan di atas:
1. Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi amanah.
2. Pengkhianatan terhadap harta masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta yang menjadi amanah disebut ghulul.
4. Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang negara.
5. Syarat hukuman potong tangan untuk pencuri, antara lain:
Harus mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas).
Harta yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).
6. Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul), termasuk tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena pelaku mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya. Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).
7. Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2:
*Hukuman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, disebut hudud.
*Hukuman yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan kepada         keputusan hakim, disebut ta’zir.
8. Hukuman yang diberikan untuk koruptor adalah sebagai berikut:
Dipaksa untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.
Penjelasan di atas merupakan sinopsis dari salah satu artikel karya Dr. Erwandi Tarmidzi, yang diterbitkan di Majalah Pengusaha Muslim edisi 27. Pada edisi ini, Majalah Pengusaha Muslim mengupas berbagai kasus dalam dunia kerja, baik negeri maupun swasta.

Harta haram hanya akan mendatangkan derita

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. [al-Baqarah/2:168]

Melalui ayat ini dan ayat-ayat lain yang senada, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik, makanan yang tidak membahayakan badan juga akal. Juga melarang manusia mengikuti langkah-langkah syaithan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla  dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram.[1]

Jika perintah Allâh ini diperhatikan oleh seseorang, maka dia akan mudah melakukan amal shaleh, namun jika sebaliknya, maka kecenderungan kepada haram pasti akan mendominasi dirinya.

Sementara itu, empat belas abad silam, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan umatnya tentang kedatangan satu masa dimana banyak orang yang tidak peduli lagi dengan sumber penghasilannya, apakah dari yang halal ataukah yang haram ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ, أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ ؟

Akan datang suatu masa, orang-orang sudah sudah tidak peduli lagi dengan apa dia mendapatkan harta. Apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram ? [HR. al-Bukhari][2]

Orang yang tidak peduli dengan sumber penghasilannya ini bisa jadi karena memang dia tidak tahu atau mungkin juga dia sudah tahu tetapi tetap dilanggar dengan berbagai macam alasan, bahkan kemudian membuat rekayasa. Orang pertama lebih ringan dibandingkan dengan orang kedua, karena bisa jadi dia akan meninggalkan yang haram itu dan bertaubat jika dia mengetahuinya. Sedangkan orang kedua, gemerlapnya dunia telah mempedayainya sehingga dia tidak bisa mengendalikan dan menundukkan kerakusan nafsunya. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingatkan :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيْصَةِ

Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan celakalah hama pakaian (HR. al-Bukhari)

Inilah do’a Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berdo’a maka pasti dikabulkan.

Jika ini dipahami dengan baik, maka sesulit apapun keadaannya, dia tidak akan mengatakan sebagaimana ungkapan banyak orang, “Jangankan yang halal yang haram juga susah” terlepas dari ungkapan ini adalah sebuah gurauan ataukah gambaran dari fakta di lapangan.

Akibat buruk lainnya dari mengkonsumsi harta haram adalah do’anya tidak akan terkabul. Bukankah ini bencana yang sangat besar ? Siapa yang tidak ingin doanya terkabul, pasti semua ingin terkabul. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla : Wahai Rabb, Wahai Rabb…, sementara laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal, pakainnya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ

Maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allâh) ? [3]

Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak  faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbutan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta yang haram, maka pengabulan doanya terhalangi.[4]

Efek buruk lainnya adalah harta haram itu akan menjadi bala’ baginya meskipun dipergunakan untuk jalan Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima kecuali yang baik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu maha baik, tidak menerima kecuali yang baik.

Inilah sebagian diantara dampak buruk dari mengkonsumsi harta haram. Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita semua dari tipu syaitan dan semoga Allâh Azza wa Jalla mencukupkan kita dengan yang halal sehingga tidak terpikat dan tidak merasa butuh dengan harta haram.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Lihat Zâdul Masîr 1/172 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 80.
[2] Lihat Harta Haram. DR. Erwandi Tarmidzi, hlm. 1
[3] HR.  Muslim no. 1015.
[4] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam hlm. 105-107.

Beratnya pertanggungjawaban koruptor di hadapan 
Allah azza wa jalla

Sebagian orang merasa tidak nyaman bila harus berurusan dengan birokrasi. Sementara ada juga sebagian orang (baca: kaum berduit) yang jelas-jelas salah, namun kelihatan tenang saja meski berurusan dengan aparat penegak hukum. Itulah dua kenyataan yang sering kita dengar. Kesan bahwa  uang bisa memuluskan persoalan sulit ditampik. Yang benar divonis salah, yang baik dijadikan tersangka, yang tidak berhak dimenangkan dalam meja peradilan. Semua seakan bisa “diatur” asal ada uang.

Akibat buruk yang ditimbulkan oleh ulah para koruptor sangat merugikan masyarakat. Betapa banyak orang menjerit kecewa lalu mengutuk para pelaku koruptor karena merasa sangat dirugikan. Betapa banyak orang meregang nyawa menunggu kedatangan bantuan, namun bantuan yang ditunggu tak kunjung tiba karena habis digerogoti oleh oknum-oknum petugas yang bermental korup. Itulah satu diantara sekian penderitaan akibat perilaku buruk para koruptor.

Begitu tega hati mereka melihat orang lain bergumul dengan penderitaan. Tidakkah mereka sadari bahwa kenikmatan dunia yang mereka kejar-kejar itu hanyalah kenikmatan semu yang akan mereka tinggal ketika ajal mendatangi mereka. Selanjutnya tinggallah beban tanggung-jawab yang masih di atas pundaknya. Dia akan ditanya tentang hartanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan :

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ

Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara : Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? Tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ? Tentang hartanya, darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia menafkahkannya ? Dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan. [HR at-Tirmidzi dan ad-Dârimi, dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ , no. 7300])

Lebih dari itu, semakin banyak ia “menikmati” dan mengkonsumsi hasil korupsinya, itu berarti ia semakin membuka dan memuluskan jalannya menuju siksa neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya. [HR Ahmad dan ad-Dârimi, serta dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîhut Targhîb, no. 1728]

Itulah di antara penderitaan panjang yang akan dialami oleh penikmat uang haram. Mungkin akan ada orang yang menyanggah, ‘Itukan kalau dia mati dalam keadaa belum bertaubat, atau tidak menginfakkan hartanya di jalan Allâh.’ Untuk menjawab ini, mari kita merenungi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ.

Barangsiapa yang memilki dosa kezhaliman pada saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan dirinya atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari ini, sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi uang dinar dan uang dirham (yaitu hari Kiamat). (Jika pada hari Kiamat nanti kezhaliman belum terlepas,) maka apabila ia memiliki amal shaleh, amal shalehnya akan diambil (diberikan kepada saudaranya) sesuai dengan kezhaliman yang dilakukannya, dan apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan kepadanya. [HR. al-Bukhâri. Fathul Bâri, V/101, no. 2449]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَ كَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

Barangsiapa mengumpulkan harta haram kemudian ia menyedekahkannya maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya terbeban atas dirinya. [Hadits riwayat Ibnu Hibbân (3367) dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb no. 880]

Uang haram, meskipun dalam jumlah yang tak seberapa tetap saja akan dapat berpotensi buruk bagi seseorang yang memanfaatkannya. Seorang Muslim harus berhati-hati dan menyeleksi ketat apa-apa yang masuk dalam perutnya. Semoga Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita dari fitnah harta di dunia ini.

Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Dunia yang Membuat Manusia 
Gelap Mata

KENIKMATAN dunia seringkali membuat manusia lupa. Syahwat yang membara kepada dunia memperparah keadaannya. Hati menggebu-gebu, iri kepada dunia yang hadir diantara manusia lain, hasrat ingin menguasai, ingin memiliki semua yang ada di dunia walaupun dengan jalan yang tidak diridhai.
Ketika semua itu menjadikan manusia penuh dengan kekejian dan mudah terjatuh kepada maksiat lain yang lebih besar. Manusia menjadi barang jualan, jiwa manusia senilai dengan binatang ternak, darahnya pun mudah ditumpahkan hanya untuk mendapatkan kesenangan dunia.
Gelap mata mereka menjadikan pembunuhan manusia menjadi proyek untuk mendapat kan pundi pundi uang. Senyuman anak anak digadaikan hanya untuk uang recehan atas kerjaan mereka. Ini tidak lain karena mereka mengira bahwa kebahagiaan dunia adalah kekal.
Di satu belahan dunia, di satu sudut Indonesia masih banyak orang yang mengira bahwa dunia itu lebih berharga dari akhirat. Dunia memang dijadikan indah oleh Allah zza wa jalla namun Allah simpan kebahagiaan yang sebenarnya di sisiNya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga)." [Ali-‘Imrân/3:14].
Dunia itu hijau dan manis, maka hendaklah manusia berhati-hati dengan dunia. Jangan sampai kesenangan dunia menjerumuskan ke dalam kemaksiatan dan melalaikan dari ketaatan kepada Sang Pencipta. Seperti dalam Hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
"Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, 'Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita, karena sesungguhnya penyimpangan pertama kali pada Bani Isrâil terjadi berkaitan dengan wanita'." [Riwayat Muslim, no. 2742].
Perbuatan seorang manusia akan selalu Allah perhatikan. Meskipun ia dibalut dengan sutra dan perak, tetap saja keburukan dan syahwat dunia itu akan membuatnya menjadi makhluk yang terhinakan.* [Sendia/Syaf/voa-islam.com]



Ketika…. Pertanyaan tersebut menghampiri….

Sanggupkah kita menjawabnya????

Akankah lisan kita yang saat ini lancar berorasi dan berargumen saat itu bisa menjawabnya????

Akankah bisa kita hadapi saat yang dahsyat atas fitnah kubur tsb?????
—–
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولاَنِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا، قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ

“Sesungguhnya seorang hamba jika telah dimakamkan di kuburnya, dan sahabat-sahabatnya (yang mengiring jenazahnya) telah pulang, maka sungguh dia akan mendengar suara langkah sandal mereka. Kemudian dua orang malaikat mendatanginya dan mendudukkannya. Dua orang malaikat tersebut berkata kepadanya,

‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’

Adapun orang beriman, maka dia akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah hamba dan utusan-Nya.’

Maka dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka. Sungguh Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga.’ Maka dia melihat dua-duanya sekaligus.

Adapun orang munafik dan orang kafir, maka ditanyakan kepada mereka, ‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’

Maka mereka berkata, ‘Aku tidak tahu. Aku dulu mengatakan apa yang dikatakan oleh kebanyakan manusia.’

Malaikat berkata, ‘Engkau tidak tahu dan Engkau tidak mengikuti.’ Malaikat kemudian memukulnya dengan palu dari besi, dia pun berteriak sampai-sampai didengar oleh makhluk yang berada di atasnya, selain jin dan manusia” (HR. Bukhari no. 1374).

Dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari sahabat al-Barro bin ‘Azib Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ:فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ ؟ فَيَقُولُ: رَبِّيَ اللَّهُ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ ؟ فَيَقُولُ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولَانِ لَهُ : وَمَا يُدْرِيْكَ ؟ فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ: أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِيفَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ (وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ) وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ , قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ قَالَ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ : أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ , فَيَقُولُ لَهُ : مَنْ أَنْتَ , فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ, فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ, فَيَقُولُ: رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي

Kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukannya, lalu keduanya bertanya, “Siapakah Rabbmu ?” Dia (si mayyit) menjawab, “Rabbku adalah Allâh”. Kedua malaikat itu bertanya, “Apa agamamu?”Dia menjawab: “Agamaku adalah al-Islam”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?” Dia menjawab, “Beliau utusan Allâh”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Apakah ilmumu?” Dia menjawab, “Aku membaca kitab Allâh, aku mengimaninya dan membenarkannya”.
Lalu seorang penyeru dari langit berseru, “HambaKu telah (berkata) benar, berilah dia hamparan dari surga, (dan berilah dia pakaian dari surga), bukakanlah sebuah pintu untuknya ke surga.
Maka datanglah kepadanya bau dan wangi surga. Dan diluaskan baginya di dalam kuburnya sejauh mata memandang. Dan datanglah seorang laki-laki berwajah tampan kepadanya, berpakaian bagus, beraroma wangi, lalu mengatakan, “Bergembiralah dengan apa yang menyenangkanmu, inilah harimu yang engkau telah dijanjikan (kebaikan)”. Maka ruh orang Mukmin itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan?” Dia menjawab, “Aku adalah amalmu yang shalih”. Maka ruh itu berkata, “Rabbku, tegakkanlah hari kiamat, sehingga aku akan kembali kepada istriku dan hartaku”.

Pertanyaan ini juga dilontarkan kepada orang kafir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ : هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ : هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ ؟ فَيَقُولُ: هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ كَذَبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوءُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ, فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ فَيَقُولُ رَبِّ لَا تُقِمِ السَّاعَةَ

Kemudian ruhnya dikembalikan di dalam jasadnya. Dan dua malaikat mendatanginya dan mendudukannya. Kedua malaikat itu bertanya, “Sipakah Rabbmu?” Dia menjawab: “Hah, hah, aku tidak tahu”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Apakah agamamu?” Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?”Dia menjawab: “Hah, hah, aku tidak tahu”.
Lalu penyeru dari langit berseru, “HambaKu telah (berkata) dusta, berilah dia hamparan dari neraka, dan bukakanlah sebuah pintu untuknya ke neraka.” Maka panas neraka dan asapnya datang mendatanginya. Dan kuburnya disempitkan, sehingga tulang-tulang rusuknya berhimpitan.
Dan datanglah seorang laki-laki berwajah buruk kepadanya, berpakaian buruk, beraroma busuk, lalu mengatakan, “Terimalah kabar yang menyusahkanmu ! Inilah harimu yang telah dijanjikan (keburukan) kepadamu”. Maka ruh orang kafir itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan?” Dia menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk”. Maka ruh itu berkata, “Rabbku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat”. [Lihat Shahîhul Jâmi’ no: 1672]

Ya Rabb, kami berlindung kepadaMu dari fitnah dan siksa kubur

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Bukhari-Muslim)
Abu Muhammad Naufal Zaki
Iwan Permana
(nahimunkar.com)

Apa dan Siapa disebut Zalim (ظلم). [ IT ]
Al-Muflis ( Bangkrut )
Zuhud