by alfanarku
Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali
wa Salam pernah bersabda :
من كنت مولاه فعلي
مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
”Barangsiapa yang menganggap
aku sebagai walinya, maka Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja
yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Dari hadits di atas,
kaum Syi’ah mengklaim bahwa Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah)
setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah
demikian?
Mengenai takhrij
hadits Ghadir Khum silahkan baca di :
Adalah tidak mungkin
mendiskusikan hadits Ghadir Khum tanpa terlebih dahulu memahami konteks khusus
apa yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pada saat itu. Dan
merupakan aturan yang lazim di dalam memahami Al-Qur’an maupun Hadits dengan
meneliti latar belakang dari turunnya sebuah ayat maupun keluarnya sabda dari
Nabi shalallahu alaihi wassalam untuk mendapatkan pemahaman yang benar.
Sebagai contoh,
terdapat ayat dalam Al-Qur’an berbunyi : ”Bunuhlah mereka dimana-pun kalian
menemukan mereka”, ayat tersebut sering digunakan oleh kaum orientalis untuk
menyerang Islam dan menggambarkan bahwa Islam membenarkan pembunuhan kepada
manusia dimanapun mereka berada di semua keadaan. Padahal ayat tersebut adalah
ayat khusus yang turun pada saat terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan
kafir Quraisy, ini membuat kita sadar bahwa ayat tersebut bukanlah ayat umum
yang berisi perintah untuk membunuh manusia, tetapi sebuah ayat yang diturunkan
pada sebuah situasi khusus.
Demikian juga dengan
hadits Ghadir Khum, hanya dapat dimengerti dalam konteks dimana hadits tersebut
diucapkan yaitu Sekelompok pasukan telah mengkritik Ali bin Abi Thalib ra
dengan pedas melebihi apa yang sebenarnya terjadi, dan khabar ini akhirnya
sampai ke telinga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, yang kemudian beliau
bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits Ghadir Khum. Seperti kaum
orientalis, kaum syi’ah mencoba menghilangkan latar belakang konteks hadits
tersebut untuk memalingkan dari pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut.
Keinginan Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam ketika beliau bersabda di Ghadir Khum tersebut
bukanlah untuk memilih Ali ra sebagai khalifah pengganti beliau, tetapi hanya
untuk membela Ali dari tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada Ali ra. Dengan
menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut, syi’ah berusaha
menjajakan keyakinannya kepada umat Islam.
Pentingnya Hadits
Ghadir Khum bagi kaum Syi’ah
Hampir seluruh
fondasi keyakinan Syi’ah bertumpu pada kejadian di Ghadir Khum, karena di
tempat tersebut Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mereka yakini menunjuk
Ali ra sebagai pengganti beliau. Jika peristiwa tersebut tidak diklaim oleh
Syi’ah, maka berarti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tidak pernah
menunjuk Ali ra dan syi’ah harus mencabut kembali klaim-klaim mereka seperti
anggapan bahwa Abu Bakar ra telah merampas hak kekhalifahan Ali ra.
Sesungguhnya,
peristiwa Ghadir Khum begitu sentral bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu
penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah merayakan setiap tahun
perayaan yang bernama Eid Al Ghadir.
Berdasarkan dugaan
yang terjadi pada peristiwa Ghadir Khum tersebut, kaumSyi’ah menolak
kekhalifahan Abu Bakar ra, memisahkan diri dari mainstream kaum muslimin, dan
menyatakan bahwa Ali ra adalah Imam yang pertama kali ditunjuk. website milik
Syi’ah, Al-Islam.org menyatakan Ghadir Khum adalah peristiwa yang sangat
penting dan landasan keimamahan Ali ra.
Alasan ini diperlukan
untuk menekankan dengan kuat pentingnya Ghadir Khum bagi Syi’ah yang kami akan
tunjukkan kepada anda betapa senjata yang menurut perkiraan kaum syi’ah adalah
terampuh tersebut ternyata adalah sangat lemah. Jika hadits Ghadir Khum ini
adalah benar landasan sangat mendasar dari keyakinan Syi’ah, maka sesungguhnya
keyakinan Syi’ah adalah doktrin yang sangat lemah. Kaum Syi’ah mengatakan bahwa
Nabi shalallahu alaihi wassalam telah menunjuk Ali ra sebagai penggantinya di
Ghadir Khum, tetapi logika sederhana telah membantahnya.
Apa yang Syi’ah klaim
mengenai hadits Ghadir Khum?
Website milik Syi’ah,
Al-Islam.org mengatakan:
Sesudah menyelesaikan
haji terakhir beliau (Hajjatul Wada’), Rasulullah shalallahu alaihi wassalam
meninggalkan Mekah menuju ke Madinah, ketika beliau dan banyak orang sampai
pada sebuah tempat bernama Ghadir Khum (daerah yang dekat dengan al-Juhfah saat
ini). Tempat itu adalah tempat dimana orang dari berbagai daerah yang berbeda
biasa bertemu dan saling menyapa sebelum mengambil rute yang berbeda menuju
daerah masing-masing.
Di tempat ini, ayat
Al-Qur’an berikut ini diturunkan :
Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)
Kalimat terakhir pada
ayat di atas mengindikasikan bahwa Nabi (s) begitu perhatian dengan reaksi dari
umatnya ketika beliau menyampaikan risalah, tetapi Allah memberitahukan kepada
beliau untuk tidak khawatir karena Allah akan melindungi beliau dari gannguan
manusia.
Kemudian diikuti
kalimat kunci menandakan penunjukkan yang jelas atas Ali as sebagai pemimpin
kaum muslimin. Nabi (s) mengangkat tangan Ali dan bersabda :
“Barangsiapa yang
menganggap aku sebagai pemimpinnya (Mawla), maka Ali adalah pemimpinnya
(Mawla)”.
Segera setelah Nabi
(s) selesai menyampaikan hal itu, ayat Al-Qur’an berikut ini turun :
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Qur’an 5:3)
Ayat di atas
mengindikasikan dengan jelas Islam tanpa menjelaskan kepemimpinan sesudah Nabi
(s) tidaklah sempurna, dan penyempurnaan dari agama adalah pengumuman dengan
segera mengenai pengganti beliau.
Mengapa ini dikatakan
ga masuk akal?
Kaum Syi’ah mengklaim
bahwa Nabi Shalallahu alaihi wassalam menyelesaikan haji terakhirnya, melakukan
pidato perpisahan di atas bukit Arafah di Mekah, sesudah itu menunjuk Ali ra di
Ghadir Khum, mari kita analisa klaim ini, Ghadir Khum terletak diantara Mekah
dan Madinah, dekat dengan kota Al-Juhfah. Khum adalah sebuah kolam air di
tengah padang pasir. Maka jika kita telusuri kenyataannya, Ghadir Khum terletak
sekitar 250 km jauhnya dari kota Mekah.
Ini sudah cukup untuk membatalkan premis Syi’ah.
Sebagaimana kita
semua tahu, Nabi shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pidato perpisahan
beliau di Mekah saat Haji Wada’. Hal itu dilakukan beliau dihadapan mayoritas
kaum muslimin terbesar, yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan haji.
Jika Nabi shalallahu alaihi wassalam ingin melakukan penunjukkan kepada Ali
sebagai pengganti beliau, maka sungguh tidak ada penjelasan mengapa Nabi
shalallahu alaihi wassalam tidak melakukannya saat beliau menyampaikan pidato
perpisahan tersebut? Seluruh muslim dapat mendengarkan kata-kata beliau, jadi
saat itu adalah saat yang paling tepat dan kesempatan yang paling baik untuk
menunjuk seseorang sebagai pengganti beliau dan diumumkan kepada manusia.
Rasulullah shalallahu
alaihi wassalam dan kaum muslimin menyelesaikan haji mereka dan kemudian setiap
orang kembali ke daerah mereka masing-masing. Orang-orang dari Madinah kembali
ke Madinah, orang-orang dari Tha’if kembali ke Tha’if, orang-orang dari Yaman
kembali ke Yaman, orang-orang dari Kufah kembali ke Kufah, orang-orang dari
Syiria kembali ke Syiria, dan orang-orang Mekah tetap tinggal di Mekah. Yang
perlu kita ingat, di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam, kaum muslimin sudah banyak tersebar di Jazirah Arab saat itu.
Hanya sekelompok orang
dari sebelah utara semenanjung Arabia yang melewati Gadhir Khum. Itu berarti
hanya terdiri dari orang-orang yang tinggal di Madinah dan sebagian kecil
orang-orang yang tinggal semisal di Syiria dan daerah sekitarnya. Oleh karena
itu, ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam berhenti di Ghadir Khum dan
diyakini peristiwa tersebut terjadi, sejumlah besar kaum muslimin tidak hadir
termasuk orang-orang yang tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain sesudah
melaksanakan haji. Hanya kelompok yang pergi ke Madinah (atau yang melewati
daerah itu) yang menemani Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ke Ghadir Khum.
Oleh karena itu,
berlawanan dengan klaim syi’ah, Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak menunjuk
Ali dihadapan kaum muslimin, tetapi apa yang terjadi di Ghadir Khum terjadi
dihadapan sejumlah kecil kaum muslimin yang kembali ke Madinah (atau yang
melewati daerah tersebut). Mari kita perhatikan klaim dari salah satu website
Syi’ah
The Thaqalayn Muslim Association mengatakan:
Pada tahun ke-18,
Dzulhijah, sesudah menyelesaikan Haji perpisahan beliau (Hajjatul wida’a),
Rasulullah SAWW berangkat dari Mekah menuju ke Madinah. Beliau dengan seluruh
rombongan kaum muslimin, sejumlah lebih dari 100,000 orang, berhenti di Ghadir
Khum, sebuah daerah padang pasir yang letaknya strategis sampai sekarang,
berada diantara Mekah dan Madinah (dekat dengan Juhfah pada hari ini). Pada
hari-hari itu, Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum
muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari
daerah-daerah sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing.
Situs Syi’ah tersebut
mengklaim bahwa “Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum
muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari daerah-daerah
sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing”. Peta yang terlihat
sederhana akan menunjukkan betapa tidak masuk akalnya klaim ini.
Apakah Rasional, kaum
muslimin dari Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain mengambil rute menuju Ghadir
Khum terlebih dahulu untuk menuju daerah mereka masing-masing? Kami harap
pembaca bisa memahami betapa tidak masuk akalnya klaim mereka tersebut. Apalagi
tidak terdapat satu riwayatpun bahwa Rasulullah sebelumnya telah memerintahkan
seluruh kaum muslimin untuk pergi ke Ghadir Khum saat mereka masih berkumpul di
Mekah.
Perhatikan gambaran
rute saat kaum muslimin berangkat haji ke Mekah
Kemudian setelah
ibadah haji selesai, menurut klaim syi’ah Ghadir Khum adalah titik
keberangkatan bagi kaum muslimin dari berbagai daerah untuk pulang menuju
daerahnya masing-masing. Berarti kaum muslimin yang berada di sebelah selatan
Mekah seperti Yaman, Tha’if dan lain-lain yang berlawanan arah dengan Ghadir
Khum mengambil rute ke ghadir khum dulu yang jaraknya sekitar 250 km dari
Mekah, kemudian dari sana baru balik lagi ke rumah masing-masing. kira-kira
butuh berapa hari perjalanan jika hal tersebut benar-benar dilakukan. gambaran
rutenya seperti ini :
dan yang masuk akal
adalah rute seperti ini:
Oleh karena itu,
klaim Syi’ah bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam menunjuk Ali ra dihadapan
seluruh kaum muslimin adalah sangat tidak mungkin sehubungan dengan fakta bahwa
Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak berkhotbah mengenai penunjukkan Ali ra di
pidato perpisahan di Arafah. Sedangkan peristiwa Ghadir Khum, kami melihat
betapa tidak mungkinnya bahwa tempat itu menjadi tempat penunjukkan Ali ra
sebagai khalifah berikutnya. Sesungguhnya versi mainstream kaum muslimin jauh
lebih masuk akal.
Apa yang sebenarnya
terjadi di Ghadir Khum?
Tidak ada seorangpun
menolak peristiwa Ghadir Khum, tetapi yang kita tolak adalah sikap
berlebih-lebihannya kaum Syi’ah terhadap kejadian tersebut, yang pertama.
Syi’ah berlebihan dalam menyebutkan jumlah yang hadir di Ghadir Khum,
seringkali mereka menyebutkan jumlah ratusan ribu orang, sebagaimana yang kita
telah tunjukkan di atas, padahal hanya kaum muslimin yang pergi menuju Madinah
saja yang hadir di Ghadir Khum, yang artinya kaum muslimin penduduk Mekah tidak
hadir, demikian juga penduduk Tha’if, Yaman dan lain-lain. Kenyataannya Syi’ah
sering mengatakan yang hadir di Ghadir Khum sejumlah lebih dari 100,000 orang,
ini terlalu berlebihan. Jumlah ini lebih dimungkinkan jumlah orang yang
melakukan ibadah Haji di Mekah dari berbagai wilayah. Tetapi berapapun jumlah
yang mereka sebutkan tidak menjadi masalah buat kita, yang jelas sejumlah itu
adalah sebagian dari kaum muslimin, karena tidak termasuk kaum muslimin yang
tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain.
Konteks dari hadits
Ghadir Khum harus dipertimbangkan, Apa yang terjadi di Ghadir Khum adalah
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam merespon individu-individu tertentu yang
mengkritik Ali bin Abi Thalib ra. Latar belakang dibalik peristiwa ini adalah
beberapa bulan sebelumnya, Nabi shalallahu alaihi wassalam telah mengutus Ali
ra bersama 300 orang ke Yaman dalam sebuah ekspedisi. Ini disebutkan di website
Syi’ah www. Najaf.org : “Ali ditunjuk sebagai pemimpin dalam ekspedisi ke
Yaman”. (http://www.najaf.org/english/book/20/4.htm).
Pasukan yang dipimpin
oleh Ali ra tersebut mengalami sukses di Yaman dan mereka berhasil mendapatkan
banyak rampasan perang. Atas rampasan perang ini terjadilah perdebatan antara
Ali ra di satu sisi dan pasukannya di sisi yang lain. Hal ini dikisahkan oleh
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah :
Diantara seperlima
harta rampasan yang disebutkan, terdapat banyak kain yang cukup dipakai oleh
seluruh pasukan, tetapi Ali ra telah memutuskan bahwa itu harus diserahkan
kepada Rasulullah dulu dengan tanpa disentuh.
Setelah kemenangan di
Yaman, Ali ra menempatkan wakil komandan pasukannya untuk bertanggung jawab
atas pasukan yang ditempatkan di Yaman, sementara dia sendiri pergi menuju
Mekah untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam untuk melaksanakan
ibadah Haji.
Saat Ali tidak ada,
akan tetapi, orang yang dia tinggalkan untuk bertanggung jawab atas pasukannya
di bujuk untuk meminjamkan kepada masing-masing orang sebuah pakaian ganti dari
kain tersebut. Penrgantian pakaian sangat diperlukan bagi mereka yang telah
meninggalkan rumah hampir selama tiga bulan.
Pasukan yang
ditempatkan di Yaman kemudian berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan haji
bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
Ketika mereka berada
tidak jauh dari kota (Mekah), Ali ra keluar menemui mereka dan terkejut melihat
perubahan yang terjadi (sehubungan dengan pakaian yang mereka kenakan).
“Saya memberi mereka
pakaian” berkata wakil komandan pasukan, “yang penampilan mereka mungkin lebih
layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. Mereka semua tahu bahwa setiap
orang di Mekah saat itu sedang mengenakan baju terbaik mereka untuk menghormati
hari besar (ibadah haji), dan mereka ingin sekali memperlihatkan penampilan
mereka yang terbaik, tetapi Ali ra merasa tidak dapat tenang dengan
membebaskannya dan dia memerintahkan mereka untuk memakai kembali pakaian lama
mereka dan mengembalikan yang baru ke tempat barang rampasan.
Kekecewaan/kekesalan yang besar dirasakan oleh seluruh pasukan atas keputusan
itu, dan ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam mendengar hal itu, beliau
bersabda : “wahai manusia, jangan mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat
di jalan Allah untuk disalahkan.” Tetapi kata-kata ini tidak cukup, atau
mungkin mereka mendengarnya hanya sedikit, dan kekesalan diantara mereka tetap
masih berlanjut.
Pada saat kembali ke
Madinah salah seorang dari pasukan komplain dengan keras mengenai Ali ra kepada
Nabi shalallahu alaihi wassalam yang langsung berubah wajahnya. “Apakah saya
tidak lebih dekat dengan kaum mukminin dibandingkan diri mereka sendiri?”
beliau berkata; dan ketika orang tersebut membenarkannya, beliau menambahkan :
“Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.”
Berikutnya dalam perjalanan ketika mereka berhenti di Ghadir Khum, beliau
mengumpulkan semua orang bersama-sama, dan mengambil tangan Ali, beliau
mengulang kata-kata ini (“Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali
adalah mawla-nya.”), dimana beliau menambahkan dengan do’a : “Ya Allah, jadikan
teman, orang-orang yang menjadi temannya, dan jadikan musuh orang-orang yang
memusuhinya”. Dan keluhan-keluhan terhadap Ali ra pun berhenti.
Pasukan di bawah
tanggung jawab Ali ra tidak hanya gelisah atas pergantian pakaian tetapi juga
atas pembagian harta rampasan secara umum. Kaum muslimin bersyukur akan
kepemimpinan terbaik Ali ra yang telah mendapatkan banyak unta rampasan, tetapi
Ali ra melarang mereka untuk memiliki unta-unta tersebut. Al-Baihaqi
meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Ali ra mencegah mereka menaiki unta-unta
hasil rampasan perang yang mereka telah dapatkan. Tetapi ketika Ali ra telah
berangkat ke Mekah, wakil komandan pasukannya telah mengalah kepada pasukannya
dan mengijinkan mereka untuk menaiki unta-unta tersebut. Ketika Ali ra melihat
hal itu, dia menjadi marah dan menyalahkan wakil komandan pasukannya. Abu Sa’id
ra berkata : “ketika kita dalam perjalanan kembali ke Madinah, kami menyebutkan
kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam kekerasan yang telah kami lihat dari
Ali; Nabi shalallahu alaihi wassalam berkata : “Hentikan… Demi Allah, saya
telah mengetahui bahwa dia (Ali ra) telah melakukan hal yang baik untuk Allah.”
Sebuah kejadian
serupa diceritakan oleh Ibnu Ishaq di Sirah Rasul :
Ketika Ali ra datang
dari Yaman untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam di Mekah, Ia
cepat-cepat menjumpai beliau dan memberikan tanggung jawab atas pasukannya
kepada salah satu sahabatnya yang pergi dan menghalangi setiap orang yang
memaksa mengenakan pakaian dari kain milik Ali. Ketika pasukan mendekat, Ia
(Ali ra) keluar untuk menemui mereka dan menemukan mereka memakai pakaian
tersebut. Ketika dia menanyakan apa yang terjadi, orang yang ditunjuk wakil
oleh Ali ra menjawab bahwa dia telah memberikan pakaian kepada orang-orang agar
bisa terlihat layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. He (Ali)
memerintahkan kepadanya untuk menanggalkan pakaian-pakaian tersebut sebelum mereka
datang kepada Rasul shalallahu alaihi wassalam dan mereka melakukannya dan
menaruhnya kembali diantara barang rampasan. Pasukan menunjukkan kekesalan
mereka pada perlakuan mereka… ketika orang-orang komplain mengenai Ali ra,
Rasul shalallahu alaihi wassalam angun memanggil mereka dan dia (periwayat)
mendengar beliau (Nabi shalallahu alaihi wassalam) bersabda : “Jangan
mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat atas hal-hal milik Allah, atau
dalam meniti jalan Allah, untuk dicela.
(Ibnu Ishaq, Sirah Rasul
, hal 650)
Ibnu Katsir
menceritakan bahwa orang-orang dalam pasukan (yang dikirim ke Yaman) mulai
mengkritik Ali ra karena dia mencegah mereka menaiki unta-unta dan mengambil
kembali pakaian-pakaian baru yang mereka telah dapatkan. Orang-orang tersebut
adalah yang menemani Nabi shalalallahu alaihi wassalam menuju Madinah melalui
Ghadir Khum, dan mereka lah orang-orang yang dimaksud dalam hadits-hadits
Ghadir Khum yang terkenal.
Faktanya, di Tarikh
al-Islam, peristiwa Ghadir Khum termasuk dalam judul “Hiburan untuk Ali ra” :
Hiburan untuk Ali
Selama pelaksanaan
ibadah haji, ebagian dari pengikut Ali ra yang bersamanya ke Yaman komplain
kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam tentang Ali. Beberapa kesalahpahaman
orang-orang dari Yaman yang menimbulkan rasa curiga. Memanggil
sahabat-sahabatnya di Ghadir Khum, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memuji
Ali : “orang yang menjadikan saya teman adalah menjadikan Ali teman juga..
mengikuti hal itu, Umar memberi selamat kepada Ali dan berkata : “mulai hari ini
kamu adalah teman spesialku” kemudian Nabi shalallahu alaihi wassalam kembali
ke Madinah dan putra beliau Ibrahim meninggal dunia.
(Tarikh al-Islam,
Jilid.1, hal.241)
Konteks Hadits Ghadir
Khum
Prajurit-prajurit di
pasukan Ali sangat gelisah dengan Ali ra kerena dia menolak mereka dalam hal
kain dan unta-unta dari rampasan perang, dan mereka tidak senang dengan fakta
bahwa Ali ra sendiri mendapatkan pembagian khusus dari khumus (seperlima dari
harta rampasan perang). Tentu saja, Ali ra tidak dapat disalahkan atas hak
istimewa ini untuk mengambil pembagian ekstra dari Khumus, dimana ini adalah
hak keluarga rasul menurut Al-Qur’an. Walaupun demikian, kemarahan ada di mata
mereka, sehingga mereka mengambil kesempatan untuk mengkritik Ali ra ketika Ali
ra mengambil seorang budak wanita untuk dirinya dari khumus, para pasukan
menuduh Ali sebagai seorang yang munafik karena melarang pakaian dan unta untuk
para pasukan tetapi dia sendiri mengambil seorang budak wanita dari Khumus.
Untuk kritik yang keliru kepada Ali ra ini Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam membela Ali ra dalam hadits Ghadir Khum.
Syi’ah Mencoba
Menghilangkan Konteks Hadits Ghadir Khum
Ahlus Sunnah
memandang bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam terpaksa membuat
pernyataan/deklarasi di Ghadir Khum sehubungan dengan apa yang terjadi antara
Ali ra dan pasukannya dari Yaman.
Taair-al-Quds, Admin
dari situs ShiaOfAhlBayt mengatakan :
Hadits yang
menyebutkan kejadian tersebut (pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) tidak ada
hubungannya dengan peristiwa di Ghadir Khum.
Seluruh kejadian
(pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) terjadi di Madinah di dalam Masjid dan
selesai di sana dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa Ghadir Khum! Nabi
(s) telah mengklarifikasi kejadian itu dimana Wahabi/Nawashib bertujuan
menghadirkannya sebagai konteks peristiwa ghadir khum, dimana peristiwa Ghadir
Khum terjadi sesudahnya.
Peristiwa Ghadir Khum
terjadi pada tanggal 18 Dzuhijah sementara peristiwa Yaman terjadi pada bulan
Rabi’ul Akhir (Tsani) atau Jumadil Ula berdasarkan keterangan ahli sejarah.
Tidak ada kesesuaian ataupun kemungkinan bercampurnya kedua kejadian tersebut.
Yang satu berlangsung saat kembali dari Mekah sesudah haji dan yang satunya
terjadi di Yaman lebih awal dan sudah dipecahkan di masjid Nabawi Madinah,
bahkan sebelum Nabi (s) berangkat menunaikan haji.
Faktanya, kedua
kejadian tersebut terjadi di tahun akhir kehidupan Nabi shalallahu alaihi
wassalam. Merujuk kepada Ulama Syi’ah Klasik, Syaikh Mufid, ekspedisi dari
Yaman datang ke Mekah pada 5 hari terakhir bulan Dzulqa’dah (Bulan ke-11 pada
penanggalan Islam) dan kejadian Ghadir Khum terjadi tepat sesudah itu di bulan
Dzulhijah (bulan ke-12 pada penanggalan Islam). Taair-al-Quds telah melakukan
suatu penipuan dengan mengklaim ekspedisi ke Yaman terjadi di bulan Rabi’ul
Tsani (bulan ke-4 pada pemanggalan Islam) atau Jumadil Ula (bulan ke-5 pada
penanggalan Islam), sedangkan peristiwa Ghadir Khum terjadi di bulan ke 12.
Operasi di Yaman berlangsung beberapa bulan sampai bulan yang ke-11! Sedangkan
ekspedisi ke Yaman dimulai beberapa bulan sebelumnya. Ini jelas tidak berakhir
sebelum 5 hari terakhir dari bulan ke-11, dimana sesudahnya Ali ra dan
pasukannya segera bergabung dengan Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah
untuk melaksanakan haji.
Klaim Taair-al-Quds
bahwa kejadian Yaman telah diselesaikan di Madinah, adalah kesalahan besar yang
mengerikan yang ada padanya. Setelah apa yang terjadi di Yaman (perdebatan soal
khumus), Ali pergi menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah, bukan
Madinah. Ali ra dan pasukannya melaksanakan haji bersama Rasulullah shalallahu
alaihi wassalam dan selama waktu-waktu itu pasukan Ali ra menggerutu soal
keputusan Ali ra, dimana hal tersebut mendorong rasulullah bersabda di Ghadir
Khum.
Taair-al-Quds
menuding hal ini sebagai propaganda wahabi/nawashib yang menganggap bahwa
kejadian perdebatan antara Ali ra dan pasukannya terjadi tepat sebelum peristiwa
Ghadir Khum. Kita akan bertanya kepada Taair-al-Quds, apakah Syaikh Mufid
seorang ulama besar klasik Syi’ah termasuk seorang Nawashib? Syaikh Mufid dalam
kitabnya Al-Irsyad menyebutkan kisah perdebatan antara Ali ra dan pasukannya di
Yaman di bawah judul “Haji perpisahan Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum”
Haji perpisahan
Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum
… Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam, telah mengirim dia (Ali as), ke Yaman untuk
mengumpulkan pembagian khumus dari emas mereka dan mengumpulkan baju besi dan
barang-barang yang lainnya… kemudian Nabi (s) memutuskan untuk pergi haji dan
melakukan kewajibannya dimana Tuhan Yang Maha Agung telah memutuskan…
Beliau (s), berangkat
dengan mereka pada 5 hari terakhir bulan Dzul Qa’dah. Beliau telah menulis
untuk Amirul Mukminin Ali as tentang berangkat haji dari Yaman…
Sementara itu, Amirul
mukminin as, pergi dengan pasukan yang menemani beliau ke Yaman. Ada bersamanya
baju besi-baju besi yang dia telah kumpulkan dari penduduk Najran. Ketika
Rasulullah (s) telah mendekati Mekah di jalan dari arah Madinah, Amirul
Mukminin Ali as sedang mendekati Mekah di jalan dari arah Yaman. Dia (Ali)
pergi mendahului pasukannya untuk menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam dan
dia menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan kepada salah seorang dari
pasukannya. Dia datang kepada Nabi (s) sesudah memasuki Mekah. Ia (Ali)
menyalami beliau (Nabi) dan menginformasikan kepada beliau mengenai apa yang
telah dilakukannya dan apa yang ia telah kumpulkan (dalam Khumus) dan bahwa dia
telah buru-buru pergi mendahului pasukannya untuk menemui beliau. Rasulullah
(s) senang atasnya dan gembira berjumpa dengan dia…
Amirul mukminin as
pamit kepada beliau (Nabi) dan kembali ke pasukannya. Ia bertemu mereka di
tempat yang tidak jauh dan menemukan mereka telah memakai bajubesi-bajubesi
yang mereka bawa. Ia (Ali) marah kepada mereka karenanya.
“Aib atasmu”! Ia
(Ali) berkata kepada orang yang dia tunjuk sebagai wakil pasukannya. “Apa yang
membuat kamu memberikan kepada mereka bajubesi sebelum kita serahkan kepada
Rasulullah (s)?”. “Saya tidak memberi ijin kepadamu untuk melakukan itu.”
“Mereka meminta saya
untuk membiarkan mereka menghias diri mereka dan masuk ke tanah suci, dan
kemudian mereka akan mengembalikannya lagi kepada saya,” Ia menjawab.
Amirul mukminin as
mengambil kembali baju besi tersebut dari orang-orang dan menaruhnya kembali ke
karung-karung. Mereka (pasukan Ali as) merasa tidak puas kepada Ali karena hal
itu. Ketika mereka sampai di Mekah, mereka komplain kepada Amirul Mukminin as
berkali-kali. Rasulullah (s) berseru diantara orang-orang : “Hentikan lisanmu
terhadap Ali bin Abi Thalib, dia adalah seorang yang tajam untuk kepentingan
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi, bukanlah dia orang yang menipu dalam
agamanya…
Ketika Rasulullah
melakukan ibadah haji, beliau jadikan Ali sebagai partnernya dalam menyembelih
hewan kurban. Kemudian beliau memulai perjalanan kembali ke Madinah. Ali as dan
kaum muslimin pergi bersama beliau. Beliau sampai ke suatu tempat yang dikenal
dengan nama Ghadir Khum…
(Kitab al-Irsyad, by
Syaikh Mufid, hal.119-123)
Gambar halaman muka
kitab Al-Irsyad terjemahan bahasa Inggris
Kesimpulan :
Berlawanan dengan
klaim Syi’ah, Hadits Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan khilafah atau
imamah, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wassalam hanya menolak sekelompok
orang yang berada di bawah komando Ali ra yang mereka mengkritik Ali ra dengan
kata-kata yang sangat pedas. Berdasarkan ini, Nabi shalallahu alaihi wassalam
menghimbau kepada orang-orang bahwa Ali ra adalah Mawla (yang berhak dicintai)
oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wassalam
sendiri. Seandainya beliau berkehendak menunjuk Ali ra sebagai khalifah
pengganti beliau, maka beliau akan lakukan hal tersebut pada saat pidato
perpisahan beliau di Mekah, bukan saat di saat perjalanan beliau pulang ke
Madinah, di tengah padang pasir yang jauhnya 250km dari Mekah.
Allahu A’lam.
45 Responses : Lihat rujukan